BAB 4 TINJAUAN KHUSUS DIVISI INDUSTRIAL AFFAIRS
4.4 Health, Safety,and Environment Department
4.4.1 Health, Safety, and Environment (HSE) (Prosedur Tetap HSE, 2011) Health, Safety, and Environment (HSE) merupakan aspek yang mendasari semua kegiatan di PT Aventis Pharma selain CPOB. HSE PT Aventis Pharma berada di bawah Industrial Affairs Division yang bertanggung jawab masalah kesehatan (health), keselamatan (safety), dan lingkungan (environment) di PT Aventis Pharma. Sebelumnya departemen ini bernama EHS (Environment, Health, and Safety), kemudian diubah menjadi HSE karena di suatu industri farmasi pengolahan, timbulnya gangguan kesehatan bagi personil yang terkait merupakan kemungkinan yang terbesar dibandingkan kedua aspek HSE lainnya.
HSE dikepalai oleh seorang supervisor yang membawahi bagian yang menangani lingkungan hidup dan kesehatan dan bagian yang menangani keselamatan kerja.
Tujuan HSE adalah:
a. Untuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, mencegah dan menanggulangi segala macam bahaya yang mengancam seluruh karyawan, kontraktor, dan tamu.
b. Untuk meminimalkan pencemaran lingkungan selama proses produksi dari mulai penanganan bahan baku hingga setelah produk jadi dihasilkan.
c. Mencegah kontaminasi selama proses produksi terhadap personil terkait.
d. Meminimalkan kontaminasi produk sampingan terhadap lingkungan.
e. Mencegah kontaminasi terhadap produk baik dari lingkungan maupun karyawan.
Dasar yang digunakan oleh PT Aventis Pharma dalam melaksanakan HSE adalah Global HSE Standard, HSE guidelines, HSE key requirement, dan peraturan negara mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja (Depnaker), serta Upaya Kesehatan Kerja yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (Depkes). K3 kemudian lebih dikenal sebagai LHK3 (Lingkungan Hidup, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja).
Berdasarkan global HSE, hierarki dokumen HSE dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah berturut-turut adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan HSE (HSE Policy)
b. Persyaratan Utama (Key requirements) c. Standard (Standard)
d. Panduan (Guidelines)
e. Prosedur Tetap (Standard Operating Procedures/SOP)
Semua dokumen tersebut kecuali Prosedur Tetap (Protap) disusun oleh Aventis Global untuk dilaksanakan di seluruh Aventis site. Sementara itu, protap disusun di masing-masing Aventis site untuk dilaksanakan di site yang bersangkutan. Key requirements HSE merupakan elemen esensial minimum yang harus diterapkan di suatu site. Standar HSE menjelaskan hal-hal yang perlu dilakukan oleh site saat menerapkan Key requirements. Guidelines adalah dokumen yang umumnya berisi informasi teknis dalam bentuk protap.
Sasaran kebijakan program HSE di PT Aventis Pharma berpedoman pada prinsip pengembangan yang berkesinambungan yaitu:
a. Secara aktif berusaha mencegah dampak yang merugikan terhadap udara, air tanah, sumber daya alam, dan kesehatan manusia.
b. Menghindarkan terjadinya cedera pada semua karyawan, kontraktor, dan masyarakat sekitar.
c. Memberi perhatian pada aspek HSE dalam perancangan pabrik, perancangan dan pengembangan produk baru, serta mengelola risiko HSE dari semua produk.
d. Mengatasi dampak lingkungan yang timbul.
e. Mengukur kinerja dan menyampaikan hasilnya secara terbuka untuk membangkitkan keyakinan dan pengakuan pada semua pihak yang berkepentingan.
Untuk menjamin realisasi tujuan HSE dan memastikan program-program HSE terselenggara, diperlukan sistem pengelolaan HSE yang komprehensif.
Sistem managemen HSE mencakup pengembangan kebijakan, pengorganisasian, perencanaan dan implementasi, pengukuran kinerja, evaluasi kinerja, dan pengauditan. Proses sistem manajemen tersebut berlangsung secara berulang dan berkesinambungan.
4.4.2 Health (Kesehatan Kerja)
Kebijakan yang dimiliki oleh PT Aventis Pharma dalam bidang kesehatan, yang menjadi tanggung jawab HSE adalah dalam pelaksanaan Industrial Hygiene (IH) dan Occupational Health (OH). Untuk melaksanakan IH, harus dilakukan terlebih dahulu identifikasi bahaya dan faktor yang dapat membahayakan keamanan pekerja dan alat kerja di tempat itu. Faktor risiko yang perlu diwaspadai adalah prosedur kerja, material, serta proses dan alat kerja yang dipakai. Upaya untuk melindungi pekerja terhadap bahaya kontaminasi produk adalah dengan exposure monitoring terutama terhadap bahan OEB level 3 dan 4. Tujuan exposure monitoring adalah untuk meyakinkan bahwa lingkungan kerja aman dan tidak mengganggu kesehatan, sehingga hak karyawan terhadap kesehatannya ketika tidak lagi bekerja di perusahaan ini dapat dijamin, serta terjadinya penyakit akibat kerja dan kontaminasi pada lingkungan oleh produk dapat dihindari.
Langkah-langkah dalam exposure monitoring:
a. Sampling, alat yang digunakan adalah sampling plump yang alirannya (flow) disesuaikan dengan wujud zat aktif yaitu high flow (2 L/menit) untuk dust, dan low flow (0,75 L/menit) untuk favour gas. Collecting media yang spesifik untuk menampung partikel bahan aktif dan filter untuk menyaring udara yang masuk sehingga udara bersih bisa dikeluarkan kembali.
b. Hasil sampling dikirim ke Global Hygiene Laboratory di Bridgewater, Amerika Serikat.
Selanjutnya, dilakukan program penanggulangan bahaya. Program ini harus jelas mencantumkan judul, tujuan, jadwal kegiatan, biaya, penanggung jawab, dan ukuran keberhasilannya (cara evaluasi). Setelah itu, program yang telah disusun tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan aspek komunikasi (sosialisasi kepada karyawan) dan persyaratan administratif (meninjau kembali apakah persyaratan sertifikasi peralatan, kualifikasi operator, zoning daerah risiko tinggi, dan sebagainya telah dilaksanakan sesuai dengan standar yang berlaku).
Pada akhir pelaksanaan program, dilakukan evaluasi yang mencakup aspek teknis dan mutu, biaya, serta waktu pelaksanaan. Penilaian terhadap suksesnya pelatihan dilakukan dengan diadakannya inspeksi diri sewaktu-waktu terhadap aspek HSE.
Peningkatan self awareness karyawan terhadap HSE adalah dengan usaha safety talk, briefing, dan training.
Dalam pemantauan kesehatan kerja perlu diperhatikan nilai ambang batas pemaparan yang lebih dikenal dengan istilah OEB (Occupational Exposure Band) dan OEL (Occupational Exposure Limit). Penggolongan OEB diperoleh dari OEL yang disederhanakan. Aventis mengkategorikannya berdasarkan konsentrasi paparan aktif yang dipercaya aman untuk kesehatan karyawan. OEB adalah paparan yang dapat diterima 8 jam kerja per hari atau 40 jam kerja seminggu.
Dengan mengetahui nilai OEB suatu senyawa, kesehatan dan keamanan kerja karyawan dapat ditingkatkan. Tingkatan OEB dapat dilihat pada Tabel 4. Kategori produk PT Aventis Pharma berdasarkan OEB dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai ambang batas pemaparan lain yang harus diperhatikan adalah kebisingan dan paparan gas. Batas pemaparan suara yang dapat menyebabkan kebisingan adalah 85 dB. Contohnya mesin GUK di bagian Packaging memiliki pemaparan suara 90
dB sehingga diperlukan usaha noise reduction dengan menggunakan earpug dan earmuf. Paparan gas beracun banyak terjadi di laboratorium dan usaha untuk mengatasinya adalah dengan pembuatan protap, pelatihan penggunaan lemari asam, dan pemisahan jenis limbah cair di laboratorium.
4.4.3 Safety (Keselamatan kerja)
Tanggung jawab HSE dalam bidang keselamatan (safety) sangat besar dalam rangka menjamin keselamatan pekerja, tamu, dan kontraktor. Program yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan keselamatan kerja antara lain:
a. Pelaksanaan inspeksi diri dan risk assesment di tempat kerja.
b. Penerapan hasil risk assesment . c. Penggunaan tangga dan pintu darurat.
d. Pengadaan sistem izin kerja dan izin penggunaan peralatan untuk semua pekerjaan yang dilakukan di lingkungan perusahaan.
e. Sosialisasi program-program HSE dan pelatihan bagi karyawan.
Tanggung jawab HSE diantaranya adalah menyiapkan fire protection untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran, antisipasi banjir, emergency preparedness, dan training. Yang termasuk dalam fire protection adalah smoke detector, fire extinguisher, hydrant, sprinkler, dan foam cart (untuk kebakaran yang disebabkan karena bahan kimia). Fasilitas lain adalah emergency exit di setiap ruangan untuk memudahkan orang keluar saat terjadi bahaya yang secara otomatis akan mengaktifkan alarm. Untuk mengantisipasi keluarnya air yang sudah terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3) dari gudang ke luar daerah gudang dipasang water barrier (Blobel Water Retention BL/BED-PM) di Warehouse. Pemasangan dilakukan di warehouse karena di tempat inilah sebagian besar inventory pabrik disimpan, sehingga jika terjadi kontaminasi pada daerah warehouse air tidak akan terbawa keluar area gudang. Emergency preparedness adalah suatu drill evakuasi (terhadap kebakaran dilakukan 3 bulan sekali) yang dilakukan sebagai latihan evakuasi jika suatu waktu tertentu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di pabrik, seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, teror, atau sabotase, dan sebagainya.
Untuk meningkatkan partisipasi seluruh departemen dalam menjaga keselamatan kerja, maka HSE mengadakan program LTI (Lost Time Injury) atau IWLT (Injury Without Lost Time). LTI adalah suatu cedera yang menyebabkan hilangnya hari kerja. Sedangkan IWLT adalah keadaan dimana cedera yang ditimbulkan tidak menyebabkan kehilangan hari kerja, walaupun membutuhkan medical treatment seperti dijahit, pingsan, dan lain-lain. Setiap departemen memiliki papan untuk mencantumkan jumlah hari yang telah dilewati tanpa terjadinya LTI dan jumlah hari tanpa IWLT. Sehingga bila ada bagian yang jumlah LTI atau IWLT-nya di atas rata-rata dapat langsung diketahui, dievaluasi, dan diambil langkah-langkah pencegahan yang paling sesuai. Training dilakukan untuk memperkenalkan aturan-aturan di pabrik sehingga dalam bekerja dapat terjamin keamanan dan keselamatan kerja. Training ini dilakukan terhadap karyawan baru dan kontraktor yang akan bekerja di pabrik. Kontraktor juga perlu diberi training (safety orientation) karena pada suatu waktu terjadi persentase kecelakaan kerja kontraktor lebih tinggi daripada karyawan (misal pada saat renovasi pabrik). Program HSE untuk karyawan baru adalah dengan memberikan booklet tentang HSE dan pelatihan yang diadakan di bawah departemen masing-masing.
Dalam HSE dikenal adanya hierarchy of control (hierarki pengendalian), dimana upaya yang dilakukan dalam mengendalikan seluruh aspek yang berhubungan dengan HSE dilakukan menurut prioritas utama terlebih dahulu.
Apabila prioritas utama tidak mungkin diterapkan, baru dipertimbangkan untuk mengambil langkah berikutnya. Misalnya untuk mengurangi paparan bahan aktif yang berlebihan dapat dicari solusi dengan menerapkan hierarki pengendalian sebagai berikut:
a. Eliminasi
Prosedur ini dilakukan dengan menghilangkan faktor yang menjadi sumber permasalahan, misalnya menghilangkan bahan atau alat yang berbahaya.
b. Subtitusi
Prosedur ini dilakukan dengan mengganti faktor yang menjadi sumber permasalahan dengan bahan lain yang lebih aman.
c. Engineering control
Cara ini dilakukan dengan mengatur variabel mesin/peralatan menjadi lebih aman untuk digunakan, misalnya mendesain dan memodifikasi alat, merancang sebuah bentuk alat, mesin, dan sarana penunjang apapun yang bersifat ergonomis (penyesuaian terhadap anatomi tubuh dan kebiasaan bersikap dalam bekerja) yang dapat memudahkan suatu pekerjaan untuk dilakukan sehingga karyawan merasa nyaman dalam bekerja dan tidak mudah merasa lelah.
d. Administrative control
Dilakukan dengan cara menerapkan SOP atau mengatur waktu paparan pekerja terhadap faktor yang membahayakan, misalnya dengan mengatur shift kerja karyawan.
e. Penggunaan alat pelindung diri (APD)
Langkah ini dilakukan sebagai upaya terakhir yang dilakukan untuk melindungi karyawan atau bisa juga diterapkan sebagai solusi sementara pada saat engineering approach masih didesain, misalnya penggunakan, earpug, masker, dan sarung tangan. Dalam rangka pengukuran kinerja HSE, pencegahan pengulangan kejadian setiap kecelakaan dan nyaris celaka harus diselidiki dan dilaporkan. Finding kecelakaan dibedakan menjadi 3 yaitu:
a. Critical (harus diselesaikan hari itu juga)
b. Major (diberi waktu 2 hari dalam penyelesaiannya) c. Minor
Keselamatan kerja dipengaruhi oleh 2 aspek yaitu perilaku yang tidak aman dan lingkungan kerja yang tidak aman. Finding dalam perilaku kerja harus diselesaikan saat itu juga, sedangkan untuk kondisi kerja diselesaikan dalam waktu 2 hari. Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki berupa benturan antara dua massa/energi sehingga timbul kerusakan, cedera, dan kerugian. Near miss adalah suatu kejadian dimana dua massa/energi hampir bersentuhan sehingga tidak sampai menimbulkan kerugian fisik. Arti penting dari kejadian near miss adalah kecelakaan dapat terjadi dengan situasi dan kondisi yang sama dengan kejadian ini. Oleh karena itu dengan melakukan investigasi terhadap near miss dapat berguna untuk mencegah terjadi kecelakaan di kemudian hari. Prioritas kecelakaan yang perlu diinvestigasi adalah:
a. Jatuh dari ketinggian
b. Penanganan dan penggunaan bahan kimia, termasuk jika terjadi tumpahan bahan kimia. Tumpahan bahan kimia dapat tergolong keadaan darurat jika tumpahan bervolume 200 L atau lebih
c. Berhubungan dengan mesin dan alat kerja d. Menyebabkan cedera berat
e. Kecelakaan berulang f. Pelanggaran peraturan.
Tim investigasi terdiri dari kepala unit/departemen tempat kejadian, staf HSE, Human Resource Administration, wakil serikat kerja, dan Technical Production/IQC sebagai pengkaji laporan. Laporan hasil investigasi dibuat paling lambat 2x24 jam setelah kejadian dan ditujukan kepada Depnaker dan Global/Regional Aventis. Laporan tersebut berupa:
a. Immediate reporting untuk kecelakaan besar.
b. Real time reporting untuk Lost Time Injuries dan Injury Without Lost Time.
c. Monthly reporting untuk karyawan dan kontraktor.
Tim investigasi melakukan investigasi dengan sistematika sebagai berikut:
a. Melakukan evaluasi menyeluruh di tempat kejadian (situasi tempat kerja, mesin dan alat kerja yang dipakai, prosedur kerja, dan urutan kejadian).
b. Mengambil gambar/foto sebelum tempat kejadian dibersihkan.
c. Membuat sketsa dan ukuran situasi di tempat kejadian.
d. Mencatat semua saksi dan melakukan wawancara untuk evaluasi.
Program lain dari HSE adalah:
a. Menciptakan sistem pengumpulan Material Safety Data Sheet (MSDS) yang efektif dan efisien terhadap semua bahan kimia yang dipergunakan di kawasan Aventis Pharma.
b. Menetapkan sistem yang menjamin bahwa MSDS yang tersedia adalah valid dan MSDS yang berlaku tersebut tersimpan baik dan mudah ditemukan saat diperlukan oleh yang membutuhkan.
Material Safety Data Sheet adalah suatu bentuk info tertulis yang pada umumnya memuat data mengenai identifikasi produk kimia dan perusahaan pembuat, identifikasi bahaya, pertolongan pertama pada kecelakaan, langkah
penanganan bila terbuang ke lingkungan secara tidak sengaja, penanganan dan penyimpanannya, serta pengendalian pemaparan dan perlindungan dari personil.
Selain itu MSDS juga berisi data mengenai sifat-sifat fisika dan kimia bahan, stabilitas dan reaktivitas, toksikologi, dan informasi lainnya. Alur pengumpulan dan penyimpanan MSDS bahan produk Aventis Pharma dapat dilihat pada Lampiran 12.
4.4.4 Environment (Lingkungan Hidup)
Dalam bidang lingkungan, tanggung jawab HSE department adalah dalam hal:
a. Environmental Management System (EMS)
Meliputi seluruh sistem pendokumentasian standar lingkungan yang berada di PT Aventis Pharma Indonesia. Laporan implementasi Rencana Kegiatan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan lingkungan (RPL) disusun oleh perusahaan untuk dilaporkan ke Badan Pemeriksa Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) tiap 3 bulan sekali.
b. Environmental Risk Assessment (ERA)
Environmental Risk Assessment (ERA) merupakan program yang mencakup analisis dampak lingkungan hidup bagi seluruh karyawan PT Aventis Pharma. Program ini mencakup segala kegiatan dan aspek-aspeknya, fasilitas, dan lingkungan yang dapat memberikan dampak bagi kesehatan dan keselamatan karyawan.
c. Waste Management System
Merupakan usaha dalam pengelolaan sampah, dengan melakukan waste minimizing maupun reduction dengan cara eliminasi/reduksi, daur ulang, dan disposal (insinerasi atau ditanam). Limbah yang dihasilkan ini harus dikelola agar tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Jenis limbah dari PT Aventis Pharma adalah limbah padat, limbah cair, limbah suara, dan limbah gas. Alur penanganan limbah dapat dilihat pada Lampiran 13. Limbah padat ada dua macam, yaitu:
1. Limbah padat B3
Pengelolaan limbah padat B3 (misalnya hasil pemeriksaan laboratorium, produk expired, produk rejected, bahan padat yang kontak langsung dengan bahan
obat maupun obat jadi, dan debu obat dari dust collector), dilakukan oleh PPLI (Prasadha Pamunah Limbah Industri). Limbah tersebut disimpan di waste storage, kemudian dibawa ke PPLI setelah 90 hari.
2. Limbah padat non B3 (bahan berbahaya dan beracun)
Limbah padat non B3, misalnya sampah dari kantor, pengelolaannya adalah dengan dijual atau dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir oleh petugas seminggu 2 kali.
Limbah cair ada tiga macam, yaitu:
1. Limbah cair B3
Limbah cair B3 seperti limbah dari laboratorium berupa zat organik, anorganik, alkohol, asam, garam, juga dari TSD seperti NaOH untuk pembuatan purified water, air aki, dan sodium metabisulfit dikelola di PPLI. Limbah cair B3 disimpan dalam waste storage. Limbah cair B3 yang beratnya <50 kg/hari boleh disimpan lebih dari 90 hari, tetapi jika beratnya >50 kg/hari tidak boleh disimpan lebih dari 90 hari.
2. Limbah cair non B3
Limbah cair non B3 seperti limbah cair domestik (air cucian, septic tank, kantin, dan kantor) dikelola melalui IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) atau waste water treatment plant (WWTP), karena menurut peraturan pemerintah limbah cair harus diolah dulu sebelum dibuang.
3. Limbah cair berupa oli
Limbah cair berupa oli yang digunakan untuk perawatan kompresor dan genset disimpan dalam waste storage untuk kemudian dikirimkan ke pengolah limbah PT Nirmala Tipa. Pengolah limbah cair yang lain adalah PT Dongwoo, tapi PT Dongwoo juga mengirimkan limbah padat hasil olahannya ke PPLI sebagai satu-satunya pengolah limbah B3 maupun non B3 baik cair maupun padat. Menurut Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 582/1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Baku Badan Air Serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah DKI Jakarta dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta N0.299/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air Serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah DKI Jakarta, maka ditetapkan buangan limbah cair PT Aventis Pharma Indonesia
dibuang ke kali Sunter dimana peruntukannya adalah untuk pertanian dan usaha perkantoran. Buangan limbah cair tersebut sebelum dibuang harus diperiksa dan parameternya harus memenuhi persyaratan yang dapat dilihat pada Tabel 6.
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) atau WWTP (Waste Water Treatment Plant) digunakan untuk mengolah air (limbah cair non B3) sebelum dibuang ke lingkungan. Air yang berasal dari pabrik ini harus diolah terlebih dahulu karena masih mengandung zat-zat yang berbahaya yang dapat mencemari lingkungan. Bagan WWTP dapat dilihat pada Lampiran 14. Pada intinya, prinsip dari WWTP adalah sebagai berikut:
1) Limbah dari office building 1 dan 2 akan masuk ke dalam septic tank, kemudian airnya dialirkan masuk ke Collecting pit (CP) 1. Limbah dari Multi Purpose Building (MPB), Quality Control (QC), dan Workshop akan masuk septic tank, kemudian airnya dialirkan masuk CP 2. Limbah dari factory masuk ke dalam septic tank kemudian airnya dialirkan ke CP 3. Air dari CP 1, CP 2, dan CP 3 akan masuk dengan menggunakan switch level, jika tinggi permukaan cairan di masing-masing CP sudah mencapai batas maka pompa akan secara otomatis mengalirkan cairan ke equalization tank (di atasnya terdapat perforated screen/penyaring kotoran seperti daun, plastik, dan lain-lain).
2) Di equalization tank, dimana air dengan berbagai konsentrasi dan kondisi dari ketiga collecting pit tersebut mengalami ekualisasi sehingga parameter variatif dapat disetarakan untuk meringankan beban aerasi. Kapasitas equalization tank adalah 50 m3 dan aliran yang terjadi per harinya adalah 100 m3, proses ini memakan waktu 8 jam, sementara total pengolahan air adalah 24 jam.
3) Selanjutnya, air masuk ke dalam aeration tank dengan menggunakan switch level dimana terjadi aerasi untuk memberikan udara (oksigen) yang cukup bagi bakteri pengurai (sebagai syarat aerasi) dan menghilangkan bau. Dalam proses aerasi ini digunakan proses biologik aerobik dengan menggunakan bakteri aerob (pembiakan bakteri sebesar 50 m3yang dibiakkan dan dibiarkan selama kurang lebih 10 jam).
4) Selanjutnya aliran limbah menuju sedimentation tank. Bakteri yang mati, kotoran, tanah, partikel padat akan tersedimentasi (proses overflow tanpa pompa) menjadi sludge dan diendapkan dalam sedimentation tank yang berbentuk kerucut di dasar, sludge mengendap ke bawah sementara air bersih berada di atas. Dari sedimentation tank, air akan dialirkan ke clean water tank yang sebelumnya telah mengalami klorinasi dengan hipoklorit NaOCl 12%
untuk membunuh sisa bakteri yang belum tersedimentasi (kecepatan tetesan diatur) kemudian dialirkan ke sungai. Sebelum air dibuang ke sungai, harus dilakukan pemeriksaan BOD, COD, pH, total nitrogen, TSS (Total Suspended Solid), KMnO4, antibiotik, dan kadar fenol terlebih dahulu setiap 24 jam sekali. Pemeriksaan dilakukan menggunakan instrumen dan reagen khusus sesuai protap.
5) Sludge (lumpur) yang telah diendapkan dalam sedimentation tank akan masuk ke sludge tank dengan menggunakan pompa. Kemudian sludge dikeringkan dalam sludge drying bed. Sludge kering selanjutnya dibawa ke PPLI untuk proses lebih lanjut.
6) Khusus untuk limbah cair yang berasal dari sisa mencuci alat yang mengandung antibiotik dipisahkan, kemudian diproses terlebih dahulu dalam pre-treatment tank untuk merusak struktur molekul antibiotik sehingga tidak mengganggu proses aerasi karena antibiotik dapat membunuh bakteri yang ditumbuhkan dalam aeration tank.
4.5 Plant Logistic Department (Prosedur Tetap Plant Logistic, 2010) Plant Logistic Department ini terdiri dari 2 bagian, yaitu warehouse dan planning. Planning membawahi Inter-company Section, Export Section, dan External manufacturing Section. Plant Logistic Department di PT Aventis Pharma Indonesia ini dapat dipahami fungsinya sebagai departemen yang menjembatani komunikasi antara bagian produksi dan pemasaran. Plant Logistic Department bertugas untuk melakukan perencanaan pengadaan material yang akan dipakai pada proses produksi obat, penyusunan jadwal proses produksi di pabrik, dan mengendalikan persediaan bahan baku dan produk jadi yang ada di gudang. Tugas Plant Logistic adalah menerima forecast yang telah dibuat oleh bagian pemasaran
untuk kemudian dianalisis dengan mempertimbangkan prioritas, Plant Cycle Time, dan Track Record dari pemasaran, kemudian bersama bagian produksi menyusun rencana produksi. Demikian pula dengan pengadaan barang di gudang dibuat dengan dasar perkiraan (forecast) terhadap penjualan obat jadi atau distribusi obat jadi ke supplier atau Pedagang Besar Farmasi (PBF). Rencana produksi disusun berdasarkan kebutuhan pasar akan barang-barang, stok barang di gudang, dan berdasarkan jadwal penggunaan mesin untuk produksi obat lain.
Forecast dari pemasaran tidak diterima begitu saja oleh Plant Logistic, tetapi pemasaran harus memberikan presentasi dan argumen yang kuat berkaitan dengan forecast yang dibuatnya serta estimasi kemampuannya untuk memasarkan produk. Karena tidak selamanya forecast yang diberikan pemasaran disertai kemampuan untuk memasarkannya, perlu bagi Plant Logistic untuk menganalisis lebih lanjut. Jumlah permintaan berdasarkan forecasting sangat tergantung dari kegiatan pemasaran bulan itu misalnya sedang ada kegiatan sosial atau advertising dimana dimungkinkan jumlah penjualan besar yang harus ditunjang oleh produksi. Tetapi harus tetap dijaga untuk mencegah terjadinya over stock.
Forecast dari pemasaran tidak diterima begitu saja oleh Plant Logistic, tetapi pemasaran harus memberikan presentasi dan argumen yang kuat berkaitan dengan forecast yang dibuatnya serta estimasi kemampuannya untuk memasarkan produk. Karena tidak selamanya forecast yang diberikan pemasaran disertai kemampuan untuk memasarkannya, perlu bagi Plant Logistic untuk menganalisis lebih lanjut. Jumlah permintaan berdasarkan forecasting sangat tergantung dari kegiatan pemasaran bulan itu misalnya sedang ada kegiatan sosial atau advertising dimana dimungkinkan jumlah penjualan besar yang harus ditunjang oleh produksi. Tetapi harus tetap dijaga untuk mencegah terjadinya over stock.