• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informasi Spasial Daerah Potensi Banjir dan Curah Hujan

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR KAMPANYE PRIDE (Halaman 12-63)

Sumber : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2006.

1.3

Ekosistem Kemukiman Kueh, Lhonga, dan Leupung

Kemukiman Kueh, Lhoknga dan Leupung memiliki 5 tipe ekosistem yaitu :

1. Ekosistem hutan hujan tropis. Masyarakat setempat seringkali menyebut ekosistem ini sebagai ’kawasan hutan’. Hutan ini sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat karena masyarakat menggantungkan ekonomi keluarganya pada sumberdaya hutan seperti mencari madu, berburu, kulit kayu (kulit tenga), rotan, bahan obat-obatan dan sebagainya.

2. Ekosistem kebun. Masyarakat menamakan ekosistem ini sebagai Seunebok.

3. Ekosistem persawahan, yaitu ekosistem yang digunakan masyarakat untuk memproduksi hasil pertanian sawah yakni padi. Kawasan persawahan ini terdapat di luar pemukiman masyarakat tepatnya sebelum kita memasuki perkampungan. Pengusahaan padi dilakukan satu tahun sekali, karena sawah di sana masih merupakan sawah tadah hujan walaupun pada kenyataannya pada kedua wilayah kemukiman ini terdapat sungai yang mengalir sepanjang tahun, Kr. Geupu untuk kemukiman Leupung serta Kr. Raba untuk kemukiman Kueh dan Lhoknga. Namun setelah bencana alam tsunami hampir 90% sawah di lokasi target tidak dapat digunakan lagi.

4. Ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah kemukiman Leupung didominasi oleh tanaman bakau minyak dan nipah. Sebelum tsunami, ekosistem ini merupakan salah satu tempat mencari ikan, udang, tiram, kepiting dan kerang bagi masyarakat setempat. Setelah tsunami ekosistem mangrove yang ada telah mengalami kerusakan total.

5. Ekosistem pantai. Tanaman yang mendominasi ekosistem ini adalah cemara, ketapang, waru serta jenis tanaman ekosistem pantai pada umumnya. Ekosistem ini sebelum tsunami biasanya digunakan untuk berekreasi juga sebagian orang memanfaatkannya sebagai tempat untuk mencari ikan (menjala, tare’ek pukat dan memancing). Setelah tsunami aktifitas masyarakat yang memanfaatkan kawasan ini menjadi berkurang, namun untuk saat ini, kawasan pantai yang terdapat di kawasan Lhoknga sudah mulai dikunjungi lagi oleh masyarakat perkotaan dan juga para pekerja di berbagai organisasi yang terdapat di Aceh sebagai daerah tujuan rekreasi pada saat saat libur kerja.

Gambar 1. Kecamatan Lhoknga Sebelum Dan Sesudah Tsunami 26 Desember 2004

Gambar 3 di atas memperlihatkan kondisi Lhoknga dan Kueh, sebelum dan sesudah terjadinya tsunami. Gambar bagian atas menunjukkan kondisi sebelum tsunami. Gambar bagian bawah memperlihatkan kerusakan terhadap semua tipe ekosistem pasca bencana tsunami.

1.3.1 Keanekaragaman Hayati

Hutan hujan tropis di kawasan ini tidak saja memiliki vegetasi yang dimanfaatkan kayunya seperti meranti, tetapi juga memiliki beraneka tumbuhan obat. Aneka tumbuhan obat ini antara lain adalah sirih (Piper battle), Sisik naga (Drymoglossum piloselloisfera), dan sambung (Blumea balsamifera). Pada umumnya pemanfaatan kehati oleh masyarakat adalah hasil kayunya yang digunakan untuk bahan bangunan dan selebihnya adalah untuk kayu bakar. Ada beberapa jenis lainnya yang tidak dimanfaatkan kayunya seperti :

1. Ceradih (Sloetia elongate), yang dimanfaatkan buahnya

2. Aren (arenga pinnata), yang dimanfaatkan daun, buah dan juga batangnya. 3. Nawah (jarak), yang dimanfaatkan daun

4. Kayu tenga, yang dimanfaatkan kulitnya

Keanekaragaman satwa juga kita temukan di kawasan hutan tropis, antara lain kambing hutan sumatera (capricornis sumatraensis), harimau sumatera (panthera tigris), beo (Gracula religiosa), dan cempala kuneng (copsychus pirropygus). Cempala kuneng bahkan merupakan satwa jati diri Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pada ekosistem kebun, biasanya terdapat keanekaragaman jenis tumbuhan yang sengaja dibudidayakan oleh masyarakat. Ekosistem kebun ini dimanfaatkan oleh masyarakat dengan menanam berbagai macam jenis tanaman perkebunan, seperti buah-buahan (mangga, kelapa, pepaya, pisang, durian, langsat, manggis, kuini, cengkeh serta pinang) dan aneka tanaman palawija seperti cabe dan kacang hijau.

Untuk ekosistem persawahan pemanfaatannya terbatas hanya ditanami dengan satu jenis komoditi yaitu padi. Pengusahaan padi dilakukan satu tahun sekali, karena sawah di sana masih merupakan sawah tadah hujan. Kawasan target kampanye PeNA juga memiliki kekayaan keanekaragaman ekositem mangrove yang bervariasi. Ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah kemukiman Keuh, Lhoknga dan Leupung didominasi oleh tanaman bakau minyak dan nipah. Nipah biasa digunakan masyarakat untuk bahan baku rokok (daun nipah). Selain keanekaragaman tumbuhan yang dimiliki pada ekosistem mangrove ini juga terdapat keanekaragaman jenis satwanya seperti ikan, udang, tiram, kepiting dan kerang.

Selain berbagai keanekaragaman hayati yang terdapat pada berbagai ekosistem di atas, di kawasan target kampanye juga terdapat keanekaragaman hayati yang ada pada ekosistem pantai. Tumbuhan yang mendominasi ekosistem ini adalah cemara, ketapang, waru serta jenis tanaman ekosistem pantai pada umumnya.

Pasca tsunami, keanekaragaman hayati hanya dapat ditemui di ekosistem hutan hujan tropis. Ekosistem terumbu karang dan padang lamun diduga telah rusak total (Wetland International – Indonesia Program, 2005). Selain itu, satwa yang ada di kawasan

Pasca bencana tsunami dan penandatangan MoU Helsinky, konflik satwa dan manusia sudah mulai terjadi. Gangguan satwa mulai dialami oleh masyarakat yang menetap di kemukiman Kueh dan juga Leupung. Harimau Sumatera (panthera tigris) sudah mulai turun ke perkampungan memangsa ternak masyarakat.

Suasana damai serta peningkatan permintaan kayu pasca tsunami untuk kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh mendorong terjadinya peningkatan kegiatan manusia di dalam kawasan hutan, terutama kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan serta pembukaan lahan/hutan untuk berkebun dapat dipastikan akan berdampak pada timbulnya kerusakan habitat berbagai satwa liar. Gangguan yang terjadi dapat dilihat dari peningkatan jumlah ternak (kambing dan sapi) yang dimangsa serta jejak yang ditinggalkan oleh harimau di sekitar perkampungan.

1.4

Deskripsi Masyarakat

1.4.1 Demografi & Populasi

Kemukiman Kueh didiami oleh 7.203 jiwa, serta kemukiman Lhoknga memiliki jumlah penduduk sebanyak 7.865 jiwa. Sementara itu, penduduk di kemukiman Leupung sekitar 8.079 jiwa penduduk.

Penduduk Leupung berasal dari “gampong pande” yang terletak di kawasan pedalaman di bagian hulu sungai (krueng) Geupu. Oleh karena sering mengalami gangguan binatang buas, penduduk desa pande kemudian hijrah secara bertahap ke kawasan hilir Kr. Geupu yang berdekatan dengan kawasan pantai. Mereka membentuk perkampungan baru yang diberi nama Lamseunia. Dari desa Lamseunia inilah penduduk kemudian berkembang dan menyebar ke berbagai tempat lain di wilayah kemukiman Leupung dan pada saat ini telah terbentuk 6 desa dalam wilayah kemukiman ini. Setelah bencana tsunami melanda wilayah ini sebagian masyarakat yang tinggal di dekat pantai kembali pindah ke kawasan yang berdekatan dengan hutan. Hal ini dilakukan terutama oleh masyarakat yang berasal dari desa Meunasah Ba U dan Lamseunia. Perpindahan tempat tinggal ini dikarenakan areal pemukiman lama telah mengalami abrasi pantai dan penurunan permukaan tanah akibat gempa bumi dan bencana tsunami.

Penduduk yang berada di Kemukiman Kueh dan Lhoknga adalah penduduk asli daerah tersebut. Walaupun demikian, ada juga masyarakat yang merupakan pendatang dari daerah lain seperti dari Lhoong, Pantai Selatan dan Sigli. Para penduduk pendatang ini telah menetap dan berbaur dengan penduduk asli sejak puluhan tahun yang lalu.

1.4.2 Ekonomi

Sebelum terjadi bencana tsunami, masyarakat bekerja sebagai pedagang, buruh bangunan, petani, dan nelayan serta sebahagian kecil berprofesi sebagai pegawai negeri. Pasca bencana tsunami, sebagian besar dari mereka kehilangan mata pencaharian. Mereka melakukan apa saja untuk menopang kehidupan mereka, seperti misalnya mengumpulkan besi tua untuk dijual kembali. Hanya para pedagang, tukang (buruh bangunan) serta nelayan yang sudah mulai melakukan aktifitas usaha dan pekerjaan yang mereka tekuni. Sementara yang berprofesi sebagai petani belum bisa berusaha untuk menanam padi di areal persawahan mereka karena hampir semua lahan tertimbun oleh pasir pantai dan

sampah tsunami. Kegiatan bertani yang berlangsung saat ini adalah pengadaan berbagai jenis komoditi pertanian non-padi seperti cabe, jagung, jahe, semangka.

1.4.3 Budaya

Mayoritas penduduk di ketiga kemukiman yang menjadi wilayah kampanye Bangga berasal dari suku Aceh. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat mengunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Agama yang dianut oleh masyarakat adalah mayoritas Islam.

Kehidupan sosial budaya di kemukiman Kueh, Lhoknga dan Leupung masih dapat kita lihat dengan jelas. Antara satu individu dengan individu lainnya saling membutuhkan, saling menolong dan membantu. Kerja sama masyarakat dapat kita lihat bila di gampong ada yang meninggal. Pada suasana duka ini, semua masyarakat berkunjung ke rumah yang mendapat musibah untuk saling membantu. Para perempuan membantu dengan persiapan dan pekerjaan di rumah sedangkan bagi para laki-laki ada yang di rumah ada juga yang menggali kuburan. Begitu juga pada saat kenduri udeep1 mereka selalu bekerja bersama sama.

Pasca tsunami, sifat individualistis mulai bermunculan pada sebahagian kecil masyarakat terutama dalam upaya mencari serta mendapatkan bantuan pemulihan. Namun demikian, untuk kegiatan adat mereka masih mau untuk melakukan secara bersama-sama. Budaya-budaya (adat) yang ada di kemukiman Kueh, Lhoknga dan Leupung yang menunjukkan bahwa mereka saling bekerja sama atau bergotong royong seperti:

• Budaya Meurusa

Budaya Meurusa ini dimiliki hampir semua masyarakat yang ada di kawasan pinggiran hutan Aceh Besar. Budaya Meurusa adalah sebuah budaya yang dimiliki masyarakat dalam mencari atau berburu rusa. Dalam meurusa mereka mempunyai aturan-aturan yang harus dipatuhi mulai dari waktu berburu, berapa orang yang diperbolehkan ikut, dimana perburuan akan dilakukan sampai kepada berapa ekor rusa yang boleh diambil dalam setiap perburuan. Pada saat berburu dilakukan biasanya diketuai oleh seorang pawang (ketua).

• Keunduri Blang

Kenduri Blang adalah sebuah kenduri atau pesta rakyat yang dilakukan pada saat baru akan mulai turun ke sawah sampai panen selesai. Kenduri blang ini biasaya di pimpin oleh seorang ketua yang disebut dengan nama Keujrun Blang atau Ketua Sawah. Rangkai kenduri blang ini dimulai penentuan waktu tanam bibit sampai selesai panen yaitu pembukaan kembali pagar yang membatasi antara sawah dan kebun yang menjadi pintu keluar dan masuknya ternak keareal persawahan (pembukaan pagee rentang).

• Kenduri Laot

Kenduri laot sama juga halnya dengan kenduri blang, kenduri ini dilakukan untuk mensyukuri rahmat yang telah diberikan Allah S.W.T dan juga pada kenduri tersebut dibicarkan hal-hal yang berkaitan dengan lembaga adat Panglima Laot itu sendiri. Kenduri ini dipimpin oleh Panglima Laot beserta staf yang ada di lembaga tersebut. Pada acara

kenduri laot ini untuk makan-makannya mereka memotong atau menyembelih kerbau. Selanjutnya, kepala kerbau yang sudah disembelih ini akan dibuang ke laut sebagai supaya mendapatkan rezeki yang lebih banyak nantinya ketika mereka kembali lagi melaut.

• Kenduri Seunebouk

Kenduri Seunebok adalah kenduri yang dilakukan di kebun, biasanya dilakukan pada saat panen raya dan juga sewaktu akan melakukan penanaman perdana, misalnya pada saat mau tanam cabe.

• Gotong Royong Uro Jum’at

Gatong royong uro jum’at (gotong royong hari Jum’at). Kegiatan ini dilakukan hampir di semua gampong di Aceh Besar jika hari Jum’at karena biasanya pada hari tersebut masyarakat tidak ke hutan, ke sawah maupun ke laut dan pada hari Jum’at itulah mereka berkumpul.

1.4.4 Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Secara historis, di dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh juga terdapat kearifan lokal yang sejalan dengan prinsip prinsip pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Keberadaan pawang uteun, panglima laot, petua seunebok, keujruen blang serta haria peukan dalam kehidupan masyarakat Aceh merupakan bukti nyata akan adanya kearifan lokal dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh dalam pengelolaan sumberdaya alam (Sanusi MS, 2002).

1. Pawang Uteun merupakan Ketua Hutan yang sangat dihormati dan dihargai, serta selalu didengar. Pawang Uteun menjalankan serta mengawasi segala aturan yang mengatur tentang mekanisme pemanfaatan serta perlindungan hutan yang berada dalam wilayah hak kelolanya (biasanya dalam batasan wilayah kemukiman).

Prinsip prinsip pengelolaan yang dijalankan tetap memperhatikan aspek kelestarian hasil dan juga manfaat dari hutan itu sendiri, baik itu hasil hutan berupa kayu maupun hasil hutan non kayu. Perlindungan sistem penyangga kehidupan, pelestarian dan pengawetan serta pemanfaatan secara berkelanjutan yang merupakan 3 prinsip dasar konservasi telah diterapkan oleh masyarakat dengan segala kearifan yang mereka miliki walaupun mereka tidak mengenal istilah konservasi.

Pawang Uteun memiliki tugas dan wewenang yang antara lainnya adalah melakukan perlindungan terhadap sumberdaya hutan, mengatur waktu perburuan binatang, menjaga kelestarian padang meurabee (wilayah pengembalaan ternak), melindungi pohon yang menjadi tempat sarang lebah madu, menjaga pohon – pohon di sepanjang sungai, dan di samping itu pawang uteun juga berhak melarang penebangan di wilayah kelolanya.

2. Panglima Laot merupakan representasi kekuatan kepemimpinan adat di laut. Sampai saat ini, lembaga adat Laot masih mempunyai kekuatan dan pengakuan dari semua pihak. Lembaga Adat Laot mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan peraturan adat melaut seperti penentuan wilayah adat, waktu melaut, mekanisme penyelesaian sengketa, pengaturan tata cara penangkapan ikan, larangan-larangan penggunaan alat dan beberapa aturan lainnya yang berkaitan dengan aturan kegiatan melaut.

3. Petua seunebok merupakan ketua kebun. Tugas ketua kebun antara lain adalah mengatur, mengawasi pembuatan kebun, melakukan perencanaan dalam upaya pengembangan serta pemanfaatan kebun, juga menyelesaikan persengketaan yang terjadi di tingkat Seunebok.

4. Kejruen Blang merupakan ketua Sawah. Kejruen blang memiliki tugas serta wewenang untuk menentukan waktu dan mengkoordinir pelaksanaan turun sawah, mengkoordinir pelaksanaan gotong royong yang berkaitan dengan kegiatan persawahan seperti pembersihan parit dan juga saluran irigasi, membagi air di lokasi persawahan serta menegakkan aturan/adat yang telah disepakati dan ditetapkan bersama masyarakat.

Lahirnya UU no 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah menghilangkan beberapa fungsi dan peranan lembaga masyarakat yang ada (Sanusi MS, 2002). Penerapan undang-undang ini telah menyeragamkan sistem dan nama pemerintahan masyarakat lapisan bawah yang ada di setiap daerah (misalnya di Aceh terkenal dengan nama Gampong yang kemudian berubah menjadi Desa). Imum Mukim (Kepala Kemukiman) merupakan suatu contoh nyata akan penerapan UU tersebut, peranan dan otoritas Imum Mukim beserta struktural turunannya menjadi berkurang. Selanjutnya, peran ini dilaksanakan oleh Camat yang notabene merupakan pimpinan wilayah yang ditunjuk oleh Kepala Daearah/Bupati. Adanya penyeragaman ini memberikan kontribusi pada hilangnya keunikan daerah termasuk hilangnya budaya-budaya dan kearifan lokal.

Sebelum adanya UU no. 5 ini lembaga adat lokal yang ada di Aceh dapat mengatur pengelolaan sumberdaya alam dengan nilai-nilai yang ada seperti pengelolaan sumberdaya laut dengan lembaga adat panglima laot, begitu juga dengan lembaga adat Uteun dengan Pawang uteun nya. Prinsip-prinsip pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan sudah dikenal pada lembaga-lembaga adat tersebut namun dengan adanya penyeragaman ini semua kearifan lokal menjadi lumpuh bahkan hilang dan tidak berfungsi sama sekali dan semua peraturan berada di pemerintahan pusat.

Melemahnya kelembagaan adat pada masyarakat Aceh memberikan pengaruh besar pada kekuatan peran dan fungsi masyarakat dalam melakukan pengelolaan serta pengawasan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan. Sampai dengan tahun 1997 (runtuhnya rejim Orde Baru) kearifan lokal serta kemandirian masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam semakin luntur. Sayangnya pemerintahan berikutnya masih belum berhasil mengantisipasi kenyataan ini sehingga hilangnya kearifan tradisional terus berlangsung hingga saat ini.

Oleh karenanya, revitalisasi serta penerapan kembali Hukum Adat dipandang sebagai sebuah kebutuhan dalam penyelesaian masalah-masalah pelestarian alam di Nanggroe Aceh Darussalam. Kekuatan masyarakat dalam menjaga kearifan tradisional ini perlu dihidupkan kembali di masing-masing wilayah.

1.4.5 Situasi Politik

Situasi politik pada kawasan yang menjadi target kampanye pada umumnya tidak berbeda dengan situasi pada daerah lainnya di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada masa konflik bersenjata, daerah ini juga merupakan daerah yang dilanda konflik yang

oleh pasukan GAM sering terjadi. Masyarakat yang berkebun tidak bisa melakukan aktifitas kekebunnya, sehingga kebun yang mereka kerjakan ditinggalkan begitu saja dan tidak terurus. Banyak tanaman yang ditanam oleh masyarakat pada areal perkebunan mereka seperti cengkeh, durian, mangga serta buah buahan lainnya menjadi mati karena tidak terurus. Aktifitas masyarakat hanya dilakukan pada kawasan sekitar pemukiman penduduk. Masyarakat pun tidak berani untuk memasuki hutan terlalu dalam karena kuatir bertemu dengan pasukan bersenjata, baik dari TNI/POLRI mau pun GAM.

Pasca tsunami serta ditandatanganinya MoU antara pihak pemerintahan Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, secara perlahan kondisi keamanan semakin pulih. Masyarakat sudah kembali mengusahakan dan mengelola kawasan perkebunan yang mereka miliki guna mendapatkan penghasilan bagi pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Di sisi lain, perasaan aman dan damai, juga mendorong masyarakat untuk melirik hutan sebagai lahan yang potensi untuk dikelola sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Inilah kenyataannya, hanya nilai ekonomi kayu saja yang dilihat dan dijadikan alasan dalam pengelolaan dan pemandaatan hutan. Hal ini dapat merupakan ancaman terhadap kelestarian hutan di Aceh.

Suksesnya pelaksanaan PILKADA secara damai juga menimbulkan harapan baru bagi masyarakat Aceh. Masyarakat sangat mendambakan terciptanya perdamaian yang berkepanjangan di Bumi Serambi Mekkah. Perjanjian damai yang telah disepakati pada 15 Agustus 2005 di Helsinky menjadi tonggak bersejarah bagi masyarakat Aceh guna menuju kehidupan yang lebih bahagia, sejahtera dan bermatabat.

1.5

Konservasi Alam dan Kawasan Target

1.5.1 Sejarah dan Status Kawasan

Kawasan hutan yang terdapat di wilayah kemukiman yang menjadi lokasi target pelaksanaan program Kampanye Bangga (Kueh, Lhoknga dan Leupung) merupakan kawasan hutan lindung (SK Gubernur No 19 tahun 1999 tentang Arahan dan Fungsi Lahan Provinsi NAD). Hanya pada desa Lamseunia yang memiliki status kawasan hutan yang khusus serta diakui oleh masyarakat sebagai kawasan hutan ulayat (hutan adat).

1.5.2 Ancaman terhadap Kawasan

SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 284/Kpts-II/1999, menyatakan bahwa DAS Kr. Aceh dikelompokkan dalam prioritas DAS I sedangkan Kr. Geupu dan Kr. Raba termasuk ke dalam DAS Sabee-Geupu dan dikelompokkan kedalam prioritas DAS III yang membutuhkan penanganan segera dalam mengatasi ekstensifikasi lahan yang kritis dan tingginya erosi serta sendimentasi.

Namun demikian, kerusakan sumberdaya alam khususnya hutan yang disebabkan oleh kegiatan penebangan hutan, pembakaran hutan serta adanya pengambilan pasir sungai untuk tujuan komersial (Galian C) telah mengancam kelangsungan fungsi dari sungai ini. Bencana tsunami semakin memperparah kondisi hutan dan juga daerah aliran sungai ini. Secara umum, hampir semua badan air dan sumber air di Aceh mengalami kerusakan akibat materi dan polusi yang terjadi karena tsunami (Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Pulau Nias, 2005).

Untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami membutuhkan kayu gergajian 1.459.252 m3 atau equivalent dengan total kebutuhan kayu bulat 2.918.504 m3 (Rencana Induk Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Aceh & Nias, Buku II : Rencana Bidang SDA & LH). Peningkatan kebutuhan kayu telah berdampak pada semakin maraknya aktifitas illegal logging di Aceh. Walaupun secara legalitas saat ini tidak terdapat izin usaha sektor kehutanan yang beroperasi di Aceh, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada saat ini usaha pengergajian kayu marak tumbuh di seluruh wilayah Aceh. Rendahnya upaya penegakan hukum telah berkontribusi secara nyata pada semakin maraknya usaha dan kegiatan penebangan kayu secara illegal di Aceh.

Dari sisi kearifan tradisional, Pawang Uteun (ketua hutan) yang dulunya sangat dihormati dan dihargai, serta selalu didengar, saat ini tidak lagi memiliki peran sebagai pengambil keputusan. Ironisnya lagi pada saat ini sebagian besar masyarakat setempat tidak mengetahui kalau di wilayah tersebut ada yang namanya Pawang Uteun. Sementara itu, Panglima Laot sebagai lembaga adat laut walaupun masih dihargai dan dihormati, namun sebagai pengambil keputusan tidaklah memiliki kekuatan seperti saat dulu. Pasca tsunami, lembaga pawang laot mendapat perhatian khusus sehingga saat ini telah mengalami peningkatan fungsi serta peranannya dalam melakukan upaya pengelolaan sumberdaya laut sesuai dengan nilai-nilai serta kearifan lokal yang dimiliki para nelayan Aceh.

1.5.3 Program Konservasi Lain & Lembaga yang Terlibat

Program konservasi yang terdapat di wilayah ini, pada umumnya melaksanakan kegiatan rehabilitasi lahan, khususnya kawasan hutan akan tetapi lebih berpusat di kawasan hilir atau daerah pesisir. Adapun program yang dilakukan di wilayah ini antara lain adalah:

Green Coastal. Program rehabilitasi kawasan pantai yang melibatkan masyarakat

melaluli lembaga lokal yang telah ada, termasuk keterlibatan lembaga panglima laot, LSM lokal, pemda, BAPEDALDA dll. Program ini kerjasama WI-IP, WWF Aceh Program, Oxfam.

Aceh Forest and Environment Program. Program pemulihan serta pelestarian

ekosistem Leuser & ekosistem Ulu Masen. Program ini merupakan kerjasama antara Fauna Flora International serta Leuser International Foundation.

ESP USAID Aceh. Terkait dengan program ESP USAID Aceh, selain dukungan di dalam Kampanye Bangga, ESP USAID Aceh juga melakukan berbagai inisiatif, diantaranya adalah pembentukan forum DAS Kr. Aceh, penanaman di sekitar DAS Kr. Aceh dan DAS Kr. Geupu

Sedangkan PeNA sendiri, untuk wilayah ini lebih banyak melakukan kegiatan studi potensi pengembangan wisata alam serta persiapan intervensi konservasi pada kawasan hutan yang terdapat di Utara Barat Daya provinsi NAD dalam bentuk program pengembangan Zona Penyangga Produktif (Productive Buffer Zone) serta kegiatan investigasi dan monitoring kerusakan hutan terutama pasca tsunami bersama mitra jaringan Kelompok Kerja Advokasi Hutan Aceh. PeNA juga bekerjasama dengan bagian Service Delivery ESP dalam melakukan survei kepuasan pelanggan PDAM Tirta Daroy

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR KAMPANYE PRIDE (Halaman 12-63)

Dokumen terkait