• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KAWASAN KONSERVASI LAUT

5.4 Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

Pembatasan wilayah Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan dimulai dari pangkal rataan terumbu yang berupa garis pantai hingga ke ujung tubir terumbu, sehingga bentuk wilayahnya tidak begitu berbentuk persegi pada umumnya. Pada garis pantai, bentuk batas DPL mengikuti lekuk garis pantai dan pada wilayah tubir terumbu polanya mengikuti bentuk batas terumbu. Pemasangan tanda batas dengan pelampung dilakukan pada empat titik penempatan sehingga nantinya membentuk formasi persegi panjang. Pemasangan batas pelampung menggunakan dana yang diberikan untuk proses pembentukan Daerah Perlindungan Laut. Namun saat ini, hingga peneliti melakukan penelitian, batas-batas tersebut tidak nampak lagi karena dicabut oleh orang-orang yang tidak dikenal pada saat masyarakat tidak dalam penjagaan (saat masyarakat lokal tertidur). Batas-batas tersebut kemudian digantikan dengan batangan kayu panjang yang menancap di keempat titik tersebut.

Pembatasan wilayah DPL Yenmangkwan membuat perubahan pada wilayah tangkap nelayan Saporkren. Namun, sejak pembentukan DPL hingga saat ini tidak terjadi konflik yang besar terkait perubahan wilayah tangkap para nelayan. Hal ini dikarenakan masyarakatlah yang menjadi penentu dalam pembuatan batas-batas DPL. Adapun gambaran perubahan wilayah tangkapan nelayan Saporkren sebelum dan sesudah adanya DPL dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 10. Perubahan Wilayah Tangkap Nelayan Saporkren

Gambar 10 menggambarkan wilayah tangkap nelayan Saporkren sejak sebelum terbentuknya DPL dan setelah adanya DPL. Gambar tersebut diperoleh melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion) diantara masyarakat. Masyarakat berkumpul lalu menggambarkan pemataan wilayah tangkap mereka sebelum DPL dan setelah adanya DPL. Sebelum DPL terbentuk, nelayan bebas menangkap di seluruh wilayah laut khususnya bagian laut yang dekat dengan perkampungan. Namun setelah adanya DPL nelayan tidak dengan bebas melaut karena ada batasan yang tidak boleh dilanggar, dan para nelayan hanya bisa melaut di sekitar DPL dan bahkan akan menangkap di daerah yang lebih jauh misalnya di daerah Tanjung Pisang. Namun, jika terjadi angin kencang maka wilayah tangkap alternatif bagi nelayan adalah wilayah laut yang berdekatan dengan Pulau Urai.

5.4.2 Peraturan (Rules)

Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut tidak terlepas dari aturan-aturan yang diberlakukan. Sejak pembentukan DPL Yenmangkwan, masyarakat duduk bersama untuk mendiskusikan aturan yang akan ditetapkan sebagai peraturan dalam pengelolaan kawasan ini. Berdasarkan Perkam (Peraturan kampung) No. 001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM), adapun hal-hal yang dilarang untuk dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Pemboman ikan dan bius/potas 2. Penambangan karang dan pasir

3. Pembuangan limbah rumah tangga, industri, dan kapal 4. Reklamasi dan buang jangkar

5. Penebaran jala, pukat, atau sejenisnya 6. Memancing segala jenis ikan

7. Menangkap ikan dengan menggunakan alat panah/kalawai (tombak) 8. Pengambilan kerang-kerangan dan jenis biota lainnya

9. Menggunakan perahu berlampu (balobe) 10. Berjalan di atas terumbu karang

11. Mengambil biota laut yang dilindungi oleh undang-undang 12. Melintas di atas DPL

Berdasarkan keputusan bersama antara pihak Coremap II dengan masyarakat, peraturan nomor 12 saat ini tidak diberlakukan lagi dengan alasan area DPL adalah area bagi masyarakat untuk menuju Waisai ataupun sebaliknya. Apabila aturan tersebut tetap diberlakukan, masyarakat harus menempuh jarak yang lebih jauh. Oleh karena itu, siapapun berhak melintas di atas DPL tetapi tidak boleh melakukan aktivitas apapun.

Adapun kegiatan yang diperbolehkan di lokasi DPL yaitu : 1. Kegiatan penelitian ilmiah/pendidikan

2. Kegiatan pariwisata atau penyelaman terbatas

3. Kegiatan monitoring atau pengawasan oleh kelompok pengelola

5.4.3 Hak (Rights)

Hak nelayan Saporkren sebelum adanya Daerah Perlindungan Laut terdiri dari hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi, sedangkan untuk hak alienasi tidak dikenal di dalam masyarakat karena menurut masyarakat setempat, laut adalah milik bersama. Artinya, tidak ada satu orang pun yang berhak menjual atau menyewakan hak yang dimiliki masyarakat kepada orang lain diluar masyarakat setempat. Kemudian sejak adanya DPL, seperangkat hak nelayan mengalami sedikit perubahan yakni perubahan pada hak pemanfaatan, karena DPL telah ditetapkan sebagai zona inti dari Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan itu artinya DPL merupakan area larang ambil. Ketiga tipe hak lainnya yaitu hak untuk mengakses, mengelola, dan hak ekslusi tidak mengalami perubahan.

5.4.4 Kewenangan (Authority)

Sistem pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dikelola secara penuh oleh masyarakat, dengan asumsi masyarakat lokal yang lebih paham akan kondisi laut. Masyarakat memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola DPL dengan menerapkan kearifan lokal yang telah dipegang sejak zaman dahulu. Masyarakat

bersama pemerintah daerah bekerjasama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, artinya masyarakat juga memiliki kewenangan penuh untuk terlibat. Terkait sistem pengelolaan, adapula lembaga pengelola DPL yang dibentuk sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap DPL, yaitu MK (Motivator Kampung), LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang), dan Pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas). Ketiga lembaga tersebut dibentuk berdasarkan pemilihan masyarakat dan anggotanya adalah masyarakat Kampung Saporkren. MK (Motivator Kampung) berperan sebagai fasilitator masyarakat khususnya terkait program DPL, menjadi pemandu masyarakat dalam melaksanakan tahapan pengelolaan berbasis masyarakat di kampung, dan memberikan laporan pengelolaan DPL kepada SETO yang bertanggung jawab di tingkat distrik. Sedangkan LPSTK dan Pokmaswas di Kampung Saporkren digabung menjadi satu kesatuan yang beranggotakan lima orang dan bertugas sebagai pengelola di lapang atau langsung di area DPL, serta wajib memberikan laporan kepada MK terkait pengelolaan DPL.

5.4.5 Pengawasan (Monitoring)

Pengawasan dan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan diberikan kepada masyarakat lokal sebagai pemilik sumberdaya laut tersebut. Siapapun berhak mengawasi, tetapi tanggung jawab sepenuhnya diberikan kepada Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang sekaligus menjadi anggota LPSTK. Teknik pengawasan yang diterapkan di kampung Saporkren adalah patroli dengan menggunakan perahu oleh anggota Pokmaswas/LPSTK. Mereka menjalankan tugasnya baik pada siang hari maupun malam hari sesuai jadwal pengawasan yang telah disusun bersama. Biasanya petugas mengawasi DPL sekaligus mereka menangkap ikan di luar area DPL. Selain anggota LPSTK/Pokmaswas, masyarakat yang non-anggota juga mengawasi DPL. Cara masyarakat mengawasi adalah memantau dari kampung dan ketika mereka sedang menangkap ikan di laut.

Teknik pengawasan yang dilihat nampak sederhana tetapi cukup efektif dalam pengelolaan DPL. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden dinyatakan bahwa banyak kasus yang mereka temui terkait pelanggaran

aturan dan pelakunya adalah nelayan dari kampung lain atau anak-anak kecil yang tidak mengetahui akan keberadaan DPL. Bagi pelanggar aturan akan diberikan sanksi yang telah disepakati oleh masyarakat Saporkren.

5.4.6 Sanksi (Sanctions)

Terkait aturan yang telah ditetapkan dalam proses penjagaan DPL, apabila ada yang melanggar peraturan-peraturan tersebut, maka sanksi yang diberikan adalah teguran oleh Pokmaswas, dimana teguran ini berupa teguran I, II, dan III, oleh MK atau LPSTK sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh. Apabila tersangka telah mendapatkan tiga kali teguran dan tetap melakukannya maka sanksi yang lebih berat akan diberikan yakni diserahkan ke kantor polisi dan penyitaan alat tangkap.

Menurut responden, sejak ditetapkan peraturan untuk pengelolaan DPL, pelanggaran terhadap aturan tersebut tetap terjadi. Namun, hal itu lebih sering terjadi saat awal pembentukan DPL, khususnya bagi pihak yang kontra dan merasa hak mereka untuk menangkap ikan di DPL berubah secara drastis. Tindakan tersebut dianggap sebagai salah satu tindakan nelayan yang tidak menyetujui adanya Daerah Perlindungan Laut. Jika dibandingkan dengan intensitas pelanggaran di awal pembentukan DPL, saat ini sudah berkurang. Jika konflik terjadi hanyalah skala kecil, yaitu pelanggaran oleh nelayan dari kampung lain. Hal ini disebabkan oleh perubahan persepsi nelayan yang telah menerima keberadaan DPL Yenmangkwan. Apabila ada pelanggaran terjadi, pelakunya adalah nelayan dari kampung lain yang belum mengetahui keberadaan DPL. Salah satu kasus yang pernah dialami oleh salah satu responden, DS (29 tahun):

“…sa pernah dapat satu orang yang lagi tangkap ikan dengan jaring, terus sa pergi tegur dia dan lapor dia ke LPSTK di kampung. nelayan ini orang dari Waisai yang lagi ambil ikan pas di DPL, padahal waktu itu sa baru pulang jual ikan dari Waisai, baru sa dapat dia. Pace ini tara mau ikut tapi sa paksa dia untuk ikut ke kampung sini supaya dapat tegur sedikit dulu, habis tanda besar-besar begini masa da tara liat.”

Dokumen terkait