• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII PENUTUP

8.2 Saran

Saran yang dapat peneliti sampaikan terkait penelitian ini antara lain :

1. Peningkatan partisipasi seluruh masyarakat dalam pengelolaan DPL sehingga ketika Coremap II berakhir, masyarakat dapat mengelola secara berkelanjutan seperti penguatan kelembagaan, pengawasan, penegakan aturan, monitoring, dan evaluasi DPL.

2. Pemerintah daerah dan pemerintah kampung perlu mengupayakan kegiatan yang tetap menjamin terjadinya dampak positif dari pembentukan DPL dan meminimalkan dampak negatif misalnya dengan cara penguatan institusi yang didukung dengan regulasi yang tepat.

3. Perlu dilakukan penelitian secara berkala setiap satu tahun untuk mendapatkan data yang lebih lengkap dari pelaksanaan DPL serta dampak yang ditimbulkan baik dari segi ekologi, sosial, maupun ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, Dietriech G, editor. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding: Bogor 29 Oktober s/d 3 November 2001. Bogor [ID]: Pusat kajian sumberdaya pesisir dan lautan, IPB.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2001. Survai Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta [ID]: Biro Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik Raja Ampat. 2010. Kabupaten Raja Ampat Dalam Angka 2009. Kabupaten Raja Ampat [ID]: Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

[BPS] Badan Pusat Statistik Raja Ampat. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Raja Ampat 2009. Kabupaten Raja Ampat [ID]: Kabupaten Raja Ampat Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Coremap II. 2009. Data Creel: Laporan Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat [ID]: Coremap Raja Ampat.

2008. Baseline Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Raja Ampat. Jakarta [ID]: LIPI.

CRITC, LIPI. 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi Coremap II; Kasus Kabupaten Raja Ampat. Jakarta [ID]: LIPI.

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat. 2009. Profil Jejaring Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Pemda Raja Ampat [ID]: Kerjasama DKP dengan Pemda Raja Ampat.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta [ID]: UGM Press.

Huberman, A. Michael, dan Matthew B. Miles. 2009. Manajemen Data dan Metode Analisis, Handbook of Qualitative Research (Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar.

Ibrahim, Hasan. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten Lembata, NTT. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Kamarijah, Siti. 2003. Analisis Dampak Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Karim, M. 2005. Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan di Kawasan Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009. [Internet]. [dikutip 30 Januari 2011]. Dapat diunduh dari : http://www.scribd.com/doc/33204136/Kelautan-Dan-Perikanan-Dalam- Angka-2009.

Lee Won Jae. 2010. Pengaruh Periode Hari Bulan Terhadap Hasil Tangkapan dan Tingkat Pendapatan Nelayan Bagan Tancap di Kabupaten Serang. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Manoppo, Norma M. P. 2002. Kajian Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa, Suatu Pendekatan Cell Based Modeling. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Mustamin, Andi. 2003. Analisis Dampak Co-Manajemen Terhadap Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Nikijuluw, Victor P. H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. Jakarta [ID]: FERACO.

Pemda Raja Ampat. 2006. Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat. Raja Ampat [ID]: Kerjasama Pemda Raja Ampat dengan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kab. Raja Ampat.

Putra, Drama Panca. 2001. Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Penetapan Kawasan Konservasi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan. Tesis. Tidak dipublikasikan.

Ruddle, Kenneth, A. Satria. 2010. Managing Coastal and Inland Waters, Pre- existing Aquatic Management Systems In Southeast Asia. Germany [GM]: Springer.

Rumfaker, Maurits K. 2010. Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Saad, Sudirman. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Jakarta [ID]: Dian Pratama Printing.

Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta [ID]: PT. Pustaka Cidesindo.

2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Press.

Setianingsih, Anita 2010. Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mittiro Deceng, Kab. Pangkep, Provinsi Sulsel. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Singarimbun Masri, Sofian Effendi. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES.

Lampiran 1. Lokasi Penelitian

Peta Kabupaten Raja Ampat

Lampiran 2. Jumlah dan Luasan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Tahun 2009

Provinsi TNL (Taman Nasional Laut)

TWAL (Taman Wisata Alam Laut)

SML (Suaka Margasatwa Laut)

CAL (Cagar Alam Laut) KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah) CKKLD (Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah) DPL (Daerah Perlindungan Laut) SUAKA PERIKANAN

Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha)

Jumlah Luas (Ha)

Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah- Total 7 4.045.049 18 767.610 7 339.218 9 274.215 24 3.155.572 19 13.591.406 2 2.086 3 453 Nanggroe Aceh Darussalam 2 231.400 1 50.000 1 1.518 Sumatera Barat 1 39.900 4 51.276 Riau 1 66.867 Bengkulu 1 36.000 Lampung 1 13.735 1 96.061 Kep. Bangka Belitung 1 662.794 Kep. Riau 3 589.505 1 400.000 DKI. Jakarta 1 107.489 Jawa Barat 1 1.228 1 90 3 2.320 1 720 1 27.663 Jawa Tengah 1 111.625 1 6.800 1 12 Jawa Timur 1 370 Banten Bali 1 101.784

Provinsi TNL (Taman Nasional Laut)

TWAL (Taman

Wisata Alam Laut)

SML (Suaka Margasatwa Laut) CAL (Cagar Alam Laut) KKLD(Kawasan Konservasi Laut Daerah) CKKLD(Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah) DPL(Daerah Perlindungan Laut) SUAKA PERIKANAN

Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumla h Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Nusa Tenggara Barat 3 11.554 2 49.557 1 1.317 1 71 Nusa Tenggara Timur 3 119.350 1 2000 1 21.850 1 11.000. 000 Kalimantan Barat 1 77.000 1 15.300 1 186.643 Kalimantan Timur 1 280 1 220 2 1.321.40 7 1 2.095 Kalimantan Selatan 1 22.099 Sulawesi Utara 1 89.065 2 1.624 1 769 Sulawesi Utara* 1 41.227 Gorontalo 1 2.460 Sulawesi Tengah 1 362.605 3 389.320 Sulawesi Selatan 1 530.765 Sulawesi Tenggara 1 1.390.000 3 167.800 2 30.936 Maluku 3 13.098 1 2.000 2 116.50 0 Papua Barat 3 65.278 1 26.796 1 644.678 Papua 1 1.453.500 1 183.000 1 271.630 1 62.660 1 900.000 Sumber : KKP (2009)

Lampiran 3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 Kegiatan

Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan proposal skripsi Kolokium Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian

Lampiran 4. Kerangka Sampling

No. Nama Keterangan No. Nama Keterangan

1. OS 29. SS * 2. DM * 30. PK 3. EO 31. JD * 4. HS * 32. KS * 5. RS * 33. FD 6. YD 34. JW * 7. YM * 35. NM * 8. YD * 36. JD 9. SM * 37. AD * 10. TD 38. YM * 11. YM * 39. YM * 12. LM 40. YW * 13. AM * 41. MM * 14. DS * 42. PD * 15. HS * 43. YM 16. MM * 44. FS 17. HM * 45. LM * 18. BM 46. PD * 19. MM * 47. RM 20. AM 48. LS * 21. SS * 49. YM 22. EW * 50. AM * 23. AM * 51. SM 24. YB * 52. NM * 25. YM 53. SM * 26. ES * 54. MS * 27. FM * 55. DD 28. MR * 56. MM * Keterangan : * = Responden

Lampiran 5. Daftar Responden

No. responden Nama responden Usia

1. YB 42 2. LS 45 3. DM 42 4. FS 59 5. SS 42 6. AM 25 7. HS 30 8. DS 29 9. AD 26 10. MM 35 11. SM 50 12. EW 38 13. JW 39 14. LM 32 15. YD 33 16. MM 39 17. YM 39 18. YM 30 19. AM 55 20. AM 53 21. PD 67 22. YM 55 23. JD 28 24. SS 37 25. MS 26 26. NM 41 27. ES 28 28. SM 56 29. RS 35 30. MM 32 31. YW 26 32. YM 39 33. NM 25 34. MM 34 35. HM 36 36. FM 27 37. MR 50 38. PD 52 39. KS 42

Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian Kampung Saporkren Darmaga Poliklinik Kantor Kampung Toilet Umum Sumur Umum

Perahu Katingting

Proses Pembuatan Perahu

Nelayan Bersiap Melaut

Nelayan Menggunakan Perahu Dayung

Posisi Perahu Saat Tidak Digunakan

Proses Pengecatan Perahu

Pancing Nilon Dasar

Pancing Nilon Tonda Tipe 1

Mesin Perahu Katingting

Pancing Nilon Pompa

Pancing Nilon Tonda Tipe 2

Responden Saat Melaut

Responden Setelah Melaut

Hasil Tangkapan Ikan Gutila

Hasil Tangkapan Ikan Cakalang dan Ikan Geropah

Hasil Tangkapan Ikan Tenggiri (5KG)

Hasil Tangkapan Satu Kali Melaut

Ikan yang dijual Pertali

Peta DPL Yenmangkwan

Lokasi DPL dilihat dari Perkampungan

Gambaran Berbagai Kegiatan LPSTK Nelayan yang Melaut

Gambaran Rangkaian Kegiatan Pengelolaan DPL

Bukti Pengesahan DPL Yenmangkwan

Tiang Pembatas DPL Yenmangkwan

Dokumentasi Penandatangan Bukti Persetujuan oleh Masyarakat

Pondok Informasi DPL Yenmangkwan

Peraturan Kampung Pengelolaan DPL Yenmangkwan

Bersama Masyarakat dan Pengurus LPSTK, MK, dan Pokmaswas

ABSTRACT

NOVITA RANDAN. IMPACT ANALYSIS OF MARINE CONSERVATION

AREAS ESTABLISHMENT ON THE FISHERS SOCIO ECONOMIC

CONDITION (In Case of Marine Protected Areas (MPAs) Saporkren Village, Waigeo Selatan District, Raja Ampat Regency, West Papua ). Under supervision by ARIF SATRIA.

Damage to coastal and marine resources in Indonesia leads to a conservation effort for ecosystem sustainability. Marine Protected Areas (MPAs) are established with the aim to protect marine ecosystems within and ensure the welfare of fishers living around the area. When MPAs are formed it will have an impact on limiting the rights of fishers and fishers fishing area changes, and also affect on the catch of fishers and their income.

The goals of this research are to, (1) analyze the impact of MPA establishment against bundles of fishers’s rights, (2) analyze the impact of MPA establishment towards the income level of fishers. Results show that, (1) the establishment of MPA causes a change in the second type rights of fishers which is utilization type, while the access rights, management rights, and exclusion rights are retained by the fishers, (2) The establishment of marine protected areas give a positive effect on the income of fishers . Most of the fishers stated that the catch and their income increased since the establishment of MPA, caused by major increase of the fish quantity, which allowed fisherscatches fish more easily. Keywords: Marine Protected Areas (MPAs), bundles of rights, fishers response, revenue

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Data Kelautan dan Perikanan Tahun 2009 menunjukkan luas daratan Indonesia adalah 1,9 juta km persegi, sedangkan luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km persegi. Luasan ini terdiri dari luas perairan kepulauan sebesar 2,3 juta km persegi, luas perairan teritorial 0,8 juta km persegi, dan luas perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar 2,7 juta km persegi. Selain itu terdapat pula 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (KKP 2009), beserta kekayaan sumberdaya di dalam laut maupun kawasan pesisir. Kekayaan sumberdaya laut dan pesisir yang dimiliki negara kita Indonesia pun mendapat tantangan bagi keberlanjutan di masa mendatang, akankah tetap terjaga kelestariannya atau justru mengalami penurunan atau kerusakan ekosistem di dalam laut dan pesisir.

Keindahan dan kekayaan sumberdaya baik sumberdaya yang dapat pulih dan sumberdaya tak dapat pulih yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini menjadi salah satu pendukung adanya penetapan kawasan konservasi laut. Hal ini diperkuat dengan salah satu tujuan dari penetapan kawasan konservasi yakni melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses ekologi. Ketika kelestarian sumberdaya alam tercapai dan terjadi keseimbangan ekosistem maka dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Undang-Undang Konservasi Hayati Tahun 1990 pasal 3 dikutip oleh Hardjasoemantri 1991). Selain itu, menurut Bengen (2000) dikutip Putra (2001), tujuan konservasi yaitu melindungi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologi di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan tetap dipertahankannya produksi bahan makanan dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan. Demi tercapainya kelestarian sumberdaya alam laut, maka salah satu langkah yang dianggap tepat adalah penetapan Kawasan Konservasi Laut (KKL), dengan anggapan bahwa ketika para pengguna sumberdaya laut dibatasi hak dan wewenangnya atas potensi laut dan

pesisir, maka upaya memperkecil terjadinya kerusakan sumberdaya laut dapat tercapai.

Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan kawasan perairan yang dilindungi, dikelola melalui sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Sistem KKL di Kabupaten Raja Ampat adalah sistem Kawasan Konservasi Laut Daerah yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang KKLD Raja Ampat dan salah satu zona inti dari KKLD ini adalah Daerah Perlindungan Laut (DPL). DPL adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya laut (Coremap II 2009). Namun menjadi hal penting yang harus diperhatikan adalah dampak dari penetapan kawasan konservasi laut, dalam hal ini yakni DPL terhadap masyarakat atau nelayan yang berada di sekitar kawasan tersebut. Masyarakat pesisir atau nelayan telah menggantungkan hidup mereka pada sumberdaya laut di sekitar mereka dan telah berlangsung turun temurun. Artinya bahwa mereka berhak pula mengatur dan mengelola sumberdaya pesisir dan laut di kawasan konservasi.

Kebijakan penetapan kawasan konservasi yaitu DPL terkadang mengundang kontroversi, terutama berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan. Pro dan kontra di kalangan masyarakat pesisir pun terjadi. Sebagian nelayan beranggapan bahwa dengan adanya Daerah Perlindungan Laut (DPL) akan berdampak terhadap menurunnya pendapatan nelayan karena tertutupnya sebagian area penangkapan ikan (fishing ground) mereka dan hak-hak mereka menjadi terbatas untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Tetapi ada pula yang mendukung penetapan kawasan ini, dengan asumsi akan terjadi keberlanjutan bagi ekosistem pesisir dan laut, serta akan berpengaruh terhadap kesejahteraan nelayan. Hal inilah yang akan diteliti dalam penelitian ini, dengan menganalisis bagaimana dampak yang dirasakan oleh nelayan sekitar kawasan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan, apakah terjadi peningkatan pendapatan setelah ditetapkannya DPL ini atau justru mengalami penurunan karena keterbatasan hak, dan apakah terjadi perubahan hak-hak nelayan atas sumberdaya yang ada.

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, disusunlah dua rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan?

2. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan.

2. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya adalah :

1. Bagi akademisi

Tulisan ini dapat menambah literatur bagi akademisi dalam mengkaji masalah pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berkelanjutan dan dampaknya bagi seperangkat hak nelayan dan tingkat pendapatan nelayan. 2. Bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan

Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsi dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang relevan terhadap penetapan Daerah Perlindungan Laut dan pengelolaan yang menjamin keberlanjutannya serta secara jelas mengetahui berdasarkan data kuantitatif tentang manfaat ekonomi keberadaan KKL bagi masyarakat nelayan setempat.

3. Bagi Masyarakat Pesisir

Penelitian ini diharapkan menjadi pedoman bagi nelayan dalam mengelola Daerah Perlindungan Laut (DPL) dengan kemampuan dan potensi masyarakat setempat.

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konservasi

Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk dilakukan dalam melindungi ekosistem dan sumberdaya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi yang bertujuan melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses- proses ekologi. Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi; Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan (SP). Tujuan dari penetapan kawasan konservasi yang tertera dalam pasal 3 Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH Tahun 1990) yang dikutip oleh Hardjasoemantri (1991) adalah sebagai berikut:

“Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”.

Hingga Tahun 2009, jumlah KKL di Indonesia berjumlah 89 dengan luas keseluruhan adalah 22.175.609 ha. Jumlah dan luasan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Indonesia Tahun 2009 secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2.

2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001):

1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem.

2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika.

4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir dan laut, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas menusia terhadap keanekaragaman hayati laut. 5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan

konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Pada pasal empat dari UUKH Tahun 1990 dinyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Artinya bahwa pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk masyarakat. Namun dalam kenyataannya, yang lebih berwenang adalah pihak pemerintah baik pusat maupun daerah yang menyatakan dirinya sebagai pihak yang mencetuskan dan pemilik kawasan konservasi sedangkan masyarakat terbatas dalam hal pengelolaan. Mengingat pentingnya kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara khusus masyarakat lokal maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi. Hal ini nantinya akan berimplikasi dalam penerapan proses konservasi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring.

2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi

Sistem zonasi kawasan konservasi adalah pembagian wilayah di dalam kawasan menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka mencapai tujuan

pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya (DEPHUT 1995 dikutip Manoppo 2002).

Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Bengen (2001), secara umum zona-zona di kawasan konservasi dikelompokkan menjadi tiga zona yaitu:

1. Zona inti atau zona perlindungan: habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi oleh karena itu zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas manusia khususnya mengeksploitasi.

2. Zona penyangga: zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang mengganggu dan melindungi kawasan dari pengaruh eksternal.

3. Zona pemanfaatan: lokasi ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi.

Penetapan zonasi di atas hampir berlaku di seluruh kawasan konservasi di Indonesia walaupun ada kawasan yang memiliki batas zonasi lebih dari ketiga zona di atas. Ketika penetapan zonasi dilakukan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan adalah komunitas lokal atau masyarakat pesisir yang beroperasi di zona-zona tersebut. Banyak kasus dilapangan membuktikan, area yang sering dilalui nelayan lokal harus di ambil dan dijadikan zona terlindungi bahkan nelayan tersebut tidak boleh melintas atau beroperasi di area tersebut. Padahal area yang termasuk zona terlindungi merupakan area yang sudah sejak lama mereka manfaatkan dan kelola. Hal ini lah yang justru menimbulkan konflik, sehingga ketika penetapan zonasi harus melibatkan peran masyarakat lokal guna meminimalisir konflik yang akan terjadi.

2.1.2 Daerah Perlindungan Laut

2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL

Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai area larang ambil (no take zone area) dan dikelola oleh masyarakat lokal (Coremap II 2009). Daerah Perlindungan Laut yang yang dikelola oleh masyarakat lokal disebut DPL-BM (Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat). DPL-BM merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Demikian pula kegiatan manusia di dalam kawasan DPL-BM diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan, dan larangan kegiatan tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan kampung (Coremap II 2009).

Prinsip dasar dari DPL adalah zona larang ambil bersifat permanen dan tidak untuk dibuka pada waktu-waktu tertentu. Daerah Perlindungan Laut dimaksudkan untuk :

1. Mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya bagi terumbu karang dan mangrove (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010)

2. Melindungi spesies langka dan habitatnya, serta mempertahankan produksi perikanan (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 3. Dapat merehabilitasi/menjaga sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak

(Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)

4. Mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan perekonomian/pendapatan bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)

5. Mendidik masyarakat lokal dalam hal perlindungan laut/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat (Coremap II 2009)

DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin

mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan kepada terumbu karang dan organisme laut lainnya yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Nantinya kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi, menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan-ikan untuk hidup, makan, tumbuh, dan berkembang biak.

Sumber : DKP Raja Ampat (2009)

Dokumen terkait