• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dampak penetapan kawasan konservasi laut daerah kondisi sosial ekonomi nelayan (kasus daerah perlindungan laut kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis dampak penetapan kawasan konservasi laut daerah kondisi sosial ekonomi nelayan (kasus daerah perlindungan laut kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)"

Copied!
254
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo

Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)

NOVITA RANDAN I34070095

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

NOVITA RANDAN. IMPACT ANALYSIS OF MARINE CONSERVATION

AREAS ESTABLISHMENT ON THE FISHERS SOCIO ECONOMIC

CONDITION (In Case of Marine Protected Areas (MPAs) Saporkren Village, Waigeo Selatan District, Raja Ampat Regency, West Papua ). Under supervision by ARIF SATRIA.

Damage to coastal and marine resources in Indonesia leads to a conservation effort for ecosystem sustainability. Marine Protected Areas (MPAs) are established with the aim to protect marine ecosystems within and ensure the welfare of fishers living around the area. When MPAs are formed it will have an impact on limiting the rights of fishers and fishers fishing area changes, and also affect on the catch of fishers and their income.

The goals of this research are to, (1) analyze the impact of MPA establishment against bundles of fishers’s rights, (2) analyze the impact of MPA establishment towards the income level of fishers. Results show that, (1) the establishment of MPA causes a change in the second type rights of fishers which is utilization type, while the access rights, management rights, and exclusion rights are retained by the fishers, (2) The establishment of marine protected areas give a positive effect on the income of fishers . Most of the fishers stated that the catch and their income increased since the establishment of MPA, caused by major increase of the fish quantity, which allowed fisherscatches fish more easily.

(3)

RINGKASAN

NOVITA RANDAN. ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat) (Di bawah bimbingan ARIF SATRIA)

Indonesia dikenal dengan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki sumberdaya laut dan pesisir yang melimpah. Jutaan penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut yang ada. Kesejahteraan masyarakat terjamin apabila kelestarian pesisir dan laut tetap dijaga, tetapi akan mengancam jika sumberdaya yang dimiliki rusak. Salah satu upaya yang dianggap dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya tersebut adalah penetapan suatu kawasan konservasi laut.

(4)

DPL Yenmangkwan merupakan salah satu DPL yang dikembangkan oleh Kabupaten Raja Ampat melalui sistem pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), dan berada di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Kondisi karang dan ikan karang diharapkan dapat terjaga bahkan meningkat dengan upaya konservasi melalui pembentukan DPL. Disamping untuk keberlanjutan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain berdampak positif terhadap kesejahteraan nelayan.

Penelitian ini diawali dengan mengumpulkan data dari responden dengan menggunakan kuesioner. Peneliti melakukan survai pada 39 responden terkait respon mereka terhadap pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Yenmangkwan. Survai menunjukkan bahwa hampir seluruh nelayan memiliki respon yang positif terhadap DPL, artinya nelayan menyetujui adanya pembentukan kawasan tersebut. Hal ini didukung dengan minimnya konflik sejak pembentukan DPL diantara masyarakat dengan pihak penanggung jawab DPL.

(5)

dukungan positif oleh tokoh-tokoh masyarakat termasuk tokoh agama sebagai penanggung jawab dari sistem pengelolaan Sasi.

(6)

ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo

Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)

Oleh :

NOVITA RANDAN I34070095

SKRIPSI

Sebagai Prasyarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(7)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Novita Randan

NIM : I34070095

Judul Proposal Skripsi

: ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN

(Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

(8)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL “ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN

KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (KASUS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT KAMPUNG SAPORKREN, DISTRIK WAIGEO SELATAN, KABUPATEN RAJA AMPAT, PAPUA BARAT)“ BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

BOGOR, AGUSTUS 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Novita Randan atau sering dipanggil Novi, dilahirkan di Nabire, Papua pada tanggal 03 November 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Yohanis Randan dan ibu Ruth. Pendidikan yang telah ditempuh adalah taman kanak-kanak selama satu tahun di TK Maranatha Nabire pada Tahun 1994 -1995, sekolah dasar selama enam tahun di SDN Inpres Oyehe Nabire pada Tahun 1995-2001, sekolah menengah pertama selama tiga tahun di SMPN 01 Nabire pada Tahun 2001-2004, dan sekolah menegah atas selama tiga tahun di SMAN 01 Nabire pada Tahun 2004-2007. Kemudian pada Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah IPB (BUD). Penulis merupakan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).

Penulis mulai mengikuti kegiatan organiSasi diantaranya OSIS dan Pramuka sejak berada di sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas. Kemudian selama di bangku kuliah, penulis juga aktif dalam UKM Kristen dan OMDA Papua serta pernah mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis juga pernah meraih prestasi sebagai juara pertama olimpiade kimia SMA tingkat Kabupaten, juara harapan dua lomba menyanyi tingkat Kabupaten, dan mendapat juara dua kategori solo dalam acara festival musik PMK-IPB Tahun 2011.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan penyertaan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi berjudul ”ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penetapan kawasan konservasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan. Tujuan lainnya ialah untuk menganalisis pengaruh DPL terhadap tingkat pendapatan nelayan.

Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2011

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis naikkan pada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan penyertaan-NYA, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah membimbing, memberikan saran, koreksi, pemikiran, dan bantuan materiil sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan .

2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen ujian petik yang telah

memberikan saran dalam penulisan skripsi penulis.

3. Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, Ms dan. Ir. Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji dalam sidang skripsi penulis yang telah memberikan saran dan kritikan bagi penulisan skripsi penulis.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah mengajar dan mendidik penulis. 5. Orangtua tercinta yang telah memberikan dukungan, doa, kasih sayang, dan

perhatian bagi penulis. Sangat mencintai kalian.

6. Seluruh sanak saudara (k’ Markus sekeluarga, k’ Ida sekeluarga, k’ Panus sekeluarga, k’ Mesak, k’ Feri, k’ Tina sekeluarga, dek Ima, dek Nolin, dek Silva, om Gunadi sekeluarga) yang telah memberikan dukungan, doa, kasih sayang, dan perhatian penuh bagi penulis.

7. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menuntut ilmu di IPB.

(12)

9. K’ Esma, k’ Maurits, k’ Adi, k’ Herlin, k’ Bun, k’ Yuni, k’ Carla, dan k’ Daud sekeluarga yang telah memberikan pertolongan, dukungan, dan informasi selama penulis melakukan pengumpulan data.

10. Tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh masyarakat Saporkren yang bersedia memberikan informasi dan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian.

11. Bapak Pdt. Daniel S. Koamesakh sekeluarga, Bpk. A. Sinaga sekeluarga, Bpk. Jeksen Simanjutak sekeluarga, Bpk. Shandy sekeluarga, Bpk. Suhendra sekeluarga, beserta tim pengerja GBI Ciomas yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang senantias memberi dukungan doa dan memotivasi penulis. 12. Rekan pelayan GBI Ciomas (k’ Nofa, k’ Isak, k’ Dial, k’ Jefri, k’ Rini, k’

Sarah, k’ Bagus, k’ Rheiner, David, Bensa, Connie, Angeline, Glory, Eka, Beatrick, Ikral, Well, Aftian, Andreas, Anna, Angel, Markus, Frisca, Versi, Helen, Ovie, Puyun, Dewi, Horas, Devi, Desi, Putri, Susi, dan semua yang belum sempat disebut satu persatu) yang tak pernah lelah memberikan motivasi, semangat, kritikan yang membangun, dan doa. Sangat menyayangi kalian.

13. Sahabatku, Reni dan Leni yang memberikan motivasi, dukungan doa, dan mau menjadi teman berbagi perasaan dan pengetahuan saat suka maupun duka. Tak akan pernah terlupakan kebersamaan kita.

14. Teman sepembimbingan (Helmi, Diah, Ume, Yochan, Maya, k’ Ratna) yang memberi saran dan mau bertukar pikiran dengan penulis.

15. Semua teman KPM 44 yang kurang lebih tiga tahun telah bersama dalam suka dan duka menjalani aktifitas sebagai mahasiswa yang saling memberikan semangat, dan kerjasamanya selama ini.

16. Christin dan Vlorent yang mau menjadi sahabat dan tempat mencurahkan isi hati selama di KPM.

17. Semua teman-teman BUD dari Nabire yang memberikan semangat dan doa. 18. Teman-teman kosan perwira 77 yang mau memberikan dukungan buat

(13)

19. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian

skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua yang membaca dan semoga kesuksesan saya dapat membanggakan bagi Tuhan, keluarga, dosen, agama, teman, dan sahabat-sahabatku.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Kegunaan Penelitian ... 3

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 5

2.1 Tinjauan Pustaka ... 5

2.1.1 Konservasi ... 5

2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi ... 5

2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi ... 6

2.1.2 Daerah Perlindungan Laut ... 8

2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL ... 8

2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) ... 9

2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ... 10

2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL ... 12

2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat ... 12

2.1.4 Hak Kepemilikan ... 13

2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir ... 15

2.1.5.1 Pendapatan ... 17

2.1.6 Sikap ... 17

2.2 Kerangka Pemikiran ... 18

2.3 Hipotesis ... 21

2.4 Definisi Konseptual ... 21

2.5 Definisi Operasional ... 22

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ... 25

3.1 Lokasi dan Waktu ... 25

3.2 Teknik Pengumpulan Data... 25

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 28

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ... 30

4.1 Kondisi Geografis ... 30

4.1.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat ... 30

4.1.2 Konteks Kampung ... 31

4.2 Kondisi Demografi ... 33

4.2.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat ... 33

(15)

4.3 Kondisi Ekonomi... 34

4.4 Kondisi Sosial ... 36

4.4.1 Tingkat Pendidikan ... 36

4.4.2 Budaya/Tradisi ... 37

4.4.3 Kelembagaan Desa ... 38

4.5 Potensi Pesisir dan Kelautan ... 39

4.5.1 Perhubungan ... 39

4.5.2 Sarana dan Prasarana ... 39

4.5.3 Sumberdaya Perikanan Tangkap ... 40

4.5.4 Terumbu Karang... 41

4.6 Karakteristik Responden ... 41

4.6.1 Jenis Kelamin Responden ... 41

4.6.2 Tingkat Usia Responden ... 42

4.6.3 Tingkat pendidikan Formal Responden ... 43

BAB V KAWASAN KONSERVASI LAUT ... 44

5.1 Keanekaragaman Hayati Raja Ampat ... 44

5.1.1 Terumbu Karang... 45

5.1.2 Ikan Karang ... 46

5.1.3 Hutan Mangrove ... 48

5.1.4 Padang Lamun ... 48

5.1.5 Hutan Rawa ... 49

5.1.6 Bahan Galian Tambang ... 49

5.1.6.1 Nikel ... 49

5.1.6.2 Minyak Bumi dan Gas ... 49

5.2 Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat ... 50

5.2.1 KKLD Kepulauan Kofiau-Boo ... 51

5.2.2 KKLD Misool Timur Selatan... 52

5.2.3 KKLD Selat Dampier ... 53

5.2.4 KKLD Kepulauan Ayau-Asia ... 54

5.2.5 KKLD Kawe/ Sayang Wayag ... 55

5.2.6 KKLD Teluk Mayalibit ... 56

5.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL) ... 57

5.3.1 Sosialisasi Awal Pembentukan DPL ... 58

5.3.2 Survei Lokasi Calon DPL dan Penentuan Lokasi DPL ... 59

5.3.3 Penetapan DPL ... 59

5.4 Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut ... 60

5.4.1 Batasan Wilayah (Territorial Boundary) ... 60

5.4.2 Peraturan (Rules) ... 61

5.4.3 Hak (Rights) ... 62

5.4.4 Kewenangan (Authority) ... 62

5.4.5 Pengawasan (Monitoring) ... 63

5.4.6 Sanksi (Sanctions) ... 64

BAB VI DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI SOSIAL NELAYAN ... 65

6.1 Analisis Stakeholder ... 65

(16)

6.1.2 Coremap ... 66

6.1.3 Masyarakat ... 69

6.2 Sikap Masyarakat Terhadap Penetapan DPL ... 71

6.3 Dampak DPL terhadap Seperangkat Hak (Bundles of right) Nelayan ... 73

6.3.1 Sebelum adanya DPL ... 74

6.3.2 Setelah adanya DPL... 75

6.4 Konflik ... 79

BAB VII DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI EKONOMI NELAYAN ... 81

7.1 Pola Produksi Nelayan... 81

7.1.1 Armada dan Peralatan Tangkap ... 81

7.1.2 Musim Penangkapan Ikan ... 83

7.1.3 Lokasi Penangkapan Nelayan ... 84

7.1.4 Jenis-jenis Hasil Tangkapan... 85

7.2 Biaya Investasi ... 86

7.3 Biaya Tetap ... 87

7.4 Biaya Variabel ... 88

7.5 Pendapatan dan karakteristik usaha ... 89

7.6 Hubungan Penetapan DPL Terhadap Pendapatan Nelayan ... 91

7.6.1 Sebelum Penetapan DPL ... 92

7.6.2 Setelah Penetapan DPL ... 93

BAB VIII PENUTUP ... 98

8.1 Kesimpulan ... 98

8.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... xxi

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di

Indonesia……… 14

Tabel 2. Status Hak Kepemilikan………. 15 Tabel 3. Jenis Data Primer dan Sekunder yang dikumpulkan di

Lapangan………. 26

Tabel 4. Luas dan Persentase Wilayah di Kabupaten Raja Ampat

menurut Distrik……….. 31

Tabel 5. Jumlah Penduduk menurut Distrik dan Jenis Kelamin di

Kabupaten Raja Ampat Tahun 2009……… 33

Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Saporkren menurut

Jenis Kelamin……… 34

Tabel 7. Jumlah dan Kondisi Sarana-Prasarana di Kampung

Saporkren………... 39

Tabel 8. Persentase Tutupan Karang menurut Jenis Karang di

DPL Yenmangkwan Tahun 2009……….. 41

Tabel 9. Total Spesies Terumbu Karang menurut Lokasi di

Kabupaten Raja Ampat……… 46

Tabel 10. Jumlah Ikan Karang Raja Ampat menurut Hasil Survai

CI, TNC, WWF Tahun 2001 dan 2002……….. 46

Tabel 11. Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja

Ampat………. 50

Tabel 12. Luas Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Raja

Ampat………... 57

Tabel 13. Peranan Stakeholders DPL Yenmangkwan Kampung

Saporkren……… 70

Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden menurut Respons

Responden Terhadap Pembentukan DPL………... 72

Tabel 15. Perbandingan Model Pengelolaan Sasi dan Model

Pengelolaan DPL di Kampung Saporkren………. 77

Tabel 16. Jumlah Armada Responden menurut Jenis Perahu dan

Status……….. 81

(18)

Saporkren ………..

Tabel 18. Kalender Musim Tangkap Nelayan Saporkren………….. 83 Tabel 19. Harga Jual Ikan menurut Jenisnya………. 85 Tabel 20. Rataan Biaya Investasi Perikanan Responden menurut

Jenisnya………... 87

Tabel 21. Rataan Biaya Tetap Responden menurut

Jenisnya……….. 88

Tabel 22. Rataan Biaya Variabel Responden menurut Jenisnya

Saporkren………... 89

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut……… 9 Gambar 2. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir………... 11

Gambar 3. Kerangka Pemikiran………. 20

Gambar 4. Komponen Analisis Data : Model Interaktif………… 28 Gambar 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Saporkren……….. 35 Gambar 6 Jumlah Responden menurut Golongan Usia……. 42 Gambar 7 Tingkat Pendidikan Formal Responden………... 43 Gambar 8. Grafik Dominasi Jenis Famili Ikan di Raja Ampat….. 47 Gambar 9. Tahapan Pembentukan DPL Yenmangkwan Kampung

Saporkren……….. 58

Gambar 10. Perubahan Wilayah Tangkap Nelayan Saporkren…… 60 Gambar 11. Penangggung Jawab Pengelolaan DPL Raja Ampat…. 66 Gambar 12. Struktur Kelembagaan Coremap Dewan

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir………. 68

Gambar 13. Seperangkat Hak Nelayan Sebelum dan Setelah

Penetapan DPL Saporkren……….... 78

Gambar 14. Penggolongan Responden menurut Tingkat

Pendapatan Rata-rata Kampung Saporkren………….. 91

Gambar 15. Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan……... 93 Gambar 16. Konsep Ekologis DPL Raja Ampat……….. 95 Gambar 17. Grafik Hasil Tangkapan Per bulan Kampung

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Lokasi Penelitian………. xxv Lampiran 2. Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi Laut di

Indonesia Tahun 2009………. xxvi

Lampiran 3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011…… xxviii Lampiran 4. Kerangka Sampling………. xxix

Lampiran 5. Daftar Responden……… xxx

(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Data Kelautan dan Perikanan Tahun 2009 menunjukkan luas daratan Indonesia adalah 1,9 juta km persegi, sedangkan luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km persegi. Luasan ini terdiri dari luas perairan kepulauan sebesar 2,3 juta km persegi, luas perairan teritorial 0,8 juta km persegi, dan luas perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar 2,7 juta km persegi. Selain itu terdapat pula 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (KKP 2009), beserta kekayaan sumberdaya di dalam laut maupun kawasan pesisir. Kekayaan sumberdaya laut dan pesisir yang dimiliki negara kita Indonesia pun mendapat tantangan bagi keberlanjutan di masa mendatang, akankah tetap terjaga kelestariannya atau justru mengalami penurunan atau kerusakan ekosistem di dalam laut dan pesisir.

(22)

pesisir, maka upaya memperkecil terjadinya kerusakan sumberdaya laut dapat tercapai.

Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan kawasan perairan yang dilindungi, dikelola melalui sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Sistem KKL di Kabupaten Raja Ampat adalah sistem Kawasan Konservasi Laut Daerah yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang KKLD Raja Ampat dan salah satu zona inti dari KKLD ini adalah Daerah Perlindungan Laut (DPL). DPL adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya laut (Coremap II 2009). Namun menjadi hal penting yang harus diperhatikan adalah dampak dari penetapan kawasan konservasi laut, dalam hal ini yakni DPL terhadap masyarakat atau nelayan yang berada di sekitar kawasan tersebut. Masyarakat pesisir atau nelayan telah menggantungkan hidup mereka pada sumberdaya laut di sekitar mereka dan telah berlangsung turun temurun. Artinya bahwa mereka berhak pula mengatur dan mengelola sumberdaya pesisir dan laut di kawasan konservasi.

(23)

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, disusunlah dua rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan?

2. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan.

2. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya adalah :

1. Bagi akademisi

Tulisan ini dapat menambah literatur bagi akademisi dalam mengkaji masalah pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berkelanjutan dan dampaknya bagi seperangkat hak nelayan dan tingkat pendapatan nelayan. 2. Bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan

(24)

3. Bagi Masyarakat Pesisir

(25)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konservasi

Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk dilakukan dalam melindungi ekosistem dan sumberdaya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi yang bertujuan melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses ekologi. Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi; Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan (SP). Tujuan dari penetapan kawasan konservasi yang tertera dalam pasal 3 Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH Tahun 1990) yang dikutip oleh Hardjasoemantri (1991) adalah sebagai berikut:

“Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”.

Hingga Tahun 2009, jumlah KKL di Indonesia berjumlah 89 dengan luas keseluruhan adalah 22.175.609 ha. Jumlah dan luasan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Indonesia Tahun 2009 secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2.

2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001):

1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem.

(26)

3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat

menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika.

4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir dan laut, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas menusia terhadap keanekaragaman hayati laut. 5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan

konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Pada pasal empat dari UUKH Tahun 1990 dinyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Artinya bahwa pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk masyarakat. Namun dalam kenyataannya, yang lebih berwenang adalah pihak pemerintah baik pusat maupun daerah yang menyatakan dirinya sebagai pihak yang mencetuskan dan pemilik kawasan konservasi sedangkan masyarakat terbatas dalam hal pengelolaan. Mengingat pentingnya kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara khusus masyarakat lokal maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi. Hal ini nantinya akan berimplikasi dalam penerapan proses konservasi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring.

2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi

(27)

pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya (DEPHUT 1995 dikutip Manoppo 2002).

Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Bengen (2001), secara umum zona-zona di kawasan konservasi dikelompokkan menjadi tiga zona yaitu:

1. Zona inti atau zona perlindungan: habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi oleh karena itu zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas manusia khususnya mengeksploitasi.

2. Zona penyangga: zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang mengganggu dan melindungi kawasan dari pengaruh eksternal.

3. Zona pemanfaatan: lokasi ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi.

(28)

2.1.2 Daerah Perlindungan Laut

2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL

Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai area larang ambil (no take zone area) dan dikelola oleh masyarakat lokal (Coremap II 2009). Daerah Perlindungan Laut yang yang dikelola oleh masyarakat lokal disebut DPL-BM (Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat). DPL-BM merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Demikian pula kegiatan manusia di dalam kawasan DPL-BM diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan, dan larangan kegiatan tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan kampung (Coremap II 2009).

Prinsip dasar dari DPL adalah zona larang ambil bersifat permanen dan tidak untuk dibuka pada waktu-waktu tertentu. Daerah Perlindungan Laut dimaksudkan untuk :

1. Mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan

pesisir, khususnya bagi terumbu karang dan mangrove (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010)

2. Melindungi spesies langka dan habitatnya, serta mempertahankan produksi perikanan (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 3. Dapat merehabilitasi/menjaga sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak

(Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)

4. Mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan perekonomian/pendapatan bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)

5. Mendidik masyarakat lokal dalam hal perlindungan laut/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat (Coremap II 2009)

(29)

mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan kepada terumbu karang dan organisme laut lainnya yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Nantinya kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi, menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan-ikan untuk hidup, makan, tumbuh, dan berkembang biak.

Sumber : DKP Raja Ampat (2009)

Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut

2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL)

COREMAP II (2008) menyatakan bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari Daerah Perlindungan Laut diantaranya adalah, (i) meningkatkan hasil tangkapan perikanan lokal, (ii) keuntungan ekonomis karena pemeliharaan ikan yang lebih baik, (iii) menciptakan kesempatan kerja, dan (iv) membantu penegakan aturan.

(30)

Pada umumnya, DPL-BM memiliki zona inti dan zona penyangga. Zona penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan, termasuk penangkapan ikan. Penangkapan yang diperbolehkan adalah dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing, memanah, dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan menggunakan scuba dan snorkeling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan secara komersil seperti penggunaan perahu berlampu, dan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap dilarang dalam zona penyangga ini (Coremap II 2009).

2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL)

Daerah Perlindungan Laut ditetapkan dengan tujuan menjamin keberlanjutan dari sumberdaya laut dan memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pengelola utama. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) dibuat dan ditetapkan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat melalui suatu peraturan yang disepakati bersama atau kesepakatan kampung. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pembentukan DPL adalah sebagai berikut (Coremap II 2009):

1. Pengenalan masyarakat dan identifikasi isu

Langkah ini merupakan upaya mengajak masyarakat memahami peran DPL-BM dan manfaat yang diperoleh. Kemudian mengidentifikasi isu dengan mengumpulkan data dasar mengenai kondisi desa dan mengidentifikasi isu utama.

2. Persiapan program DPL-BM

Pada langkah kedua, kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan lingkungan hidup terhadap masyarakat lokal, pelatihan yang bertujuan membangun kapasitas masyarakat, pemetaan terumbu karang, dan pembentukan kelompok pengelola DPL-BM.

3. Konsultasi dan pembuatan aturan

(31)

hal-hal yang dilarang dan diperbolehkan dalam zona yang ditetapkan, sanksi dan kewajiban pengelola, serta rancangan peraturan desa.

4. Persetujuan aturan

Ketika masyarakat dan pihak yang berkepentingan telah bersepakat untuk membentuk DPL maka selanjutnya adalah membuat persetujuan aturan yang telah didiskusikan. Aturan desa tentang DPL-BM ditetapkan secara formal melalui peraturan desa yang didukung mayoritas masyarakat setempat, ditandatangani oleh pemerintah desa dan lembaga-lembaga perwakilan di desa dan diteruskan kepada Kepala Kecamatan dan Bupati .

5. Pelaksanaan dan pemantauan

Langkah terakhir yang dilakukan adalah pemasangan tanda batas permanen; pemasangan papan peraturan dan informasi; peresmian DPL; patroli dan pemantauan secara rutin; pelaksanaan dan penegakan peraturan DPL; serta evaluasi.

Secara umum, konsep yang diterapkan oleh Coremap dalam proses pembentukan DPL-BM adalah mengikuti siklus pengelolaan sumberdaya pesisir, mulai dari identifikasi isu, persiapan perencanaan, pendanaan dan adopsi formal, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

[image:31.595.112.466.476.715.2]

Sumber : DKP Raja Ampat (2009)

(32)

2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL

Adapun beberapa syarat penentuan lokasi dan ukuran Daerah Perlindungan Laut yang digunakan oleh Coremap II Kabupaten Raja Ampat, antara lain adalah (Coremap II 2008):

1. Kondisi tutupan karang hidup (karang keras dan lunak) dalam kondisi yang baik (tutupan karang di atas 50 persen)

2. Kepadatan ikan dan keanekaragaman organisme laut lainnya cukup tinggi 3. Merupakan terumbu karang “sumber” (source reef)

4. Mencakup 10 persen-20 persen dari keseluruhan habitat terumbu karang yang ada di wilayah suatu desa

5. Habitat terumbu karang yang mencakup rataan dan kemiringan karang dan secara ideal memiliki lamun dan habitat mangrove (tetapi tidak harus selalu memiliki lamun dan mangrove)

6. Suatu kawasan yang diketahui merupakan tempat ikan bertelur

7. Lokasinya masih berada dalam jangkauan penglihatan masyarakat sehingga mudah diamati dan memudahkan pemantauan serta penerapan aturan yang berlaku

2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat

Melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan laut yang dimiliki Indonesia tentunya memerlukan strategi pengelolaan yang dapat secara efektif meningkatkan kuantitas di segala bidang, baik ekonomi masyarakat maupun konservasi dan kelestarian sumberdaya alam. Upaya tersebut dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa pendekatan dari atas (top down) yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran utama, terbukti tidak efektif. Menurut Perez (1995) seperti dikutip oleh Saad (2003), proses pengelolaan tersebut mengakibatkan hilangnya sistem masyarakat dan tata nilai yang sudah berlaku secara turun temurun.

(33)

pemerintah setempat dan sumberdaya setempat (local community) untuk mengelola sumberdaya perikanan. Secara formal dan informal, pengelolaan model ini diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas sumberdaya perikanan kepada masyarakat. Selain itu menurut Ruddle (1999) seperti dikutip oleh Ruddle dan Satria (2010), unsur-unsur pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat antara lain :

1. Territorial Boundary (batasan wilayah) 2. Rules (peraturan)

3. Authority (kewenangan) 4. Monitoring (pengawasan) 5. Sanctions (sanksi)

2.1.4 Hak Kepemilikan

Ketika berbicara pemanfaatan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi ataupun sumberdaya alam secara umum, maka tidak terlepas dari konteks hak kepemilikan para pengguna terhadap sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan. Dengan adanya kejelasan akan hak milik seseorang maka akan menentukan dan membatasi sejauh mana ia dapat mengambil dan mengelola sumberdaya dan juga dapat menjauhi terjadinya konflik kepentingan atas sumberdaya alam yang menjadi objek. Hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan seseorang atau kelompok atas sumberdaya.

Menurut Ostrom dan Schlager yang dikutip Satria (2009), terdapat lima tipe hak-hak dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu:

1. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif.

2. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya.

(34)

4. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. 5. Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual atau

menyewakan sebagian atau seluruh hak kolekif tersebut di atas.

Terkait dengan hak kepemilikan atas sumberdaya, maka penting untuk diketahui rezim-rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private property), dan masyarakat (communal property).

Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia Rezim

kepemilikan

Keterangan Akses terbuka

(open access)

Akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya persaingan bebas. Pada rezim ini, tragedy of the commons sering terjadi. Selain itu kerusakan sumberdaya, konflik antara pelaku, dan kesenjangan ekonomi pun mengikutinya. Negara (state

property)

Hak kepemilikan berada di tingkat daerah hingga pusat dan berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Pada rezim ini sering terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah atau dengan pihak lainnya. Swasta (private

property)

Hak kepemilikan lebih bersifat temporal atau dalam jangka waktu tertentu karena izin pemanfaatan yang diberikan pemerintah. Rezim ini sangat berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi.

Komunal atau masyarakat

Rezim ini ditandai oleh hak kepemilikan yang sifatnya sudah turun temurun, lokal, dan spesifik. Peraturan yang ada dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Kekurangan rezim ini adalah lemahnya legitimasi secara formal dari pemerintah atas aturan-aturan lokal yang ada.

Sumber : Satria (2009)

(35)
[image:35.595.117.520.104.241.2]

Tabel 2. Status Hak Kepemilikan

Hak Milik Owner Proprietor Claimant Authorized user

Authorized entrant

Access x x x x x

Withdrawal x x x x

Management x x x

Exclusion x x

Alienation x

Sumber : Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009)

2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal atau berada di wilayah pesisir, dan sebagian besar hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Secara turun temurun mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang antar pulau, dan lain-lain. Nikijuluw (2005) menggolongkan masyarakat pesisir dalam dua tipe kelompok yaitu kelompok non-perikanan (penjual jasa pariwisata, jasa transportasi, dan yang memanfaatkan sumberdaya non hayati laut dan pesisir) dan kelompok perikanan (nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan, dan pedagang ikan).

Secara umum, yang menjadi pembeda masyarakat pesisir dengan masyarakat desa dan kota adalah dari aspek kondisi sosial dan ekonomi mereka yang umumnya terbelakang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003). Penyebab dari kemiskinan masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya adalah :

1. Tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, dan akses terhadap pasar (Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).

2. Pendapatan yang relatif rendah (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Satria 2002).

3. Kurangnya kelembagaan penunjang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003).

(36)

5. Rendahnya tingkat pendidikan dan status kesehatan (Rahardjo 1996 dikutip

Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).

6. Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada produksi sehingga menyebabkan tangkap lebih (over fishing) (Tindjbate 2001 dikutip Karim 2005).

Kemiskinan dapat dibedakan berdasarkan ukurannya menjadi dua macam yaitu kemiskinan tetap (absolute) dan kemiskinan relatif. Kemiskinan tetap (absolute) merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan (Satria 2002; Ibrahim 2007). Garis kemiskinan pun bermacam-macam bergantung pada institusi yang mengeluarkan ukurannya, diantaranya :

1. Menurut BPS, kemiskinan dapat diukur dengan cara membandingkan total pengeluaran penduduk per kapita per bulan terhadap garis kemiskinan yang berlaku yakni tingkat pengeluaran untuk makanan kurang dari 2100 kalori (Satria 2002; Ibrahim 2007).

2. Selain itu, Sajogjo menggunakan ukuran pengeluaran konsumsi beras untuk mengukur kemiskinan. Menurut garis kemiskinan Sajogjo, kategorinya berdasarkan tingkat pengeluaran setara kilogram beras perkapita pertahun adalah sebagai berikut (Sajogjo dikutip Satria 2002; Sajogjo 1977 dikutip Kamarijah 2003) :

a. Sangat miskin : untuk desa adalah 180 kg beras/tahun sedangkan penduduk dikota adalah 270 kg beras/tahun.

b. Miskin sekali : untuk daerah pedesaan setara dengan 240 kg beras/tahun, sedangkan penduduk perkotaan setara dengan 360 kg beras/tahun.

c. Miskin : untuk pedesaan adalah 320 kg beras/tahun, sedangkan perkotaan setara dengan 480 kg beras/tahun.

(37)

Kesejahteraan masyarakat dapat dianalisis berdasarkan data kependudukan, kesehatan masyarakat, pendidikan, tingkat kelahiran atau fertilitas, kriminalitas, serta perumahan dan lingkungan (BPS 2001). Sedangkan karakteristik sosial ekonomi penduduk yang lebih spesifik diperoleh berdasarkan:

1. Konsumsi/pengeluaran/pendapatan.

2. Kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pemukiman.

3. Sosial budaya, kesejahteraan rumah tangga, dan kriminalitas.

2.1.5.1 Pendapatan

Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang digunakan dalam usaha, serta besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha. Keuntungan usaha diperoleh dari selisih antara total penerimaan (total revenue) dan total biaya (total cost). Apabila penerimaan total lebih besar dibandingkan dengan biaya total maka usaha tersebut dikatakan untung, jika sebaliknya usaha tersebut dikatakan merugi (Djamin 1984 dikutip Lee Won Jae 2010). Adapun formula yang digunakan untuk menghitung keuntungan usaha adalah :

Keterangan : µ = Keuntungan (rupiah)

TR = Total Penerimaan (rupiah)

TC = Total Biaya (rupiah)

2.1.6 Sikap

Merujuk kepada Thurstone, Rokeach, Baron & Byrne, Myres, dan Gerungan seperti dikutip Walgito (2003), sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu:

(38)

1. Komponen kognitif (komponen perseptual)

Yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.

2. Komponen afektif (komponen emosional)

Yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.

3. Komponen konatif (komponen perilaku)

Yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

2.2 Kerangka Pemikiran

Konservasi adalah salah satu upaya atau tindakan yang ditujukan untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya hayati. Penetapan suatu wilayah untuk menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL) dilandasi dua faktor pendorong. Pertama, adanya kerusakan ekosistem pesisir dan laut seperti kerusakan terumbu karang, erosi pantai, kerusakan ekosistem mangrove, dan lain-lain. Menurunnya keanekaragaman hayati pesisir dan laut dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya di masa depan sehingga dibutuhkan upaya untuk menetapkan kawasan konservasi guna melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001). Faktor kedua yang menjadi pendorong penetapan DPL adalah sumberdaya alam yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia telah diakui, khususnya di daerah Timur Indonesia, oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan kelimpahan sumberdaya tersebut, konservasi diyakini sebagai upaya yang efektif.

(39)

mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini juga dipertegas dalam Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) pasal 3 Tahun 1990 tentang tujuan dari penetapan kawasan konservasi adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun bagaimana kenyataan di lapangan, itulah yang menjadi fokus penelitian ini khususnya dampak penetapan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan sebagai pihak yang telah turun temurun bergantung pada sumberdaya tersebut.

Nelayan sebagai bagian dari Daerah Perlindungan Laut tentu saja memiliki hak-hak untuk memasuki kawasan, mengambil, mengolah, menjaga, dan mendapatkan hasil dari sumberdaya yang ada di dalam DPL. Seperangkat hak nelayan meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right). Hak-hak tersebut telah dimiliki sejak sebelum wilayah pesisir dan laut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana seperangkat hak tersebut setelah ditetapkan DPL, apakah mengalami perubahan atau tidak. Respon masyarakat mengenai keberadaan DPL dan sistem zonasi, dampak bagi seperangkat hak nelayan dan keuntungan yang didapatkan akan menjadi pengukuran bagaimana pengaruh penetapan DPL terhadap seperangkat hak yang dimiliki mereka.

(40)
[image:40.595.57.545.41.737.2]

Keterangan : Hubungan Pengaruh Fokus aspek yang dikaji

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penurunan kuantitas dan

kualitas sumberdaya pesisir dan laut

Kekayaan sumberdaya pesisir dan laut

Kondisi sosial ekonomi nelayan

Sebelum Sebelum

Sesudah Sesudah

Kondisi ekonomi

Tingkat Pendapatan Nelayan Kondisi Sosial

Seperangkat hak nelayan (bundles Of right)

Hak akses (access right) Hak pemanfaatan (withdrawal right) Hak pengelolaan (management right)

Hak ekslusi (exclusion right)

Respon nelayan

Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi

Tingkat afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi

Penetapan Daerah Perlindungan Laut

(41)

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap perubahan seperangkat hak (bundles of right) nelayan.

2. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan.

2.4 Definisi Konseptual

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut yaitu:

1. Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah sebuah areal yang berada di wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan berbagai bentuk kebudayaan, yang telah ditetapkan oleh aturan hukum yang berlaku maupun oleh cara-cara lain yang efektif, dilindungi baik sebagian maupun keseluruhannya.

2. Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat.

3. Pengelolaan kawasan konservasi adalah pengelolaan yang dikelola oleh pemerintah tetapi tidak menutup kemungkinan dikelola oleh masyarakat untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Pengelolaan ini mencakup kegiatan memanfaatkan kawasan atau mengambil sumberdaya dalam DPL secara adil dan lestari.

(42)

5. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right).

2.5 Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu:

1. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right).

a. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan :

Nelayan tidak dapat melintas di lokasi DPL = skor 1= rendah

Nelayan dapat melintas di lokasi DPL = skor 2 = tinggi

b. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan:

Nelayan tidak dapat mengambil sumberdaya di DPL = skor 1 = rendah Nelayan dapat mengambil sumberdaya secara bebas = skor 2 = tinggi

c. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam pengelolaan sumberdaya. Hak pengelolaan dapat diukur dari keterlibatan masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring, serta mendapatkan hasil. Pengukuran :

(43)

d. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. Pengukurannya:

Tidak ada = skor 1 Ada = skor 2

2. Respons nelayan adalah tanggapan nelayan atas penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibuat. Pengukurannya melalui aspek kognitif (pengetahuan) dan aspek afektif nelayan akan keberadaan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk.

a. Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL adalah pemahaman nelayan akan keberadaan Daerah Perlindungan Laut dan sistem zonasi. Tingkat pengetahun nelayan dapat diukur dengan pertanyaan :

i) Nelayan tahu pengertian DPL

ii) Nelayan tahu manfaat dan tujuan DPL

iii) Nelayan tahu aturan dan larangan yang dibuat terkait DPL

iv) Nelayan tahu sanksi-sanksi yang diberikan bagi yang melanggar aturan-aturan di DPL

Pengukurannya : Tidak = skor 1

Iya = skor 2

b. Aspek afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi adalah respon nelayan yang berhubungan dengan rasa setuju atau tidak setuju terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk. Tingkat afeksi nelayan terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi dapat diukur dengan pernyataan :

i) Penetapan DPL penting untuk keberlanjutan sumberdaya laut

ii) Penetapan DPL tidak membuat nelayan terbatas untuk masuk keluar kawasan

iii) Penetapan DPL tidak membuat jumlah tangkapan nelayan berkurang iv) Penetapan DPL tidak membuat perubahan sistem zonasi nelayan Pengukurannya: Tidak= skor 1

(44)

Pengukuran tingkat respons nelayan adalah skor total dari aspek kognitif dan aspek afeksi responden :

Skor di bawah skor rata-rata = Respons nelayan negatif terhadap penetapan DPL

Skor di atas skor rata-rata = Respons nelayan positif terhadap penetapan DPL

3. Pendapatan (TI) nelayan adalah total penerimaan nelayan (TR) dari sektor perikanan dikurangi total pengeluaran (TC) untuk menunjang kegiatan perikanan. Ukuran pendapatan ditentukan berdasarkan rata-rata pendapatan responden dari sektor perikanan di tempat penelitian.

Pendapatan < rata-rata pendapatan = skor 1 = rendah Pendapatan > rata-rata pendapatan = skor 2 = tinggi

4. Tingkat penerimaan (TR) nelayan adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan di laut. Skala pengukuran :

Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi

5. Tingkat pengeluaran nelayan adalah jumlah pengeluaran secara keseluruhan untuk kegiatan melaut. Skala pengukuran :

Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah

(45)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat (lampiran satu). Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa (1) lokasi ini merupakan salah satu lokasi yang menjadi kawasan konservasi laut yakni DPL dengan potensi terumbu karang kampung dalam kategori “sedang”, (2) kampung ini merupakan kampung penyuplai iklan terbanyak ke daerah pusat administrasi Raja Ampat yaitu Waisai. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan April 2011. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal dan instrumen penelitian, kolokium, pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Adapun rangkaian kegiatan penelitian tertera pada lampiran tiga.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan metode survai dengan instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data penelitian dari sejumlah sampel dalam sebuah populasi (Singarimbun 2006) terkait pengaruh penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan dan respon masyarakat terhadap keberadaan DPL. Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi atau data kualitatif dari subyek penelitian berdasarkan pengalaman sosial mereka terkait keberadaan DPL. Data deskripif yang berupa kata-kata dari subyek penelitian dikumpukan dan kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif ataupun bagan dan grafik. Data kualitatif yang diperoleh dikumpulkan dengan pengamatan langsung, wawancara mendalam, dan menggunakan dokumen tertulis.

(46)

yang dibagikan kepada respoden dan wawancara kepada informan. Data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi literatur yang berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku, artikel, skripsi, tesis, dan berbagai karya ilmiah lainnya.

Tabel 3. Jenis Data Primer dan Sekunder yang dikumpulkan di Lapangan

No. Jenis Data Metode/Sumber Data

Data Primer

1. Data sosial dan ekonomi masyarakat Kuesioner dan wawancara

2. Data Stakeholder Wawancara

Data Sekunder

3. Data kependudukan : Jumlah penduduk total dan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

Kantor desa

4. Data sosial-ekonomi : jenis mata pencaharian, sarana dan prasarana desa, kesehatan

Kantor desa, Dinas kelautan dan perikanan, Bappeda

5. Pedoman/panduan dan peraturan tentang kawasan konservasi laut di Raja Ampat

Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat 6. Keanekaragaman hayati Raja Ampat Dinas Kelautan dan

Perikanan Raja Ampat 7. Pedoman dan aturan pengelolaan Daerah

Perlindungan Laut (DPL)

Coremap II

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa teknik, diantaranya adalah:

1. Observasi.

2. Studi literatur serta kajian dokumen-dokumen yang dapat menunjukkan

perubahan ekologis sumberdaya hayati laut, kawasan konservasi (DPL), model pengelolaan dan dokumen yang menunjukkan kondisi sosial ekonomi nelayan.

(47)

4. Survai dengan instrument penelitian berupa kuesioner. Kuesioner ini

memuat pertanyaan terbuka dan tertutup. Data yang diambil dari penelitian ini mencakup respon nelayan terhadap penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL), keterlibatan nelayan dalam perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi program konservasi, serta pengaruh penetapan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan di Kampung Saporkren.

5. Diskusi kelompok terarah atau Focussed Group Discussion (FGD) kepada para nelayan untuk memetakan wilayah penangkapan nelayan sebelum dan sesudah adanya Daerah Perlindungan Laut (DPL).

Populasi dari penelitian ini adalah keluarga nelayan Kampung Saporkren yang bermata pencaharian sebagai nelayan dan aktif menangkap hasil laut. Berdasarkan data statistik kampung, jumlah keluarga nelayan yang aktif melaut sebanyak 56 keluarga. Unit analisis dari penelitian ini adalah individu yakni kepala keluarga nelayan sebagai responden penelitian. Responden adalah nelayan kecil atau nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana atau tradisional. Penentuan responden dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan simple random sampling. Adapun kerangka sampling dalam penelitian tertera pada lampiran empat. Banyaknya sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus Slovin, yaitu :

Keterangan : n : Jumlah sampel N: Jumlah populasi

e : Nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan (10 persen) n = N

(48)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jumlah sampel yang diambil dengan penggunan rumus Slovin sebanyak 36 orang. Agar hasil penelitian dapat lebih representatif, peneliti menambah tiga responden dengan asumsi menghindarkan ketidaktepatan responden dengan kriteria yang telah dibuat. Informan dipilih secara sengaja (purposive) dengan teknik bola salju (snowball sampling) yang memungkinkan perolehan informasi dari satu informan ke informan lainnya. Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai dampak penetapan DPL terhadap aktivitas nelayan secara khusus bagi pendapatan nelayan. Adapun informan kunci yang dipilih adalah pihak Pemerintah Desa, Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah, Lembaga Coremap II Raja Ampat, Tokoh Adat dan Tokoh Agama Kampung Saporkren, serta aktor-aktor yang terlibat dalam proses pengelolaan DPL di kampung ini.

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kualitatif yang telah diperoleh akan dianalisis dengan mengacu pada konsep Miles dan Huberman (1984, 1994 dikutip Miles dan Huberman 2009) dimana terdapat tiga sub proses analisis data yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Proses ini berlangsung sebagaimana ditunjukkan oleh gambar 4.

Sumber : Miles dan Huberman (2009)

Gambar 4.Komponen Analisis Data : Model Interaktif Pengumpulan data

di lapangan

Penyajian data

Kesimpulan Penggambaran/verivikasi

(49)

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data merupakan penyusunan informasi yang memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data ini dalam prakteknya dapat berbentuk teks naratif ataupun matriks, grafik, jaringan dan bagan. Penarikan kesimpulan berbentuk pencatatan keteraturan pola-pola yang terjadi, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proporsi. Ketiga kegiatan analisis dan pengumpulan data ini merupakan proses siklus dan interaktif. Analisis data dilakukan secara berlanjut, berulang, dan terus menerus.

(50)

BAB IV

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis

4.1.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat

Kabupaten Raja Ampat terletak pada posisi di bawah garis khatulistiwa,

antara 0” 14’ s dan 130” 31’ e. Dengan posisi di bawah garis khatulistiwa, suhu udara minimum sekitar 24°C, dan suhu udara maksimum sekitar 32,4°C (catatan Badan Meteorologi dan Geofisika stasion DEO Raja Ampat dikutip BPS Raja Ampat 2010). Sedangkan kelembaban udara rata-rata tercatat 85 persen dengan curah hujan tercatat 2458,9 milimeter dan cukup merata sepanjang tahun. Kepulauan ini berada dibagian paling barat pulau induk Papua, Indonesia dan membentang di area seluas kurang lebih 4,6 juta ha. Batas-batas geografis Kabupaten Raja Ampat adalah sebagai berikut :

Sebelah barat : Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara Sebelah utara : Republik Federal Palau, Samudra Pasifik

Sebelah timur : Kota Sorong, Kabupaten Sorong

Sebelah selatan : Kabupaten Seram Utara, Provinsi Maluku

Raja Ampat dideklarasikan sebagai Kabupaten baru pada tanggal 3 Mei Tahun 2002 berdasarkan UU No. 26 tentang pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong dan termasuk salah satu dari 14 kabupaten baru di tanah Papua. Kabupaten Raja Ampat terdiri dari empat pulau besar yaitu Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta, serta 600 pulau-pulau kecil. Selain itu, Kabupaten ini terbagi menjadi 17 distrik dengan total luas wilayah adalah 6.084,50 km persegi1. Pusat pemerintahan berada di Waisai, Distrik Waigeo Selatan, sekitar 36 mil dari kota Sorong, dan baru berlangsung efektif pada tanggal 16 September 2005 (Pemda Raja Ampat 2009).

1

(51)
[image:51.595.106.504.158.580.2]

Tabel 4 dibawah ini menggambarkan luas wilayah Kabupaten Raja Ampat menurut distrik.

Tabel 4. Luas dan Persentase Wilayah Kabupaten Raja Ampat menurut Distrik Distrik Luas / area (km²) Persentase (%)

Misool 318, 71 5,24

Kofiau 639,97 10,52

Misool Timur 403,14 6,63

Kep. Sembilan 123,95 2,04

Waigeo Selatan 275,87 4,55

Teluk Mayalibit 207,40 3,41

Waigeo Timur 122,19 2,01

Meosmansar 169,70 2,79

Waigeo Barat 1264,58 20,78

Waigeo Barat Kepulauan

711,32 11,69

Waigeo Utara 120,10 1,97

Warwabomi 46,70 0,77

Kepulauan Ayau 256,75 4,22

Misool Selatan 469,11 7,71

Misool Barat 203,11 3,34

Salawati Utara 405,49 6,66

Selat Sangawin 345,41 5,68

Jumlah/total 6.084,50 100,00

Sumber : BPS Kabupaten Raja Ampat (2010)

4.1.2 Konteks Kampung

(52)

menggunakan perahu bermesin katinting2 dapat ditempuh dalam waktu dua jam. Kondisi kampung ini didominasi oleh sumberdaya laut dan sumberdaya hutan. Sebelah selatan kampung terdapat laut dan sebelah utara terdapat pegunungan yang dijadikan masyarakat sebagai lahan perkebunan. Ekosistem daratan dan lautan keduanya saling mempengaruhi.

Saporkren berasal dari bahasa Biak Berser yaitu “sapor” yang artinya

tanjung dan “kren” yang artinya miring. Jadi Saporkren memiliki arti tanjung

miring. Adapun sejarah terbentuknya kampung dan gambaran berbagai kegiatan yang berlangsung yang dianggap penting oleh masyarakat lokal adalah sebagai berikut:

1. Sebelum Tahun 1940 : Saat itu orang kafir yang berdomisili di pulau Urai dan pemimpin yang terakhir di pulau itu adalah bapak Abraham Mambrasar. Saat itu pulau tersebut masih berada dibawah pemerintah kampung Yembeser.

2. Tahun 1942 : Beberapa pemuda dari pulau Urai berkumpul di pulau Friwen untuk berperang melawan jepang (PD II)

3. Tahun 1945 : Setelah Perang dunia II berakhir mereka kembali menetap di

pulau Urai

4. Tahun 1950-an : Penduduk dari pulau Urai berpindah ke Saporkren dibawah pimpinan Moses Sauyai (Kepala Dusun I)

5. Tahun 1962 - 1971: Mulai dibangunlah beberapa sarana penting di dusun Saporkren yaitu sarana pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan sarana peribadatan (Gereja)

6. Tahun 1973 : Diadakan pemilihan kepala dusun kedua yaitu Philipus Mambrasar

7. Tahun 1992 : Pergantian status dari dusun menjadi kampung dengan kepala kampung pertama adalah Melkianus Mambrasar

8. Tahun 2002 : Dilakukan kembali pengangkatan kepala kampung II yaitu Zadrak Mambrasar

2

(53)

9. Tahun 2005 : Lalu pada tahun ini masuklah program COREMAP di Raja

Ampat

4.2 Kondisi Demografi

4.2.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat

[image:53.595.100.509.275.738.2]

Hingga Tahun 2009, tercatat jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat adalah 41.860 jiwa, sekitar 52 persen dari total penduduk adalah laki-laki dan sisanya sebesar 48 persen adalah perempuan.

Tabel 5. Persentase Jumlah Penduduk menurut Distrik dan Jenis Kelamin di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2009

Kecamatan/

Distrik Laki-laki(%) Perempuan(%) Populasi(%)

Misool 5,60 5,78 5,68

Kofiau 6,42 6,58 6,50

Misool Timur 5,08 4,23 4,68

Kep. Sembilan 5.51 5,88 5,69

Waigeo Selatan 6,66 6,60 6,63

Teluk Mayalibit 4,50 4,38 4,44

Waigeo Timur 4,08 4,23 4,15

Meosmansar 5,59 5,30 5,50

Waigeo Barat 2,96 3,11 3,03

Waigeo Barat Kepulauan

6,25 6,07 6,16

Waigeo Utara 5,29 5,56 5,42

Warwabomi 3,52 3,37 3,45

Kepulauan Ayau 6,66 6,81 6,73

Misool Selatan 6,31 6,39 6,35

Misool Barat 2,71 2,68 2,70

Salawati Utara 9,60 9,61 9,60

Selat Sangawin 13,29 13,44 13,36

Jumlah/total 100 100 100

(54)

Hingga Tahun 2009, tercatat jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat adalah 41.860 jiwa, dengan jumlah penduduk total laki-laki adalah 21.965 orang dan jumlah penduduk perempuan adalah 19.895 orang. Tabel 5 menunjukkan komposisi penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan dengan Persentase laki-laki 52,48 persen dari total penduduk dan persentase perempuan adalah 47,52 persen.

4.2.2 Konteks Kampung

Berdasarkan data Monografi Kampung Saporkren (2011), jumlah penduduk pada Tahun 2010 adalah sebanyak 374 orang. Jumlah penduduk laki-laki adalah 212 orang dengan persentase 57 persen, sedangkan jumlah penduduk perempuan memiliki persentase 43 persen dengan total 162 orang. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Saporkren menurut Jenis

Gambar

Gambar 2. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Tabel 2.  Status Hak Kepemilikan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Tabel 4.  Luas dan Persentase Wilayah Kabupaten Raja Ampat menurut Distrik
+7

Referensi

Dokumen terkait