• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI SOSIAL

6.3 Dampak DPL terhadap Seperangkat Hak ( Bundles of right ) Nelayan

6.3.2 Setelah adanya DPL

Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan yang berlokasi di Kampung Saporkren dibentuk pada Tahun 2007 dengan luas 32,2 ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota MD di kampung, alasan pembentukan DPL di kampung ini adalah adanya jenis terumbu karang terbaik di wilayah laut Kampung Saporkren. Hal tersebut didukung pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak Coremap II untuk melihat tutupan karang yang ada di Raja Ampat, dan ternyata potensi karang di DPL ini termasuk dalam kategori “sedang”, oleh karena itu diperlukan adanya kegiatan perlindungan demi menjamin keberlanjutan terumbu karang dan hasil laut lainnya..

Penetapan suatu kawasan yang awalnya bebas untuk diakses kemudian menjadi area larangan ambil tentu berdampak terhadap perubahan seperangkat hak-hak para nelayan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan seperangkat hak (bundles of right) para nelayan di Saporkren sejak adanya Daerah Perlindungan Laut. Perubahan hak tersebut sangat dirasakan oleh nelayan yang sejak awalnya menjadikan area itu sebagai daerah tangkapan mereka. Para nelayan yang awalnya memiliki empat tipe hak yaitu hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi menjadi tiga tipe hak yaitu hak akses, hak

pengelolaan, dan hak ekslusi. Perubahan hak yang terjadi adalah perubahan tipe hak kedua, dimana masyarakat tidak lagi memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya di area DPL. Seluruh masyarakat Saporkren dilarang untuk melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya mengambil ataupun memanfaatkan sumberdaya laut yang ada.

Hal yang menarik disini adalah perubahan hak pemanfaatan tidak menyebabkan konflik yang besar terkait kepemilikan sumberdaya laut diantara para aktor yang terlibat. Hal ini didasarkan pada beberapa hal yaitu :

1. Sifat pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berbasis pada masyarakat lokal. Prinsip yang diterapkan dalam pengelolaan DPL adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.

2. Dukungan pemerintah daerah dan kampung melalui penglegitimasian Perkam DPL Yenmangkwan No.001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat.

3. Adanya kompensasi dari DKP melalui Coremap II bagi kampung untuk mendukung penyediaan fasilitas-fasilitas umum, seperti mendirikan pondok informasi, mendirikan beberapa MCK, dan pembuatan pagar di depan rumah penduduk. Menurut koordinator Coremap II, pemberian dana baru diberikan pada akhir tahun lalu sebesar Rp. 80 juta untuk kegiatan penyediaan sarana dan prasarana di kampung.

4. Pengalaman sistem pengelolaan laut tradisional yakni Sasi yang telah diterapkan masyarakat lokal. Hal ini telah membiasakan masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan penangkapan di area yang telah dilarang. Alhasil ketika DPL dibentuk, nelayan tidak mengalami kesulitan untuk menerapkannya.

5. Dukungan positif oleh tokoh-tokoh masyarakat termasuk tokoh agama sebagai penanggung jawab dari sistem pengelolaan Sasi. Saat pembentukan DPL, sistem Sasi tidak berjalan lagi, tetapi larangan untuk tidak mengambil Lola dan Teripang tetap berlangsung karena menjadi salah satu larangan dalam Perkam DPL Yenmangkwan. Walaupun Sasi tidak diterapkan lagi, tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi proses penerapan DPL, karena

masyarakat dan pihak Gereja sebagai penanggung jawab saat Sasi diterapkan ikut mendukung pengelolaan DPL.

Secara ringkas perbandingan model pengelolaan Sasi (sebelum DPL) dan model pengelolaan DPL dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 15. Perbandingan Model Pengelolaan Sasi dan Model Pengelolaan DPL di Kampung Saporkren

No. Indikator Sasi DPL

1. Sistem Tradisional Modern

2. Tujuan Melindungi hasil-hasil laut dan menjaga kelestarian sumberdaya laut

Melindungi hasil laut baik karang, ikan, dan lain-lain guna menjamin ekosistem yang berkelanjutan

3. Latar belakang pembentukan

- Berkurangnya hasil laut khususnya Lola dan Teripang

- Kerusakan laut akibat penggunaan akar bore dan potassium

Kondisi tutupan karang di daerah DPL termasuk

dalam kategori “sedang”

4. Penanggung jawab

Pihak Gereja Pihak Pemda Raja Ampat, Coremap II, MK, LPSTK,

Pokmaswas, dan

masyarakat 5. Aturan yang

berlaku

Dilarang mengambil lola dan teripang serta hasil laut yang mulai berkurang jumlahnya selama waktu yang ditentukan

(biasanya satu tahun) “laut ditutup”

Dilarang melakukan aktivitas apapun di dalam area DPL terkecuali melintas di atas DPL

6. Sanksi - Hasil tangkapan diambil - Dilarang melaut untuk

beberapa hari sesuai keputusan pihak Gereja

Diberikan tiga kali teguran oleh penanggung jawab DPL di lapangan, dan jika tetap melakukan akan dilakukan penyitaan alat tangkap 7. Bundles of rights - Hak akses - Hak pemanfaatan - Hak pengelolaan - Hak ekslusi - Hak akses - Hak pengelolaan - Hak ekslusi

Jika dibandingkan antara sistem pengelolaan sebelum DPL dengan sistem pengelolaan DPL, keduanya memiliki tujuan yang sama yakni melindungi sumberdaya laut demi keberlanjutan ekosistem dimasa akan datang. Perbedaan yang ada hanya pada penerapan dari masing-masing model pengelolaan tersebut. Tetapi perubahan model tersebut memberi dampak terhadap perubahan seperangkat hak nelayan (bundles of rights). Adapun perubahan seperangkat hak para nelayan dapat terlihat pada gambar 13.

Gambar 13. Seperangkat Hak Nelayan Sebelum dan Setelah Penetapan DPL

Gambar 13 menunjukkan seperangkat hak-hak nelayan sejak sebelum penetapan DPL dan sesudah DPL. Sebanyak 39 orang responden menyatakan bahwa sebelum dan sesudah adanya DPL, mereka memiliki kebebasan untuk melintas di atas lokasi DPL dengan menggunakan perahu. Artinya hak akses yang dimiliki nelayan tidak mengalami perubahan. Pada kategori hak kedua yaitu hak pemanfaatan, terlihat sangat jelas perubahan yang terjadi. Sebesar 39 orang menyatakan dahulu sebelum adanya DPL mereka dapat mengambil hasil laut apa saja yang ada di lokasi DPL, dan mereka dapat berenang tanpa ada larangan. Tetapi setelah adanya DPL, hak tersebut tidak dimiliki lagi, hal ini diperkuat dengan tidak adanya pernyataan bahwa mereka dapat mengambil hasil laut. Kategori ketiga adalah hak pengelolaan, dimana seluruh responden menyatakan bahwa mereka terlibat dalam pengelolaan sumberdaya laut baik sebelum dan

Hak Akses Hak Pemanfaatan

Hak

Pengelolaan Hak Ekslusi Sebelum DPL 100% 100% 100% 100% Setelah DPL 100% 0% 100% 100% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% P res e n ta se R e sp o n d e n

setelah adanya DPL. Masyarakatlah yang menjaga, membuat aturan pengelolaan, dan menegur jika ada yang melanggar aturan. Hal ini didorong dengan alasan laut telah menjadi bagian hidup mereka dari dahulu kala, jadi sistem pengelolaan harus melibatkan masyarakat. Tipe hak terakhir yang berlaku di kampung ini adalah hak ekslusi. Sebanyak 39 responden atau seluruh responden menyatakan bahwa hak ekslusi itu dimiliki oleh masyarakat. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang boleh melintas di atas DPL, berhak memberikan ijin jika ada pihak yang hendak melakukan kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di DPL seperti studi penelitian ilmiah, dan kegiatan penyelaman terbatas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan hak para nelayan hanya mengalami perubahan pada tipe hak kedua yaitu hak pemanfaatan, sedangkan untuk tipe hak akses, hak pengelolaan, dan hak ekslusi tetap dimiliki oleh seluruh nelayan dan semua masyarakat pada umumnya.

Dokumen terkait