7 MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO
DRIVER BOBOT DRIVER
4.2. INTEGRASI PEMASOK 0,455 INFORMASI 0,133 5.1 INTEGRASI PERMINATAAN 0,
4.3. KEERATAN HUB PEMASOK 0,455 5.2. KOORDINASI 0,500
INFORMASI 0,065 5.1. INTEGRASI PERMINATAAN 0,500 5.2. KOORDINASI 0,500
Analisis gap yang dilakukan meliputi: 1) Gap antara kinerja efisiensi dan responsivitas; 2) Gap kinerja total (industri) dengan kinerja ideal yang diharapkan. Analisis gap antara kinerja efisiensi dan responsivitas dalam hal ini menunjukkan kecenderungan industri akan lebih mengutamakan efisiensi atau responsivitas dalam strategi mencapai daya saingnya. Analisis ini dibutuhkan untuk mengetahui sifat dasar (nature) dari permasalahan yang dihadapi industri kakao. Li (2007) menyatakan bahwa salah satu sebab kegagalan rantai pasok suatu perusahaan adalah karena kurang dipahaminya sifat dasar permintaan. Kekurangpahaman ini berdampak pada kurang sesuainya rancangan konfigurasi rantai pasok.
Gambar 21 Grafik kecenderungan efisiensi dan responsivitas industri kakao Gambar 21 menunjukkan bahwa, pertama, secara umum industri kakao cenderung mengutamakan responsivitas untuk keputusan menyangkut driver fasilitas, persediaan dan sourcing. Kecenderungan tersebut menunjukkan industri kakao memiliki fasilitas yang cenderung berkapasitas besar, fleksibel dalam proses pengolahan, tingkat produksi tinggi, teknologi prosesnya cenderung mempertahankan fleksibilitas kapasitas untuk penyangga permintaan atau ketidakpastian pasokan (Hugos 2010; Ravindran dan Warsing 2012) . Selanjutnya, industri kakao cenderung memiliki tingkat persediaan yang tinggi, dengan jenis produk bervariasi, cenderung mempertahankan persediaan untuk menangani ketidaktentuan permintaan/penawaran. Dalam hal memilih cara pengadaan seperti bahan baku dan peralatan produksi, transportasi, dan penyimpanan cenderung fleksibel, pengiriman cepat, disain kualitas serta berkinerja tinggi (Hugos 2010; Ravindran dan Warsing 2012).
Kedua, untuk kondisi driver transportasi dan informasi industri kakao lebih cenderung mengutamakan efisiensi. Artinya dalam hal kegiatan transportasi lebih memilih pengiriman skala besar meskipun relatif lambat namun lebih murah. Demikian juga untuk kinerja driver informasi, secara umum industri kakao mengandalkan penyampaian informasi berbiaya murah, baik berupa koordinasi dan integrasi pemasok dengan mengandalkan sarana komunikasi yang ada (Hugos 2010; Ravindran dan Warsing 2012).
-1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00
EFISIENSI
RESPONSIVITAS
Gambar 22 Grafik kinerja rantai pasok agregat industri kakao
Indeks kinerja total industri kakao (Gambar 22) menunjukkan adanya kesenjangan yang hampir merata pada seluruh driver rantai pasok. Nilai indeks total yang merupakan penjumlahan indeks dari setiap driver mencapai nilai sebesar 29.75. Idealnya kondisi yang diharapkan dapat mencapai nilai 45.00 jika setiap driver memiliki kinerja maksimum yaitu bernilai 9. Gambaran tersebut memberikan petunjuk tentang perlunya pembenahan atau perbaikan pada seluruh driver.
Untuk dapat memberikan penekanan atau fokus yang lebih jelas pada bagian mana dukungan perbaikan perlu dilakukan, perlu prioritas penanganan yang didasarkan atas nilai kesenjangan yang dimiliki masing-masing kinerja driver rantai pasok. Analisis gap terhadap kondisi ideal diperoleh daftar driver rantai pasok dengan urutan dari yang paling terpuruk yaitu : fasilitas, inventori, informasi, transportasi, dan sourcing (Gambar 23).
Gambar 23 Kesenjangan kinerja driver rantai pasok industri kakao Model Perumusan Kebijakan Berbasis Rantai Pasok
Indeks kinerja rantai pasok industri merupakan input berharga untuk bahan perumusan kebijakan pengembangan industri kakao di Indonesia. Rodrik (2004) mengungkapkan bahwa kebijakan industri yang baik membutuhkan informasi dari pihak swasta (industri) tentang hal-hal yang menyangkut eksternalitas yang
dialaminya. Lebih lanjut, kebijakan yang baik perlu kolaborasi strategis swasta- pemerintah dengan tujuan mengenali hambatan dan jenis intervensi apa yang sesuai untuk menghilangkannya.
Berdasarkan hasil pengukuran kinerja rantai pasok, selanjutnya disusun model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao. Model perumusan kebijakan yang disusun menunjukkan proses pembuatan kebijakan agar lebih mudah dipahami (Winarno 2002). Dengan mengacu pada literatur sebelumnya bahwa kebijakan industri sebagai sasaran yang akan dirumuskan oleh model adalah suatu upaya strategis pemerintah untuk mendorong pengembangan dan pertumbuhan industri manufaktur. Dalam hal ini kebijakan industri merupakan langkah-langkah yang diambil pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan kemampuan industri dalam negeri serta mempromosikan transformasi struktural pembangunan infrastruktur yang mendukung industri (Graham 1994; Bingham 1998; dan Rodrik 2004).
Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Industri
Kakao
Penentuan Batas Kritis (Median) Indeks Kinerja
Rantai Pasok Industri
Skor < 5
Kinerja Driver dan Sub Driver Kurang/Lemah
Penentuan Kebijakan (Literatur dan Wawancara)
Relasi antar Kebijakan (ISM)
Kebijakan Pemerintah Kebijakan Perusahaan
Kinerja Driver dan Sub Driver Baik
Valid Belum
Rumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan
Industri Kakao Berbasis Rantai Pasok Pe ne lu su ra n In de ks Stop Kebijakan Mempertahan dan Peningkatan
Gambar 24 Model konseptual perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao berbasis rantai pasok
Model konseptual perumusan kebijakan (Gambar 24) dimulai dengan input model berupa indeks kinerja rantai pasok industri sebagaimana yang dilakukan pada tahap sebelumnya. Gambar 24 memperlihatkan bahwa proses perumusan kebijakan dalam model ini didasarkan pada kondisi nyata yang digambarkan dalam bentuk indeks kinerja rantai pasok industri. Dalam indeks kinerja rantai pasok terdiri atas faktor-faktor penggerak (driver) yang menunjukkan kinerja yang berbeda-beda. Dari skor indeks kinerja dapat diketahui driver dan sub driver apa saja yang lemah. Kelemahan dapat dilihat dari kesenjangan yang nyata antara kondisi ideal dengan pencapaian kinerja.
Dengan mengambil satu titik di antara sebaran skor kinerja mulai 1 sampai 9 sebagai ambang batas (threshold), maka dapat dipilah kinerja driver dan sub driver yang baik dan kurang baik. Kinerja driver dan sub driver dengan skor di bawah titik ambang batas termasuk driver dan sub driver yang kurang baik atau lemah, sebaliknya driver dan sub driver dengan skor di atas ambang batas dianggap dalam keadaan baik.
Jenis ambang batas yang digunakan dapat bermacam-macam bergantung pada tujuan pengambilan keputusan dan sebaran data yang dimiliki. Beberapa ukuran sebaran data seperti rata-rata (mean), nilai tengah (median) dan modus (mode) dapat dipilih sebagai titik ambang batas.
Dalam konteks sebaran data skor kinerja rantai pasok industri kakao dalam penelitian ini dipilih nilai tengah yaitu skor 5 sebagai ambang batas. Hal ini karena nilai tengah dari skor pengukuran kinerja rantai pasok bernilai tetap. Keuntungan dengan ambang batas yang tetap adalah jika model ini diimplementasi dengan menambah sampel perusahaan yang diukur kinerjanya, hasilnya masih dapat dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya. Jika menggunakan rata-rata sebagai ambang batas, maka rata-rata skor pengukuran akan berbeda karena jumlah sampel yang berbeda. Namun jika model dapat memperoleh data/informasi secara luas sehingga seluruh perusahaan dalam industri kakao tercakup dalam penelitian, maka penggunaan ambang batas rata- rata akan lebih baik karena lebih mencerminkan populasi.
Proses selanjutnya dalam model konseptual perumusan kebijakan ini adalah penentuan kebijakan (Gambar 25). Penentuan kebijakan diperoleh dari dua macam proses, pertama penelusuran kembali terhadap indeks kinerja dengan menerapkan skor 5 (nilai tengah) sebagai ambang batas pemilahan driver berkinerja baik dan kurang baik. Kedua, dengan menggunakan literatur yang relevan untuk memperoleh alternatif kebijakan yang sudah dibuktikan penelitian sebelumnya akan memperbaiki keadaan yang kurang. Di samping itu kebijakan yang direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi juga mengacu pada pendapat para pakar di bidan yang sesuai.
Penelitian sebelumnya yang relevan
Review pada driver yang bersesuaian
Parafrase Temuan yang
ditunjukkan
Pencarian literatur Kebijakan yang relevan untuk suatu permasalahan
Penilaian oleh Pakar & Praktisi Verified Masukan pakar & Praktisi Belum Stop Data IKRP (Indeks Kinerja Rantai Pasok) Penelusuran Indeks Kinerja Rendah
Penentuan Batas Kritis (Median)
Skor < 5
Daftar Driver dan Sub Driver Berkinerja Kurang
Penentuan Kebijakan
Kebijakan Perusahaan
Kebijakan Pemerintah
Gambar 25 Proses penentuan kebijakan
Pada proses penelusuran nilai indeks kinerja driver diperoleh hasil penilaian skor driver atau sub driver. Selanjutnya, kebijakan yang dirumuskan adalah kebijakan untuk mengatasi kondisi driver yang berkinerja kurang. Sementara untuk driver dengan kinerja baik direkomendasikan kebijakan mempertahankan atau meningkatkan. Hasil penentuan kebijakan untuk mendukung pengembangan industri kakao sebagaimana Tabel 29. Pustaka yang tertulis dalam kurung setelah pernyataan kebijakan merupakan acuan yang mendukung pernyataan kebijakan yang dirumuskan.
Tabel 29 Rumusan Kebijakan berdasar kinerja rantai pasok
Driver Kondisi/Permasalahan yang dialami industri Kebijakan Perusahaan Kebijakan Pemerintah
Fasilitas Jauhnya jarak sumber bahan baku ke industri
Kondisi jalan yang macet atau dalam kondisi rusak menambah waktu tempuh dan biaya
Kondisi pelabuhan untuk pengiriman bahan baku dan barang jadi saat ini lambat dan kurang memadai.
Fleksibilitas pabrik dan gudang yang
Pemilihan moda transportasi yang lebih efisien (kapasitas dan utilitas) (Cook et al.
2011)
Pemilihan lokasi pabrik yang lebih murah (Pujawan 2005)
Investasi teknologi proses yang lebih
Perbaikan infrastruktur jalan (Siry et al. 2006) Perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan (Grigg 2000) Pemberian insentif fiskal pengembangan
Driver Kondisi/Permasalahan yang dialami industri Kebijakan Perusahaan Kebijakan Pemerintah
kurang. fleksibel (Bauhoff 2003).
industri (Barbour 2005).
Pemenuhan pasokan energi listrik dan gas untuk industri (Delis A. 2008)
Inventori Aliran bahan baku kurang tepat waktu
Banyaknya bahan baku yang rusak setelah dikirim sampai ke pabrik
Sering terjadi order produk yang tidak terlayani akibat tidak ada stok produk
Proses pengiriman barang kurang optimal
Pengelolaan pemasok dan peningkatan kemampuan pemasok (Noor dan Pitt 2009)
Penerapan streamline stock (Randal et al.
2011) dan optimalisasi pengiriman (Blackburn dan Scudder 2009) Peningkatan produktivitas kebun kakao (Wahyudi et al. 2008) Revitalisasi penyuluh pertanian/perkebunan (PSE Litbangtan 2012) Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao (Salam 2011; Wahyudi et al. 2008)
Informasi Perencanaan masih menggunakan cara biasa Penerapan teknologi informasi dalam perencanaan (Frayret et al. 2007) Perluasan jaringan telekomunikasi (Levi et al. 2002)
Transportasi Kurang penjadwalan pengiriman barang
Penjadwalan pengiriman secara ketat (Blackburn dan Scudder 2009) Penghapusan hambatan perdagangan antar daerah (CSP 2010) Sourcing Kurangnya pengelolaan pemasok di perusahaan Kurangnya upaya perusahaan dalam meningkatkan kemampuan pemasok Pemilihan pemasok dengan kriteria dan penerapan standar (Ellegaard 2008; Pretty et al. 2008). Peningkatan
kemampuan pemasok (Noor dan Pitt 2009).
Penguatan kelembagaan petani (pemasok kakao) (Arsyad dan Kawamura 2009) Kerjasama pemerintah dan industri dalam peningkatan penyuluhan dan pendamping petani (Arsyad dan Kawamura 2009)
Mengacu pada Miller et al. (2007) bahwa suatu rumusan kebijakan harus dapat menjabarkan tentang pilihan cara untuk menyelesaikan masalah, tujuan dan prioritas dari kebijakan. Untuk itu rumusan kebijakan sebagaimana Tabel 29 dapat dijabarkan dalam bentuk kebijakan peningkatan kinerja masing-masing rantai pasok driver.
Kebijakan peningkatan kinerja driver fasilitas
Pada driver fasilitas terdapat empat keadaan yang dinilai kurang yaitu: jauhnya jarak sumber bahan baku ke lokasi industri dan kondisi jalan yang macet atau dalam kondisi rusak. Selain itu, jarak pengiriman biji kakao antar pulau yang tersebar dihadapkan pada kondisi pelabuhan yang kurang memadai serta lambat
dalam pelayanan. Hal tersebut akan berisiko menambah waktu tempuh aliran barang dan biaya perjalanan. Untuk itu, perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan akan sangat membantu mempercepat perjalanan dan mengurangi biaya. Jauhnya jarak sumber bahan baku dan kondisi jalan yang kurang memadai dapat diatasi dengan pemilihan moda transportasi yang lebih efisien. Hal ini akan memberikan kontribusi signifikan terhadap efisiensi rantai pasok (Cook et al. 2011). Selain itu dengan memilih lokasi yang lebih murah untuk pembangunan pabrik merupakan strategi ekspansi yang mempertimbangkan jauhnya jarak sumber bahan baku dan hambatan transportasi yang tidak bisa dihindari (Pujawan 2005). Dari sisi pemerintah perlu untuk mengambil kebijakan perbaikan jalan yang menghubungkan kegiatan ekonomi yang strategis termasuk untuk menunjang pergerakan komoditas kakao dari sentra produksi hingga ke pelabuhan atau ke industri. Kondisi jalan yang memadai (lebar dan bebas hambatan) yang menghubungkan daerah penghasil dengan industri atau pelabuhan ekspor akan mengefisienkan rantai pasok (Siry et al. 2006). Menurut hasil perhitungan inefisiensi akibat kondisi jalan yang buruk mencapai Rp 186/kg biji kakao yang diangkut (lihat Tabel 7).
Kurangnya fleksibilitas pabrik dan gudang merupakan keadaan driver fasilitas yang dihadapi oleh industri kakao saat ini. Pengertian fleksibililas pabrik adalah kemampuan untuk memproses bermacam-macam benda dengan bentuk yang berbeda-beda dan pada sistem kerja yang berbeda-beda pula. Fleksibilitas juga berarti kemampuan untuk mengubah bentuk benda produksi sesuai dengan permintaan yang datang (Chopra dan Meindl, 2007). Sementara itu menurut Beamon (1999) sebuah system manufaktur baru dapat dikatakan fleksibel jika: l) Mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi proses produksi yang mempunyai ciri-ciri berbeda ataupun benda yang berbeda berdasarkan system; 2) Mampu dengan cepat mengubah instruksi operasi; 3) Mampu dengan cepat mengubah pengaturan fisik (physical set up) desain manufakturnya.
Dari sisi perusahaan, kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah fleksibilitas pabrik adalah investasi mesin yang memiliki spesifikasi lebih fleksibel. Komponen mesin industri kakao skala besar yang berspesifikasi tinggi (fleksibilitas tinggi) memiliki ketergantungan pada pasokan energi baik listrik maupun gas yang tinggi pula. Jenis mesin tersebut di antaranya adalah mesin penyangrai biji kakao berbahan bakar gas (cocoa gas roaster) dan permesinan lainnya bertenaga listrik yang semuanya dapat diintegrasikan dalam satu sistem proses pengolahan kakao (cocoa processing plant) yang membutuhkan pasokan listrik dan gas yang mencukupi. Selain itu, gas juga digunakan untuk pemanasan terhadap bagian-bagian mesin pengolahan kakao yang menganut sistem aliran panas, seperti pada sistem perpipaan, dan membantu proses pengempaan (pressing) agar lebih efektif (Misnawi, Agustus 2013, wawancara). Namun, mengingat nilai investasi barang modal yang relatif besar, maka perlu dukungan pemerintah dengan pemberian insentif fiskal (perpajakan) terhadap pembangunan/ pengembangan industri, serta kebijakan yang memberi jaminan pasokan energi listrik dan gas yang memadai.
Berkenaan dengan fleksibilitas gudang yang kurang, secara internal kebijakan perusahaan untuk mengatasinya di antaranya dengan meningkatkan sistem pengelolaannya dengan memanfaatkan teknologi. Salah satu bentuknya berupa WMS (warehouse management system) yaitu suatu pusat distribusi berbasis
aturan canggih atau alat manajemen gudang yang menyediakan serangkaian fungsi terintegrasi sebagai paket terkonfigurasi (Bauhoff 2003). Namun demikian akuisisi dan implementasi teknologi WMS harus terencana dengan baik meyangkut berbagai persiapan. Untuk itu, menurut Bauhoff (2003) optimalisasi strategi operasional gudang konvensional merupakan pilihan pertama jika masih bisa memenuhi fleksibilitas yang diminta oleh proses produksi dan permintaan pasar. Pada tingkat yag lebih maju, pengelolaan gudang dapat memanfaatkan RFID (radio frequency identification) mendukung desain teknologi WMS yang memungkinkan untuk memproses dan mengontrol semua informasi yang terkandung dalam tag RFID pada setiap jenis barang yang disimpan.
Dari sisi pemerintah kondisi yang dihadapi oleh industri merupakan permasalahan yang perlu diatasi. Salah satu bentuk instrumen kebijakan yang dimiliki pemerintah adalah dengan mengurangi atau menghilangkan beban pajak impor barang modal bagi industri melalui kebijakan fiskal. Hal ini didasari oleh teori bahwa kebijakan insentif fiskal dapat meningkatkan investasi (terutama FDI) dan pertumbuhan ekonomi. Insentif fiskal bekerja dengan mengubah parameter dari suatu proyek investasi dimana perusahaan (investor) memilih untuk melakukan investasi ketika Net Present Value (NPV) dari arus kas suatu proyek lebih besar dari nol (Barbour 2005).
Kebijakan peningkatan kinerja driver persediaan
Kelemahan yang dialami pada driver persediaan adalah banyaknya bahan baku yang rusak setelah dikirim sampai ke pabrik. Kondisi biji kakao yang rusak dapat ditandai dengan biji berkualitas jelek (tidak terfermentasi, purple dan slaty bila dibelah, berjamur, warna ungu akibat fermentasi berlebih, biji pipih, kecil dan biji pecah-pecah, berkecambah, berbau tidak sedap, berbau asap akibat pengeringan berlebih, berjamur, bercampur kotoran, tingkat kelembaban dan kadar air yang tinggi). Jika salah satu atau beberapa kondisi tersebut ada pada biji kakao yang diangkut, maka hal ini dapat terjadi karena mutu bahan baku yang dikirim tidak memenuhi standard. Jika kadar air tinggi kecenderungan biji berjamur dan rusak sangat besar. Industri kakao membutuhkan biji kakao dengan kadar air antara 6-7%. Jika lebih dari 8%, yang turun bukan hanya hasil rendemennya saja, tetapi juga berisiko terhadap serangan bakteri dan jamur. Jika kadar air kurang dari 5%, kulit biji akan mudah pecah dan biji harus dipisahkan karena mengandung kadar biji pecah yang tinggi (Wahyudi et al. 2008).
Untuk dapat mengatasi kondisi tersebut yang paling mendasar dimulai dari perbaikan kualitas biji kakao melalui penanganan pasca panen melalui revitalisasi penyuluh pertanian (khususnya perkebunan) yang kondisinya kurang memadai (PSE Litbangtan 2012). Selanjutnya perlunya penerapan Wajib SNI biji kakao secara luas terhadap seluruh mata rantai perdagangan biji kakao. Keterpurukan citra mutu kakao Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari penerapan standar mutu kakao yang selama ini masih secara sukarela dan longgarnya persyaratan mutu di dalamnya. Pelaksanaan dan perluasan penerapan standar mutu secara konsisten akan mendorong (mendidik) perbaikan mutu dan secara bertahap akan memperbaiki citra mutu kakao di dalam perdagangan global (Salam 2011; Wahyudi et al. 2008).
Dari sisi perusahaan aliran bahan baku kurang tepat waktu dapat diselesaikan dengan cara pengelolaan pemasok yang benar-benar memiliki kualifikasi baik
(Noor dan Pitt 2009). Artinya dengan kendala kondisi infrastruktur jalan dan hambatan lainnya akan dapat diupayakan meskipun dengan biaya yang relatif besar. Untuk itu peran pemerintah melalui program dan kebijakan yang dapat memperbaiki infrastruktur yang mendukung aliran barang lebih lancar menjadi harapan perusahaan pengolah kakao. Sementara itu, banyaknya bahan baku yang rusak setelah dikirim sampai ke pabrik secara umum berkaitan dengan mutu biji kakao dari lokasi asal biji kakao tersebut, atau juga bisa terjadi akibat sistem perdagangan biji kakao yang kurang sehat, yaitu ada tindakan pencampuran biji kualitas baik dan buruk tersebut didorong oleh target mengejar suatu komposisi mutu dan volume tertentu. Upaya secara internal yang dapat dilakukan perusahaan adalah perluasan kemitraan dengan pemasok/ petani untuk menjamin pasokan secara kontinu. Sementara untuk mengatasi seringnya terjadi order produk yang tidak terlayani akibat tidak ada stok produk dapat dilakukan dengan penerapan streamline stock yaitu perusahaan meminimalisir stok barang untuk meminimalisir biaya penyimpanan barang (Randal et al. 2011) dan optimalisasi pengiriman (Blackburn dan Scudder 2009).
Kebijakan peningkatan kinerja driver informasi
Perencanaan yang dilakukan oleh industri kakao masih menggunakan cara biasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa perencanaan industri --sebagai salah satu elemen dari driver informasi rantai pasok-- belum mengadopsi teknologi informasi yang memadai agar lebih efisien dan responsif terhadap tantangan dan peluang yang ada. Dari sisi perusahaan, kebijakan yang relevan untuk mengatasi keadaan tersebut adalah dengan penerapan teknologi informasi dalam berbagai lingkup untuk mengintegrasikan keterkaitan antar perusahaan yang membentuk rantai pasok. Perusahaan dengan perencanaan rantai pasok berkualitas dan kontrol yang kuat atas aktivitas produksi memiliki rantai pasok yang efisien karena tidak dimungkinkan adanya aktivitas yang merugikan (Frayret et al. 2007). Selain itu teknologi informasi diperlukan untuk memperbaiki kinerja rantai pasok terutama dengan mengurangi ketidakpastian (Chopra dan Meindl 2007).
Salah satu kendala yang dihadapi dalam penerapan menerapkan teknologi informasi untuk rantai pasok adalah penyiapan infrastruktur. Levi et al. (2002) menyebutkan bahwa infrastruktur teknologi informasi mencakup empat komponen, yaitu: interface devices, komunikasi, database, dan arsitektur sistem. Infrastruktur ini harus disiapkan, baik untuk internal perusahaan maupun eksternal antar perusahaan dalam rantai pasok. Beberapa kendala yang harus dapat diatasi dalam penerapan teknologi informasi untuk pengelolaan rantai pasok, antara lain, masalah penyiapan infrastruktur dan standardisasi informasi. Masalah bentuk informasi tersebut terkait dengan standardisasi informasi. Informasi dapat dalam berbagai bentuk atau format yang berbeda sesuai dengan teknologi informasi yang digunakan perusahaan. Perbedaan bentuk atau format ini dapat menjadi kendala untuk mengintegrasikan informasi. Jika informasi ini tidak dapat terintegrasi maka pengelolaan rantai pasok sangat sulit dilakukan.
Untuk mendukung aktivitas tersebut pemerintah perlu mempeluas akses untuk memperlancar arus informasi antar pelaku rantai pasok kakao lintas daerah. Syam (2006) dalam penelitiannya menempatkan kebijakan pengembangan infrastruktur jaringan telekomunikasi menjadi kebijakan yang mendasar dan penting bagi pengembangan agrokakao. Pada daerah dimana infrastruktur
telekomunikasi masih kurang perlu dukungan penambahan prasarana, seperti di sentra produksi kakao yang berada di pedesaan.
Kebijakan peningkatan kinerja driver Transportasi
Pada driver transportasi terlihat masih kurangnya penjadwalan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Secara internal perusahaan dapat melakukan penjadwalan pengiriman secara lebih ketat (Blackburn dan Scudder 2009). Dengan pengiriman barang yang terjadwal dan ketepatan pengiriman. Akan memperlancar arus barang, baik di gudang maupun di tempat proses produksi, sehingga membuat meningkatkan efisiensi keseluruhan rantai pasok. Konsep ini sejalan dengan konsep JIT yang telah lama diterapkan di berbagai industri. Sementara itu, dari sisi pemerintah kebijakan yang memberikan iklim yang kondusif bagi upaya peningkatan aliran barang ini adalah dengan penghapusan hambatan perdagangan antar daerah (pungutan/retribusi) akan lebih memperlancar pasokan dan mengurangi biaya pengiriman (CSP 2010).
Kebijakan peningkatan kinerja driver sourcing
Permasalahan pada driver sourcing rantai pasok industri kakao adalah kurangnya pengelolaan pemasok di perusahaan dan kurangnya upaya perusahaan dalam meningkatkan kemampuan pemasok. Hal ini menunjukkan kondisi nyata bahwa manajemen hubungan pemasok (supplier relationship management) dalam industri kakao belum berjalan baik. Manajemen hubungan pemasok merupakan proses yang menentukan bagaimana suatu perusahaan berinteraksi dengan para pemasoknya. Menggingat pemasok berperan penting dalam menentukan mutu produk, biaya, pengembangan produk bagi perusahaan. Mutu produk dan layanan, sebagai penentu kepuasan pelanggan, salah satunya bergantung kepada kualitas pemasok yang dipilih. Jadi pemasok yang berkualitas tentu memudahkan perusahaan menghasilkan produk dan layanan yang berkualitas pula. Dari sisi perusahaan (industri) harus cermat dalam memilih pemasok yang sesuai. Pemilihan pemasok dapat dilakukan dengan menerapkan kriteria tertentu dan penerapan standar dalam budidaya yang dilakukan oleh petani dan penanganan biji kakao