• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpulan

Permasalahan perkakaoan di sektor hulu adalah produktivitas rendah dan mutu biji belum standar, dan kurangnya pendanaan perawatan kebun. Sementara itu, permasalahan pada rantai perdagangan biji kakao adalah tersebarnya sentra produksi, kondisi jalan poros yang kurang memadai, kondisi jalan di sentra produksi yang kurang baik, pungutan terhadap perdagangan antar daerah, dan informasi harga yang terdistorsi. Pada sektor hilir permasalahan yang dihadapi adalah masih rendahnya daya serap (kapasitas) industri. Pemerintah telah memperbaiki beberapa kebijakan yang menghambat, namun proses bangkitnya industri kakao masih belum optimal.

Dari berbagai kebijakan untuk mendorong pengembangan industri kakao, terlihat kebijakan sektor keuangan khususnya kebijakan fiskal dan perpajakan mendominasi perkembangan industri kakao Indonesia. Sementara kebijakan di bidang infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan pasokan energi berupa gas alam dan energi listrik dari sisi industri masih dinilai belum memenuhi harapan.

Dari analisis rantai pasok kakao diketahui bahwa nilai inefisiensi akibat pola perdagangan umum kakao di Sulawesi Selatan mencapai Rp2.044/kg kakao. Sementara itu, nilai inefisiensi rantai pasok akibat distorsi informasi harga, kakao dan perilaku pelaku perdagangan kakao mencapai Rp3.950/kg kakao. Nilai inefisiensi tersebut akan mengurangi harga yang diterima petani.

Pengembangan industri pengolahan kakao dapat dicapai dengan mengefektifkan dan mengefisienkan rantai pasok kakao. Membangun kemitraan dengan pemasok (petani atau koperasi/kelompok tani) merupakan bentuk kegiatan yang secara bersama mengatasi dan memberdayakan pelaku pada jaringan yang terlemah. Metode kemitraan yang diikuti sarana pelatihan demplot di sentra produksi disertai fasilitator/penyuluh lapangan terbukti memberikan hasil biji kakao berkualitas yang mendukung keberlanjutan (kuantitas dan kualitas) pasokan biji kakao industri. Dengan pola kemitraan tersebut akan memberi manfaat berupa harga pada tingkat petani lebih tinggi 22% dibanding pola umum.

Dari proses dekomposisi driver kinerja rantai pasok diperoleh masing- masing 5 driver untuk aspek efisiensi dan responsivitas. Kelima driver tersebut adalah fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi. Sedangkan sub- driver yang berhasil diurai sebanyak 35 peubah sub driver untuk aspek efisiensi dan 27 peubah sub driver untuk aspek respsonsivitas.

Hasil pengukuran indeks kinerja driver rantai pasok menunjukkan bahwa secara umum industri kakao cenderung mengutamakan responsivitas untuk keputusan menyangkut driver fasilitas, persediaan dan sourcing. Sementara untuk driver transportasi dan informasi pada rantai pasok industri kakao lebih cenderung mengutamakan efisiensi. Gambaran kecenderungan ini menjadi informasi penting bagi pemerintah dalam memfasilitasi industri kakao untuk dapat meningkatkan kinerja rantai pasok dan daya saingnya. Sementara itu, urutan driver berdasarkan kesenjangan dimulai dari yang paling besar adalah driver fasilitas, inventori, informasi, transportasi, dan sourcing.

Dari hasil strukturisasi rumusan kebijakan didapatkan delapan level dimana kebijakan pemerintah pemberian insentif fiskal, perluasan penerapan wajib SNI biji kakao, perluasan jaringan telekomunikasi, dan kebijakan penghapusan hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat kebijakan yang berada pada level pertama. Hal ini berarti bahwa keberhasilan keempat kebijakan tersebut sangat ditentukan oleh kebijakan lain di level bawahnya. Dalam konteks kebijakan pendukung pengembangan industri kakao posisi kebijakan insentif fiskal adalah kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri kakao.

Terdapat tiga kebijakan yang memiliki relasi menarik dalam konteks pengembangan industri kakao, dimana keberhasilan kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao (kebijakan 5) sangat membutuhkan dukungan/dorongan kerjasama yang sinergi dengan industri (kebijakan 11) dalam memberdayakan petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao yang produktif dan bermutu sesuai tuntutan industri/ekspor. Selanjutnya keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan dan peningkatan produktivitas dapat mendorong revitalisasi lembaga penyuluhan pemerintah (kebijakan 6).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang memberikan dorongan dan dukungan pada kebijakan-kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao. Bersama-sama dengan kelompok kebijakan di bidang infrastruktur yaitu perbaikan infrastruktur jalan (termasuk jembatan), perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan gas) diharapkan menjadi penghela kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao. Kebijiakan tersebut tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur, namun juga non fisik yang lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan pemasok kakao yaitu petani kakao.

Untuk kebijakan perusahaan, kebijakan penerapan teknologi informasi dalam perencanaan merupakan kebijakan level teratas dalam struktur kebijakan perusahaan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok agar industrinya berkembang. Kebijakan ini keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan perusahaan yang berada di level bawahnya. Sementara kebijakan peningkatan kemampuan pemasok merupakan kebijakan dasar untuk dapat mendukung kebijakan-kebijakan perusahaan yang lainnya dalam meningkatkan kinerja rantai pasok.

Berdasarkan hasil validasi terhadap model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang tersusun dalam rumusan kebijakan serta model struktur yang dihasilkan telah dapat menggambarkan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan industri kakao di Indonesia. Dengan menekankan pada penggunaan kinerja driver rantai pasok sebagai dasar dalam perumusan kebijakan dinilai telah dapat memenuhi tuntutan nyata pengembangan industri yang dihadapi oleh investor atau industri yang ada.

Saran

Pada dasarnya pengukuran kinerja rantai pasok industri kakao dalam penelitian ini dapat diimplementasikan pada rantai pasok industri selain kakao. Model pengukuran tersebut dapat digunakan dengan baik sepanjang: 1) aktivitas rantai pasok yang dilakukan perusahaan cukup lengkap dan sesuai dengan lingkup dalam model; 2) adanya personil perusahaan yang memiliki pemahaman terhadap rantai pasok perusahaan bersangkutan; 3) data skor yang diberikan mengenai kondisi kinerja rantai pasok mencerminkan keadaan/kenyataan rantai pasok perusahaan.

Untuk memperdalam kajian driver rantai pasok disarankan untuk memilih pakar sesuai dengan ranah driver rantai pasok yang dibahas. Misalnya pakar dibidang infrastruktur untuk membahas driver fasilitas, pakar di bidang inventori untuk driver inventori dan seterusnya. Hal ini untuk mempertajam tinjauan tentang driver rantai tersebut sekaligus dapat memperbaiki tingkat relevansi antara konsep dan metrik pengukurannya.