• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI RUANG PERMUKIMAN NELAYAN DENGAN EKOWISATA PESISIR

6.1.5. Integrasi Ruang dengan Analisis Overlay

Analisis overlay ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir dilakukan berdasarkan peta tematik. Peta-pata tematik merupakan pengembangan dari variabel integrasi ruang, ruang permukiman nelayan dan ruang wisata pesisir. Ketiga variabel tersebut dijadikan tematik-tematik penggunaan ruang yang akan di tumpang tindih (overlay). Dari peta-peta tematik terdiri kebutuhan ruang aktivitas, kondisi sarana, kondisi prasarana dasar, kondisi obyek daya tarik ekowisata, dan kondisi aksesibilitas serta kelerengan. Peta-peta tematik tersebut dilakukan tumpang tindih bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya konflik-konflik

163

penggunaan ruang yang terjadi antara ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir.

Dari hasil analisis overlay dari peta-peta tematik, diketahui integrasi ruang mana ruang yang lebih cocok dikembangkan. Hasil overlay tersebut dikembangkan untuk ruang permukiman atau ruang ekowisata pesisir. Oleh karena itu, teknik analisis overlay, merupakan penyederhanaan yang disebabkan kompleksnya seluruh sistem aktivitas dalam ruang permukiman. Selanjutnya, integrasi ruang dengan model analisis overlay dapat dibatasi dengan hanya memperhitungkan variabel-variabel yang dikaji sesuai tujuan penelitian.

Selanjutnya menurut Amirin (2011), luasnya sistem dan ruang lingkup, batasan pengkajian ini, tidak bisa diselesaikan karena sistem menjadi sangat luas. Penyederhanaan sistem ini dilakukan berdasarkan tujuan penelitian yang sudah ditetapkan terdahulu. Oleh karena itu, maka analisis overlay menggunakan pendekatan dan metode. Adapun proses pendekatan integrasi ruang dengan overlay diuraikan sebagai berikut; (a) penggunaan ruang yang sesuai fungsinya, (b) faktor penentu, aspek fisik, non fisik ruang permukiman nelayan dan ruang ekowisata, (c) prinsip, memperoleh ruang yang sesuai dengan kebutuhan integrasi ruang. Teknik overlay bertujuan untuk menentukan fungsi dan peruntukan lahan dan jangkauan aksesibilitas. Adapun tools yang digunakan adalah tool Union untuk menentukan fungsi peruntukan lahan dan tool Spatial join untuk menentukan jangkauan aksesibilitas.

a. Tahap I

Menentukan kesesuaian peruntukan ruang pengembangan sarana dan potensi wisata menggunakan tool union. Tool ini sangat sesuai mengingat tidak semua peta mempunyai indikator analisis yang terbagi secara keseluruhan mengisi ruang peta yang ada. Seperti peta aktivitas dimana keseluruhan ruang dari lokasi penelitian bukan indikator aktivitas. Demikian pada peta kelerengan dimana lingkup lokasi penelitian termasuk bagian laut. Sedangkan laut bukan bagian dari indikator kelerengan. Disinilah peran tool union dalam menganalisis dimana batas polygon setiap feature tetap dipertahankan.

Untuk menentukan kesesuaian peruntukan lahan pengembangan sarana ruang permukiman nelayan dengan ruang ekowisata pesisir, dilakukan analisis tumpang

164

tindih (overlay). Peta tematik yang akan ditumpangtindihkan adalah peta potensi alam, aktivitas, dan kelerengan. Ketiga peta ini diselanjutnya ditumpang tindih dan disajikan pada Gambar 6.3.

Gambar 6.3. Menentukan Kesesuaian Peruntukan Lahan Pengembangan Sarana dan Potensi Ekowisata Pesisir

Sumber : Hasil Analisis, 2014.

Gambar 6.3, menunjukan bahwa lokasi penelitian memiliki keunikan karakterisitik topografi dan kelerengan. Potensi topografi dan kelerengan ini, diharapkan mampu merespon pengembangan kegiatan akstivitas sosial, budaya dan perekonomian yang dapat dilakukan pelayanan wisata pesisir pada bentang

Potensi Alam Aktivitas Kelerengan (%) Analisis peruntukan ruang –ruang untuk aktivitas sosial perekonomian

165

darat dan laut. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat kemiringan lereng 0-4 persen (rendah) yang sesuai untuk kegiatan terbangun, seperti pengembangan sarana penunjang kegiatan wisata dalam bentang darat pada ruang permukiman nelayan. Selain itu, terdapat kemiringan lereng 4-10 persen (sedang) yang masih memungkinkan untuk kegiatan terbangun.

Berdasarkan kondisi eksisting lokasi dengan kemiringan 0-10 persen dominan sudah terbangun, namun terdapat lahan kosong yang berpotensi untuk pengembangan ruang baru seluas 8.342,49 m2, pada warna orange. Selain lahan kosong ini masih tersedia ruang untuk pembangunan yang masih memungkinkan yaitu terdapat pada area curam, yang saat ini masih berupa lahan perkebunan. Lahan-lahan kosong ini sesuai untuk kegiatan pembangunan sarana wisata bentang darat, berupa sarana perdagangan, jasa dan industri. Sedangkan untuk ruang-ruang wisata dibutuhkan sarana fisik berupa wisata atraksi buatan berupa sarana rumah produktif, kuliner, toko, warung, ruang informasi, wifi/internet, jalan setapak susur darat dan pantai. Selain perbedaan datar dan curam dapat dikembangkan sarana ruang produktif vertikal pada lahan kosong sepanjang 300 m. Selanjutnya untuk kemiringan lereng diatas 10–25 persen (curam), tidak sesuai untuk kegiatan pembangunan.

Namun, sesuai potensi organisasi matra ruang yang ada, terdiri dari ruang datar, gunung, dan laut. Oleh karena itu, perbedaan topografi yang ada, justru menimbulkan keunikan, keuntungan dari ciri-ciri alam. Potensi pengembangan dari kelerengan ini sesuai kebutuhan integrasi ruang, dan dapat dikembangkan menjadi ruang-ruang orientasi, view, pemantauan dan pemandangan arah kelaut. Program pembangunan ini membutuhkan perubahan tapak, serta tanah ini dapat dibentuk untuk meningkatkan rancangan. Perubahan ini, tetap memperhatikan ekologi antara bentuk asal dan bentuk baru yang sesuai.

Lokasi yang berpotensi ruang wisata pesisir dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu potensi wisata yang terdapat di laut dan di darat. Untuk potensi yang di laut, sudah pasti bukan bagian dari pengembangan permukiman/sarana sehingga secara tidak langsung kawasan tersebut sesuai untuk pengembangan wisata. Selanjutnya potensi wisata yang terdapat di darat setelah ditumpang tindih dengan peta kemiringan lereng diketahui bahwa potensi tersebar di kemiringan

166

Peruntukan Lahan

lereng yang dominan > 10 persen. Artinya, ketiga peta tematik yang ditumpang tindih antara peta tematik potensi alami, aktivitas, dan kelerengan tidak terjadi tumpang tindih dengan potensi pengembangan sarana dan prasaran pendukung aktivitas sosial, budaya, dan perekonomian dalam ruang permukiman nelayan dengan wisata pesisir. Disajikan pada Gambar 6.4.

Gambar 6.4 Peta Peruntukan Ruang Permukiman dan Ruang Ekowisata Pesisir Sumber : Hasil Analisis, 2014.

Berdasarkan Gambar 6.4, tersebut di atas, diperoleh klasifikasi luas lahan ruang permukiman eksisting sebagai ruang terbangun, dan ruang lahan kosong sebagai pengembangan sarana fisik untuk mendukung wisata atraksi alam, budaya dan buatan. Sedangkan peruntukan wisata yaitu wisata alam hutan mangrove, terumbu karang, wisata pemancingan, wisata potensi kerang, wisata kebun

167

kelapa, dan wisata budaya pembuatan perahu. Berikut disajikan klasifikasi luas lahan ruang permukiman nelayan Kota Donggala pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1.Klasifikasi Luas Lahan Ruang Permukiman Nelayan di Kota Donggala

No. Peruntukan Lahan Luas (m2)

1 Jalan 20,087.90 2 Drainase 1,991.12 3 Permukiman Eksisting 197,875.00 4 Potensi Pengembangan Sarana 8,342.49 5 Wisata Alam (Hutan Mangrove) 42,904.70 6 Wisata Alam (Terumbu Karang) 84,462.80 7 Wisata Alam Pemancingan 17,249.70 8 Wisata Alam Potensi Kerang 35,594.10 9 Wisata Budaya Kebun Kelapa 495,140.00 10 Wisata Budaya Pembuatan Perahu 8,316.81

Luas 911,964.62

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Dari total luas lahan ruang permukiman nelayan di Kota Donggala seluas 911,964.62 m2. Luas ruang didominasi oleh ruang tidak terbangun berupa perkebunan kelapa dan ruang permukiman eksisting, serta ruang aktivitas bentang laut seperti hutan mangrove, terumbu karang, kerang, dan tempat pemancingan. Dari klasifikasi ruang di atas yang berpotensi dikembangkan untuk ruang permukiman seluas 236,613, 32 m2, untuk ruang wisata pada bentang darat berupa hutan kelapa seluas 495.140,60 m2. Selanjutnya untuk aktivitas dan pelajanan wisata pada bentang laut berupa hutan mangrove, terumbu karang, kerang, dan tempat pemancingan seluas 174,211,30 m2. Ketiga kelompok ruang dibagi tiga bagian, yaitu:

1. Zona aktivitas pada ruang permukiman eksisting, memiliki karakter ruang terbangun dengan fungsi aktivitas campuran. Sedangkan kawasan lahan kosong dapat dikembangkan hunian vertikal. Sedangkan, untuk sarana dan prasarana dasar seperti air bersih, listrik, persampahan, jalan, jembatan, dan area pelabuhan pendaratan ikan (PPI) terintegrasi dalam ruang permukiman nelayan.

168 Aksesibilitas Peruntukan Lahan Jangkauan Aksesibilitas Peruntukan Lahan

2. Zona aktivitas dan pelayanan wisata pesisir yang terdapat pada bentang darat, berupa hutan kelapa. Sedangkan untuk wisata pesisir pada bentang laut, berupa hutan mangrove, terumbu karang, kerang, dan tempat pemancingan. b. Tahap II

Meninjau integrasi ruang permukiman, potensi pengembangan sarana dengan potensi wisata dapat dilihat berdasarkan jangkauan aksesibilitas, prasarana dan ketersediaan sarana eksisting. Analisa ini dilakukan dengan menggunakan tool spatial join. Disajikan pada Gambar 6.5.

Gambar 6.5 Peta Overlay Aksesibilitas dan Peruntukan Lahan Sumber : Hasil Analisis, 2014

Dengan menggunakan tool spatial join diketahui bahwa akses jalan telah terhubung kesemua peruntukan lahan baik ruang permukiman, maupun potensi ruang pengembangan wisata. Selain itu terdapat jalan arteri sebagai penghubung antar wilayah. Disajikan pada Gambar 6.6.

169

Gambar 6.6 Peta Jangkauan Aksesibilitas dalam Integrasi Ruang Permukiman Nelayan dengan Potensi Ekowisata

Sumber : Hasil Analisis, 2014