• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Ruang Permukiman Nelayan dalam Perspektif Ekoisata Pesisir

INTEGRASI RUANG PERMUKIMAN NELAYAN DENGAN EKOWISATA PESISIR

6.1.2. Integrasi Ruang Permukiman Nelayan dalam Perspektif Ekoisata Pesisir

Latif (2011), integrasi ruang permukiman dengan ekowisata pesisir hanya bisa tercapai dengan interelasi dimensi fisik dan fungsional. Santosa (2000), mengusulkan peningkatan berbagai aktivitas sosial budaya, perekonomian dan ekowisata, serta lokasi dalam ruang permukiman nelayan harus dianalisis, sehingga pengembangan kawasan ruang permukiman nelayan dapat dikembangkan dari beragam aktivitas sosial, budaya, dan perekonomian, menjadi aktivitas pelayan ekowisata budaya. Judowidjojo (2002 dalam Wardani, dkk 2012), menyatakan bahwa peningkatan aktivitas sosial, budaya, dan perekonomian terpadu dengan pelayan ekowisata pesisir diharapkan dapat menciptakan beragam elemen fisik yang dibutuhkan.

Keterkaitan aktivitas perekonomian dengan ekowisata pesisir didukung elemen fisik menimbulkan reaksi positif, bagi masyarakat terhadap kondisi lingkungannya. Setting perilaku akan dihasilkan oleh perpaduan antara aktivitas dan tempat pada ruang permukiman. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

153

setting fisik mempunyai hubungan timbal balik dengan berbagai macam perilaku yang terjadi dalam setting dalam ruang permukiman. Ruang-ruang aktivitas sosial budaya dan perekonomian yang terbentuk pada ruang permukiman akan menjebabkan meningkatnya beragam kebutuhan ruang fisik, dan non fisik sebagai pendukung untuk mengoptimalkan fungsi ruang. Beragam aktivitas yang terpadu, dan tersusun dengan baik dalam ruang permukiman. Sehingga terwujudnya beragaman aktivitas ini, menjadikan aktivitas ekowisata pesisir pada ruang permukiman nelayan. Timbulnya, keberagaman aktivitas karena adanya kebutuhan dan kesadaran manusia terhadap suatu ruang/tempat, untuk meningkatkan aktivitas menjadi pelayanan ekowisata pesisir dalam ruang permukiman nelayan. Meskipun ada hubungan antar elemen-elemen tersebut dalam ruang permukiman nelayan, tapi kondisinya masih belum di integrasikan.

Sementara itu, Wardani, dkk (2012), menjelaskan bahwa integrasi aktivitas antara ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir. Integrasi tersebut dapat fitingkatkan, karena ditunjang dari kedua sektor, yaitu sektor permukiman dan sektor ekowisata pesisir. Selanjutnya integrasi aktivitas dapat terjadi bila ada dukungan secara fisik, berupa penyediaan sarana dan prasarana dalam ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir.

Dengan demikian, integrasi ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir dapat dikembangkan, karena sudah ditunjang dari kedua sektor, yaitu, sektor permukiman dan sektor ekowisata pesisir. Keterhubungan sektor ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir merupakan wujud integrasi ruang. Terjadinya integrasi ruang ini membutuhkan koordinasi antar pemangku kepentingan, sehubungan dengan integrasi ruang yang membutuhkan dukungan segenap pemangku kepentingan di Kota Donggala.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, integrasi ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir tidak bisa berdiri sendiri. Akibat, lemahnya koordinasi antara pemangku kepentingan, integrsi ruang yang diharapkan masih belum berpengaruh meningkatkan potensi alam, aktivitas dan masyarakat sebagai pelaku. Oleh karena itu, fungsi integrasi ruang aktivitas diharapkan dapat ditingkatkan secara optimal guna mendaya gunakan potensi perikanan, hutan pesisir menjadi

154

aktivitas produksi. Aktivitas produksi berupa pengelolaan hasil-hasil dari buah tangan, yang berguna bagi kebutuhan pegunjung.

Dipihak lain Roychansyah (2008), menunjukkan peningkatan integrasi aktivitas dalam ruang permukiman, seharusnya memiliki potensi. Potensi wilayah dengan karakter, potensi alam, aktivitas, serta keunikan bentang alam yang khas, berupa ruang pesisir. Untuk itu potensi yang menggambarkan potensi bentang alam tersebut perlu direspon melalui kajian smartcode. Kajian smartcode, yang menekakankan pentingnya dilakukan identifikasi potensi wilayah, dianalisis. Terkait analisis pengembangan ekowisata pesisir. Maka, ada beberapa aspek kajian smartcode berdasar pada potensi wilayah harus diidentifikasi melalui empat indikator yang diukur yaitu; (a) orientasi, (b) organisasi ruang, (c) prioritas pengembangan, (d) aspirasi. Berikut disajikan pada Gambar 6.1, dan 6.1a.

`

Gambar 6.1 Karakteristik Potensi Ruang Permukiman Nelayan Sumber : Citra Satelit MAP, 2014

155

6.1.a. Sketsa Bentang Alam Ruang Permukiman Nelayan di Kota Donggala

Hasil survey potensi pengembangan integrasi ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Aspek Orientasi

Lokasi pengembangan secara linier cenderung mengikuti garis pantai dan terpencar, sebagai konsekuensi dari mata pencaharian masyarakat nelayan. Orientasi dekat dengan laut telah menjadikan pemahaman laut sebagai ruang produksi. Ruang pesisir Kota Donggala terletak dalam satu garis linier mengikuti garis pantai yang menghubungkan kawasan penelitian Kota Donggala-Kota Palu. Letak strategis kawasan penelitian merupakan satu kesatuan tujuan orientasi pengembangan wisata alam dan budaya.

2. Organisasi Ruang

Organisasi ruang permukiman nelayan di Kota Donggala memiliki karakter yang khas dan keunikan dari dua matra, yaitu matra ruang dan komunitas masyarakat. Matra ruang terdiri dari pengunungan, daratan dan laut. Matra komunitas multi etnik yang terdiri dari Suku Bajo, Kaili, Bugis, Mandar, Arab, dan Tionghoa. Pertautan sosial budaya yang saling menunjang, harmonis, ini mendukung peran sosial baik secara internal maupun internasional.

Hutan Mangrov

Sarana PPI

Areal PPI Labuhan Bajo

Perahu-perahu Nelayan Pohon Kelapa Permukiman Nelayan Akses Jalan Vegetasi Bukit Batu Gamping Perairan Hutan Mangrov

156 3. Prioritas Pengembangan

Berdasarkan RTRW Kabupaten Donggala Tahun 2011-2029, Kota Donggala merupakan kawasan pengembangan wisata pesisir. Terkait dengan potensi pengembangan obyek daya tarik wisata alam dan budaya. Untuk meningkatkan kawasan ini, beragam upaya telah dilakukan oleh pemerintah melalui program intervensi yang sudah dilakukan sejak tahun 2000 hingga tahun 2013. Namun perubahan fisik kawasan belum berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas perekonomian masyarakat nelayan, hal ini lebih disebabkan analisis pembangunan ruang perdagangan, ruang jasa dan ruang industri masih belum terhubung dengan potensi ruang permukiman nelayan di Kota Donggala.

4. Aspirasi Masyarakat

Berdasarkan analisis persepsi dari 126 responden dengan 4 (empat) variabel indikator dalam upaya-upaya peningkatan fisik dan fungsional ruang permukiman nelayan, diuraikan sebagai berikut:

a. Variabel indikator pertama, yaitu: sebagian besar jawaban responden setuju, koodinasi antar pemerintah dan masyarakat selama ini perlu ditingkatkan.

b. Variabel indikator kedua, yaitu; sebagian besar jawaban responden setuju meningkatkan sikap akan sadar, dan keterbukaan masyarakat dalam menerima perbedaan budaya bagi pengunjung.

c. Variabel indikator ketiga, yaitu; sebagian besar jawaban responden setuju pelestarian budaya guna mendukung peningkatan fungsional ruang permukiman nelayan.

d. Variabel indikator keempat, yaitu; sebagian besar jawaban responden setuju, bahwa kelengkapan sarana produksi dalam ruang permukiman nelayan dengan teknologi modern serta ramah lingkungan berimplikasi untuk peningkatan produktivitas masyarakat nelayan.

Berdasarkan persepsi masyarakat di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden menaruh harapan terhadap upaya-upaya peningkatan fisik, fungsional ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir. Namun fakta lapangan menunjukkan potensi yang ada masih dikembangkan apa adanya dan masih

157

belum dihubungkan dengan potensi ekowisata alam dan budaya. Bertolak dari hasil survey aspirasi masyarakat yang dikemukakan di atas saling terkait, dan mengandung dua kendala.

Kendala pertama, rendahnya koordinasi yang berdampak buruk yang ditimbulkan, disebabkan kelengahan segenap pemangku kepentingan. Kendala kedua, kelegahan dalam merespon potensi organisasi ruang pesisir masih belum dikembangkan beragam aktivitas dan pelayanan ekowisata pesisir dalam ruang permukiman nelayan. Kedua tantangan tersebut di atas tidak berjalan sendiri, melainkan makna, dan peran pemangku kepentingan, perlu ditingkatkan melalui, singkronisasi, terpola, sistematis, dan harmonis menuju suatu rencana dengan tersusunnya tujuan, kebijakan, dan strategi meningkatkan produktivitas perekonomian masyarakat nelayan. Paradigma tersebut di atas, sebagai wujud tanggung jawab, nilai (value).

Paradigma terpola, singkronisasi, sistematis, dan komprehensif, menjadi dasar pemahaman, pengaturan fisik, non fisik, dan nilai peningkatan fungsional ruang permukiman nelayan produktif. Paradigma tersebut, sebagai jawaban atas kendala-kendala, kelengahan, sebagai acuan. Untuk mencapai paradigma tersebut dapat dijadikan media komunikasi antar pemangku kepentingan. Agar komunikasi ini, terpola, maka diperlukan pelatihan. Thalhah (2014), menyatakan bahwa, metode pendampingan masyarakat, dengan dan pendampingan masyarakat melalui pendekatan Perspektif Logika Hakekat (PLH). PLH, sebagai paradigma komprehensif, menjadi dasar pelatihan bagi segenap pemangku kepentingan untuk memahami potensi fisik, non fisik, fungsional dan nilai-nilai ekowisata.

Nilai manusia yang dapat memahami nilai kemanusiaannya akan mengetahui pula nilai-nilai Allha SWT. Kedua pemahaman nilai manusia, dengan nilai Allah SWT, manusia diharapkan dapat mendaya gunakan potensi ruang dan aktivitas, menjadi inovasi bersama.

6.1.3. Perspektif Logika Hakekat dalam Memanusiakan Masyarakat