• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Integrasi Ruang dalam Pengembangan Ekowisata Pesisir Latif (2011), menyatakan bahwa integrasi ruang permukiman pesisir

KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI

2.3. Integrasi Ruang

2.3.2. Pendekatan Integrasi Ruang dalam Pengembangan Ekowisata Pesisir Latif (2011), menyatakan bahwa integrasi ruang permukiman pesisir

dengan ekowisata pesisir hanya bisa tercapai dengan interelasi dimensi fisik dan fungsional. Terdapat 8 kelemahan yang harus diatasi dalam pengembangan integrasi ruang dengan potensi ekowisata kawasan pesisir, yaitu: (a) kurangnya perencanaan, master plan, (b) terbatasnya dana, (c) kondisi kawasan pesisir, (d) pengenalan sistem transportasi lain, (e) kurangnya manajemen yang terkoordinasi, (f) keinginan politik, (g) kurangnya kesadaran, (h) tuntutan pasar. Berikut ini dilakukan pembahasan menyangkut kelemahan-kelamahan dalam pengembangan integrasi ruang dengan ekowisata pesisir sebagai berikut:

a. Penyusunan Master Plan.

Weber dan Damanik (2006), master plan ekowisata pesisir merupakan kawasan yang berorientasi pada pengembangan aktivitas atraksi wisata, alam, budaya dan buatan. Pengembangan Rencana Induk Pengembangan Obyek Wisata (RIPOW), dapat dikembangkan berdasarkan dukungan-dukungan kebijakan tata ruang. Berdasarkan karakteristik dan identifikasi potensi yang ada kawasan penelitian memiliki dukungan antara lain:  Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten

Donggala tahun 2011–2029, menetapkan Kota Donggala termasuk wilayah pengembangan wisata budaya dan alam (Bappeda, 2011).  Pertumbuhan kunjungan wisatawan yang semakin meningkat, namun

masyarakat masih belum menerima dampak dari kunjungan ekowisatawan.

 Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2000 hingga tahun 2013 dalam berbagai intervensi program. Namun pengembangan ruang permukiman nelayan pesisir belum dapat meningkatkan perekonomian masyarakat nelayan.

47

Berbagai tujuan, strategi, dan kebijakan untuk pengembangan ruang permukiman nelayan menjadi mandiri, namun dasar pencapaian, strategi, dan metode yang digunakan kurang mendukung. Lemahnya koordinasi, lebih disebabkan belum ada metode, media, yang dijadikan dasar sebagai wadah penggalian gagasan bersama untuk menyatukan potensi alam, dan dengan aktivitas masyarakat.

b. Kondisi Kawasan Penelitian

Ching (2008), yang menyatakan bahwa organisasi linier dengan potensi topografi, kelerengan pada dasarnya mampu merespon ragam kondisi tapaknya. Potensi organisasi linier ini diharapkan dapat beradaptasi dan melahirkan keunikan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Frick (2006), bahwa kondisi kontur yang memiliki kesatuan ruang dalam dimensi darat, pengunungan, dan laut dapat dikembangkan beragam fungsi, dan mendukung ruang permukiman produktif.

c. Pengenalan Sistem Transportasi

Aksesibilitas hubungan Kota Donggala dan Kota Palu sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, mendukung kemudahan pencapaian ke lokasi ruang ekowisata pesisir. Dimana sistem transportasi massal tersedia baik angkutan darat, laut dan udara. Selain tersedianya sistem transportasi massal kawasan ekowisata juga tersedia transportasi lokal seperti kapal motor, kendaran roda empat dan roda dua.

d. Keuangan

Wujud nilai tambah dan manfaat aktivitas ekowisata akan meningkatkan nilai tambah dari aktivitas, interaksi sosial, komunikasi antar budaya dan perekonomian bagi masyarakat dan pemerintah. Dampak pendapatan ini akan terdistribusi mengalir kepada masyarakat, swasta, pemerintah lokal dan pusat. Lemahnya koordinasi segenap pemangku kepentingan akan berdampak kerugian bagi penduduk lokal (Nugroho, 2011).

e. Kurangnya Manajemen yang Terkoordinasi

Fakta lapangan menunjukkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan, lemahnya koordinasi dalam upaya meningkatkan kemandirian masyarakat

48

nelayan. Hal ini lebih disebabkan sulitnya masyarakat lokal memahami kebijakan dan strategi program nasional.

f. Keinginan Politik

Kebijakan Otonomi Daerah (OTDA) termasuk di wilayah pesisir, khususnya pengembangan ekowisata bahari merupakan sebuah pilihan politik untuk tetap melestarikan budaya masyarakat nelayan (Kusumastanto, 2003).

g. Kurangnya Kesadaran

Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat nelayan, hanya tamatan SD dan SMP, sehingga tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan untuk menjadi pemandu wisata. Untuk itu, perlu dilakukan pelatihan persiapan sosial budaya melalui penguatan kelembagaan lokal (Tuwo, 2011).

h. Tuntutan Pasar

Pasar ekowisata dibagi tiga segmen pasar. Pasar primer mencakup akomodasi, biro perjalan dan tour operator. Pasar kedua, adalah pasar sekunder yang meliputi barang cenderamata, penukaran uang, rental kendaraan. Pasar tersier terdiri dari pasar fotografi, buku panduan wisata, pengiriman barang kebutuhan hotel, restoran, dan kuliner khas masakan lokal (Weber dan Damanik, 2006).

Hasil pembahasan menyangkut kelemahan dalam pengembangan integrasi ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir, belum mampu merespon kebutuhan dan peningkatan potensi yang ada. Untuk meningkatkan fungsi ruang permukiman nelayan yang terintegrasi dengan potensi fisik, non fisik, melalui perencanan master plan. Konsep master plan berbasis ide bersama, dan partisipasi masyarakat sebagai pelaku, merupakan salah satu unsur penting dalam peningkatan fungsi ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir di Kota Donggala.

Selanjutnya Kay dan Alder (2005 dalam Satria, 2009), menyatakan bahwa isu partisipasi mulai berkembang pada periode 1999-2000 dengan perkembangan paradigma pengelolaan sumber daya pesisir oleh masyarakat dan pengelolaan secara kolaboratif. Konsep ini dikembangkan dari paradigma integrated coastal management (ICM) dari pemikiran aspek ekologi menjadi integrated coastal

49

development (ICD) yang menekankan keseimbangan sosial ekonomi dan ekologi dalam pembangunan. Selanjutnya dalam paradigma integrasi ruang darat dan laut lebih menekankan aspek fungsional dengan menyatukan beragam aktivitas, dan penggunaan ruang darat, ruang laut terintegrasi antara aspek fisik, non fisik, dan fungsional (Latif, 2011)

Hal ini sesuai paradigma Integrated Coastal Zone management Action Plan disingkat (ICZM) Recomap dan Danida (2011-2015), mengatakan bahwa program intervensi melalui pendekatan strategi manajemen zona kelautan terintegrasi. Manajemen zona kelautan terintegrasi, dimana area itu dapat dikembangkan beragam meliputi pengembangan aktivitas dan pelayanan zona kelautan mencakup: (a) ekowisata bahari, (b) ruang permukiman pesisir, (c) peluang ekonomi, (d) olahraga air, (e) pemanfaatan industri dan komersial, pelabuhan (f) keamanan.

Terdapat perubahan paradigma integrasi ruang dalam pembangunan ruang pesisir. Paradigma integrasi ruang ini bila dibandingkan dengan era sebelum kesimbangan ekonomi dan ekologi dalam pembangunan, dimana pertumbuhan ekonomi dan ekologi. Paradigma ini merupakan tujuan bagi dilaksanakan suatu pembangunan masyarakat, dengan pendekatan kolaboratif dari sengenap pemangku kepentingan. Dalam era pembangunan masyarakat sebagai pelaku yang terintegrasi dengan dasar menyatukan potensi fisik, non fisik, fungsional dan nilai ekowisata pesisir, dan masyarakat sebagai pelaku semakin komprehensif, Marafa (2008), menyatakan bahwa konsep pengembangan ruang permukiman pesisir yang mengedepankan aspek integrasi beragam aktivitas sosial, budaya, dan perekonomian terkait dengan aktivitas ekowisata pesisir sebagai kunci peningkatan lingkungan, partisipasi, dan masyarakat sebagai pelaku.

Kajian yang komprehensif dan lebih mendalam terhadap budaya dan perilaku. Sedangkan sumber daya masyarakat nelayan teridentifikasi sebagai masyarakat yang identik dengan keterbatasan aset, lemahnya kemampuan modal, pengetahuan, dan akses pasar (Siswanto, 2008), penelitian yang mempunyai fokus pengembangan konsep integrasi ruang permukiman nelayan dengan ekowisata pesisir menjadi penting. Kajian yang komprehensif dan lebih mendalam terhadap

50

peningkatan fungsional ruang permukiman produktif, dan kemandirian masyarakat nelayan di Kota Donggala.

Dalam penelitian kajian komprehensif ini diharapkan dapat menjadi peningkatan pemahaman, pengetahuan, menemukan, dan menjalankan nilai-nilai sosial, budaya, dan perekonomian. Terintegrasi tujuan, kebijkan dan strategi konsep aktivitas yang menyatu dengan beragam aktivitas dalam ruang permukiman nelayan di Kota Donggala. Konsep integrasi ruang yang komprehensif ini, meliputi pengembangan aspek fisik, non fisik, fungsional dan pemahaman nilai-nilai ekowisata pesisir yang bertanggung jawab melalui aktivitas pelestraian alam dan budaya dalam ruang permukiman nelayan pesisir.

Komprehensifnya kajian integrasi ruang yang diharapkan, dapat menyatukan aspek fisik, non fisik, fungsional, dan nilai ekowisata pesisir. Keempat paradigma komprehensif yang dikemukakan di atas, membutuhkan analogi melalui paradigma yang terpola, sistematis, singkronisasi, Thalhah (2014), menyatakan bahwa perspektif logika hakekat dengan ciri-ciri, mengenali hukum dan ayat-ayat Allah SWT, analogi antara hakekat dan syariat. Berlogika Ulul Albab, dengan menggunakan dua otak, yaitu; otak dalam (hati), otak luar (kepala) dan fokus pada makna, bukan pada arti.

Pendekatan Ulul Albab, dengan pendekatan dua kutub, terkait dengan kajian integrasi ruang untuk menyatukan potensi fisik dan dan nilai. Antara malas dan semangat, peduli dan cuek terhadap potensi ruang pesisir yang ada, berdampak rendahnya inovasi, dan produktivitas, masyarakat, Thalhah (2014), menyatakan bahwa dengan paradigma perspektif logika hakekat diharapkan adanya pemahaman nilai kemanusian sebagai pemimpin (jiwa,semangat, dan nilai peduli), dapat memahami nilai Allah SWT, untuk mendaya gunakan potensi alam dan menjadi manusia produktif. Paradigma ini menuntut suatu proses tahapan secara evolusi, berproses dengan tahapan dan pemahaman nilai-nilai manusia, nilai sang pencipta Allah SWT, sebagai pemilik nilai dalam kehidupan, baik nilai ruang mikro kosmos, ruang makro kosmos, dan menembus ruang dan waktu yang terintegrasi dalam aktivitas dunia nyata dan membumi pada ruang permukiman nelayan di Kota Donggala.

51

2.3.3. Integrasi Ruang dalam Upaya Peningkatan Fisik dan Fungsional