• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aset Budaya Masyarakat Nelayan Sebagai Komponen Utama Pendukung Pengembangan Ruang Ekowisata Pesisir

KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI

2.1. Ruang Permukiman

2.2.5. Aset Budaya Masyarakat Nelayan Sebagai Komponen Utama Pendukung Pengembangan Ruang Ekowisata Pesisir

Keesing (1989), menyatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai pedoman hidup dan referensi. Kebudayaan dalam masyarakat juga menunjukkan pola kelakuan sosial sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Setiap gagasan, dan praktek kebudayaan, umumnya bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai penelitian, Rapoport (2005), menjelaskan bahwa faktor-faktor pembentuk ruang permukiman terdiri dari aspek agama, budaya dan prilaku manusia.

Kelerengan 0 persen/pasang tertinggi sebagai ruang laut dengan jarak/dimensi 12 mil Kelerengan 0-4 persen sebagai ruang datar Kelerengan antara 4 dan 10 persen sebagai ruang datar cocok untuk kegiatan ringan Kelerengan melebihi 10 persen, dapat dirubah, serasi, ekologis untuk pembangunan kegiatan

32

Sejalan dengan pendapat di atas, Koentjaraningrat (2009), menjelaskan komponen kebudayaan dapat berupa unsur-unsur universal yang spesifik. Unsur-unsur universal adalah yang ditemukan pada semua kebudayaan di dunia ini. Sedangkan unsur spesifik merupakan unsur kebudayaan yang khas, pada suatu kebudayaan tertentu. Biasanya unsur-unsur budaya yang spesifik ini merupakan turunan dari unsur-unsur yang bersifat universal. Selanjutnya unsur-unsur universal dalam suatu kebudayaan adalah : (a) sistem universal religi dan upacara keagamaan, (b) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (c) sistem pengetahuan, (d) sistem bahasa, (e) kesenian, (f) sistem mata pencaharian hidup, (g) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya Koentjaraningrat (2009), kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu : (a) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, (b) wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (c) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Lebih lanjut Koentjaraningrat (2009), menjelaskan bahwa nilai-nilai dalam masyarakat merupakan suatu konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan yang buruk. Sistem nilai, yang mempengaruhi pola pikir, tindakan aktivitas manusia. Jadi norma merupakan bentuk kongrit dari nilai. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat dalam norma maka dikenal ada empat pengertian; (a) cara, (b) kebiasaan, (c) tata kelakuan, dan (d) adat istiadat. Keempat nilai-nilai Nilai-nilai perilaku dalam suatu masyarakat merupakan unsur kebudayaan yang khas.

Dipihak lain, Kusnadi (2009), menginterpretasi dan memaknai kebudayaan yang khas dalam praktek pola perilaku masyarakat nelayan di pantai Utara Pulau Jawa, terdapat beberapa pola perilaku dalam eksploitasi sumberdaya perikanan dimana nelayan memerankan empat perilaku sebagai berikut: (a) mengeksploitasi terus-menerus sumberdaya perikanan; (b) mengeksploitasi disertai dengan perusakan lingkungan; (c) mengeksploitasi sumber daya perikanan disertai cara merusak oleh kelompok nelayan dengan pemboman ikan; (d) mengeksploitasi sumber daya perikanan dipadukan dengan tindakan konservasi dengan cara pelestarian terumbu karang, hutan bakau dan mengoperasikan jaring ramah lingkungan.

33

Nilai-nilai budaya yang sudah membentuk sikap dan kecendrungan melakukan konservasi dalam ruang pesisir sebagaimana penelitian, Kusnadi (2009), menunjukkan perilaku negatif masih dianut mayoritas masyarakat nelayan. Namun, masih ada perilaku eksploitasi sumber daya alam dengan konservasi dikalangan minoritas masyarakat nelayan seperti adanya komunitas adat yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Khususnya di Sulawesi Selatan pada etnik Bone, Sulawesi Barat etnik Mandar. Dalam upaya masyarakat etnik Bone, dan Mandar, perilaku eksploitasi sumber daya alam untuk meningkatkan hasil tangkapannya, maka aktivitas penangkapan ikan menggunakan alat bantu yang dinamakan Rompong.

Rompong adalah alat bantu untuk penangkapan ikan dan menghasilkan tangkapan ikan secara optimal. Adapun konstruksi Rompong terdiri dari empat bagian yaitu : (a) pelampung, (b) pemikat, (c) tali-temali, (d) pemberat. Selain metode penangkapan ikan dengan alat bantu Rompong, juga ditemukan adanya komitmen kumunitas masyarakat di Papua dan Maluku dalam upaya untuk menjaga potensi sumber daya perikanan tetap terpelihara, untuk memperkuat kepentingan ekonomi dengan konservasi dengan sebutan Sasi. Nilai-nilai budaya Sasi adalah aturan dan larangan dengan mengambil hasil bumi bagi seluruh penduduk kampung, selama jangka waktu tertentu, yang telah disepakati dan yang sudah dilegitimasi oleh sejarah sosial, dan unsur-unsur identitas etnik yang mereka miliki dan menjaganya dengan baik.

Selanjutnya, setelah batas waktu yang ditentukan selesai, maka dilakukan musyawarah bersama untuk memutuskan apakah hasil laut sebelumnya dilarang sudah boleh dipanen kembali. Aturan Sasi biasanya diberlakukan bagi hasil laut seperti jenis ikan, siput, kerang/bia, lobster dan hasil laut lainnya yang bernilai ekonomi tinggi. Aturan Sasi diberlakukan untuk tetap menjaga agar populasi jenis ikan, kerang, udang dan teripang dapat berkembang baik dengan jumlah yang besar, sehingga tetap terjaga dan tidak punah. Sedangkan di Maluku Barat disebut Ondoafi dan di Ternate disebut Bati.

Nilai-nilai budaya spesifik dan universal ini, menurut Mattulada (1997), pada hakekatnya kebudayaan yang dipahami sebagai semua interaksi, atau segala sesuatu yang dipikirkan, dilakukan dengan hasil-hasilnya. Wujud nilai-nilai

34

budaya ini ada dalam kandungan potensi-rohaniah, yang menjadi modal dasar terwujudnya kebudayaan itu. Itulah kekuatan budi-daya yang menjadi milik yang dipunyai oleh manusia. Selanjutnya Mattulada (1997), yang menyatakan bahwa individu-individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dan berakar kuat dalam jiwa mereka. Inilah yang menyebabkan suatu nilai budaya sukar diganti dengan nilai-nilai budaya produktif lainnya dalam waktu singkat.

Dipihak lain Santosa (2000), menjelaskan bahwa aspek psikologis atau jiwa masyarakat nelayan kurang produktif karena selalu bergantung kepada hasil laut yang tidak pasti. Ketergantungan ini, lebih disebabkan rendahnya pemahaman dasar, untuk mendaya gunakan potensi manusia dan alam yang ada dalam ruang permukiman nelayan. Untuk itu melalui pelatihan dan pendampingan pola pikir konstruktif, dan proses yang diharapkan muculnya ide, gagasan, dan semangat. Semangat dan kepedulian untuk hidup rajin, produktif, dan mampu mendaya gunakan potensi alam, budaya, teknologi yang dikuasai.

Berdasarkan wawancara dan penelitian yang selama ini dilakukan pada masyarakat nelayan di Kota Donggala. Ditemukan adanya nilai-nilai yang hidup di masyarakat nelayan berupa; (a) penguatan budaya berbasis pelestarian hutan mangrove, hutan kelapa (b) larangan minum alkohol, (c) aktivitas buruh laut (pa’dodo) dilibatkan pada saat pembongkaran, pengangkutan ikan dari perahu menuju ke Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI). Hasil kerja pa’dodo ini diberi upah berupa ikan dan uang. (d) nilai-nilai agama, budaya yang hidup ini dengan harapan proses melaut berikutnya diberi rezeki dari Allah SWT.

Nilai-nilai budaya yang hidup dan berakar ini masih belum ditingkatkan menjadi budaya inovasi, konstruktif, mandiri guna mendaya gunakan obyek daya tarik wisata alam, budaya, dan wisata buatan. Menurut Kluckhonh, (1953 dalam Koentjaraningrat, 2009), sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia ini pada dasarnya mengenai lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah hakekat tidak terlepas dari aspek pokok manusia seperti; (a) masalah mengenai hakekat dari kehidupan manusia; (b) masalah mengenai hakekat dari karya manusia; (c) masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (d) masalah mengenai hakekat dari hubungan

35

manusia dengan lingkungannya; (e) masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.

Rendahnya hakekat kerja, kedudukan, lingkungan, dan hubungan manusia, Hatta (2009), menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat jiwa, semangat dan akal yang dapat digunakan untuk mewujudkan peran manusia untuk mendaya gunakan potensi ruang, manusia dan alam. Untuk itu konsep memampukan diri masyarakat nelayan melalui akal, jiwa, semangat pemuda, diharapkan dapat mewujudkan ruang permukiman nelayan produktif. Berdasarkan identifikasi potensi ruang permukiman nelayan yang akan dikembangkan menjadi ruang permukiman produktif berbasis peningkatan aktivitas nilai-nilai ekowisata pesisir mencakup potensi:

a) Potensi Alam

Potensi alam dalam ruang permukiman, telah menjadi kawasan pengembangan potensi wisata alam dan budaya. Namun meningkatnya kunjungan ekowisatawan di Kota Donggala, kurang berkorelasi untuk meningkatkan roda perekonomian masyarakat nelayan. Aspek-aspek pertumbuhan roda perekonomian, yang cukup signifikan ini, pada gilirannya menciptakan disparitas pertumbuhan, khususnya pendapatan masyarakat nelayan tradisional, pemancing, buruh darat dan laut teridentifikasi sebagai masyarakat berpengahsilan rendah.

b) Aset Budaya Aktivitas Nelayan,

Potensi pemahaman dasar tentang kelautan, keperahuan, dapat membaca gelagat alam, keagamaan, pemali dan tradisi yang hidup. Pemahaman dasar dengan tingkat percaya diri, semangat dengan mobilitas pergerakan mencari ikan hingga diluar wilayah Kota Donggala Sulawesi Tengah. Aktivitas dan pergerakan perekonomian yang intes ini, memungkinkan terjadinya perubahan pola pikir. Meskipun, perubahan pola pikir ini masih belum menjadi inovasi, semangat untuk mendaya gunakan potensi ruang dan aktivitas perekonomian dengan ekowisata pesisir.

c) Potensi Komunitas Multi Etnik

Komunitas masyarakat yang multi etnik sebagai unsur terpenting dalam setting dalam masyarakat nelayan, secara tidak langsung memberi warna

36

budaya dan tata nilai baru kedalam aktivitas masyarakat. Namun seiring dengan akselerasi dan kemajuan pembangunan, dimana komunikasi lintas budaya antara satu suku dengan suku lainnya berjalan harmonis, memungkinkan terjadinya proses-proses pertukaran gagasan diantara para warga. Dalam hal ini masuknya unsur-unsur pengaruh eksternal khususnya pengunjung dari luar warga komunitas masyarakat nelayan begitu intens. Namun faktor pengaruh dari luar ini belum digunakan sebagai peluang untuk meningkatkan produktivitas perekonomian masyarakat nelayan. Ketiga potensi alam, budaya, masyarakat ini menjadi aset-aset yang merupakan komponen-komponen pendukung utama untuk menyatukan pengembangan aktivitas perekonomian dengan nilai ekowisata pesisir. Menurut Zalukhu (2009), potensi alam, sosial, budaya dan beragam aktivitas yang ada dalam ruang permukiman pesisir, dapat dikembangakan menjadi obyek daya tarik ekowisata. Untuk meningkatkan ruang permukiman nelayan produktif di Kota Donggala dibutuhkan peran pemangku kepentingan. Peran koordinasi dari segenap pemangku kepentingan akan berpengaruh meningkatkan pemahaman nilai-nilai sosial, budaya dan perekonomian bagi masyarakat dan pemerintah. Sebaliknya, satu komponen pemangku kepentingan kurang aktif memberikan konstribusi dan partisipasinya akan berdampak merugikan masyarakat nelayan.

Dalam konteks keterbatasan ini, seharusnya segenap pemangku kepentingan bertanggung jawab untuk memberikan ilmu dan pengetahuan bagi masyarakat nelayan untuk mendaya gunakan potensi yang terdapat dalam ruang permukiman nelalayan di Kota Donggala. Hal ini sesuai pendapat Latif (2011); Tuwo (2011); Nugroho (2011), yang menyatakan bahwa peran koordinasi dari segenap pemangku kepentingan akan berdampak positif untuk memberikan keuntungan baik secara fungsi, perekonomian, dan peningkatan kualitas ruang permukiman nelayan.

Agar masyarakat nelayan berdaya, maka potensi yang ada dalam ruang permukiman nelayan perlu dikaji, dan digali penyebab sebab-sebab kesenjangan sosial budaya, rendahnya kepedulian, dan motivasi semangat untuk hidup produktif masyarakat nelayan. Selanjutnya Hatta (2009), menjelaskan dalam Surah 13 (Ar-Rad atau Guruh) Ayat 11;

37

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Tuhan tidak akan merubah keadaan mereka, selama mereka tidak merubah sebab-sebab kemunduran mereka. (terjemahan Al Quraan 13,11).

Terjemahan ayat tersebut, relevan dengan kajian studi, khususnya terhadap rendahnya produktivitas perekonomian, hakekat kerja, inovasi masyarakat nelayan untuk mendaya gunakan potensi ruang, dan aktivitas dalam ruang permukiman nelayan. Beragam pendapat dari sumber pustaka lainnya, termasuk ayat-ayat suci Al-Quran yang telah dikemukakan di atas dijadikan dasar pemahaman untuk kajian pengembangan masyarakat nelayan produktif dan mandiri. Peningkatan produktivitas sebagai dasar pemahaman untuk pengembangan aset-aset potensi alam ruang pesisir. Potensi ruang permukiman, aktivitas sosial, budaya dan perekonomian masyarakat, selama ini masih belum dihubungkan dengan aktivitas perekonomian dengan ekowisata pesisir.

Kedua komponen antara aktivitas perekonomian dengan ekowisata pesisir, sebagai pendukung utama pekerjaan masyarakat nelayan, perlu dihubungkan. Hubungan fungsi ruang dan aktivitas masyarakat nelayan harus pula dilakukan pengembangan metode berpikir konstruktif yang terukur. Terukur disini lebih menekankan aspek pengembangan pengetahuan, memahami, dan menemukan nilai inovatif. Nilai inovatif ini yang diharapkan berpengaruh untuk meningkatkan kepedulian, dan semangat untuk mendaya gunakan potensi alam.

Keterkaitan metode berpikir konstruktif, inovatif, dan terukur ini merupakan keterkaitan hubungan untuk mengoptimalkan aset-aset alam, hasil perikanan dan kelautan menjadi budaya kreativitas, produktif dan strategis. Peran strategis masyarakat nelayan, dengan dikedepankannya aspek-aspek keterpaduan aktivitas sosial perekonomian dengan ekowisata pesisir kedalam proses pelatihan, pendampingan. Peran pelatihan ini diharapkan tumbuhnya motivasi, kompetensi pendidikan, penguasaan teknologi untuk mendaya gunakan aktivitas perekonomian dan ekowisata dalam kehidupan, pembangunan ruang permukiman nelayan produktif.

38

Keterkaitan peningkatan kompetensi berpengaruh meningkatkan perilaku masyarakat yang berada di dalam ruang permukiman nelayan, Alimuddin (2005), yang menyatakan bahwa adanya nilai-nilai yang hidup dan terpelihara berupa nilai dasar pengetahuan tentang keperahuan, kelautan, pemali, membaca gelagat alam, keagamaan serta peran istri dan anak-anak nelayan. Untuk itu nilai-nilai laten ini menjadi kajian untuk digunakan dalam peningkatan aktivitas yang diharapkan dapat berpengaruh positif meningkatkan pola pikir, untuk meningkatkan produktivitas perekonomian masyarakat nelayan. Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Koentjaraningrat (2009), menjelaskan bahwa adat–istiadat sebagai sistem nilai merupakan tingkat yang paling tinggi. Hal ini disebabkan nilai budaya merupakan konsep dalam alam pikiran, berharga, dan penting dalam kehidupan. Nilai hidup ini, berfungsi sebagai suatu pedoman. Pedoman ini yang memberi arah menuju perubahan pola pikir antara, akal, jiwa dan semangat.

Pendapat Keesing (1989); Mattulada (1997); Santosa (2000); Rapoport (2005); Kusnadi (2009); jika dibandingkan dengan pendapat Hatta (2009), dan Kluckhonh, (1953 dalam Koentjaraningrat, 2009), tentang masalah hakekat manusia tidak terlepas dari faktor, perilaku negatif, rendahnya sumber daya, kreativitas dan kerja, lemahnya koordinasi. Pendapat tersebut di atas, dapat menjadi dasar untuk memahami objek penelitian dan aspek kajian pengembangan masyarakat nelayan, dengan peningkatan aktivitas sosial perekonomian dengan pemahaman, nilai ekowisata pesisir melalui pendampingan, dan pelatihan metode berpikir konstruktif.