• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FORMASI INTELEKTUAL

3.2 Formasi Intelektual

3.2.2 Intelektual Organik

3.2.2.1 Intelektual Hegemonic

Tokoh-tokoh yang termasuk dalam formasi intelektual ini adalah Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, ABRI (Angkatan Darat), seperti Ayah Jeanne bernama Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani. Berikut gambaran mengenai latar

belakang mereka.

3.2.2.1.1 Romo Dijat

Romo Dijat merupakan salah satu guru spiritual Soeharto. Sebelum bertemu dengan Soeharto, Romo Dijat adalah seorang pegiat karismatik yang sering

melakukan meditasi dan tirakat. Beliau memiliki karisma yang menggugah Soeharto. Itulah mengapa, Soeharto kemudian kagum kepada Romo Dijat dan bertekat menjadikan beliau sebagai gurunya. Dari sudut pandang Gramsci, Romo Dijat merupakan golongan dari kaum Intelektual Tradisional yang dalam hal ini merupakan kaum rohaniwan kebatinan Jawa. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa Intelektual

Tradisional dapat diasimilasi oleh pihak penguasa untuk menjadi bagian organiknya. Soeharto rela melakukan banyak perjalanan jauh untuk bertemu dengan Romo Dijat. Berikut ini gambaran dalam kutipan (135) mengenai upaya Soeharto untuk bertemu, merekrut, dan belajar pada Romo Dijat.

(135) Pada tahun 1963, Soeharto mengunjungi rumah Romo Dijat di rumah orang tua Romo Dijat yang bernama Prawiro Dinamono di Dukuh Gopetan, Desa Gemblengan Kalipotes, Klaten.

Soeharto kaget ternyata yang disebut Romo Dijat itu adalah lelaki misterius yang mempesonanya saat melakukan ziarah di makam leluhur raja-raja Majapahit di Trowulan. Soeharto merasa Tuhan menuntun dirinya untuk bertemu dengan lelaki yang pernah membuatnya penasaran. Soeharto langsung menyatakan diri menjadi murid Romo Dijat. Romo Dijat sendiri saat itu tinggal di Semarang. Soeharto kemudian hampir tidak pernah absen mengikuti sarasehan di rumah Romo Dijat di Jalan Sriwijaya, Semarang, setiap selapan pada Selasa Pahing malam. Tak hanya di acara selapan, Soeharto akhirnya sering berkonsultasi di Semarang (Suyono, 2014: 228).

Kehadiran Romo Dijat begitu berarti bagi Soeharto. Sebagian besar dari berbagai keputusan politik yang diambil Seoharto turut melibatkan Romo Dijat. Ia merasa ragu dan belum lengkap jika persoalannya belum dikonsultasikan dengan Romo Dijat. Inilah peran Romo Dijat dalam menjaga wibawa politik Soeharto. Dengan demikian, Romo Dijat menjadi bagian organik dari Soeharto. Meskipun ia

tidak secara fisik hadir di samping Soeharto berhadapan dengan masyarakat sipil, namun pengaruhnya telah menaikkan kepercayaan masyarakat kepada Soeharto. Berikut ini gambaran dalam kutipan (136) tentang kebiasaan Soeharto untuk berkonsultasi dengan Romo Dijat sebelum mengambil keputusan-keputusan penting.

(136) Bila Pak Harto ingin berkonsultasi masalah politik dan kenegaraan, ia memanggil Romo Dijat (Suyono, 2014: 228).

Sebagai penganut kebatinan Jawa, Romo Dijat memiliki cara yang unik untuk memberikan setiap nasihat kepada Soeharto. Romo Dijat menjadikan tubuhnya sebagai mediasi untuk diisi oleh roh leluhur. Roh tersebut yang kemudian berkomunikasi dengan Soeharto. Nasihat tersebut kemudian diikuti dengan

keyakinan. Berikut gambaran dalam kutipan (137) mengenai cara unik Romo Dijat untuk memberikan petunjuk kepada Soeharto.

(137) “Katanya suara berat. Masing-masing leluhur yang masuk ke tubuh Romo Dijat dan Romo Marto karakter suaranya berbeda-beda, Jeanne. Katanya, roh leluhur yang memasuki badan Romo Dijat selalu didahului suara terbahak-bahak yang berat…”

“Katanya dalam bahasa Jawa halus, yang sering enggak

dimengerti. Kamu tahu Jeanne, kata Pak Djayeng, saat Pak Harto mau menduduki Timor Timur, dia berkonsultasi dulu dengan roh leluhur yang masuk ke dalam tubuh Romo Dijat. Setelah roh itu

menyetujui, baru ia memerintahkan pasukan berangkat…”

(Suyono, 2014: 229)

Pengabdian dan rasa hormat Romo Dijat kepada Soeharto benar-benar tulus. Ia bahkan rela melakukan sebuah perjalanan panjang dan serangkaian puasa-mutih untuk tetap mempertahankan Soeharto. Pada suatu waktu, Romo Dijat mendapat

petunjuk bahwa Soeharto harus segera mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden. Namun, Soeharto tetap kerasan dengan jabatannya dengan memberikan berbagai alasan. Romo Dijat pun masygul dan menuruti kehendak Soeharto. Untuk itu, Romo Dijat perlu melakukan napak tilas ke pemakaman-pemakaman wali dan

tempat-tempat suci di berbagai belahan Nusantara untuk meminta dukungan dari roh-roh leluhur – padahal napak tilas tersebut harusnya dilakukan sendiri oleh Soeharto. Perjalanan tersebut sekitar setahun lamanya. Romo Dijat begitu lelah melakukan perjalanan tersebut. Pilihan Romo Dijat ini merupakan sikapnya sebagai bagian dari kekuasaan Soeharto. Tidak melalui penyebaran nilai-nilai tetapi melalui jalur

spiritual. Soeharto tetap memiliki kekuasaan hingga belasan tahun selanjutnya. Berikut ini kutipan (138) yang menggambarkan pengorbanan Romo Dijat.

(138) Menurut dia, Romo masygul dengan permintaan Soeharto. Ia sesungguhnya enggan menyanggupinya, namun tak ingin Soeharto tersinggung. Romo gundah. Keinginan Soeharto sudah menyalahi hati kecilnya. Namun, alasan Soeharto bahwa ia harus merampungkan program-programnya sebelum ia mundur melunakkan hatinya. Romo kemudian melakukan napak tilas ke pemakaman-pemakaman wali dan tempat-tempat suci di berbagai sudut Nusantara. Perjalanan itu sampai memakan waktu setahun (Suyono, 2014: 235-236).

Pada tahun 1984, Romo Dijat akhirnya meninggal. Perjalanan Romo selama

setahun telah banyak menguras tenaganya. Kondisi Romo Dijat sebelum meninggal diperparah oleh indikasi Soeharto mengkhianati janjinya untuk tidak lagi mencalonkan diri sebagai presiden di periode selanjutnya. Kematian Romo Dijat cukup memukul Soeharto. Ia merasa kehilangan kekuatannya sendiri. Tidak ada lagi guru yang bisa melindunginya dan diajak konsultasi. Sosok Soeharto yang nampak

tegas, sekonyong-konyong menjadi rapuh. Orang-orang pendukungnya, telah pergi meninggalkannya. Berikut ini kutipan (139) dan (140) yang menggambarkan sebab kematian Romo Dijat dan dampaknya bagi Soeharto.

(139) “Romo Dijat meninggal tahun 1984. Perjalanan Romo keliling

Nusantara menurut saya menyebabkan kesehatan Romo ambruk. Penyakit dalam yang dimiliki Romo kumat. Apalagi di tahun 1983 Romo melihat tanda-tanda Soeharto tak mau menepati janjinya. Soeharto masih mau berambisi tahun-tahun depannya mencalonkan diri lagi dalam pemilu. Romo Dijat sangat kecewa. Saya pribadi melihat kekecewaan itu sangat mempengaruhi

keseimbangan dirinya.” (Suyono, 2014: 237).

(140) “Di pemakaman saya melihat Pak Harto untuk pertama kalinya

menangis,” kata Pak Adityawarman. Ia berusaha menenangkan

3.2.2.1.2 Romo Marto

Selain Romo Dijat, Soeharto juga memiliki guru yang lain bernama Romo

Marto. Nama lengkap dari Romo Marto adalah Romo Martopangroso. Romo ini dikenal Soeharto di Yogyakarta. Soeharto biasanya bertemu dengan Romo Marto untuk mengkonsultasikan persoalan mengenai kemasyarakatan. Banyak masukan dari Romo Marto yang diikuti oleh Soeharto. Termasuk saran untuk melakukan

tirakat di Trowulan yang kemudian mempertemukan untuk pertama kali Soeharto dan Romo Dijat. Itulah mengapa Romo Marto masuk dalam kategori Intelektual Organik karena Soeharto tetap dapat mengambil sebuah keputusan yang baik di balik kebijaksanaan Romo Marto.

Romo Dijat dan Romo Marto sering melakukan banyak tirakat dan ziarah di

petilasan-petilasan. Dalam dunia kebatinan Jawa, mereka memiliki kemampuan khusus yang tidak dimiliki banyak orang. Kemampuan inilah yang kemudian banyak membantu Soeharto dalam mempertimbangkan dan memutuskan banyak perkara. Berikut ini kutipan (141) yang menggambakan kemampuan khusus Romo Marto

sehingga Soeharto menjadi tergantung padanya.

(141) Mereka seringmengikuti kedua guru tersebut ziarah dan tirakat di petilasan-petilasan. Romo Dijat dan Romo Marto dalam dunia kebatinan Jawa dikenal memiliki kemampuan njarwa atau orang bisa berhubungan dengan roh leluhur. Kedua guru tersebut biasa memanggil arwah-arwah untuk masuk ke dalam tubuh mereka. Mereka adalah medium. Setelah roh itu merasuk ke tubuh, suara mereka akan berubah. Dan orang bisa bertanya-jawab-meminta nasihat atau pesan-pesan kepada roh-roh tersebut (Suyono, 2014: 226).

Sebagai guru dari Soeharto, Romo Marto sering melakukan berbagai latihan dan anjuran untuk mempertebal kepekaan hati dalam melihat sebuah persoalan dan

sekaligus menemukan solusinya. Salah satu latihan yang diajarkan oleh Romo Marto ialah dengan menangkap gerak hatinya sendiri sambil kungkum di sebuah telaga bernama Telaga Titis di wilayah Yogyakarta pada malam hari. Berikut kutipan (142) yang menggambarkan model pengajaran yang diberikan oleh Romo Marto kepada

Soeharto.

(142) Di telaga itu, menurut Suryo, pernah Pak Harto duduk bermenung diri. Umurnya saat itu 300-an akhir. Ia tengah di tantang oleh Romo Marto. Disuruh mengindra mencermati gerak-gerik hatinya sendiri. Jeanne membayangkan Pak Harto di usia muda itu duduk menajamkan hati. Telaga itu disebut Telaga Titis. Ia tahu dalam bahasa Jawa, titis artinya tepat sasaran. Menurut Suryo, di situ Pak Harto dilatih Romo Marto mengasah hati agar bisa meraba masa depan. Menjelang pukul 12 malam, Pak Harto diminta turun ke telaga. Dan berendam berjam-jam sampai parak pagi tiba. Di dalam air itu Pak Harto ditempa untuk memantapkan hatinya agar segala tindakannya tits seperti seorang pemanah mampu mengarahkan anak panahnya ke titik pusat lingkaran, Jeanne membayangkan Pak Harto berhari-hari kungkum di telaga (Suyono, 2014: 262).

3.2.2.1.3 Romo Budi

Romo Budi merupakan satu dari tiga orang guru Pak Harto di atas. Mereka memang seperti triumvirat yang selalu menjaga Pak Harto. Kalau Romo Dijat diajak konsultasi oleh Pak Harto berkaitan dengn persoalan politik dan kenegaraan, Romo Marto berkaitan dengan persoalan kemasyarakat, sedangkan Romo Budi berkaitan

kedua guru yang lain, ia tidak melakukan pemanggilan roh untuk masuk ke dalam tubuhnya. Hal di atas ditunjukkan dalam kutipan (143).

(143) “…Menurut Pak Djayeng, kemudian guru Pak Harto bertambah

satu lagi, yaitu Romo Budi. Mereka bertiga ini seperti triumvirat yang selalu menjaga Pak Harto. Mereka memiliki keahlian masing-masing. Bila Pak Harto ingin berkonsultasi masalah politik dan kenegaraan, ia memanggil Romo Dijat. Untuk soal kemasyarakatan, ia ingin tahu pendapat Romo Marto. Soal

urusan pribadi dan rumah tangga, Romo Budi.” (Suyono, 2014:

228).

3.2.2.1.4 Sunuwarsono

Sunuwarsono merupakan ayah Jeanne. Ia adalah seorang kolonel Angkatan Darat yang menerapkan secara total disiplin kemiliteran dalam keluarga. Sebagai bagian dari Angkatan Darat, Sunuwarsono juga menjadi bagian dari Intelektual

Organiknya Soeharto yang juga berasal dari lingkungan Angkatan Darat ABRI8. (144) Ayah Jeanne, Sunuwarsono (almarhum) adalah seorang kolonel

Angkatan Darat (Suyono, 2014: 61).

3.2.2.1.5 Setyarso

Setyarso adalah pria bertubuh kekar yang memiliki pangkat sersan. Ia juga

menjadi ajudan ayah Jeanne. Keberanian dan sosok kuatnya,ia menjadi tentara yang paling ditakuti kalangan preman seputar Rampal, kawasan tempat tinggal perwira-

8

Pada masa kekuasaan Soeharto, ada tiga elemen yang membantu Soeharto untuk menyukseskan kerja Orde Baru. Mereka adalah dari kalangan ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar). Ketiga elemen tersebut memiliki hak istimewa untuk bertemu Soeharto. Mereka menjadi bagian organik dari pemerintahan Orde Baru (Pratama, 2014).

perwira dan barak-barak militer Angkatan Darat. Ia juga pernah bertugas di wilayah Timor-Timur untuk mengintai gerak-gerak gerilyawan kiri. Dalam hal ini, juga

menjadi bagian dari rezim Orde Baru.

(145) Setyarso adalah sersan,ajudan ayah Jeanne. Setyarso adalah tentara yang paling ditakuti preman seputar Rampal, kawasan tempat tinggal perwira-perwira dan barak-barak militer Angkatan Darat. Ia juga pernah bertugas di wilayah Timor-Timur untuk mengintai gerak-gerak gerilyawan kiri (Suyono, 2014: 68).

3.2.2.1.6 Soedjono Hoemardani

Soedjono Hoermadani9 adalah militer asisten pribadi Soeharto. Mereka berdua dibaptis oleh Romo Marto sebagai saudara kebatinan. Romo Dijat pernah berpesan agar Soedjono tetap menjaga keluarga Soeharto. Rumah Soedjono pun sering digunakan sebagai tempat Romo Dijat dan Romo Marto mengundang roh-roh. Mereka berdua kenal sejak Soedjono masih berpangkat kolonel di Semarang.

(146) ”…Soedjono ini juga pejabat terkenal. Dia ini tentara sama

seperti bapakmu. Dia dulu asisten pribadi Pak Harto. Pak Harto dan Soedjono bersahabat sejak Pak Harto masih berpangkat

colonel di Semarang. Mereka berdua itu saudara kebatinan.”

(Suyono, 2014: 229-230)

3.2.2.1.7 Phhoung

Phhoung bukan menjadi bagian dari pemerintahan Soeharto, namun ia menjadi bagian dari pemerintahan Kamboja. Dalam deskripsi mengenai Phhoung, ia

9 Soedjono Hoermadani memiliki pangkat mayor jenderal. Ia menjadi staff pribadi Soeharto urusan keuangan dan ekonomi. Selama memegang masa jabatan, ia diberi gelar oleh

bekerja di sebuah musem bernama Museum 1000 Buddha. Museum ini merupakan milik pemerintahan Vietnam. Oleh karena itu, ia menjadi bagian organik dari

pemerintahan Vietnam untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Ia menjadi bagian organik dari museum dan juga negaranya.

Sebagai quide dalam museum 1000 Budha, tentunya ia memiliki wawasan yang cukup luas mengenai seluk-beluk museum yang cukup luas dengan berbagai

benda kebudayaan di bawahnya. Dengan pengetahuan tersebut, Phhoung dapat memberikan keterangan dan penjelasan kepada setiap pengunjung yang datang ke tempat tersebut. Tugas ini tentunya menunjukkan bahwa Phhoung menjalankan tugas intelektualnya sebagai penghubung antara masyarakat dengan kebudayaan Kamboja. Kehadiran Phhoung juga memberikan pengaruh yang baik kepada Suryo untuk

memahami kebudayaan Kamboja.

3.2.2.1.7 Souvvana

Souvvana merupakan pria yang berkenalan dengan Suryo saat Suryo mengunjungi sebuah kafe pastri di Laos. Dalam deskripsi mengenai dirinya di bab II,

ia digambarkan sebagai pria yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan kebudayaan Laos sebagaimana digambarkan dalam kutipan (84).

Suryo menaksir umurnya mendekati 60. Sosoknya lebih mirip hippie Eropa. Melihatnya, Suryo sepintas ingat foto penyair Bengal Amerika bernama Allen Ginsberg. Seperti Ginsberg rambut dan janggut putih lelaki itu awut-awutan, pakaiannya acak-acakan, dan tampangnya selalu terlihat mabuk. Tampangnya juga mirip tokoh utama, seorang penyelundup, di film lawas Anjing-anjing Geladak-Suryo lupa namanya (Suyono, 20014: 322-323).

Dalam pertemuannya dengan Suryo, ia mengungkapkan banyak hal yang selama ini ia rahasiakan termasuk kenapa kemudian ia dikategorikan oleh peneliti

sebagai bagian organik dari bangsa dan kebudayaan Laos. Di Laos, ada sebuah ikon yang berusia lebih dari 2000 tahun dan dipercaya sebagai sebagai simbol kota di Laos. Bangsa Laos menamainya Prabang Budha – Budha kecil yang dibuat di Sri Lanka pada masa pemeritahan raja besar India Ashoka di abad ke-3 sebelum Masehi.

Beberapa kali Prabang Budha tersebut mau diambil oleh bangsa lain termasuk saat paham komunis masuk di Laos.

Untuk mengatasi agar Prabang Budha tidak dicuri atau diambil oleh tangan yang salah, maka dibuatlah Prabang-Prabang palsu dan kemudian menyembunyikan yang aslinya. Souvvana adalah salah satu orang yang menyimpan Prabang tiruan

buatan kakeknya termasuk rahasia akan keberadaan Prabang asli. Souvvana menjadi semacam kunci terakhir yang menjaga pintu rahasia bangsa Laos agar tidak dimasuki oleh orang-orang komunis. Hilangnya Prabang Budha yang asli sama dengan hilangnya identitas bangsa Laos.

(147) “Saya menyimpan Prabang-Prabang palsu buatan kakek. Ya, saat perang kakek saya berusaha agar Prabang tak jatuh ke tangan komunis. Ia membuat beberapa Prabang untuk mengelabui orang-orang komunis.” (Suyono, 2014: 334).

Souvvana dikategorikan sebagai Intelektual Hegemonic dari bangsa lain karena ia memiliki wawasan yang cukup luas mengenai kebudayaan bangsa Laos. Wawasan tersebut juga sekaligus menjadi identitas dan rahasia keberlangsungan

dan kebudayaannya agar kerahasiaan bangsanya tidak sampai bocor ke telinga para komunis.

Dokumen terkait