• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA

2.1 Pengantar

2.2.1 Tokoh Utama

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin 1.6.1.1.1 bahwa tokoh utama merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel bersangkutan. Ia/mereka merupakan tokoh paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian

yaitu Jeanne dan Suryo. Mereka dikategorikan sebagai tokoh utama karena sering muncul dalam alur cerita.

Dalam studi ini, tidak ditinjau lebih jauh mengenai alur/plot, maka pembuktian mengenai frekuensi kehadiran tokoh utama dapat dijelaskan secara sederhana. Dalam KdDL, penceritaan dibagi menjadi 4 bagian. Pertama, penceritaan yang berlatarkan Siem Reap dan Hoi An di tahun 2012. Kedua, berlatarkan Jakarta di

tahun 1994 sampai 1998. Ketiga, berlatarkan Luang Prabang dan Siem Reap di tahun 2012. Keempat, berlatarkan Hoi An dan Siem Reap di tahun 2012. Dari keempat pembagian waktu tersebut, Jeanne dan Suryo sebagai tokoh utama hadir secara intens. Mereka menjadi bagian dari cerita dan sekaligus menjadi penggerak alur. Berikut ini penjelasan lebih jauh mengenai siapa Jeanne dan Suryo dan seperti apa

karakter yang dimiliki oleh mereka.

2.2.1.1Jeanne

Jeanne merupakan salah satu tokoh utama dalam novel KdDL. Hal tersebut didasari oleh frekuensi juga intensitas keterlibatannya kemunculannya yang cukup

banyak dalam cerita. Jeanne menjadi salah satu penggerak alur, yang menentukan arah penceritaan.

Jeanne merupakan wanita kelahiran Malang yang tumbuh dan besar dalam lingkungan dan disiplin militer. Ayah Jeanne, Sunuwarsono (almarhum) adalah seorang kolonel Angkatan Darat. Pamannya yang bernama Witono menjadi dokter

dan bertanggung jawab sejak kecil. Sikap disiplin tersebut dituntut oleh ayahnya sedetail-detailnya, sehingga sebagian besar aktivitas Jeanne saat kecil selalu diawasi

oleh ayahnya. Berikut ini adalah gambarannya pada kutipan (8).

(8) Amarah sang ayah bisa meledak bila menyaksikan sampah bau yang berjejal-jejal di tong halaman depan terlambat setengah hari saja diangkut petugas. Papanya jarang bicara. Tapi sangat memperhatikan hal-hal kecil. Ke mana saja Jeanne pergi seolah mata ayahnya mengikutinya. Telinga ayahnya mendengar apa saja. Bahkan saat saat sakit lantaran agak terlambat mens, ayahnya pun dirasa Jeanne menguping detik demi detik, mengawasi gerak-gerik diri Jeanne seteliti-telitinya (Suyono, 2014: 61).

Berbeda dengan Ayahnya, ibu Jeanne yang bernama Selvi Arum justru mewarisi sikap yang lebih rileks dan lembut. Ia menjadi salah satu anggota keluarga Jeanne yang mengerti masa perkembangan Jeanne. Mengerti bahwa Jeanne yang

masih dalam masa pertumbuhan perlu untuk belajar menemukan dirinya sendiri tanpa di bawah tekanan dan tuntutan perfeksi. Warisan karakter ibunya ini yang menbentuk kecintaan Jeanne di kemudian hari terhadap alam dan sebuah kebebasan diri. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan (9) dan (10).

(9) Ibunda Jeanne mewarisi sikap lebih rileks. Sang ibu, Selvi Arum adalah wanita Banten. Ia lembut. Ia tenggang rasa. Ia seolah mengerti dunia remaja Jeanne, anak semata wayangnya, tengah tumbuh. Dari ibundanyalah mungkin Jeanne mewarisi sifat menyukai kehidupan alam terbuka. Jeanne melewati masa SD sampai SMP di Serang, kota kelahiran ibunya. Tahun-tahun itu sang ibunda sering membawa Jeanne ke reruntuhan istana Kaibon. Membiarkan Jeanne kecil berlarian, mencabuti rerumputan, memetik bunga-bunga (Suyono, 2014: 62).

(10) Bila begitu, ibunya akan menunggu dengan sabar di bawah beringin. Sang mama duduk menggelar tikar sembari

menyiapkan roti selai, apel, dan susu bila Jeanne lapar. Oh ya, saat itu, Jeanne selalu melihat ibunya merokok (Suyono, 2014: 62).

Jeanne kecil itu kemudian tumbuh dengan berbagai karakter yang melekat pada dirinya. Tumbuh dalam lingkungan militer juga membentuk karakter ambisius Jeanne. Sejak kecil, karakter tersebut telah terbiasa dituntut lebih oleh ayahnya sehingga wajar apabila Jeanne terbiasa untuk selalu mendahului orang lain. Ia pernah

sekali punya persaingan dengan mantan kekasihnya bernama Suryo untuk mengenal lebih banyak situs kebudayaan ketika berada di luar negeri. Berikut dalam kutipan (11).

(11) Jeanne gelisah. Tiba-tiba ingin mengetahui sebanyak mungkin cerita mengenai kapal karam harta karun Champa serta kuil kudus di dasar laut tersebut. Ia ingin masuk ke labirin kuil-kuil tersebut. Ia bertekad bisa membantu si buntung untuk membayangkan lapis-lapis denah kuil tersebut. Ia bertekad menembus sampai kuil besar kedua, bahkan kuil besar ketiga. Ia tak mau kuil yang dimiliki imajinasinya tersebut direbut oleh Suryo (Suyono, 2014: 133).

Karakter bebas menemukan jati diri yang ia dapatkan dari ibunya sangat berseberangan dengan apa yang dituntut oleh ayahnya. Itulah sebabnya jika ada

beberapa sifat Jeanne yang dikemudian hari tidak menggambarkan bahwa ia adalah seorang anak militer yang biasanya lebih disiplin dan wawas diri. Ia tumbuh ke arah kebebasan yang liar dan binal. Ia tidak peduli dengan hal-hal yang dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tabu. Jeanne nyaman dengan apa yang diinginkan dan diperbuat olehnya. Meskipun harus telanjang ataupun mengisap bubuk

pembayang – sejenis sabu-sabu. Itu merupakan ekspresi dirinya yang paling alami. Berikut gambaran mengenai keliaran Jeanne dalam kutipan (12), (13), dan (14).

(12) Dan terjadi-terjadilah. Tatkala berjalan di atas meja bar, tanpa sehelai benang pun. Jeanne ingat ia begitu deg-degan (Suyono, 2014: 83).

(13) Bukan sekali itu Jeanne mau dipotret telanjang. Sebelumnya saat di Ratu Boko, Candi Ijo, dan Candi Arjuna Dieng, Jeanne juga melakukan tindakan berani demikian. Jeanne tak tahu apakah Suryo masih menyimpan ratusan foto telanjangnya atau sudah dibuangnya semua. Satu yang menurutnya paling mengesankan dan paling nekat adalah tatkala ia berjalan di Candi Ijo. Jeanne muncul dari belakang candi, melangkah di antara candi induk dan candi perwara, tanpa sehelai benang pun. Kemunculan Jeanne membuat terperangah satu-dua wisatawan di halaman depan candi. Tangan kiri Jeanne mengucel-ucel rambut panjangnya. Jemari panjangnya memegang Marlboro dan ia mengisapnya, mengepul-ngepulkan asap. Sungguh jalang. Amat binal (Suyono, 2014: 593).

(14) Jeanne menggeleng.

“Terima kasih.”

“Coba sekali saja, Jeanne.” “Tidak, terima kasih.”

“Sekali saja, kamu pasti suka.”

Jeanne ragu-ragu. Tapi kemudian ia mengulurkan tangan, menyambut lintingan itu (Suyono, 2014: 559).

Jeanne memiliki seorang kekasih bernama Suryo. Mereka saling mencintai.

Jeanne dan Suryo saling memanjakan diri satu dengan yang lain bahkan tidak jarang mereka tak sungkan untuk bercinta, entah di kamar kos Suryo atau pun di kawasan candi-candi. Kehidupan percintaan mereka cukup “liar”. Hampir tak ada sekat di

antara mereka. Mengenal dengan detail lekak-lekuk tubuh adalah hal yang biasa bagi

(15) Dan bila melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok dusun seperti itu, Jeanne dan Suryo dulu menjadi sepasang kekasih yang liar. Di candi mana pun, bila ada kesempatan, mereka selalu bercium-ciuman. Suryo menggelinjangkan lidahnya ke lidah Jeanne. Jeanne menyambut dengan kuluman-kuluman bibir yang mematikan. Sering saat di perjalanan, entah naik carteran mobil entah membawa trail sendiri, Jeanne mengajak turun sebentar dari kendaraan dan mencari rerimbunan. Mereka bergelut di semak, bahkan bila sungguh-sungguh sepi, mereka berani bergulung-gulung. Keterlaluan memang (Suyono, 2014: 191).

Kedekatan Jeanne dan Suryo yang demikian intim itulah yang menjadi alasan

mengapa kemudian ia masuk ke dalam Paguyuban Anggoro Kasih yang berniat untuk melawan kekuatan spiritual di balik kekuasaan Soeharto. Sebagai anak tentara, tentunya Jeanne juga sedikit memiliki simpati dengan kekuasaan Soeharto. Itulah mengapa kemudian Jeanne merasa gelisah dan takut bila terus terlibat lebih dalam

dengan berbagai aktivitas penumbangan legitimasi Soeharto. Jeanne menyadari mengenai bahayanya paguyuban ini setelah beberapa kali mendengarkan topik pembicaraan para anggota paguyuban yang menurutnya sudah mengarah pada makar. Akibat kekuatiran Jeanne tersebut, beberapa kali ia mengajak Suryo untuk keluar dari aktivitas paguyuban tersebut. Dengan berbagai alasan yang tidak dimengerti sendiri

oleh Jeanne, ia akhirnya tetap terlibat dalam perjalanan spiritual paguyuban untuk menentang Soeharto. Berikut ini beberapa kutipan (16), (17) dan (18) yang menggambarkan kekuatiran Jeanne.

(16) “Sur, kelompok bapak-bapak ini berbahaya.”

Jeanne akhirnya merasa pertemuan paguyuban tersebut semakin mengarah ke makar. Diskusi yang bergilir dan penuh camilan itu bukan lagi sekadar forum obrolan pensiunan biasa, namun sudah menjurus menyusun sebuah agenda aksi (Suyono, 2014: 223).

(17) Jeanne gundah. Sebenarnya ia tak mau lagi terlibat acara-acara Suryo. Ia takut melihat perkembangan terakhir. Sudah terbaca bahwa perkumpulan ini memiliki itikad yang tak baik. Mereka adalah orang yang benci kepada Pak Harto. Mereka berniat menggulingkan Soeharto dengan cara-cara animis. Jeanne sebenarnya ingin menceritakan semua ini kepada papanya. Ia bisa membayangkan tentu papanya marah besar. Papanya tentu akan segera menghubungi teman-temannya di Markas Besar Jakarta. Bukan mustahil apabila papanya datang sendiri dan membawa seregu tukang pukul atau ajudan-ajudan untuk membubarkan pertemuan. Jeanne takut dianggap pengkhianat. Ia merasa sudah telanjur menjadi bagian dari paguyuban (Suyono, 2014: 230).

(18) Ia ingin meninggalkan rumah Pak Danisworo, tapi tatkala melangkah ia seolah berputar-putar saja di ruang tamu. Menghambur ke teras pun tak mampu. Ia malah mau duduk dalam meja rapat. Biasanya dalam pertemuan-pertemuan ia bersembunyi di dapur, menyiapkan serabi, sekoteng, sepiring wajik, atau apa, kini bapak-bapak itu menyuruhnya duduk semeja. Hari itu seolah-olah secara resmi Jeanne diterima sebagian inti keluarga paguyuban. Ia menjadi satu-satu anggota perempuan. Ia orang yang memiliki hak mengajukan usul di sidang paguyuban (Suyono, 2014: 247-248).

Kesetiaan cinta Jeanne pada Suryo memang ada batas. Melalui berbagai pengalamannya dengan kegiatan-kegiatan paguyuban, membawa Jeanne pada sebuah kekecewaan yang mendalam terlebih pada saat kematian Bu Tien. Ia menghubungkan

kematian Bu Tien dengan aktivitas paguyuban. Kekecewaannya terhadap paguyuban juga sama melekat pada Suryo. Ia terus membenci Suryo karena kekasihnya itu selalu ringan hati untuk melayani permintaan para bapak-bapak paguyuban. Seringkali memang Jeanne terpaksa diabaikan oleh Suryo. Jeanne akhirnya berpisah dengan Suryo setelah peristiwa Sabtu Kelabu di Jakarta pada 27 Juli 1996. Semenjak itu,

amarah Jeanne pada Suryo yang masih melekat pada perasaannya pada kutipan (19) dan (20).

(19) Suryo sialan!

Sudah tiga kali mantan kekasihnya tersebut mengirim pesan pendek. Betul-betul mengganggu. Lebih dari 16 tahun mereka tak bertemu. Entah mengapa bisa berjumpa dengan Suryo di

Kamboja… Jeanne berusaha dingin… Berkali-kali Suryo

mengirimkan SMS menanyakan ada di mana dirinya dan mengajaknya bertemu lagi. Tak satu pun dibalasnya (Suyono, 2014: 8-9).

(20) Jeanne saat itu menyesal terlibat dalam paguyuban. Ia menyesal terbujuk Suryo ikut dalam perjalanan yang dipimpin Pak Sinaga dan Pak Djayeng. Ia memaki-maki Suryo. Jeanne sadar saat itu ia berada dalam komunitas yang salah. Ia ketakutan. Bisa saja satu persatu anggota paguyuban diciduk, termasuk dirinya. Ia melihat Suryo juga panik (Suyono, 2014: 295).

Setelah Jeanne tidak lagi dengan Suryo, Jeanne kembali ke Malang, di rumah

orangtuanya. Ia kembali ke Malang untuk keluar dari kondisi karut-marut di Jakarta dan juga lari dari Suryo. Di Malang, Jeanne diperkenalkan dengan seorang pria bernama Tubagus Zulkifli. Jeanne pun merasa sosok Tubagus adalah sosok yang bisa melindunginya saat itu, meskipun mesti menjadi istri kedua. Dan setahun setelah kepulangannya ke Malang, ia kembali lagi ke Jakarta. Berikut ini kutipan (21) yang

menggambarkan pertemuan Jeanne dengan sosok Tubagus.

(21) Saat bertemu, Jeanne merasa sosok Tubagus adalah sosok yang bisa melindunginya. Ia keturunan pendekar-pendekar Banten. Jeanne langsung ingin bersandar di bahu sang jawara. Ia merasa aman dalam naungan Tubagus. Tubagus Zulkifli katanya memiliki istri. Tapi Jeanne tidak peduli. Ia menerima pinangan Tubagus. Ia rela menjadi istri kedua. Dan kemudian pada 1997 ia ikut pindah ke Jakarta lagi, ke rumah yang baru di Cipinang yang dibelikan Tubagus (Suyono, 2014: 295-296).

Pertemuan dan keputusan Jeanne untuk hidup bersama dengan Tubagus membawa banyak perubahan pada sifat Jeanne. Terbatasnya ruang gerak Jeanne

semenjak di Jakarta, menjadikannya orang rumahan. Ia pun berubah drastis menjadi gadis yang lebih agamais setelah dulu berkarakter liar dan binal. Kutipan (22) berikut ini menggambarkan perubahan karakter Jeanne.

(22) Semenjak itu, ia jadi orang rumahan. Ia mengubah penampilan. Ia memutuskan berhijab. Ia aktif mengikuti pengajian-pengajian. Bahkan pengajian di Serang. Ia sering bolak-balik Serang-Jakarta (Suyono, 2014: 296).

Hubungan Jeanne dan Tubagus dikaruniai satu orang anak bernama Meyra. Akan tetapi, hubungan Jeanne dan Tubagus Zulkifli juga tidak berlangsung lama. Rumah tangga mereka akhirnya harus kandas di tengah jalan. Di tengah

kegalauannya, Jeanne ditawari oleh ibunya untuk berlibur sekaligus mengunjungi sepupunya yang di Vietnam. Dalam perjalanannya ini, Jeanne mengunjungi banyak tempat. Sebelum ke Vietnam, ia berniat untuk mengunjugi Kamboja dulu. Banyak hal yang ia temukan, Suryo kekasihnya juga pengalaman menakutkan yang masih ada hubungannya dengan para bapak paguyuban. Jeanne masih tetap dikejar dengan

ketakutan masa lalunya itu. Berikut ini kutipan (23) yang menggambarkan ketakutan Jeanne bertemu bayangan para bapak Paguyuban Anggoro Kasih.

(23) Jeanne ketakutan dengan penglihatannya. Adakah bapak-bapak itu disiksa? Dianiaya oleh orang-orang tak dikenal? Kuatkah bapak itu menahan gebukan dan sayatan? Ataukah bapak-bapak itu mati kemudian? Ia langsung meninggalkan Angkor (Suyono, 2014: 10).

2.2.1.2 Suryo

Suryo merupakan salah satu tokoh utama selain Jeanne. Intensitas

kehadirannya dalam keseluruan cerita juga cukup banyak. Pengalamannya bersama kekasihnya, Jeanne, menjadi poros penceritaan.

Suryo adalah anak dari Yohanes Liem Hardjosusilo dan Yohana Kurniasih Marsudirini. Masa kecil Suryo dihabiskan di Semarang. Hidup mereka pada awalnya

bahagia dalam kesederhanaan. Bapaknya adalah seorang Katolik Cina yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Ibunya adalah seorang penyulam bertalenta yang bekerja di sebuah perusahaan konfeksi. Sebagai anak tunggal, Suryo sangat disayangi oleh kedua orang tuanya. Terkadang Suryo kecil selalu diajak jalan oleh ayahnya untuk diperkenalkan berbagai kebudayaan Cina. Berikut ini kutipan (24) dan (25) yang

menggambarkan profesi orangtua Suryo dan kehidupannya saat kecil. (24) Suryo ingat masa kecilnya di Semarang bersama bapaknya,

Yohanes Liem Hardjosusilo, adalah seorang Katolik Cina. Sang ayah sering membawa Suryo ke klenteng untuk menonton latihan silat atau pementasan wayang potehi. Ayahnya itu sebenarnya jebolan Seminari Mertoyudan. Namun, ia tak ingin menjadi seorang pastor (Suyono, 2014: 400).

(25) Sosok Yohanes Liem Hardjosusilo seingat Suryo adalah sosok serius. Ia suka mengenakan kaus singlet putih dan celana pantolan hitam. Bapaknya itu terlambat kawin. Ia menikahi ibunya, Yohana Kurniasih Marsudirin, saat umurnya sudah 50 tahun, sementara ibunya berumur 30-an. Ibunya juga terlambat menikah bagi orang Jawa. Ibunya asli Semarang. Ibunya adalah seorang penjahit yang bekerja di sebuah perusahaan konfeksi. Suryo adalah anak tunggal. Suryo ingat di masa kecil ia suka sekali bila melihat ibunya pulang naik becak membawa dua-tiga karung berisi perca-perca kain. Suryo pasti akan menyongsong karung itu, menyeretnya masuk rumah dan mengaduk-aduk, mengudal-udal isinya, melihat warna-warna potongan-potongan

kain bekas itu. Ia tahu pasti perca-perca itu akan dijahit ibunya menjadi selimut atau syal-syal yang lucu (Suyono, 2014: 401).

Semenjak dewasa, Suryo merantau dan bekerja di Jakarta. Suryo memang dikenal sangat ringan tangan dan mau melakukan pekerjaan apa pun yang baik demi mendapatkan uang. Dalam bekerja, Suryo memang seringkali bersama-sama dengan kekasihnya, Jeanne. Itulah mengapa, Suryo kemudian menjadi orang kepercayaan di Paguyuban Anggoro Kasih. Ia dipercaya sebagai pengurus paling muda di paguyuban

tersebut. Jeanne juga ikut kena cipratannya. Memang terlalu sering Suryo dimintai tolong oleh bapak-bapak anggota paguyuban – salah satunya Pak Sinaga. Itulah awal dari keterlibatan mereka di paguyuban yang kemudian hari merencanakan dan melawan kekuasaan Soeharto. Berikut ini kutipan (26) dan (27) yang

menggambarkan sikap ringan tangan Suryo untuk mengerjakan banyak hal demi mendapatkan uang.

(26) Palugada. Apa lu mau, gue ada. Itulah ungkapan yang tepat dari zaman sekarang untuk menyebut profesi Suryo. Seingat Jeanne, saat Suryo masih menjadi kekasihnya, ia tak memiliki pekerjaan tetap. Loncat sana loncat sini. Apa saja pekerjaan yang bisa menghasilkan uang, meski sekadarnya, diterima Suryo. Penghasilan Suryo setahu Jeanne terutama didapat dari komisi mengantar penjualan barang-barang antik (Suyono, 2014: 139). (27) Jeanne pernah ikut membantu Suryo membungkus pedang

samurai. Pedang itu sepasang….

Pedang tersebut milik seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang pada tahun 1942 memimpin pendudukan ladang minyak Tarakan. Jeanne tahu Suryo diminta Pak Sinaga, seorang kenalan Suryo, mengurus pembelian pedang. Berkali-kali sebelumnya Pak Sinaga bertemu dengan keluarga polisi di Tarakan. Membujuk agar keluarga tersebut mau melepas samurai. Dan akhirnya setelah harga disepakati, ia mengutus Suryo menjemput

pedang. Suryo dibekali sebuah tas berisi uang tunai sekitar 20 juta rupiah (Suyono, 2014: 139-140).

Suryo selain dikenal sebagai pemuda yang sangat dinamis, mampu mengerjakan banyak hal, ia juga terkadang menjadi orang yang misterius. Barangkali karena sibuk, ia seringkali hilang dari rutinatasnya dengan orang-orang terdekat seperti teman atau rekan kerja. Perginya Suryo tersebut bukan berarti Suryo ketinggalan informasi atau perkembangan. Ia malah masuk kembali ke dalam

kelompok yang ia tinggalkan dan terlibat dalam pembicaraan seolah ia tidak melewatkan satu pun. Berikut ini kutipan (28) yang menggambarkan sosok misterius Suryo.

(28) Mantan pacarnya itu adalah orang yang tidak bisa diduga. Suryo itu misterius. Ia bisa hilang tanpa kabar. Ia bisa muncul sekonyong-konyong. Dan begitu berkumpul lagi dengan sahabat-sahabatnya, ia ternyata langsung bisa ikut membahas materi yang dibicarakan para sehabatnya dengan sedemikian dalam. Bahkan apabila materi itu sebelumnya disembunyikan darinya (Suyono, 2014: 132).

Selama di Jakarta, selain bekerja, Suryo juga pernah mencoba untuk studi di

beberapa perguruan tinggi. Bukan hanya satu, tapi lebih dari satu. Tak satu pun yang pernah diselesaikannya. Pekerjaan dan keterlibatannya di paguyuban bisa menjadi alasan yang paling masuk akal dari sekian kegagalan studi Suryo. Di bawah ini, kutipan (29) mengenai kegagalan studi Suryo.

(29) Gara-gara sering menjadi mayat tersebut, Suryo cabut kuliah di tengah jalan. Suryo sepengetahuan Jeanne pernah kuliah macam-macam. Konon, pacarnya itu pernah mengambil diploma komputer. Pernah mencoba-coba kursus paket teologi dan

filsafat. Semuanya itu putus. Tak ada yang tamat. Saat berpacaran dengan dirinya, Suryo mengaku mengambil studi di akademi farmasi. Mau menjadi apoteker, katanya. Namun, sejak jadi mayat itu, entah kenapa, dia elergi bau obat tertentu dan karbol. Ia pernah mual-mual waktu di laboratorium praktek meracik puyer (Suyono, 2014: 183).

Sebagai pemuda yang paling dipercaya di paguyuban, Suryo telah memiliki ikatan yang begitu erat dengan bapak-bapak paguyuban. Selain itu pula, Suryo memang telah menerima banyak perhatian dan kebaikan yang besar sehingga Suryo

seolah memiliki banyak utang budi kepada mereka. Tak sungkan, Suryo bahkan rela menjadi mayat dan menikmati aktivitas anggota paguyuban yang terkesan cukup aneh. Bahkan ia rela meninggalkan Jeanne di kamar kosnya saat istirahat untuk mengantarkan Pak Sinaga di Kawitan. Jeanne ditinggal sekitar 8 hari di Jakarta.

Pilihan Suryo tersebut bahkan mengorbankan kebersamaan dengan kekasihnya. Berikut gambarannya dalam kutipan (30) dan (31) di bawah ini.

(30) Suryo manut saja disuruh berbaring terbujur seolah dia jenazah. Ya, Allah, Suryo kok mau. Goblok banget (Suyono, 2014: 162).

(31) Jeanne ingat malam itu 28 April 1996. Besoknya Idul Adha. Malam itu Suryo seperti orang yang tersepak-sepak. Kekasihnya itu sempat cuci muka. Jeanne ingat ia duduk terpekur di kasurnya hanya berbelit selimut. Ia melihat Suryo mengepak-ngepak pakaian seadanya ke dalam ransel. Jeanne hanya mengingatkan agar Suryo tak lupa membawa sikat gigi. Selanjutnya ngungun. Matanya mulai sembap. Ajudan Pak Sinaga menunggu di luar pintu, seolah tahu tak elok melongok ke dalam karena Jeanne masih dalam keadaan tanpa busana. Jeanne merasa seluruh tubuhnya gugup. Saat Suryo pamit, air matanya berurai. Suryo mengelus-elus rambutnya dan mencium keningnya (Suyono, 2014: 242-243).

Kebiasaan Suryo yang bersedia mengerjakan banyak hal bukan berarti ia melewatkan banyak hal. Itulah nilai tambah dari Suryo yang menjadikannya orang

kepercayaan anggota paguyuban. Suryo dikenal sebagai orang yang detail dalam menilai dan mengerjakan sesuatu. Selain detail, Suryo memang memiliki banyak pengetahuan mengenai situs-situs candi dan selalu melayangkan ide dengan sudut pandang yang berbeda dan mengejutkan. Hal tersebut disadari oleh Jeanne dalam

perjalanan bersama Suryo saat mengunjungi candi-candi. Berikut ini bukti kutipannya (32).

(32) Harus diakui, Suryo selalu memiliki perspektif sendiri bila memahami candi. Jeanne ingat, Suryo peka terhadap hal-hal kecil. Ia bisa menjelaskan sesuatu yang sepele dan tampak

Dokumen terkait