BAB I PENDAHULUAN
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Analisis Struktural
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah
seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan
Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang persis
sama atau paling tidak dalam konteks ini akan digunakan pengertian yang
berbeda, walau memang ada di antaranya yang sinonim. Ada istilah yang
pengertiannya menyaran pada tokoh cerita dan atau “teknik” pengembangannya
dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995: 164-166).
Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?” atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis
dan antagonis dalam novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan
karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh
pembaca lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan
karakterisasi – karakterisasi juga sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan - menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan
watak(-watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968: 33),
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita (ibid., 165).
Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian berbeda, yaitu sebagai
tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi,
dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam
Nurgiyantoro, 1995: 165). Dengan demikian, character dapat berarti „pelaku
cerita‟ dan dapat pula berarti „perwatakan‟. Antara seorang tokoh dan perwatakan
Tokoh cerita (character) menurut Abrams (1981: 20) adalah orang(-orang)
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan
tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas
pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya
dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti
semuanya. Berkaitan dengan kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu
dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal).
Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas
pribadi daripada dilihat secara fisik (Nurgoyantoro, 1995: 165-166).
Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada
“tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya
dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan
pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jika kita kembali ke pembagian
dikotomis bentuk dan isi, tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandungnya itu
adalah aspek isi, sedangkan teknik perwujudannya dalam karya fiksi adalah
bentuk. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek, yaitu isi
dan bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu tidak begitu penting selama
Nurgiyantoro, 1995: 167) atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan
tokoh-tokoh itu sesuai dengan logika cerita dan persepsinya (ibid.,167).
Teknik pelukisan tokoh yang digunakan oleh Seno dalam novel KdDL
sebagaimana yang dijelaskan oleh Nurgiyantoro (1995: 198-211) ialah teknik
dramatik. Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik artinya mirip dengan
yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya,
pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah
laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita menunjukkan kediriannya
sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata,
maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa
yang terjadi.
Berhubungan dengan sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas
dan lengkap, ia akan hadir kepada pembaca secara sepotong-potong dan tidak
sekaligus. Ia baru menjadi “lengkap” setelah pembaca menyelesaikan sebagian
besar cerita. Untuk memahami kedirian seorang tokoh, apalagi tergolong sebagai
tokoh kompleks, pembaca dituntut untuk dapat menafsirkannya sendiri.
Penampilan tokoh dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik.
Mungkin sekali ada satu dua teknik yang lebih sering digunakan daripada
teknik-teknik yang lain tergantung pada selera atau kesukaan masing-masing pengarang.
Tentu saja hal itu terlepas dari tujuan estetis dan keutuhan cerita secara
keseluruhan. Berbagai teknik tersebut, yaitu melalui teknik cakapan, tingkah laku,
pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa
jenis penamaan berdasarkan dari sudut pandang mana itu dilakukan. Berdasarkan
sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa
jenis penamaan sekaligus, seperti tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh
protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, dan terakhir
tokoh statis dan tokoh berkembang (ibid., 176-194). Pada studi ini, digunakan
pembedaan tokoh utama dan tokoh tambahan saja. Pemilihan pembedaan tokoh
tersebut digunakan karena dalam KdDL terdapat banyak sekali tokoh yang
terlibat. Akan tetapi, ada dua tokoh utama yang menjadi pusat cerita dan sekaligus
penggerak alur cerita secara keseluruhan.
1.6.1.1.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
bersangkutan. Ia merupakan tokoh paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian (ibid., 176-177). Oleh karena tokoh utama
selalu disebutkan dalam cerita dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain,
ia/mereka sangat menentukan perkembangan alur. Tokoh utama dalam sebuah
novel bisa lebih dari satu orang (ibid., 177). Di samping itu, tokoh tambahan
hanya merupakan pelengkap dari suatu cerita. Tokoh tambahan selalu berada di
sekitar tokoh utama.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pembedaan antara
tokoh utama dan tokoh tambahan tidak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan
itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat: tokoh
memang) tambahan. Peneliti hanya menggunakan dua kategori besar, yaitu tokoh
utama dan tokoh tambahan. Dalam studi ini, penelitian hanya dibatasi pada
tokoh-tokoh yang terlibat pada kegiatan counter-hegemoni maupun tokoh-tokoh-tokoh-tokoh yang
memiliki pengaruh besar kepada tokoh utama. Pembatasan ini dilakukan dengan
maksud untuk membatasi kompleksitas tokoh dan penokohan dalam novel KdDL.