BAB IV BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI
4.2 Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni
4.2.2 Perlawanan Pasif
4.2.2.2 Menantang Maut
Menantang maut berarti siap untuk menanggung sekian risiko berat bahkan kehilangan nyawa sekali pun. Dalam novel KdDL, terdapat beberapa tokoh yang melakukan aksi ini. Mereka itu ialah Pak Darsono dan Pak Djayeng serta Phu Tram.
Mereka dinilai berani untuk mengambil risiko besar dengan motivasi untuk memperjuangkan suatu keinginan yang besar. Pak Darsono dan Pak Djayeng ialah untuk memotong pengaruh bunga wijayakusuma bagi keberlangsungan kekuasaan
Soeharto. Sedangkan Phu Tram, berjuang untuk menyelamatkan benda-benda kebudayaannya di dasar laut.
Dalam rangkaian perjalanan spiritual melawan Soeharto, anggota paguyuban pergi ke tempat bernama Jambe Pitu, Cilacap. Perjalanan ini sebenarnya dengan maksud untuk melihat dari jauh Pulau Biru Majeti tempat bunga wijayakusuma tumbuh dan merencanakan perjalanan ke tempat tersebut. Berdasarkan orang-orang
yang telah lama tinggal di sana bernama Pak Notodirojo dan Pak Soetomo, Pulau Biru Majeti dilindungi oleh alam dan laut. Siapa pun yang menuju ke sana pasti akan diserang oleh keganasan laut – gelombang di perairan ini memang dikenal cukup besar. Siapa pun pasti akan takut untuk mengemban tugas menyeberang ke Pulau Biru Majeti. Keperkasaan laut dan samudera akan menakutkan bagi siapa pun bahkan
pelaut sekali pun.
Tugas berat tersebut dengan berani diambil oleh Pak Darsono dan Pak Djayeng. Mereka bahkan bersumpah untuk berusaha sekuat mungkin mendapatkan bunga tersebut. Ketakutan mereka sebenarnya cuma satu, yaitu orang-orang suruhan
Soeharto sampai lebih dahulu mengambil bunga tersebut. Pilihan tegas mereka berdua tentunya menantang rasa takut mereka sendiri termasuk kekhawatiran akan keganasan laut yang bisa kapan saja membalikkan perahu mereka dan menelan mereka sekaligus (lih. kutipan 45 dan 46).
“Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin
menghirup aroma bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negera
ini, saya siap menunaikan misi ini. Saya siap menyeberangi bukit ini dengan perahu sekecil apa pun. Saya hanya meminta agar Pak Notodirodjo dan Pak Soetomo jangan memberitahukan rencana kami kepada perewangan-perewangan Pak Harto. Kalaupun mereka tahu, biar mereka tahu dengan sendiri. Kami bukan takut terbunuh. Kami tak ingin saling santet-menyantet,” kata Pak Dasono dari depan pintu (Suyono, 2014: 288)-Kutipan (45).
“Saya akan berangkat!” dengan tegas Pak Djayeng menawarkan
diri menjadi sukarelawan. “Kalaupun bunga itu belum muncul,
saya akan berdoa di depan pohonnya. Saya akan memohon kepada Tuhan agar tak ada bala yang menyerang kita. Pak Darsono bilang kepada saya, dia akan ikut. Saya tak ingin menunggu ombak tenang. Saya yakin kalau niat kita baik kita akan selamat. Ombak seganas apa pun akan luluh karena tekad kita.Bagaimana Pak Darsono?” (Suyono, 2014: 287)-Kutipan (46).
Seminggu setelah melakukan sumpah mengambil bunga wijayakusuma. Pak Darsono dan Pak Djayeng bertolak ke Pulau Biru Majeti. Gelombang ganas memang
menyerang mereka bertubi-tubi. Akan tetapi, mereka tidak peduli dan gentar sedikit pun. Perjalanan tetap dilakukan hingga kemudian setelah 20 menit melaju, sebuah gelombang besar membalikkan perahu mereka. Pak Darsono dan Pak Djayeng bersusah payah berenang kembali ke pantai meskipun tubuh mereka dihempaskan ke
sana kemari oleh ombak besar. Mereka mengalami sesak nafas, sesaat dirawat di Cilacap, namun setelah itu dibawa ke Jogja dan dirawat di RS. Panti Rapih. Kejadian di perjalan pertama ini tidak membuat mereka kapok dan takut. Mereka bahkan lebih semangat dari sebelumnya.
Pada perjalanan yang kedua, kondisi laut cukup tenang dan juga cuaca cukup
melakukan perjalan berbahaya tersebut. Berikut kutipan (158) yang mengambarkan perjalan laut kedua Pak Darsono dan Pak Djayeng.
(158) Ombak kali ini tenang. Dari atas bukit, Pak Sinaga melepas mereka. Mulanya perahu mereka meluncur lancar. Tetapi begitu hampir mencapai pantai sabrang, muncul pusaran kencang memontang-mantingkan perahu. Mereka terlempar ke arah yang berbeda. Mayat mereka tidak ditemukan. Hanya pecahan perahu yang dilihat penduduk pantai (Suyono, 2014: 306).
Aksi menantang maut yang dilakukan Pak Darsono dan Pak Djayeng menjadi
sebuah aksi Perlawanan Pasif karena mereka dengan berani melawan/bersaing dengan Soeharto untuk bersaing mendapatkan bunga wijayakusuma. Apabila bunga tersebut jatuh ke tangan Soeharto maka kekuasaannya masih dapat bertahan. Untuk itu, tanpa mempedulikan risiko besar yang menanti di depan, Pak Darsono dan Pak Djayeng
bahkan menjalankan aksi yang bisa berdampak maut bagi mereka demi menantang Soeharto.
Aksi menantang maut juga sama dilakukan oleh Phu Tram. Bedanya, perlawanan tersebut bukan ditujukan kepada rezim Soeharto, tetapi kepada pemerintahan Vietnam. Sebelum menantang pemerintahan Vietnam secara tidak
langsung, Phu Tram bekerja sebagai penyelam dengan sertifikat resmi. Ia sering menyelam di berbagai perairan untuk mengambil barang-barang antik di dasar laut. Namun, profesinya itu seringkali diawasi secara ketat oleh aparat keamanan. Memang telah ada aturan kepada para penyelam agar tidak ikut mengangkut barang-barang peninggalan suku Champa dari dasar laut. Jika ada yang ikut terbawa, maka barang
tersebut harus dibuang kembali ke laut. Pemerintah Vietnam tidak ingin kebudayaan Champa kemudian bangkit lagi dan mengalahkan kebudayaan Vietnam.
(159)Jeanne mendengar dari mulut lelaki buntung itu, pemerintah Vietnam tak begitu suka dengan temuan-temuan barang Champa dari dasar laut. Pemerintah Vietnam merasa cukup banyak memiliki barang Champa. Pada masa penjajahan Prancis, banyak arkeolog Prancis yang berminat khusus mengumpulkan artefak Champa. Dan peninggalan mereka kini disimpan di museum. Menurut Phu Tram, pemerintah tak mau lagi menambah koleksi barang Champa (Suyono, 2014: 91).
Sebagai satu-satunya penyelam berdarah Champa, tentunya Phu Tram mendapat pengawasan yang lebih ketat dibandingkan penyelam-penyelam lainnya. Tidak jarang Phu Tram mengalami diskriminasi dari para aparat hegemoni seperti polisi dan Jawatan Kelautan Vietnam. Memang di kapal pengangkut barang-barang
antik ada nakhoda, pembersih keramik, koki, dan para penyelam lainnya. Namun, ia merasa dirinya paling banyak diawasi. Diskriminasi itu juga muncul dalam hal pembagian tabung menyelam. Tabung selam milik Phu Tram dibedakan dengan tabung selam milik penyelam lainnya.
Bukan hanya sekadar mengalami diskriminasi, Phu Tram juga bahkan pernah
mengalami percobaan pembunuhan. Itu terjadi saat ia sedang menyelam. Belum lama ketika mencapai dasar lautan, tabung oksigen Phu Tram mendadak habis, sementara teman-teman penyelam lainnya masih hilir-mudik menggali harta karun. Pada akhirnya, ia sadar bahwa tabung oksigennya ternyata telah dirusak oleh para polisi agar ia mati ketika di dasar laut. Phu Tram pun berhenti dari kegiatan penyelaman
Setelah kembali pulih, Phu Tram kembali diterima dalam suatu ekspedisi menyelamatkan harta karam di perairan Binh Thuan. Inilah awal dari kekecewaan
Phu Tram kepada pemerintahan Vietnam. Dalam misi tersebut Phu Tram dan teman-teman penyelamnya menyelamatkan lebih dari 60 ribu keramik di kedalaman 40 meter. Ia kemudian merasa dikhianati karena keramik-keramik hasil pengangkatan tersebut diunduh ke tempat lelang Amerika dan Eropa. Padahal benda-benda tersebut
bisa diselamatkan dengan membangun museum khusus dan benda-benda sejarah Asia Tenggara tersebut bisa disimpan dan dirawat dengan baik.
Kekecewaan atas perlakuan pemerintahan Vietnam tersebut menjadikan Phu Tram memutuskan untuk tidak lagi tergabung dalam kelompok penyelaman negara. Ia merasa bahwa dengan mengambil benda kebudayaan Champa untuk pemerintahan
Vietnam berarti sama dengan menjual kebudayaannya sendiri. Keluar dari kelompok penyelaman bukan berarti Phu Tram berhenti menyelam. Ia memutuskan untuk tetap menyelam meskipun dengan peralatan yang sangat sederhana (lih. kutipan 78).
Yang gila, ia juga tidak menggunakan peralatan menyelam standar. Ia sama sekali tak membawa tabung oksigen. Ia hanya membawa kompresor dengan selang panjang. Sahabat-sahabatnya dari atas yacht akan menjaga kompresor tersebut dan mengulurkan selang panjang yang akan menjadi alat bernapasnya di dasar laut. Sungguh nekat. Ia percaya Allah turut ambil bagian dalam usaha penyelamatan harta karun Champa (Suyono, 2014: 99)-Kutipan (65).
Berdasarkan kutipan tersebut, peralatan yang digunakan Phu Tram memiliki risiko yang cukup besar atas dirinya. Selang yang digunakannya sebagai satu-satu
pun bisa saja berhenti. Kedalaman lokasi penyelaman Phu Tram juga memungkinkan ia tidak memiliki cukup waktu untuk kembali naik ke atas. Dalam kondisi tanpa
oksigen, bisa menyebabkan seorang penyelam akan gelisah dan energinya bisa saja habis dalam upaya keras untuk kembali berenang ke atas. Itu pun jika tidak mengalami kram. Risiko tersebut tidak mengkhawatir Phu Tram. Ia tetap berani mengambil risiko yang sewaktu-waktu bisa saja merenggut nyawanya.
Aktivitas penyelaman ilegal Phu Tram sebenarnya dibantu oleh rekan sesama suku Champa bernama Mualim Satu. Dari Mualim Satu-lah Phu Tram banyak belajar sekaligus mendapatkan bantuan dana. Sebagian besar benda-benda suku Champa yang ditemukan oleh Phu Tram di dasar laut di bawa ke rumah Mualim Satu. Di rumah Mualim Satu itulah, semua barang temuan Phu Tram dan penyelam lainnya
dikumpulkan dan diamankan.
Tindakan mengoleksi benda-benda kebudayaan suku Champa yang dilakukan oleh Phu Tram dan Mualim Satu juga bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Vietnam. Barang-barang yang secara jelas dilarang oleh
pemerintahan Vietnam, dikumpulkan oleh Mualim Satu. Rumahnya seolah-olah menjadi sebuah museum yang kemudian hari semakin bertambah banyak dan dapat menyaingi kebudayaan Vietnam. Mengumpulkan barang-barang dari dasar laut tersebut seperti menumbukan kembali kejayaan suku Champa di masa lalu.