• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI

4.2 Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni

4.2.1 Perlawanan Keras

Perlawanan Keras berkaitan dengan tindakan perlawanan dengan cara berhadap-hadapan dengan pihak kekuasaan dan mengambil sikap atau tindakan yang bertentangan dengan kehendak kekuasaan. Bentuk perlawanan tersebut antara lain dengan mempertanyakan dan meminta aparat militer maupun sipil, atau melakukan

tindakan yang jelas-jelas bertantangan dengan mainstream atau „pendapat umum‟

4.2.1.1 Menerbitkan Petisi

Perlawanan dengan menerbitkan petisi ini dilakukan oleh Sawito

Kartowibowo. Keinginan untuk melawan Soeharto melalui petisi ini sebenarnya dilakukan setelah ia mendapatkan wangsit. Konon, menurut wangsit yang diterimanya, Sawito mendapat mandat untuk menyampaikan pesan kepada Presiden Soeharto agar menyerahkan kekuasaannya secara damai demi menyelamatkan

Indonesia.

(156) Sepulang melakukan perjalanan dengan Mr. Soedjono, Pak Sawito menulis beberapa petisi. Di antaranya berjudul

“Dokumen Menuju Keselamatan”, “Mundur untuk Maju Lebih

Sempurna”, dan “Pernyataan Pemberian Maaf kepada Bung Karno”. Isinya menganggap Soeharto gagal total. Kepemimpinan

Soeharto harus segera dilimpahkan. Melalui anggota orhiba, ia mengedarkan petisi-petisi tersebut ke pemuka-pemuka masyarakat. Tanpa dinyana, petisi Sawito mendapat sambutan tokoh-tokoh12 (Suyono, 2014: 209).

Untuk itu, ia mendekati sejumlah tokoh penting di dunia politik maupun agama, seperti Mohammad Hatta, Hamka (Ketua MUI), Kardinal Yustinus Darmoyuwono (Ketua MAWI), T.B. Simatupang (Ketua PGI), R.S. Soekanto

Tjokrodiatmodjo, mantan Kapolri pertama Indonesia yang juga adalah mertua Sawito sendiri, dll., dan meminta dukungan mereka dengan menandatangani lima pernyataan

12

Kasus Sawito membangkitkan banyak pertanyaan. Banyak orang yang heran mengapa banyak tokoh nasional yang dengan naifnya mempercayai Sawito. Menurut orang-orang yang dekat dengan Bung Hatta, Bapak Bangsa dan Proklamator itu kabarnya merasa tertipu oleh Sawito. Begitu pula para penandatangan yang lainnya sehingga mereka kemudian mengeluarkan pernyataan yang isinya mencabut tanda tangan mereka.

yang telah dipersiapkannya terlebih dulu. Sementara semua tokoh itu hanya menandatangani satu pernyataan, Bung Hatta menandatangani tiga di antaranya.

Oleh karena hal tersebut, Sawito lalu dianggap melakukan gerakan politik untuk menggoyahkan kepemimpinan Presiden Soeharto dan bahkan menggulingkannya dari kekuasaannya pada waktu itu, sehingga ia dikenai tuduhan subversif. Akibatnya, Sawito diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara 8

tahun yang belakangan dikurangi menjadi 7 tahun. Dalam kasus ini, Sawito dibela oleh pengacara terkenal Yap Thiam Hien, Abdul Rachman Saleh (yang belakangan menjadi jaksa agung, dan beberapa pengacara lainnya).

Petisi-petisi yang diterbitkan oleh Pak Sawito tergolong sebagai bentuk perlawanan yang cukup keras pada masa pemerintahan Orde Baru13. Tulisan-tulisan

kritikan ataupun protes dianggap sebagai suatu kejahatan kelas berat. Itu karena tulisan dapat menciptakan propaganda yang efektif bagi masyarakat luas.

4.2.1.2 Aksi Demonstrasi

Aksi demonstrasi merupakan perlawanan keras karena berhadap-hadapan

langsung dengan pihak yang diprotes. Selama masa Orde Baru, cukup banyak aksi-

13

Berbahasa sebagai bertindak mendapatkan referensi penuh di dalam politik Orde Baru. Yang paling ditakuti Orde Baru,..bukan senjata-dalam hal senjata Orde Baru tidak pernah berkekurangan karena didukung bala-tentara yang terampil dalam memanggul senjata-akan tetapi, kata-kata. Yang paling ditakuti adalah kesusastraan, baik itu prosa maupun puisi (tulisan) (Dhakidae, 2003: 54). Itulah sebabnya sehingga beberapa surat kabar yang memberitakan tentang tindakan tidak terpuji pemerintah pada masa Orde Baru dibredel. Penyair-penyair seperti Wiji Tukul dibunuh karena sajak-sajaknya yang tajam.

demonstrasi yang terjadi. Misalnya, dalam tahun 1972, mahasiswa terus saja melakukan aksi protes dan demonstrasi menantang pembangunan Taman Mini

Indonesia Indah (TMII) yang dinilai tidak mendesak. Puncak demonstrasi mahasiswa terjadi pada saat PM Jepang Kakuei Tanaka mengunjungi Indonesia pada tanggal 15 Januari 1974, dan dikenal sebagai Peristiwa Malapetaka 15 Januari (disingkat Peristiwa Malari). Demonstrasi itu disertai dengan pembakaran-pembakaran dan

menyebabkan korban tewas sebanyak 11 orang, 300 luka-luka, dan 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Di tahun 1977 juga terjadi sebuah aksi demonstrasi untuk menuntut diadakannya sidang MPR untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto yang berujung pada aksi mogok kuliah mahasiswa ITB (lih. Taum, 2015: 199).

Demonstrasi besar-besaran juga mewarnai lengsernya Soeharto di tahun 1998.

Salah satu demonstrasi juga yang dilakukan pada masa Orde Baru adalah demonstrasi MdDSSG. Perlawanan itu disebut sebagai perlawanan keras, karena para MdDSSG tersebut berhadapan dan menuntut keadilan kepada pemerintah Orde Baru

melalui ABRI - aparat/Intelektual Organik Orde Baru. Aksi yang mereka perjuangkan jelas bertentangan dan menggangu stabilitas umum pada masa itu –paling tidak menurut pendapat aparat keamanan yang ada di Santa Cruz.

(157)Benar ternyata Santa Cruz adalah nama pemakaman yang disembunyikan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 1991, tentara Indonesia membantai ratusan warga Dili di situ. Peritiwa itu diawalai rombongan mahasiswa Timor Timur yang menyekar nisan Sebastiao Gomes, rekan mereka yang sebulan sebelumnya ditembak oleh tentara. Warga ikut berduyun. Para mahasiswa menggelar spanduk protes. Mereka mengangkat-angkat foto

Xanana Gusmao. Simpati mengalir. Mereka bersama warga meneriakkan yel-yel referendum (Suyono, 2014:81).

Para mahasiswa dan demonstran tersebut sebenarnya menuntut keadilan atas pembunuhan rekan mereka Sebastiao Gomes sebulan sebelum demonstrasi tersebut. Konflik berkepanjangan dan ketidakadilan serta kekerasan yang terjadi memicu gelombang demonstrasi yang besar kepada pemerintah Orde Baru. Kematian Sebastiao Gomes menjadi batas kesabaran masyarakat untuk tetap tunduk di bawah

kekuasaan Orde Baru. Mereka berkumpul dengan membawa spanduk sambil meneriakkan yel-yel referendum. Aksi tersebut memicu amarah aparat keamanan yang kemudian memberondongi para demonstran dengan peluru secara brutal. Berdasarkan data dari Wikipedia tentang Insiden Dili, disebutkan bahwa dari

orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru bernama Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.

Dokumen terkait