ABSTRAK
Homba, Carlos Venansius. 2016. Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci. Skripsi Strata Satu (S-1). Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengangkat topik bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam novel Kuil di Dasar Laut karya Seno Joko Suyono. Tujuan penelitian ini (1) mendeskripsikan struktur cerita yang meliputi tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu, (2) mendeskripsikan formasi intelektual berdasarkan perspektif Antonio Gramsci, dan (3) mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan. 1) Pendekatan stuktural digunakan untuk menganalisis struktur novel dan memberi gambaran mengenai isi novel Kuil di Dasar Laut. 2) Pendekatan Sosiologi Sastra dengan teori Hegemoni Antonio Gramsci digunakan untuk melihat relasi kekuasaan pemerintah dengan masyarakat sipil dan peran kaum intelektual sebagai penghubung antara dua entitas tersebut. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca catat dan teknik studi pustaka.
Hasil kajian ini dibagi menjadi tiga, yaitu analisis struktur cerita dalam novel, formasi intelektual, dan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel ini adalah Jeanne dan Suryo. Sedangkan tokoh tambahan terdiri dari anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, dan Phhoung. Latar terbagi menjadi dua. Pertama, latar tempat yang terdiri dari Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Gunung Sapto Renggo, Situ Panjalu, Laut Cina Selatan, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Kedua, latar waktu yang terdiri dari tahun 1961, 1991, 1996, 1998, dan 2012. Tokoh-tokoh di atas dikategorikan dalam formasi intelektual yang terdiri dari Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Intelektual yang kedua masih dapat dibagi lagi menjadi Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Tidak satu pun tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Tradisional. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani, Souvvana, dan Phhoung masuk dalam Intelektual Hegemonic. Anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Pak Sawito Kartowibowo dan rekannya Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, dan MdDSSG masuk dalam kategori Intelektual Counter-Hegemonic.
ABSTRACT
Homba, Carlos Venansius. 2016. The Forms of Counter-Hegemony in Kuil di Dasar Laut Novel By Seno Joko Suyono: Antonio Gramsci’s Hegemoni Perspective. Bachelor of Science Essay. Yogyakarta: Indonesian Literature. Faculty of Literature. Sanata Dharma University.
This research raises the forms of counter-hegemony in Kuil di Dasar Laut novel. Research purposes are 1) describing the structure of Kuil di Dasar Laut novel including characters and characterizations and setting of place and time, 2) describing the formation of intellectual with perspective of Antonio Gramsci, 3) describing the forms of counter-hegemony. This research using two main approaches, i.e. 1) Structural approach is used to analyze the structure of the novel and give illustration about the content of Kuil di Dasar Laut novel. 2) Sociology of Literature approach with Hegemony of Antonio Gramsci theory is used to analyzing the power relation of government with civil society and the role of intellectual as connector between the two entities. The method used in this research is description qualitative method. The data collecting technique are note-reading technique and library research technique .
The result of the study is divided into three parts, analyzing of story structure of the novel, formation of intellectual, and forms of counter-hegemony. The main character in this novel are Jeanne and Suryo. While the additional character consists of members and sympathisesrs of Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, and Phhoung. The setting is devided into two parts. First, setting of place consist of Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Sapto Renggo Mountain, Situ Panjalu, South China Sea, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, and Vietnam. Second, setting of time consist of 1961, 1991, 1996, 1998, and 2012. The characters above categorized in the formation of intellectual consist of Traditional Intellectual and Organic Intelectual. The second intellectual can be divided into Hegemonic Intellectual and Counter-Hegemonic Intellectual. None of the character that come in Traditional Intellectual category. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoermardani, Souvvana, and Phhoung come in Hegemonic Intellectual. Members and sympathisers of Paguyuban Anggoro Kasih, Sir Sawito Kartowibowo, and his colleague Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, and MdDSSG in the category of Counter-Hegemonic Intellectual.
BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI
DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT
KARYA SENO JOKO SUYONO: PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Carlos Venansius Homba
NIM 124114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI
DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT
KARYA SENO JOKO SUYONO: PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Carlos Venansius Homba
NIM 124114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
vi
PERSEMBAHAN
Hidup itu mukjizat
Sekali pun gunung terlampau tinggi membendung hasrat
Kita tetap dapat menaklukkannya dengan mendaki
Karya ini kupersembahkan kepada orangtuaku Albertus Homba dan Florence Bani
Saudara terkasihku Alfrida Natalia Homba dan Barnabas Homba
P. Jack,C.Ss.R. dan P. Rano, C.Ss.R.
vii MOTTO
“Biarlah perkara kemarin menjadi alasan untuk tidak kembali berputus asa”
Kemerdekaan sejati terletak pada pilihan yang sejati pula.
Dengan menyerah kepada Tuhan,
manusia menjadi merdeka sejati.
(Driyarkara, 1966)
Janganlah mengira kita sudah cukup berjasa dengan segitiga warna.
Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai,
berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat.
viii
KATA PENGANTAR
Saya sungguh yakin bahwa penyelesaian skripsi yang berjudul Bentuk-bentuk
Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono:
Perspektif Antonio Gramsci ini atas perkenanan Tuhan yang Mahakuasa. Ia hadir
dalam hati semua orang yang selama ini telah mendukung saya dengan berbagai
bentuk dan cara masing-masing.
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari banyak pihak,
skripsi ini tidak akan selesai pada waktunya. Oleh karena itu, dari hati yang paling
dalam, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. yang telah bersedia menjadi pembimbing I
dan memberikan banyak masukan berharga. Penulis menyadari bahwa
semangat beliau juga banyak mempengaruhi arah penulisan skripsi ini.
2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah menyempatkan
diri untuk menilik dan mengarahkan penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Ari Subagyo, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
sekaligus merangkap sebagai Dekan Fakultas Sastra yang juga ikut
mendorong dan menyemangati penulis.
4. Seluruh jajaran pejabat dan dosen Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia, S.E
Peni Adji, M.Hum. selaku Kaprodi; Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum.; Drs. Hery
Antono, M.Hum. sebagai Wakaprodi yang juga telah banyak memberikan
ix
M.Hum. yang telah memberikan banyak petuah kepada penulis; Dra.
Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum.; Sony Christian Sudarsono, M.Hum. yang
juga turut memberikan semangat kepada penulis.
5. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Sanata Dharma yang telah membantu
penulis memperoleh referensi yang dibutuhkan.
6. Kedua orangtuaku, Bapak Albertus Homba dan Ibu Florence Bani yang telah
memberikan dukungan doa, motivasi, dan materiil.
7. Kedua kakakku, Alfrida Natalia Homba dan Barnabas Homba yang telah
memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis.
8. P. Jackobus Umbu Warata, C.Ss.R. dan P. Bartolomeus Farano Loja Nedy,
C.Ss.R. dan para donatur yang telah memberikan pilihan, motivasi, dan
dukungan, baik secara moril maupun materiil kepada penulis.
9. Teman terbaikku Desy Crissie Radja bersama ibunya Dra. Clara E.M.
Talahatu yang secara langsung ataupun tidak langsung telah mendukung dan
memberikan banyak kesempatan untuk belajar bersama.
10.Seluruh teman Prodi Sastra Indonesia dan secara khusus Angkatan 2012 dan
teman baikku, Roby, Bella, Patrick, Santi, Willy, Venta, Lina, Dorce, Mei,
Peng, Novia, Ovi, Reta, Gaby, Silvy, dan Ria Puji Utami.
11.Seluruh keluarga besar Bengkel Sastra yang telah memberikan banyak
kesempatan kepada saya untuk mengembangkan kemampuan berorganisasi
x
12.Keluarga besar Komuniatas Studi Kebangsaan (KSK) Universitas Sanata
Dharma yang telah banyak menyemangati penulis dalam pengerjaan skripsi
ini. Bersama KSK, penulis diberi kesempatan untuk belajar mengenai
organisasi, ilmu kepemimpinan, dan kepekaan sosial.
13. Keluarga besar Komunitas Belajar Anak Omah Pohon yang telah
memberikan penyadaran kepada penulis akan pentingnya perhatian kepada
perkembangan anak melalui pendidikan yang menyenangkan dan kreatif.
Penulis menyadari bahwa banyak lagi yang belum sempat disebukan. Semoga
semua orang atas jasa baik mereka diberkati oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap kiranya skripsi ini
memberikan manfaat, khususnya bagi perkembangan pendidikan Sastra Indonesia.
Penulis
xi ABSTRAK
Homba, Carlos Venansius. 2016. Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci. Skripsi Strata Satu (S-1). Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengangkat topik bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam novel Kuil di Dasar Laut karya Seno Joko Suyono. Tujuan penelitian ini (1) mendeskripsikan struktur cerita yang meliputi tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu, (2) mendeskripsikan formasi intelektual berdasarkan perspektif Antonio Gramsci, dan (3) mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan. 1) Pendekatan stuktural digunakan untuk menganalisis struktur novel dan memberi gambaran mengenai isi novel Kuil di Dasar
Laut. 2) Pendekatan Sosiologi Sastra dengan teori Hegemoni Antonio Gramsci
digunakan untuk melihat relasi kekuasaan pemerintah dengan masyarakat sipil dan peran kaum intelektual sebagai penghubung antara dua entitas tersebut. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca catat dan teknik studi pustaka.
Hasil kajian ini dibagi menjadi tiga, yaitu analisis struktur cerita dalam novel, formasi intelektual, dan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel ini adalah Jeanne dan Suryo. Sedangkan tokoh tambahan terdiri dari anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, dan Phhoung. Latar terbagi menjadi dua. Pertama, latar tempat yang terdiri dari Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Gunung Sapto Renggo, Situ Panjalu, Laut Cina Selatan, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Kedua, latar waktu yang terdiri dari tahun 1961, 1991, 1996, 1998, dan 2012. Tokoh-tokoh di atas dikategorikan dalam formasi intelektual yang terdiri dari Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Intelektual yang kedua masih dapat dibagi lagi menjadi Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Tidak satu pun tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Tradisional. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani, Souvvana, dan Phhoung masuk dalam Intelektual
Hegemonic. Anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Pak Sawito
Kartowibowo dan rekannya Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, dan MdDSSG masuk dalam kategori Intelektual Counter-Hegemonic.
xii ABSTRACT
Homba, Carlos Venansius. 2016. The Forms of Counter-Hegemony in Kuil di Dasar Laut Novel By Seno Joko Suyono: Antonio Gramsci’s Hegemony Perspective. Bachelor of Science Essay. Yogyakarta: Indonesian Literature. Faculty of Literature. Sanata Dharma University.
This research raises the forms of counter-hegemony in Kuil di Dasar Laut novel. Research purposes are 1) describing the structure of Kuil di Dasar Laut novel including characters and characterizations and setting of place and time, 2) describing the formation of intellectual with perspective of Antonio Gramsci, 3) describing the forms of counter-hegemony. This research using two main approaches, i.e. 1) Structural approach is used to analyze the structure of the novel and give illustration about the content of Kuil di Dasar Laut novel. 2) Sociology of Literature approach with Hegemony of Antonio Gramsci theory is used to analyzing the power relation of government with civil society and the role of intellectual as connector between the two entities. The method used in this research is description qualitative method. The data collecting technique are note-reading technique and library research technique .
The result of the study is divided into three parts, analyzing of story structure of the novel, formation of intellectual, and forms of counter-hegemony. The main character in this novel are Jeanne and Suryo. While the additional character consists of members and sympathisesrs of Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, and Phhoung. The setting is devided into two parts. First, setting of place consist of Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Sapto Renggo Mountain, Situ Panjalu, South China Sea, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, and Vietnam. Second, setting of time consist of 1961, 1991, 1996, 1998, and 2012. The characters above categorized in the formation of intellectual consist of Traditional Intellectual and Organic Intelectual. The second intellectual can be divided into Hegemonic Intellectual and Counter-Hegemonic Intellectual. None of the character that come in Traditional Intellectual category. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoermardani, Souvvana, and Phhoung come in Hegemonic Intellectual. Members and sympathisers of Paguyuban Anggoro Kasih, Sir Sawito Kartowibowo, and his colleague Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, and MdDSSG in the category of Counter-Hegemonic Intellectual.
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
MOTTO ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 7
1.4.1 Manfaat Teoretis ... 7
1.4.2 Manfaat Praktis ... 7
1.5 Tinjauan Pustaka ... 8
1.6 Landasan Teori ... 12
xiv
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan ... 13
1.6.1.2 Latar ... 18
1.6.1.2.1 Latar Tempat ... 19
1.6.1.2.2 Latar Waktu ... 19
1.6.2 Sosiologi Sastra ... 20
1.6.2.1 Analisis Hegemoni: Perspektif Antonio Gramsci ... 21
1.6.2.1.1 Formasi Kaum Intelektual ... 24
1.6.2.1.2 Counter-Hegemoni ... 30
1.7 Metodologi Penelitian ... 36
1.7.1 Pendekatan ... 36
1.7.2 Metode Penelitian ... 37
1.7.3 Teknik Penelitian ... 38
1.7.3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 38
1.7.3.2 Teknik Analisis Data ... 38
1.7.3.3 Teknik Penyajian Data ... 39
1.8 Sumber Data ... 39
1.8.1 Sumber Data Primer ... 39
1.8.2 Sumber Data Sekunder ... 40
1.9 Sistimatika Penyajian ... 40
BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ... 42
2.1 Pengantar ... 42
xv
2.2.1 Tokoh Utama ... 45
2.2.2 Tokoh Tambahan ... 62
2.3 Latar ... 91
2.3.1 Latar Tempat ... 92
2.3.2 Latar Waktu ... 117
2.4 Rangkuman ... 121
BAB III FORMASI INTELEKTUAL DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ... 126
3.1 Pengantar ... 126
3.2 Formasi Intelektual ... 129
3.2.1 Intelektual Tradisional ... 129
3.2.2 Intelektual Organik ... 130
3.2.2.1 Intelektual Hegemonic ... 133
3.2.2.2 Intelektual Counter-Hegemoni ... 143
3.3 Rangkuman ... 156
BAB IV BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ... 158
4.1 Pengantar ... 158
4.2 Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni ... 163
4.2.1 Perlawanan Keras ... 163
4.2.1.1 Menerbitkan Petisi ... 164
4.2.1.2 Aksi Demonstrasi ... 165
xvi
4.2.2.1 Tapak Tilas dan Tirakat ... 168
4.2.2.2 Menantang Maut ... 169
4.2.2.3 Mencari Ketenangan di Luar Negeri ... 176
4.2.3 Perlawanan Humanistik ... 178
4.2.3.1 Negosiasi dengan Penguasa ... 178
4.2.4 Perlawanan Metafisik ... 179
4.2.4.1 Bentuk Perlawanan Metafisik ... 181
4.3 Rangkuman ... 192
BAB V PENUTUP ... 196
5.1 Kesimpulan ... 196
5.2 Saran ... 203
DAFTAR PUSTAKA ... 204
xvii
DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL
Diagram Rangkuman Struktur Cerita Novel KdDL... 124
Tabel 1 Rangkuman Formasi Intelektual dalam Novel KdDL ... 157
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra diciptakan oleh seorang sastrawan untuk dinikmati, dipahami,
dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota
masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial
yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan
sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antar-masyarakat, antara masyarakat dengan orang-perorang, antar-manusia, dan
antar-peristiwa yang terjadi di dalam batin seseorang. Bagaimana pun juga,
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang – yang sering menjadi
bahan sastra – adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau
masyarakat (Damono, 1978: 1). Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang
otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan
kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan (Jabrohim, 2015: 215).
Sebagai entitas yang memuat dimensi kehidupan masyarakat, karya sastra
bukan hanya sekadar dinikmati. Karya sastra juga dapat diteliti dan dianalisis
lebih jauh untuk menemukan gejala-gejala kehidupan masyarakat yang terkadung
di dalamnya.
Kisah mengenai kegelisahan masyarakat pada masa Orde Baru1 selalu
layak untuk dilihat kembali. Ada banyak karya sastra (salah satunya novel) yang
menggambarkan bentuk pergolakan batin dan perlawanan masyarakat pada rezim
ataupun situasi kehidupan yang mengekang kebebasannya sebagai manusia.
Kuil di Dasar Laut (selanjutnya disingkat “KdDL”) merupakan novel
karya Seno Joko Suyono yang juga membahas persoalan rezim otoriter Orde
Baru. Akan tetapi, karya ini tidak membahas secara spesifik seperti apa saja
bentuk otoriter yang ditunjukkan oleh rezim dan persoalan sosial politik yang
melilit kehidupan masyarakat Indonesia di akhir periode Orde Lama hingga
menyongsong Reformasi tersebut. Seno Joko Suyono justru membahas lebih jauh
mengenai sosok Soeharto; pimpinan rezim Orde Baru dengan segala kekuatan
mistik yang membentenginya. Kekuatan tersebut yang menopang Soeharto selama
puluhan tahun berkuasa.
Banyak massa dan simpatisan yang sebelumnya mendukung Soeharto,
kemudian berbalik melawannya karena kecewa dengan model kepemimpinan
Seoharto. Hal tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan (1).
(1) Pada mulanya mereka mendukung Soeharto, namun kemudian muncul kekecewaan besar terhadap jenderal itu. Mereka menganggap Soeharto salah jalan. Mereka menyesal telah memberikan sokongan moral kepadanya. Bapak-bapak itu adalah orang-orang yang merasa bersalah mendiamkan pengganyangan-pengganyangan yang dilakukan Soeharto (Suyono, 2014: 353).
1
Diskursus politik Orde Baru sebelumnya memang bertahan cukup lama.
Masyarakat berada di bawah sebuah kepatuhan buta. Tidak ada perlawanan
seolah-olah rezim Orde Baru begitu perkasa. Dalam kasus perlawanan di atas,
hegemoni integral (lih. Patria, 1999: 128) yang ditanamkan oleh Soeharto melalui
aparat hegemoninya (salah satunya ABRI) tidak dapat berjalan dengan baik.
Mulai muncul perlawanan di mana-mana meskipun tidak secara terbuka.
Beberapa perlawanan di antaranya justru dipilih lewat jalur metafisik, yaitu
dengan melakukan tirakat dan menyiksa diri berpuasa berhari-hari. Judul Kuil di
Dasar Laut rupanya memberikan gambaran yang kaya makna sekaligus merujuk
pada model perlawanan bawah tanah para anggota paguyuban. Tidak banyak yang
tahu mengenai perang tidak kasatmata ini, tetapi cukup menggerogoti emosional
Soeharto.
Kutipan (2) berikut ini menunjukkan bentuk perlawanan metafisik yang
dilakukan oleh salah satu tokoh dalam novel KdDL.
(2) Pak Sewaka semenjak 1996 “bersembunyi” di Solo..tak tahan. Ia keluar dari tempat pelariannya. Petilasan Banglampir adalah bekas tempat bermeditasi KiAgeng Pamanahan. Suryo mendengar ternyata sesampaian Pak Sewaka di sana, sudah banyak peziarah yang tidak dikenal. Mereka duduk mengambil posisi di pojok-pojok tertentu, juga di bangsal Prabayaksa. Mereka memperebutkan tusuk konde (Suyono, 2014: 361-362).
Tindakan yang diambil di atas merupakan bentuk yang dalam istilah
Gramsci disebut sebagai strategi alternatif (Patria, 1999: 170). Topik seputar
strategi alternatif serupa cukup banyak dinarasikan oleh Seno Joko Suyono
di atas memang belum pernah diteliti atau dideskripsikan dalam berbagai karya
sastra maupun risalah ilmiah lainnya.
KdDL dipilih karena beberapa alasan. Pertama, sebagai novel yang belum
lama beredar, masih sedikit yang meneliti KdDL. Sejauh ini, KdDL baru sebatas
menjadi bahan resensi sastra oleh beberapa orang seperti Dr. Yoseph Yapi Taum,
M.Hum. dalam kolom resensi Kompas Minggu, edisi 26 April 2015, Is Mujiarso –
kontributor portal berita online “detik.com” – dalam kolom seni detik.com
terbitan Rabu, 24 Juni 2015, dan beberapa orang lainnya. Dengan demikian, nilai
novelty-nya bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, peneliti cukup tertarik dengan model pendekatan Hegemoni
Gramsci dan KdDL sangat cocok dianalisis dengan menggunakan pendekatan
tersebut. Ada sekian banyak persoalan hegemonik yang terajut dalam alur cerita
novel KdDL. Persoalan tersebut turut berkembang hingga melahirkan berbagai
aksi perlawanan. Aksi perlawanan tersebut muncul oleh karena berbagai alasan.
Kutipan (3) berikut menunjukkan salah satu aksi perlawanan masyarakat dalam
novel KdDL dengan penyebabnya.
(3) “Tahun 1935 di daerah tambak Merang, Wonogiri, terjadi
kerusuhan petani. Petani-petani itu melawan pejabat-pejabat desa karena masalah tanah (Suyono, 2014: 205).
Tindakan menantang penguasa sebagaimana digambarkan dalam kutipan
(3) di atas akan menjadi fokus dari penelitian ini. Tindakan tersebut akan
diistilahkan dengan sebutan counter-hegemoni. Secara khusus persoalan ini akan
Ketiga, KdDL sarat dengan data-data yang detail dan menarik mengenai
bentuk-bentuk counter-hegemoni2. Keberadaan data tersebut kemudian menjadi
penting bagi peneliti untuk menyimpulkan sebuah hipotesis mengenai
bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam suatu klasifikasi tertentu.
Keempat, analisis mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni ini
kemudian menjadi penting karena turut mengungkap bentuk perlawanan yang
sejauh ini tidak banyak diketahui orang. Selama ini, ketika membahas mengenai
kejatuhan rezim Orde Baru, pasti masyarakat hanya akan teringat mengenai aksi
heroik perlawanan fisik ribuan mahasiswa yang turun ke jalan-jalan. Akan tetapi,
ada juga bentuk perlawanan lain yang sebenarnya cukup digelisahkan Soeharto
saat itu.
Pembahasan penelitian ini dimulai dengan analisis struktur tokoh dan
penokohan serta latar, deskripsi formasi intelektual, lalu kemudian bentuk-bentuk
counter-hegemoni. Ketiga pokok bahasan di atas tentunya memiliki keterkaitan
satu dengan lainnya. Penelitian dimulai dengan menemukan struktur tokoh dan
penokohan serta latar3 agar dapat menunjukkan secara logis latar belakang
pemikiran dan karakter tokoh yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk
perlawanan mereka. Data mengenai tokoh dan penokohan juga akan membantu-
2
Untuk menghindari kekeliruan, pada pembahasan selanjutnya akan sering disebutkan frasa (Intelektual) Hegemonic dan (Bentuk-bentuk) counter-hegemoni. Counter-Hegemonic merujuk pada kategori intelektual tertentu dan counter-hegemoni merujuk pada gerakan perlawanan.
3
peneliti mengklasifikasikan tokoh ke dalam formasi kaum intelektual pada bab III.
Selanjutnya, pada bab IV, peneliti akan mendeskripsikan bentuk-bentuk
counter-hegemoni yang dilakukan oleh kaum intelektual. Penelitian akan diakhiri dengan
bab V yang berisi mengenai kesimpulan dan saran.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, ditemukan tiga masalah yang perlu dibahas
dalam penelitian ini. Masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah struktur cerita dalam novel KdDL?
1.2.2 Bagaimanakah formasi intelektual dalam novel KdDL?
1.2.3 Bagaimanakah bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat dalam
novel KdDL?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, ada tiga tujuan dalam penelitian
ini, yaitu:
1.3.1 Mendeskripsikan struktur cerita novel KdDL. Struktur cerita yang
dimaksudkan berkenaan dengan tokoh dan penokohan serta latar (tempat
dan waktu). Pokok masalah ini akan dibahas pada bab II.
1.3.2 Mendeskripsikan formasi intelektual dalam novel KdDL. Pokok masalah
ini akan dibahas pada bab III.
1.3.3 Menemukan dan mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni yang
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan
manfaat praktis. Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi ilmu
pengetahuan dan manfaaat praktis adalah menfaat penelitian untuk profesi atau
pekerjaan tertentu.
1.4.1 Manfaat Teoretis
1.4.1.1 Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai model
pendekatan Hegemoni Antonio Gramsci, khususnya mengenai upaya
untuk melahirkan wacana/ideologi tandingan sebagai bentuk perang
posisi terhadap kelas dominan yang dalam penelitian ini diwakilkan oleh
rezim pemerintahan. Istilah perang posisi tersebut dalam penelitian ini
disebut dengan counter-hegemoni.
1.4.1.2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai
bentuk-bentuk counter-hegemoni yang dilakukan masyarakat terhadap
rezim Orde Baru sehingga dapat ditumbangkan setelah kurang lebih 32
tahun berkuasa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi siapa
pun yang berprofesi dalam bidang sastra dan pendidikan untuk mengenal lebih
jauh mengenai karya-karya yang memuat persoalan hegemonik. Guru bidang studi
ilmu Sejarah juga dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk menambah
kekuasaan Soeharto dan bentuk-bentuk perlawanan metafisik terhadapnya.
Memang di masa post-modernisme sekarang ini, hal-hal yang berkaitan dengan
mistis sudah dianggap sebagai persoalan yang musyrik. Akan tetapi, paling tidak
wawasan ini menjadi penting sebagai sebuah pemahaman sejarah para siswa.
1.5 Tinjauan Pustaka
Perbincangan mengenai counter-hegemoni dan persoalan rezim otoriter
Soeharto telah banyak dituliskan, baik dalam bentuk risalah ilmiah, maupun karya
sastra. Karya-karya tersebut antara lain, Sastra dan Politik (Taum, 2015),
Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat Sebuah Gagasan Politik Gramsci
Menentang Hegemoni Negara (Yody, 2003), Antonio Gramsci: Negara dan
Hegemoni (Patria, 1999), dan Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde
Baru (Dhakidae, 2003).
Buku Sastra dan Politik (2015) merupakan transformasi dari disertasi
doktoral Yoseph Yapi Taum yang banyak memberikan perhatian pada persoalan
Tragedi 1965 dan representasinya dalam karya-karya sastra, sinematografi, hingga
program-program indoktrinasi pemerintah Orde Baru. Secara mendalam, Taum
membongkar topik yang banyak dihindari oleh banyak orang pada masa Orde
Baru. Uraian-uraian yang dipaparkan cukup lancar dan meyakinkan. Dalam
membahas Tragedi 1965 itu, teks-teks yang dianalisis dibagi ke dalam 3 periode.
Dalam setiap periode itu, pemerintah Orde Baru memiliki watak yang
berbeda-beda. Buku inilah yang menunjukkan bahwa sebenarnya sastra bukan merupakan
Hegemoni Antonio Gramsci menjadi salah satu perspektif yang digunakan
oleh Taum. Tiga lokus pemikiran Gramsci, seperti hegemoni, ideologi, dan
peranan intelektual banyak dibahas dalam buku ini. Studi ini berfokus pada posisi
kaum intelektual dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan mereka. Buku
Sosial dan Politik cukup membantu peneliti sebagai salah satu referensi analisis
topik permasalahan rezim Orde Baru dengan pendekatan Hegemoni Gramsci.
Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat Sebuah Gagasan Politik
Gramsci Menentang Hegemoni Negara (2003) merupakan sebuah artikel karya
Wilfridus P. N. Yody yang dimuat di Majalah Ilmiah Mahasiswa Rajawali. Dalam
karya ini, Yody menilai proses penyebaran nilai-nilai oleh pemerintah tidak hanya
melulu melalui kekerasan, tetapi dapat juga melalui hegemoni negara. Secara
ringkas, Yody mengisahkan perjalanan Gramsci dan buah-buah pemikirannya
yang mencuat selama perjalanan intelektualnya. Pokok-pokok pemikiran Gramsci
yang ikut dibahas, yaitu hegemoni, negara (sebagai masyarakat sipil dan sebagai
masyarakat politik), hegemoni negara, peran kaum intelektual, dan perang
gerakan serta peran perang posisi. Semua pokok bahasan tersebut berkaitan erat
dengan pokok penelitian ini.
Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni (1999) merupakan buku yang
cukup banyak membahas mengenai Antonio Gramsci. Dalam kalangan peneliti,
karangan ini mengemukakan cetusan gagasan yang radikal dan tajam. Gramsci
menjadi tema sentral dalam kaitannya dengan teori Hegemoni. Melalui buku ini,
secara baik Patria menjabarkan saran yang diberikan oleh Gramsci bagi kalangan
penting untuk menentukan di pihak mana tokoh dan ideologi apa yang mereka
perjuangkan.
Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) merupakan
buku serius yang banyak membicarakan cendekiawan Indonesia dalam
hubungannya dengan Orde Baru. Kata cendekiawan ini merupakan istilah yang
dipakai oleh Daniel Dhakidae yang juga merujuk pada istilah intelektual. Sebelum
membicarakan lebih jauh mengenai relasi cendekiwan dengan kekuasaan Orde
baru, Dhakidae memulai bukunya dengan menyoal pendefenisian istilah
cendekiawan tersebut. Setiap orang dapat saja menyebut dirinya sebagai
intelektual, tetapi semua akan kembali pada penilaian masyarakat atas peran dan
sumbangsinya terhadap kehidupan masyarakat luas. Pada pembahasan
selanjutnya, Dhakidae membahas cukup rinci berbagai strategi politik Orde Baru
dan kekuatan-kekuatan yang bermain di belakangnya. Dengan data-data yang
cukup lengkap, semua hal diungkapkan dengan pertimbangan akademis yang
sangat matang.
Novel KdDL menjadi salah satu karya yang turut mengangkat persoalan
rezim Orde baru. Namun, persoalan yang diangkat bukan semata-mata berkenaan
dengan bentuk-bentuk kekerasan dan penindasan yang dilakukan rezim penguasa.
Novel KdDL menyinggung lebih jauh mengenai aktor utama dari kaos yang
terjadi di masa Orde Baru tersebut. Dengan tokoh sentral seperti Jeanne dan
Suryo, KdDL mengungkapkan banyak hal mengenai lingkar spiritual Soeharto
beserta orang-orang di belakangnya, perlawanan yang dilakukan paguyuban
Secara mendalam, KdDL mengeksplorasi berbagai perjalanan perlawanan
orang-orang yang telah jenuh dengan model kepemimpinan Soeharto. Mereka
muncul sebagai gerakan yang berani menantang dengan berbagai cara. Sekian
karya di atas membahas mengenai polemik selama kekuasaan Orde Baru
berlangsung. Pendekatan Hegemoni Gramsci yang dikerucutkan pada topik
seputar hegemoni, negara, dan peranan intelektual, berbagai gejala yang memicu
perlawanan hingga bentuk-bentuk perlawanan (counter-hegemoni) yang
dilakukan oleh kaum intelektual, baik melalui perlawanan keras, pasif, maupun
humanis. Namun, novel KdDL membahas sisi lain kehidupan Soeharto dan
bentuk perlawanan yang berbeda atasnya. Perlawanan tersebut ialah perlawanan
kebatinan. Itulah sebabnya dalam penelitian ini kemudian muncul istilah
metafisik. Perlawanan tersebut bukanlah melalui perlawanan fisik yang kasatmata,
tetapi perlawanan tidak kasatmata yang hanya dimengerti dan dilihat oleh
orang-orang aliran kebatinan.
Selain itu, dalam novel KdDL juga ada bentuk counter-hegemoni lainnya.
Model counter-hegemoni tersebut bukanlah perlawanan politis yang secara jelas
menampilkan kontradiksi yang khas bahwa ada yang menyerang dan ada yang
diserang. Perlawanan tersebut berbentuk sebuah “pelarian diri” dari berbagai
kondisi yang menekan dengan mencari ketenangan di luar negeri, sebagaimana
dilakukan oleh Suryo dan Jeanne. Mereka berlari dari dampak aksi perlawanan
mereka yang sebenarnya secara periodik tidak lagi berdampak pada mereka.
Perlawanan terdahulu dilakukan selama masa kekuasaan Soeharto. Dampak dari
tahun Reformasi berlangsung. Dengan berada di luar negeri, Jeanne dan Suryo
yakin bisa terhindar dari teluh tersebut, meskipun sebenarnya tidak. Mereka masih
tetap melawan.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Analisis Struktural
Pada tahap awal, penelitian ini menggunakan model objektif yang
memberi perhatian khusus kepada karya sastra sebagai sebuah struktur. Metode
ini menjadi penting karena sebuah karya sastra merupakan keseluruhan, kesatuan
makna yang bulat, mempunyai koherensi intrinsik; dalam keseluruhan itu; setiap
bagian dan unsur memainkan peranan yang hakiki, sebaliknya unsur dan bagian
mendapat makna seluruhnya dari makna keseluruhan teks: lingkaran hermeneutik
(Teeuw dalam Sukada, 1987: 25). Untuk mengenal dan menganalisis karya sastra,
maka pendekatan ini menjadi penting agar peneliti dapat memahami secara
komprehensif “bangunan” karya sastra yang diteliti.
Salah satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktur adalah
adanya anggapan bahwa dalam dirinya sendiri, karya sastra merupakan suatu
struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat
dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo, dkk dalam
Jabrohim, 2015: 69).
Dalam kesatuan hubungan itu, setiap unsur atau anasirnya tidak memiliki
makna sendiri-sendiri, kecuali dalam hubungannya dengan anasir lain sesuai
dengan posisinya dalam keseluruhan struktur. Dengan demikian, struktur
tidak satu pun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam
semua anasir lain (Strauss dalam Teeuw, 1984: 140-141).
Dalam lingkup karya fiksi, Stanton mengungkapkan dalam Jabrohim
(2015: 72) perihal deskripsi unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur pembangun
struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu
sendiri terdiri atas tokoh, alur, dan latar. Sedangkan sarana sastra biasanya terdiri
atas sudut pandang, gaya bahasa, suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga
cara pemilihan judul. Di dalam karya sastra, fungsi sarana sastra adalah
memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat
dipahami dengan jelas.
Dalam studi ini, peneliti hanya membatasi struktur penceritaan pada tokoh
dan penokohan serta latar tempat dan waktu. Hal ini dikarenakan pertama, peneliti
berupaya untuk melakukan studi yang efisien dan efektif maka perlu ada
batasan-batasan yang tegas dari peneliti sesuai kebutuhan studi. Kedua, tokoh, latar tempat
dan waktu yang terdapat dalam penelitian ini terbilang cukup kompleks sehingga
perlu untuk dipilah dan disederhanakan. Ketiga, hasil dari analisis tokoh dan
penokohan tersebut membantu peneliti untuk merumuskan formasi intelektual
yang kemudian terlibat dalam counter-hegemoni. Kemudian latar tempat dan
waktu melengkapi konteks perlawanan itu terjadi.
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah
seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan
Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang persis
sama atau paling tidak dalam konteks ini akan digunakan pengertian yang
berbeda, walau memang ada di antaranya yang sinonim. Ada istilah yang
pengertiannya menyaran pada tokoh cerita dan atau “teknik” pengembangannya
dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995: 164-166).
Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita, misalnya
sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?” atau
“Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis
dan antagonis dalam novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan
karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh
pembaca lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan
karakterisasi – karakterisasi juga sering disamakan artinya dengan karakter dan
perwatakan - menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan
watak(-watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968: 33),
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita (ibid., 165).
Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur
bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian berbeda, yaitu sebagai
tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi,
dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam
Nurgiyantoro, 1995: 165). Dengan demikian, character dapat berarti „pelaku
cerita‟ dan dapat pula berarti „perwatakan‟. Antara seorang tokoh dan perwatakan
Tokoh cerita (character) menurut Abrams (1981: 20) adalah orang(-orang)
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan
tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas
pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya
dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti
semuanya. Berkaitan dengan kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu
dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal).
Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas
pribadi daripada dilihat secara fisik (Nurgoyantoro, 1995: 165-166).
Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada
“tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya
dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan
pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jika kita kembali ke pembagian
dikotomis bentuk dan isi, tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandungnya itu
adalah aspek isi, sedangkan teknik perwujudannya dalam karya fiksi adalah
bentuk. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek, yaitu isi
dan bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu tidak begitu penting selama
Nurgiyantoro, 1995: 167) atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan
tokoh-tokoh itu sesuai dengan logika cerita dan persepsinya (ibid.,167).
Teknik pelukisan tokoh yang digunakan oleh Seno dalam novel KdDL
sebagaimana yang dijelaskan oleh Nurgiyantoro (1995: 198-211) ialah teknik
dramatik. Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik artinya mirip dengan
yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya,
pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah
laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita menunjukkan kediriannya
sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata,
maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa
yang terjadi.
Berhubungan dengan sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas
dan lengkap, ia akan hadir kepada pembaca secara sepotong-potong dan tidak
sekaligus. Ia baru menjadi “lengkap” setelah pembaca menyelesaikan sebagian
besar cerita. Untuk memahami kedirian seorang tokoh, apalagi tergolong sebagai
tokoh kompleks, pembaca dituntut untuk dapat menafsirkannya sendiri.
Penampilan tokoh dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik.
Mungkin sekali ada satu dua teknik yang lebih sering digunakan daripada
teknik-teknik yang lain tergantung pada selera atau kesukaan masing-masing pengarang.
Tentu saja hal itu terlepas dari tujuan estetis dan keutuhan cerita secara
keseluruhan. Berbagai teknik tersebut, yaitu melalui teknik cakapan, tingkah laku,
pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa
jenis penamaan berdasarkan dari sudut pandang mana itu dilakukan. Berdasarkan
sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa
jenis penamaan sekaligus, seperti tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh
protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, dan terakhir
tokoh statis dan tokoh berkembang (ibid., 176-194). Pada studi ini, digunakan
pembedaan tokoh utama dan tokoh tambahan saja. Pemilihan pembedaan tokoh
tersebut digunakan karena dalam KdDL terdapat banyak sekali tokoh yang
terlibat. Akan tetapi, ada dua tokoh utama yang menjadi pusat cerita dan sekaligus
penggerak alur cerita secara keseluruhan.
1.6.1.1.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
bersangkutan. Ia merupakan tokoh paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian (ibid., 176-177). Oleh karena tokoh utama
selalu disebutkan dalam cerita dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain,
ia/mereka sangat menentukan perkembangan alur. Tokoh utama dalam sebuah
novel bisa lebih dari satu orang (ibid., 177). Di samping itu, tokoh tambahan
hanya merupakan pelengkap dari suatu cerita. Tokoh tambahan selalu berada di
sekitar tokoh utama.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pembedaan antara
tokoh utama dan tokoh tambahan tidak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan
itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat: tokoh
memang) tambahan. Peneliti hanya menggunakan dua kategori besar, yaitu tokoh
utama dan tokoh tambahan. Dalam studi ini, penelitian hanya dibatasi pada
tokoh-tokoh yang terlibat pada kegiatan counter-hegemoni maupun tokoh-tokoh-tokoh-tokoh yang
memiliki pengaruh besar kepada tokoh utama. Pembatasan ini dilakukan dengan
maksud untuk membatasi kompleksitas tokoh dan penokohan dalam novel KdDL.
1.6.1.2 Latar
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu, dan sosial. Ketiga unsur ini walaupun masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya (ibid.,227).
Dalam studi ini, peneliti membatasi pada latar tempat dan waktu saja
dengan alasan yang telah disebutkan pada butir 6.1 tentang analisis struktural.
Selain itu, latar sosial tidak diteliti secara terpisah karena dalam studi ini,
diupayakan untuk sekaligus dibahas pada analisis latar tempat. Gambaran
mengenai latar sosial juga akan ditambahkan dalam pembahasan bab IV. Tempat
dan waktu yang dianalisis pun dibatasi pada lokasi dan waktu terjadinya
1.6.1.2.1 Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat dipergunakan mungkin berupa
tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama
yang jelas (ibid., 227).
Latar tempat dalam sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi. Ia
akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan
perkembangan plot dan tokoh. Dari sekian banyak tempat yang disebutkan, tentu
saja tidak semuanya fungsional dan sama pentingnya (ibid., 229).
1.6.1.2.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa
-peristiwa yang diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya, atau
dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (ibid., 230).
Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika
digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Namun,
hal itu membawa juga sebuah konsekuensi, yaitu sesuatu yang diceritakan harus
sesuai dengan perkembangan sejarah. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan
waktu, langsung atau tidak langsung, harus sesuai dengan waktu sejarah yang
menjadi acuannya. Jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa antara yang terjadi
di dunia nyata dengan yang terjadi di dalam karya fiksi, dapat menyebabkan cerita
menjadi tidak wajar, tidak masuk akal, dan pembaca akan merasa dibohongi. Hal
urutan (perkembangan) waktu (sejarah). Dengan demikian, anakronisme lebih
menyaran pada hal-hal yang bersifat negatif (ibid., 231).
1.6.2 Sosiologi Sastra
Pragmatika adalah studi sastra yang menekankan aspek manfaat. Sastra
ditulis tentu ada manfaatnya. Sastra dilisankan, ada manfaatnya bagi audien.
Begitu pula sosiologi sebagai ilmu bantu sastra, sering berupaya memanfaatkan
sastra secara sosial. Sosiologi Sastra merupakan wilayah studi sastra yang
menekankan aspek-aspek pragmatik sosial sastra. Aspek pragmatik itu perlu
ditafsirkan, hingga memperoleh makna yang hakiki (Endraswara, 2013: 1). Esensi
Sosiologi Sastra sebenarnya terletak pada sebuah cara pandang bahwa karya sastra
merupakan produk sosial budaya dan bukan hanya hasil dari dari estetika semata.
Ruang sosial selalu ada kaitannya dengan sejarah. Sejarah terjadinya apa
saja, menjadi ruang penting dalam sastra. Ruang dan sejarah hanya ada dalam
kesadaran yang dibangkitkan oleh permainan estetika. Seperti banyak bidang
Sosiologi Sastra memiliki perbedaan dengan sejarah. Namun, keduanya saling
membutuhkan (Endraswara, 2013: 28).
Tekanan sosial dan politik yang terjadi di dalam masyarakat dapat menjadi
bahan bagi sastrawan. Bahan tanggapan evaluatif merupakan sumber utama
penciptaan karya sastra adalah tentu saja menyangkut berbagai masalah politik.
Dalam skala besar, perubahan yang terjadi selama di antara budaya. Berbagai
peristiwa yang terjadi di Indonesia seperti pada masa Orde Baru hingga Reformasi
telah menimbulkan masalah yang kemudian ditanggapi dan dievaluasi oleh
mendapat tanggapan dan penelitian yang khas pula. Penelitian jenis ini
memerlukan data yang tidak hanya dari buku yang merupakan sumber utama,
tetapi juga informasi mengenai perubahan sosial yang ada pada zaman itu – yang
perlu diintegrasikan dalam analisis.
Untuk melihat fenomena yang terjadi pada zaman dalam konteks novel
KdDL, peneliti menggunakan teori Hegemoni Antonio Gramsci untuk
menganalisis bebagai gejala zaman yang terjadi semasa Orde Baru, khususnya
mengenai peran kekuasaan pemerintahan Soeharto dan dampak perlawanan atas
kekuasaannya.
1.6.2.1 Analisis Hegemoni: Perspektif Antonio Gramsci
Secara etimologi kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani “egemonia”
atau “egemon”, yang berarti „pemimpin atau penguasa dalam konotasi yang
berhubungan dengan konteks kenegaraan (Yody, 2003: 111). Berdasarkan Mish
(1993:538), kata “hegemoni‟ didefinisikan sebagai „preponderant influence or
authority over others’. Dalam bahasa Indonesia, defenisi tersebut dapat dimaknai
bahwa hegemoni merupakan sebuah kebijaksanaan atau pengaruh besar yang
dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu terhadap seseorang atau kelompok
lain. Akar pemikiran Hegemoni menurut Gramsci sebenarnya diambil secara
dialektis lewat dikotomi tradisional karakteristik pemikiran politik Italia dari
Machiavelli sampai Pareto dan beberapa bagian lainnya diambil dari Lenin
(Patria, 1999: 119). Konsepsi yang diambil tersebut berkaitan dengan kekuatan
(force) dan persetujuan (consent). Selanjutnya, Gramsci mengatakan bahwa kelas
melalui peran kepemimpinan intelektual dan moral. Cara yang terakhir ini yang
kemudian disebut sebagai hegemoni.
Hegemoni yang dikembangkan Gramsci tidak sebatas pada bidang politik.
Hegemoni menyangkut persoalan ideologi dan kebudayaan. Hegemoni sebagai
konsep yang dikembangkan oleh Gramsci menggambarkan bahwa dominasi suatu
kelas (dominan) atas kelas lainnya (subordinat) terjadi karena aspek
ideologi-politis. Meskipun paksaan politis selalu berperan, tetapi ideologi lebih signifikan
mendapatkan persetujuan secara sadar dari kelas subordinat (Abercrombie dalam
Kurniawan, 2012: 72). Namun demikian, persetujuan sadar ini lebih penting
dalam suatu pemerintahan. Hegemoni inilah yang menjadikan kekuasaan suatu
kelas terhadap kelas lainnya bisa berlangsung. Di sini, Gramsci lebih condong
mengembangkan model dominasi kekerasan, seperti yang dikemukakan oleh
Marx dan Lenin tentang kesadaran kelas sebagai basis revolusi kelas proletar
terhadap kekuasaan pemerintahan yang dipimpin oleh kaum borjuis (Kurniawan,
2012: 72).
Kesadaran kelas proletariat di atas sebenarnya menjadi titik awal
pemikiran hegemoni Gramsci yang mempertanyakan ramalan Marx-Engels.
Dalam Thucer, (1978:483) sebagaimana dikutip oleh Gramsci (Patria, 1999: 114)
menyebutkan ramalan tersebut.
Kejatuhan borjuis dan kemenangan proletar adalah hal yang sama sekali tidak bisa dihindari.
Akan tetapi, dalam kondisi masyarakat Gramsci waktu itu - mayoritas
berprofesi sebagai buruh tidak muncul adanya indikasi revolusi. Mereka justru
dengan tenang menerima dominasi kaum borjuis. Ia mempertanyakan bagaimana
kaum borjuis mampu mempertahankan dan mengontrol dominasinya atas kaum
proletar waktu itu.
Pada akhirnya, Gramsci menyadari bahwa kaum pemilik modal saat itu
menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya dengan cara hegemoni.
Hegemoni menjadi asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang membentuk makna dan
mendefenisikan realitas bagi mayoritas masyarakat dalam kebudayaan tertentu.
Karena kaum borjuis yang menguasai basis ekonomi dan menetapkan
elemen-elemen suprastruktur seperti musik, sastra, seni, dan sebagainya, maka mereka
mendapat dukungan spontan dari kelas pekerja (Taum, 2015: 37). Kaum proletar
akhirnya tidak lagi menyadari bentuk-bentuk kekuasaan yang meliputi kehidupan
mereka. Segala kebijakan dan sikap pemilik modal diterima sebagai common
sense.
Titik tolak pemikiran Gramsci yang digunakan sebagai sebuah analisis
sebenarnya bertolak dari adanya niat untuk menantang hegemoni
negara/penguasa. Dalam studi ini, penelitian dipusatkan pada berbagai upaya yang
digunakan oleh kaum intelektual untuk membangun kesadaran kritis masyarakat
atas dasar ketidakpuasannya terhadap penguasa. Kesadaran kritis tersebut yang
Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk counter-hegemoni tersebut akan
diklasifikasikan sesuai dengan yang terdapat dalam novel KdDL.
1.6.2.1.1 Formasi Intelektual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke IV, kata “formasi”
mengandung pengertian „susunan (pegawai, pengurus, kabinet, pesawat terbang,
dsb)‟ (Sugono, 2008: 396). Sedangkan kata “intelektual” mengandung arti „(a)
cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, (b) (yang)
mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan, (c) totalitas pengertian atau
kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman‟ (Sugono,
2008: 541). Berdasarkan pengertian kedua kata tersebut, maka “formasi
intelektual” dapat diartikan sebagai suatu susunan atau struktur orang-orang yang
memiliki kecerdasan dan pemikiran yang jernih atas ilmu pengetahuan.
Diskursus mengenai formasi intelektual menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari konsep pemikiran Gramsci. Prison Notebooks yang telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Catatan-catatan Penjara Antonio
Gramsci (Utomo, 2013) membahas secara khusus formasi intelektual di bagian
awal buku tersebut. Gramsci memang tidak mendefenisikan secara khusus
mengenai formasi intelektual. Akan tetapi, ia menjabarkan bagaimana kemudian
intelektual-intelektual terbagi ke dalam dua kategori intelektual berdasarkan
hubungan seorang intelektual dengan kelompok sosial tertentu. Gramsci membagi
kaum intelektual menjadi dua kategori, yaitu Intelektual Tradisional dan
bahwa gagasannya ini akan berhadapan dengan bahaya skematisasi dan kebutuhan
akan analisis historis yang konkret (Patria, 1999: 159).
Formasi intelektual kemudian menjadi sedikit kompleks karena kata
“intelektual” sendiri memiliki makna yang cukup luas untuk dijelaskan dalam
sebuah defenisi yang sederhana. Menurut Gramsci, semua manusia adalah
intelektual, sehingga seseorang dapat mengatakan bahwa: namun tidak semua
orang dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual (Utomo, 2003: 12-13).
Permasalahannya ialah seperti apa batasan-batasan yang jelas sehingga seorang
masyarakat dikatakan sebagai intelektual, dan indikator apa yang menunjukkan
bahwa seorang masyarakat telah menjalankan fungsi intelektualnya.
Kesulitan memaknai intelektual juga dipersoalkan oleh Dhakidae (ia
mengistilahkan intelektual dengan kata cendikiawan). Untuk memisahkan
cendekiawan dengan bukan cendekiawan demikian cairnya sehingga menorehkan
garis pemisah yang mustahil, bagaikan menggores garis di atas air yang mengalir.
Siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah dengan sendirinya
menghidupkan khayalan tentang dirinya sebagai bagian dari kaum
cerdik-cendekia (Dhakidae, 2003: 1). Namun, tidak semua cerdik-cendekiawan adalah lulusan
universitas atau sebuah lembaga pendidikan tertentu4.
4
Kesulitan pemisahan tersebut rupanya tidak melulu berakhir pada sebuah
kebuntuhan. Dhakidae menyebutkan bahwa sebenarnya pemaknaan mengenai
kecendekiaan seseorang berkenaan dengan suatu pola hubungan. Seorang
cendekiawan ditentukan oleh suatu subjektivitas yang keras terutama dalam
persepsi yang baik tentangnya, tetapi juga persepsi tersebut mendapatkan
pengaruh dari posisi seseorang dalam medan sosial (Social Field). Seorang
cendekiawan harus terlibat dalam sebuah diskursus publik. Kesepian dari seorang
mistikus di puncak Gunung Merbabu tidak serta-merta memasukkannya ke dalam
sebuah komunitas kaum cendekiawan sampai dia turun gunung dan melibatkan
dirinya dalam diskursus publik. Keterlibatannya dalam mengolah modal sosial,
modal simbolik, dan juga tidak kurang dalam model ekonomis memegang peran
menentukan.
Gramsci juga memberi batasan yang jelas berkaitan dengan pemaknaan
atas kata intelektual. Kata “intelektual” di sini harus dipahami tidak dalam
pengertian yang biasa, melainkan suatu strata sosial yang menyeluruh
menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian luas – entah dalam
lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik. Mereka
meliputi kelompok-kelompok, misalnya dari pegawai junior dalam ketentaraan
Dalam pengertian Gramsci, konteks intelektual berbeda dengan
pemahaman intelektual yang dianut oleh filsuf-filsuf idealis5. Gramsci
berpendapat bahwa intelektual berbeda dan muncul dari luar hubungan-hubungan
produksi. Intelektual terlepas dari pemahaman yang melulu berdasarkan
penafsiran ekonomistik dari realitas atas peran politik dari kaum intelektual.
Mereka juga hadir dalam bidang sosial politik. Intelektualitas menurut Gramsci
tidak selalu mengacu pada aktivitas berpikir. Istilah ini lebih merujuk pada sebuah
defenisi yang lebih luas, yakni mencakup mereka yang memiliki kemampuan
teknis atau mereka yang menjalankan kuasa dalam masyarakat. Istilah „organik‟
menurut Gramsci, sebenarnya mengartikulasikan pandangan dunia, kepentingan,
tujuan, dan kemampuan kelas tertentu.
Oleh karena itu, formasi intelektual berkenaan dengan pembagian
intelektual ke dalam kategori intelektual berdasarkan indikator tertentu. Menurut
Gramci, intelektual yang dimaksud bukan saja mereka terdidik dan mengacu pada
aktivitas berpikir melulu. Namun, mereka juga memiliki kemampuan tertentu dan
menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society.
Dhakidae kemudian menambahkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai
seorang intelektual apabila ia telah memiliki pola hubungan dalam suatu medan-
5
sosial. Menurut Gramsci, pola hubungan yang dibangun oleh para intelektual
tidak melulu berdasarkan pernafsiran ekonomistik sebagaimana pemahaman
gerakan sosialis. Bagaimana pun terlibatnya mereka dalam dunia produksi,
hubungan mereka tidak seperti kelas kapitalis dan proletar, selalu ditunjukkan ada
yang lebih besar atau kecil keterlibatannya. Dalam dunia superstruktur, kaum
intelektual menampilkan fungsi “organisasional dan konektif” baik di dalam
wilayah masyarakat sipil atau hegemoni dan wilayah masyarakat politik atau
negera (Gramsci dalam Patria, 1999: 157-158).
A. Intelektual Tradisional
Intelektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugas-tugas
kepemimpinan intelektual dalam suatu given society (Patria: 163). Golongan ini
merasa sebagai “kelompok penyemangat” terhadap kontiunitas historis dan
kualifikasi khusus mereka. Karenanya, mereka menempatkan diri sebagai
kelompok otonomis dan independen dari kelas sosial dominan (Utomo, 2013: 11).
Golongan ini meliputi senua orang yang menunjukkan aktivitas intelektualnya.
Mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah rohaniwan, pengacara,
notaris, dan dokter. Kelompok ini melakukan gerakan terbatas pada lingkungan
kaum buruh dan borjuis kota yang kecil dan belum masuk kapitalisme. Di dunia
modern, edukasi teknologis yang bahkan juga dikaitkan kerja industrial yang
paling primitif dan tak terkualifikasi harus membentuk basis bagi tipe baru
intelektual. Melihat posisinya yang demikian, menurut Gramsci, tugas intelektual
tradisional segera memutuskan ketidakmenentuan sikap dan bergabung dengan
bagian dari kelas buruh mengingat mereka memiliki kualifikasi untuk
membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menantang ideologi penguasa.
B. Intelektual Organik
Intelektual Organik adalah intelektual yang berasal dari kelas borjuis
ataupun kelas proletar. Mereka terbentuk secara organis dan berpenetrasi sampai
ke massa. Mereka memberikan sebuah pandangan yang menghubungkan antara
kelas atas (borjuis/penguasa) dan kelas bawah (proletar/masyarakat) (Patria, 1999:
163). Intelektual Organik yang dimaksudkan Gramsci adalah kaum intelektual
kelas buruh atau kelas pekerja yang disebut dengan nama kaum intelektual “elit”.
Kelompok ini memiliki bekal pendidikan dan ketrampilan khusus yang
berhubungan dengan fungsi mereka dalam masyarakat, yakni sebagai pemikir dan
pengorganisasi dari sebuah kelas sosial fundamental tertentu. Aktivitas
intelektualnya diarahkan untuk memproduksi dan menyebarkan filsafat, teori
politik, maupun teori ekonomi sebagai sebuah pandangan dunia yang koheren
untuk mencapai hegemoni tandingan dengan penguasa.
Dalam kelompok intelektual organik, Taum (2015: 40) menambahkan dua
istilah kelompok intelektual berkaitan dengan fungsi dan relasinya. Pertama,
Intelektual Hegemonic. Kaum intelektual yang pertama ini bertanggung jawab
untuk menjamin padangan dunia massa konsisten dengan nilai-nilai kapitalisme
yang telah diterima oleh semua kelas masyarakat. Kedua, Intelektual
Counter-Hegemonic. Kategori yang kedua ini bertanggung jawab memisahkan massa dari
penelitian ini, peneliti memusatkan perhatian pada kaum Intelektual
Counter-Hegemonic.
1.6.2.1.2 Counter-Hegemoni
Berdasarkan Mish (993: 264), kata “counter” didefenisikan sebagai „to act
in opposition: in a opposite: opposite direction.’ Apabila dimaknai dalam bahasa
Indonesia, kata counter mengandung pengertian tindakan untuk berseberangan:
dalam posisi berseberangan: atau perintah yang berseberangan. Oleh karena itu,
apabila disandingkan dengan kata hegemoni, maka counter-hegemoni dapat
diartikan sebagai perlawan terhadap hegemoni.
Dalam tulisan Gramsci mengenai hegemoni, tidak disebutkan secara jelas
seperti apa bentuk-bentuk counter-hegemoni. Bentuk-bentuk counter-hegemoni
yang terdapat di dalam penelitian ini berlandaskan pada beberapa literatur yang
juga menggunakan perspektif Antonio Gramsci. Perspektif tersebut menjadi titik
tolak peneliti untuk menggali lebih jauh perihal bentuk-bentuk counter-hegemoni
yang terdapat dalam KdDL.
Pada periode tertentu, Gramsci mengatakan bahwa dapat terjadi krisis atas
hegemoni. Ketika banyak solusi kekerasan dipakai sebagai alat kekuasaan Orde
Baru untuk menjaga hegemoninya sebagaimana dipraktekkan dalam kasus Santa
Cruz. Kondisi ini disebutkan oleh Gramsci dengan istilah “krisis hegemoni”.
Dalam kondisi demikian, pemegang kekuasaan akan merespon ini dengan
berbagai cara, dengan tujuan agar tetap menjaga kekuasaanya melalui aparatus
hegemoni. Kegagalan dalam hal ini akan memacu aktivitas revolusioner yang