• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: LANDASAN TEORI

B. Biografi dan Intelektualitas al-Qasimy

2. Intelektualitas

Al-Qasimi adalah seorang yang ahli dalam bidang tafsir, ilmu-ilmu keislaman, dan seni. Selain itu beliau juga menghasilkan beberapa karya dibidang lain, seperti tauhid, hadis, akhlak,tarikh, dan ilmu kalam. Selain menulis beberapa buah kitab, al-Qasimi juga mempublikasikan buah pikirannya di majalah-majalah dan suhuf-suhuf. Total karya al-Qasimi

30 Abd al-Hayyi bin’Abd al-kabir al-Kittani, Fahras al-Fahaaris wa al-Itsbat, Juz I (t.tp:Daar al-Garb al-Islaami, 1982), hlm.131

berjumlah 72 kitab.31 Karya terawal ditulisnya pada tahun 1299H/1882M, pada saat usianya baru 16 tahun, berjudul As-Safinah. Karya ini memuat pandangan orisinilnya dari hasil menelaah tema-tema adab, akhlaq, sejarah,syair dan sebagainya. Intelektualitas Syaikh Jamaluddin yang begitu cemerlang tampak pada sejumlah karyanya. Ia menulis berbagai permasalahan agama, itu menandakan keluasannya dalam ilmu pengetahuannya. Diantara karya-karyanya adalah:

a) Al –Ajwibah al-Gahaliyah fil Mustadilillin bi Tsubut Sunnah al-Maghrib al-Qabliyyah

b) Irsyad al-Khalq c) Al-Isra’ wa al- mi’raj

d) Awamir Muhimmah fi Ishlah al-qadha asy-Syar’iyy

e) Faslu al-Kalam fi Haqiqat audi Ruh ilal Mayyiti hina al-Kalam f) Al-Bahsu fi Jami’i al-Qiraati al-Utarif alaiha

g) Dalail at-Tauhiid

h) Mauidzatul Mukminin min Ihy’Ulumuddin i) Qawaid at-Tahdis fi Funun Mutstalah al-Hadis.

j) Madzaahib al-A’rab wa Falaasifah al-Islaam fi al-Jin k) Jawaami’ al-Adab fii Akhlaaq al-Anjab

l) Ta’thiir al- Masyaaam fii Maatsari Dimasyqi al-Syaam m) Syaaraaf al Asbath.

31 ‘Aadil Nawayhadl, Mu’jam al-Mufassirin, Ibid., hlm 128

n) Tarjamah al-Imaam al-Bukhaarii

o) Mahaasin at-Ta’wiil fii Tafsiir Al-Qur’aan Al-Kariim p) Maydaniyyah fi at –Tajwid,

q) Maw’izhah al-Mu’minin min ihya ‘ulum ad-Din r) Dan lain-lain

C. Tafsir Mahaasin at-Ta’wil

1. Tinjauan Umum Tafsir Al-Qasimi ”Maḥasin Al-Taʹwil”

Mengenal sosok al-Qasimy tidak bisa luput dari perhatian kita terhadap kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wil, sebagai karya terbesarnya dalam bidang tafsir. Sebuah kitab tafsir besar yang dikarang oleh ulama besar bernama Muhammad Jamaluddin al-Qasimi (w. 1332 H/1914 M).

Tafsir Mahasin al-Ta’wil ini terdiri 10 jilid dengan 17 juz (bagian), dengan rincian: Jilid 1 terdiri atas Juz 1 berisi muqaddimah dan juz 2 berisi penafsiran QS Al-Fatiḥah dan Al-Baqarah hingga ayat 157. Jilid 2 terdiri atas Juz 3 berisi penafsiran QS Al-Baqarah ayat 158 hingga ahir dan juz 4 berisi penafsiran QS Ali Imran. Jilid 3 terdiri atas juz 5 berisi penafsiran QS Al-Nisa’. Jilid 4 terdiri atas juz 6 berisi penafsiran QS Al-Maʹidah dan Al-An’am.

Jilid 5 terdiri atas juz 7 berisi penafsiran QS Al-A’raf dan juz 8 berisi penafsiran QS Al-Anfal dan Al-Taubah. Jilid 6 terdiri atas juz 9 berisi penafsiran QS Yunus, Hud, Yusuf, dan Al-Ra’d dan juz 10 terdiri atas penafsiran QS Ibrahim, Al-Ḥijr, Al-Naḥl, dan Al-Isra’. Jilid 7 terdiri atas juz

11 penafsiran QS Al-Kahfi, Maryam, Taha, dan Al-Anbiya’ dan juz 12 berisi penafsiran QS Al- Ḥajj, Al-Mu’minun, Al-Nur, dan Al-Furqan. Jilid 8 terdiri atas juz 13 berisi penafsiran QS Al-Syura’ dan Al-Aḥzab dan juz 14 berisi penafsiran QS Saba’ dan Al-Jaṡiyah. Jilid 9 terdiri atas juz 15 berisi penafsiran QS Al-Ahqaf dan Al-Rahman dan juz 16 berisi penafsiran QS Al- Waqi’ah dan Al-Qiyamah. Jilid 10 terdiri atas juz 17 berisi penafsiran QS Al- Insan hingga Al-Nas.

Al-Qasimi memulai menyusun kitab ini setelah berulang kali istikharah di tanggal 10 Syawal 1316 H dan sempurnalah pekerjaan mulia ini hingga jadi kitab tafsir yang memuat sampai 10 jilid dengan 17 juz. Maka kitab ini menutupi kekosongan dan manfaatnya terbukti di kalangan masyarakat luas dan khusus, dan semoga ia juga bermanfaat untuk segenap kaum Muslimin.

Disebutkan dalam kitab Manhaj al Mufassirin karya Mani’ Abd Halim Mahmud bahwa jika Anda senang membaca kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap, yang di dalamnya tidak ditemukan khufarat, mitos, dan tidak satupun dari isra’iliyyat yang tercela yang memenuhi banyak tafsir, maka bacalah kitab tafsir Al-Qasimi, Maḥasin Al-Taʹwil, yang ia menafsirkan Alqur’an dengan tafsir yang jadi contoh dari tafsir yang besar. Al-Qasimi mengatakan dalam Muqaddimah tafsirnya, setelah memuji Alqur’an ia berkata: Sungguh aku gelorakan cita-cita untuk menghasilkan bidang-bidang ilmu dalam tafsir ini. Aku memakai celak dengan iṡmid agar mata bersinar; aku konsentrasikan

untuk melihat di dalamnya, aku bulatkan tekad untuk mengatur perangkat kalung-kalung dan mutiaranya, aku mencoba meraih tafsir-tafsir tedahulu semampuku, dan aku mencoba mengenal (saat aku belajar) kesalahan-kesalahannya, yang buruk dan yang berharga. Aku mendapati kelemahan dalam ukuran luasnya, mengitari di sekitar maksud dan tujuannya, dan sekadar kemampuannya berputar di medan dalil-dalil dan hujjahnya. Setelah aku berpaling dari menyingkap kebenarannya dalam secuil umurku, dan aku berhenti untuk menyelidiki rahasia-rahasia dari masaku, kemudian kau berhasrat untuk meniti jalan para penafsirnya yang besar sebelum rahasia-rahasia tampak dan sebelum bagian-bagiannya jadi sirna.”32

Muqaddimah tafsir ini diletakkan secara tersendiri dalam satu juz yang utuh. Dalam muqaddimah tampak jelas bagaimana metodologinya dalam tafsir, bahkan dalam karya tulisannya secara umum.

Setiap karya tulis tafsir pasti ada latar belakang sosio-kulturalnya, tidak terkecuali kitab ini. Kitab tafsir Maḥasin at-Taʹwil muncul di tengah zaman terjadinya benturan di antara dua peradaban yang berbeda. Benturan yang terusmenerus antara Islam dengan gerakan internasional orientalisme dan misionarisme pada pertengahan kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, di mana serangan kolonialis kafir terhadap dunia Islam mencapai puncaknya.

Benturan antara dua peradaban ini diiringi muatan kepentingan, yang bukan saja berkaitan dengan aspek teologis, juga berkaitan dengan aspek ekonomi

32 Ibid., h. 235

dan aspek kekuasaan. Benturan dan perang wacana ini pun terjadi di tempat tinggal Al-Qasimi, yaitu negeri Syam. Tak pelak lagi, negeri Syam menjadi tempat persemaian yang subur bagi gerakan kaum misionaris dan para pengikutnya. Di tengah-tengah suasana inilah Al-Qasimi menulis karya tafsirnya. Selanjutnya, tafsir karya Al-Qasimi ini dipublikasikan pertama kali oleh penerbit Dar Iya’ al-Kutub al-Arabiyah Kairo sebanyak tujuh belas juz.

Usaha penerbitan kitab ini melibatkan Muhammad Bahjat al-Baithar, salah seoranganggota Majma’ al- ‘Ilmi al-Arabi, untuk menelitinya.

Selanjutnya penulis mencoba mengenal kitab tersebut lebih jauh, dan sebagai langkah awal kita harus memperhatikan pendapat al-Qasimi sendiri tentang kitabnya. Menurut keterangan al-Qasimi, penulisan tafsir Mahaasin at Ta’wil ini dilatarbelakangi oleh keinginan al-Qasimi untuk menghasilkan tafsir yang dapat mencerahkan masyarakat. Dalam Mukaddimah tafsirnya ini, al-Qasimi berkata:

“Sungguh aku gelorakan cita-cita untuk menghasilkan bidang-bidang ilmu dalam tafsir ini. Aku konsentrasikan diriku untuk meneliti, aku bulatkan tekad untuk mengatur dan menatanya sebaik mungkin, aku mencoba meraih tafsir-tafsir terdahulu semampuku, dan aku mencoba mengenal kesalahan-kesalahannya, yang buruk dan yang berharga. Aku mendapatkan kelemahan yang luas, seputar maksud dan tujuannya, keterbatasan dalil dan hujjahnya.

Setelah kebenaran ini tersingkap dan penyelidikanku telah berakhir, maka

aku berhasrat untuk meniti jalan para mufassir yang terdahulu, yaitu menulis tafsir yang mampu memuaskan dan mencerahkan umat.”33

Ia baru berani memulai menyusun kitaf tafsir ini setelah berulangkali melaksanakan shalat Istikharah. Tepat pada tanggal 10 Syawal 1316 H kitab in mulai digarap. Ini menunjukkan bahwa al-Qasimi berkeinginan agar karya tafsirnya ini kelak benar-benar dapat mencerahkan masyarakat. Hasilnya sungguh mencengangkan, tafsir ini sangat tebal, 17 jilid.34 Maka kitab ini menutupi kekosongan dan manfaatnya terbukti di kalangan masyarakat luas dan khusus, dan segenap kaum Muslimin. Dari segi bentuk dan kemasannya, kitab ini terdiri dari 17 jilid dan dipublikasikan pertama kali oleh penerbit Daar Ihyaa’ al-Kutub al’Arabiyah, Kairo.

Tafsir Jamaluddin al-Qasimi yang berjudul Mahaasin at-Ta’wil adalah kitab tafsir yang bernilai tinggi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mani’

Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Manhaj al-Mufassirin : “Tafsir ini adalah pilihan yang mumtaz, menghimpun pemikiran-pemikiran yang berharga dan pendapat-pendapat yang sah dari semua yang berkaitan dengan tafsir.”35 Sebagai sebuah kitab tafsir yang besar, Tafsir al-Qasimi dapat dikategorikan tafsir yang menggunakan metode tahlili. Hal ini dapat dilihat dalam karya tafsirnya Mahaasin at-Ta’wil yang berisikan penjelasan

33Muhammad Jamal ad-Din Al-Qasimi, Mahaasin al – Ta’wil, juz 1, (Beirut:Daar Al- Kutub al-Ilmiyah,1997). h. 12.

34 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008) hal.158.

35 Mani’ Abdul Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirin, Metodologi Tafsir. Terj.

Faisal Saleh (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2006) hal. 240.

kandungan al-Quran dari berbagai aspeknya dan menerangkan maksudnya.

Mulai dari makna kosa kata, makna kalimat, munasabah ayat, asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw, sahabat, tabi’in dan ulama-ulama yang lainnya. Di mana prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat.

Dalam penafsirannya, al-Qasimy mengkombinasikan dua metode pendekatan yaitu antara metode pendekatan Tafsir bi-al-Ma’tsur dan Tafsir bi ar-Ra’yi. Dalam menafsirkan ayat – ayat al-Qur’an, al-Qasimi sebenarnya tidak memiliki kecendrungan khusus menggunakan satu corak yang spesifik secara mutlak, misalnya bercorak fiqhi saja, bercorak ilmi, teologis saja atau yang lainnya. Secara garis besar tafsir ini cenderung mangandung tiga corak, corak fiqhi, ilmi, dan teologis.36

36 Ibid, h. 240

39 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis studi ini merupakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topic yang dipilih, dengan memanfaatkan data yang sudah tersedia. 37

Dalam penelitian kepustakaan, pengumpulan data-datanya diolah melalui penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku dan catatan lainnya yang memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian.38

B. Sumber Penelitian

Adapun yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subjek yakni dari mana data didapat atau diperoleh. Sumber data penelitian ini terdiri dari:

1. Data Primer (Pokok)

37 Lilis Suryani, Amtsal Dalam Al-Qur’an, (Palembang: UIN Raden Fatah, 2016), h.

25

38 Ahmad Fahmi Wildani, Kepemimpinan Dalam al-Qur’an, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2018), h. 18

2. Karena penelitian ini menyangkut tafsir secara lansung, maka sumber primer dalam penelitian ini adalah kitab tafsir yang berjudul Mahasin al-Ta’wil, yang dikarang oleh Jamal ad-Din al-Qasimy.

3. Data Sekunder (Pendukung)

Sumber data sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumber-sumber lainnya yang berfungsi untuk melengkapi sumber data primer. Walupun sumber data primer adalah tafsir Mahasin al-Ta’wil maka tidak tertutup kemungknan penulis juga mengutip dari kitab-kitab tafsir selain tafsir Mahasin al-Ta’wil untuk mempertajam pemahaman dan dijadikan banding. Selain dari kitab-kitab tafsir yang akan jadi sumber pendukung adalah buku-buku yang berkaitan dengan kajian-kajian tentang hisab khususnya catatan amal dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan catatan amal.

C. Metode Penelitian

Metode adalah suatu jalan atau cara yang digunakan dalam mencapai tujuan. Maka, menentukan metode dalam suatu penelitan merupakan hal yang sangat penting agar tercapainya apa yang dituju dalam suatu penelitian dan dengannya penelitian bisa dilakukan dengan sistematis dan lebih terarah.

Karena yang menjadi objek kajian ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an maka pendekatan yang dipilih adalah pendekatan ilmu tafsir. Metode yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode maudhu’i. Yaitu menghimpun

seluruh ayat dalam Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya secara kronologis serta sebab turunya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulannya.39

Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini adalah menonjolkan tema, judul, atau topik pembahasan yang setema. Mufassir akan mencari tema-tema yang ada di dalam Al-Qur’an.

Tema-tema yang dipilih akan dikaji secara tuntas dari berbagai aspek sesuai dengan petunjuk dalam ayat-ayat yang ditafsirkan.

Metode maudhu’i (tematik) sebagaimana yang diutarakan oleh Syeikh Shaltut, merupakan sebuah metode yang dapat mengantarkan manusisa pada macam-macam petunjuk dalam Al-Qur’an. Harus diketahui oleh siapa saja bahwa tema-tema Al-Qur’an bukan teori semata-mata yang tidak menyentuh persoalan manusia.40

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan penafsiran Al-Qur’an dengan metode Maudhu’i. Yaitu dengn menghimpun ayat-ayat yang dalam Al-Qur’an yang membahas tentang catatan amal manusia. Kemudian menjelaskan makna dari ayat-ayat tersebut sebagai jawaban atas masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam tema penelitian ini.

39 Abd Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I, pent. Surya A. Jamarah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) h. 36

40 Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 64

Mulai dari terjemahan ayat, asbabun nuzul ayat yaitu sebab-sebab yang mengakibatkan turunnya ayat. Secara terminologi adalah peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat pada waktu proses penurunan Al-Qur’an.

Seperti peristiwa yang terjadi saat turunnya Al-Qur’an, lalu turun satu atau beberapa ayat menjelaskan tentang hokum pada peristiwa tersebut. Atau seperti pertanyaan yang dihadapkan pada Rasulullah, lalu turun satu atau beberapa ayat yang di dalamnya terdapat jawaban dari pertanyaan tersbut.41

Selanjutnya menjelskan munassabah ayat, secra bahasa munasabah artinya al-musykalah atau al- muqarrabah yang berati saling menyerupai atau saling mendekati. Secara terminologi munasabah artinya adanya keserupaan dan kedekatan di antara berbagai ayat, surat dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Selanjutnya menjelskan penafsiran ayat menurut Ibnu Katsir dan ulama lain mengenai catatan amal ini.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah diperoleh melalui pengutipan, baik lansung maupun pengutipan tidak lansung.

Mengumpulkan rujukan yang membahas tentang catatan amal, penafsiran ayat mengenai catatan amal serta rujukan lain yang mendukung penelitian ini.

41 Anshori, Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta:

Rajawali Press, 2003), h.101

Dalam menghasilkan data yang tepat dan benar, maka penulis menempuh beberapa langkah sebagai berikut :

1. Koleksi data, yaitu menyimpulkan bahan-bahan yang diperlukan sesuai dengan data penelitian

2. Seleksi data, yaitu memilih dan mengambil data yang terkait dengan penelitian

3. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan sub-sub dan aspek-aspek bahasa

4. Interpretasi data, yaitu memahami untuk kemudian menafsirkan data yang telah dikumpulkan, diseleksi, dan diklasifikasikan.42

E. Teknik Analisis Data

Setelah data-data terkumpul, maka data-data itu dianalisis tahapannya, yaitu dengan mengkategorisasi dan mengklarifikasi data-data yang ada, kemudian menjelaskan secara terperinci, setelah diambil kesimpulan-kesimpulan untuk dideskripsikan sebagai bahan laporan.

42 Ahmad Rofiq, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 29

44 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan pembahasan mengenai sihir berdasarkan penafsiran kitab Mahasin al-Ta’wil. Sihir adalah suatu yang halus dan tersembunyi sebabnya. Dalam bab ini penulis akan memaparkan penafsiran kata sihir dalam ayat al-Qur’an. Dan analisa penulis terhadap perspektif Imam Mahasin al-Ta’wil mengenai sihir dan kata lain yang semakna dengan sihir.

A. Periodesasi Penafsiran Ayat -ayat Sihir dalam Tafsir Mahasin Al-Ta’wil Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menerangkan priodesasi sihir, pada masa priodesasi penulis akan membahas sihir pada zaman Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Dalam pembahasan ini, penulis akan menjelaskan mengenai periodesasi penafsiran Ayat -Ayat Sihir dalam tafsir Mahasin Al-Ta’wil. Perlu diketahui bahwasanya sihir sudah ada ketika Nabi Nuh, Nabi Hud dan Nabi Shaleh yang mana mendapati tuduhan dari kaumnya sebagai penyihir, sebagaimana yang ditafsirkan oleh al-Qasimy dalam surat yunus ayat 75 yang berbunyi :



kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, Maka mereka

menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.

Didalam Tafsirnya dijelaskan :

"

عستلا نيعي انِتياآِب ِهِئ َلََمَو َن ْوَعْرِف لىِإ َنومراهَو سىومم لسرلا ءلاؤه دعب نم يأ ْ ِهِِدْعَب ْنِم انْثَعَب َّ مثُ

.ماظع مثاآ يوذ رافك يأ َينِمِرْجمم ًامْوَق اومنكاَو اوم َبَْكَت ْساَف ."

Maka penulis mencoba menterjemahkan lafazh diatas yaitu lafazh (tsumma) disini menjelaskan nabi atau rasul-rasul terdahulu seperti Nabi Hud, Nuh dan Shaleh juga menerima tuduhan - tuduhan dari pada pembesar pada masa itu dengan tuduhan bahwasanya para Nabi itu Penyihir dan diutusnya Nabi Musa menerangkan bahwasanya mukjizat-mukjizat yang ada pada para Nabi tersebut bekanlah sebuah sihir.43Adapun priodesasi sihir dalam al-Qur’an dimulai pada :

1. Sihir Masa Nabi Musa As

Tepatnya pada zaman Nabi Musa a.s, pada zaman ini Nabi Musa harus berhadapan dan adu kemahiran dengan para ahli-ahli sihir, ditengah-tengah masyarakat dan disaksikan oleh banyak masyarakat sehingga ramai sekali untuk melihat bagaimana antara mukjizat yang diberikan kepada Nabi diadu dengan ilmu sihir, mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa berupa tongkat yang mana tongkat ini Musalah yang menang karena ini merupakan mukjizat dari Allah dan ilmu sihir kalah karena

ular-43 Muhammad Jamal ad-Din Al-Qasimi, Mahaasin at – Ta’wil, juz 7, (Beirut:Daar Al- Kutub al-Ilmiyah,1997). h. 53.

ular nya para ahli sihir hanyalah tipu daya setan.44 Sihir pada masa ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 77 yang berbunyi :























Artinya: Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia datang kepadamu, sihirkah ini?" Padahal Ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat kemenangan".

a. Asbabun Nuzul dan Munasabah Ayat

Ayat ini tidak memiliki asbabun nuzul. Melainkan memiliki munasabah dengan ayat sebelum dan sesudahnya, setelah Allah menyebutkan apa yang terjadi antara Nabi Muhammad SAW dan kaum mekkah, maka disini Allah menyebutkan kisah para Nabi untuk menghibur Nabi SAW agar beliau mengikuti mereka,sehingga perjuangan yang beliau alami terasa ringan. Dalam bagian ini Allah menyebutkan tiga kisah, pertama, kisah Nabi Nuh A.s beserta kaumnya, kedua, kisah Nabi Musa dan Harun beserta Fir’aun, ketiga, kisah Yunus beserta kaumnya. Pada tiap kisah ada pelajaran bagi

44 Taufik Hidayat, “Eksistensi Sihir Dalam Mendekontruksi Akidah Muslim”.

(Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006) h. 11.

orang yang mau mengambil pelajaran dan peringatan bagi orang yang bermenung. 45

b. Penafsiran Ayat

Adapun teks yang terdapat pada tafsir Mahasin al-Ta’wil yaitu:

،رسح هنأ نم ،ىقلحما كمتلاقم ،ةبه ش كمل كتري لم هجو لىع يأ ْ مكَُءاج اَّمَل ِّقَحْلِل َنوملومقَتَأ سىومم َلاق .هيلع مكلالا لةلالد لوقلما ّكيلمحا فذفح

46

Disini penulis mencoba mengartikan kalimat ini, yaitu pada kalimat setelah ayat adalah kalian mengatakan sesuatu seolah-olah kalian tidak ada lagi keraguan terhadap apa yang kamu ucapkan padahal kalian ragu terhadap ucapan kalian sendiri dan ucapan mereka itu adalah suatu ucapan yang sangat bodoh kalau itu seperti kalian lihat barusan itu dianggap sihir, maka )

ِقَحْلِل

) itu dihazafkan dengan apa yang disebut oleh ma’qal untuk menunjukkan kata-kata kepadanya, karna jumlah sudah menunjukkan itu karna sudah dimaklumi dari lafazh kata tersebut.

Maksudnya adalah “ tatkala Nabi musa dikatakan seorang penyihir dan mengingkari perkataan mereka, maka Nabi Musa mengatakan sudah jelas ini bukanlah sihir tapi mereka masih mengklaim itu adalah sihir”.

45Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatul Tafasir (tafsir-tafsir pilihan), jilid 2, (Beirut:Dar al-Qalam),1986, h.644

46 Ibid,.

Kemudian berkata yaitu al-Qasimy:

هنوكركانلإ فنأت سم وهف .ملهوق نم لا سىوم لوق نم ركانإ ماهفت سا اذه ٌرْ ِسحَأ :لاق ثُ

و ،ارسح بيذكت

فيكف ،رسح هنأب لوقلا اوّتب منهلأ ،ملهوقم اذه ٌرْ ِسحَأ سيلو .خيبوت رثإ لكذ لىع مله خيبوتو ،ملهو قل ؟هنع نومهفت سي -

:ليق اذك -.

47

lafazh ini, yaitu

(اذه ٌرْحِسَأ(

menunjukkan kepada istifham (pertanyaan) berupa pengingkaran dari perkataan Nabi Musa dan tidak dari perkataan mereka, oleh sebab itu bentuk jumlah baru untuk Nabi Musa mengingkari bahwa mukjizat itu adalah sihir, dan juga membohongi perkataan mereka, sekaligus mencela mereka, dan melecehkan mereka dalam keadaan bertubi-tubi. Dan bukanlah kata ini

اذه ٌرْحِسَأ

) )

ini ucapan mereka, dikarenakan mereka menyetujui atau mengakui perkataan mereka, maka bagaimana lagi mereka menanyakannya.

Dan dilanjutkan oleh belau :

ماهفت سالا نم اهلبق الم ةدكؤم نوكتل ةديزم تطسو ةزملهاو ،ملهوقم نوكي نأ نم اعنام ىرأ لاو نمو ،

اج ل رسح ةيلعاف مايهإ نع ساترحالا اهفئاطل وأ .بولسأ كل قوف نآرقلا بولسأو ءدب ئدبا ْ مكَُء

.هِرمأ هيلع اوّتب يلذا ملهوقل ملهوقم نم اهلوخدمو ،ةزملها

48

Dan penulis menterjemahkan yaitu beliau tidak melihat ada penghalang untuk menisatkan perkataan itu adalah perkataan mereka, dan hamzah terletak di tengah sebagai tambahan untuk menguatkan pertanyaan sebelumnya, daribentuk kehalusan-kehalusan penjagaan

47 Ibid,.

48 Ibid,.

dari keraguan pelaku sihir, untuk kata

( ْمُكَءاَج (

yang memang dari awal mereka katakan. Dan uslub Qur’an adalah uslub yang paling unggul atau hamzah dan masuknya dari perkataan pertama di awal, ketika mereka kaget dengan keluarbiasaan Nabi Musa, dan perkataan

dari keraguan pelaku sihir, untuk kata

( ْمُكَءاَج (

yang memang dari awal mereka katakan. Dan uslub Qur’an adalah uslub yang paling unggul atau hamzah dan masuknya dari perkataan pertama di awal, ketika mereka kaget dengan keluarbiasaan Nabi Musa, dan perkataan

Dokumen terkait