• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

II.4. Interaksionisme Simbolik

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson (dalam Mulyana, 2001: 59) menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi.

Selama dekade-dekade awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fungsionalisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan tahun 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saaat ini. Selama than 1960-an tokoh-tokoh interaksionis seperti Howard S Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian intepretif yang menarik dan menawarkan pandangan alternatif yang sangat memikat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat.

Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relatif homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mazhab berdasarkan historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah Mazhab Chicago, Mazhab Iowa, Pendekatan Dramaturgis dan Etnometodologi. Mazhab Chicago dan Mazhab Dramaturgis tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka. Meskipun terdapat berbagai cara menafsirkan interaksionisme simbolik, kebanyakan penganut perspektif ini menjadikan pemikiran George Herbert Mead, terutama dalam bukunya Mind, Self and Society (1934) sebagai rujukan pertama mereka (Mulyana, 2001: 60).

Sebagian pakar berpendapat, teori interaksi simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, sebenarnya berada di bawah payung teori tindakan sosial yang dikemukakan sosiolog Jerman, Max Weber (1864-1920), meskipun Weber sendiri sebenarnya bukanlah seorang interpretif murni. Mead sendiri tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber. Memang ada kemiripan dalam pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead diilhami beberapa pandangan filsafat khususnya pragmatise dan behaviorisme.

Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan di sini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan oleh individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya. Jadi tindakan sosial adalah tindakan yang disengaja, disengaja bagi orang lain dan bagi sang aktor sendiri, yang pikiran-pikirannya aktif saling menafsirkan perilaku orang lain, berkomunikasi satu sama lain dan mengendalikan perilaku dirinya masing-masing sesuai dengan maksud komunikasinya. Bagi Weber, masyarakat adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang berpikir dan melakukan tindakan-tindakan sosial yang bermakna (Mulyana, 2001: 61).

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luardirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat.

II.4.1. Pragmatisme

Dirumuskan oleh John Dewey, William James, Charles Peirce dan Josiah Royce, aliran filsafat ini memiliki beberapa pandangan. Pertama, realitas yang

sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak di dan terhadap dunia. Apa yang nyata bagi manusia bergantung pada definisi atau interpretasi kita. Kedua, kaum pragmatis juga percaya bahwa manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Mereka akan melakukan sesuatu yang mereka pikir bermanfaat dan meninggalkannya bila merasa itu tidak bermanfaat vagi mereka. Ketiga, manusia mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka. Suatu benda punya beragam kegunaan, namun arti penting dari benda tersebut bersifat kontekstual, bergantung pada bagaimana kita menggunakan benda tersebut untuk mencapai tujuan kita. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (aktor), kita harus mendasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia. Yang terpenting untuk diamati adalah apa yang manusia lakukan dalam situasi mereka yang sebenarnya, dalam kehidupan sehari-hari, bukan dalam laboratorium yang dibuat-buat (Mulyana, 2001: 64) II.4.2. Behaviorisme

Meskipun pandangan interaksi simbolik sangat berbeda dengan behaviorisme, pandangan Mead dipengaruhi oleh paham tersebut. Mead setuju dengan behaviorisme dalam arti manusia harus dipahami berdasarkan apa yang membedakannya dengan hewan lain. Kaum behavioris berpandangan bahwa satu-satunya cara sah secara ilmiah untuk memahami semua hewan, termasuk manusia, adalah dengan mengamati perilaku mereka secara langsung dan seksama. Mead menolak gagasan itu. Dalam pandangan Mead, pengamatan atas perilaku luar manusia semata menafikan kualitas penting manusia yang berbeda dengan kualitas alam. Mead menyebut pandangannya sebagai behaviorisme sosial.

Behaviorisme sosial merujuk kepada deskripsi perilaku pada tingkat yang khas manusia. Jadi, dalam pandangan behaviorisme sosial, konsep mendasarnya adalah tindakan sosial yang juga mempertimbangkan aspek tersembunyi perilaku manusia. Behaviorisme sosial Mead memulai telaahnya dengan tindakan individu yang dapat diamati, kemudian mengkonseptualisasikan perilaku lebih luas, termasuk aktivitas tersembunyi. Mead menganggap aktivitas tersembunyi ini

justru yang membedakan perilaku manusia dengan perilaku hewan rendah (Mulyana, 2001: 65).

Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku mausia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok.

Fenomenologi

Fenomonelogi lahir pada permulaan abad ke-20. Pada saat itu, sekelompok ilmuwan sosial yang tidak puas dengan cara-cara yang digunakan oleh kelompok positivisme dalam mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari gejala sosial. Kelompok positivisme dirasa tidak memperlihatkan keadaan individu secara utuh, malah membaginya ke dalam sejumlah kategori berdasarkan suatu sistem klasifikasi yang telah diciptakan sebelumnya. Mereka mengelompokkan responden tanpa melihat latar belakang masing-masing secara utuh. Para peneliti sosial yang tidak puas dengan cara kerja kelompok positivisme menamakan diri kelompok penelitian kualitatif. Mereka mengacu pada perspektif fenomenologi karena itu paham kualitatif ini sering disebut dengan paham fenomenologi (Mantra, 2004:25)

Fenomenologi menggunakan tata pikir logika lebih dari sekadar kausal linier dan bertujuan membangn ilmu idiografik. Menurut Husserl (1962) dalam (Mantra, 2004: 26), fenomenologi mengakui empat kebenaran, yaitu: kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logis, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transendental.

Fenomenologi memandang bahwa kondisi tertentu yang melibatkan tindakan manusia tidak lantas terjadi begitu saja. Kondisi tersebut terjadi tidak terlepas dari aktor yang ada di belakangnya. Perilaku apapun yang tampak di

permukaan baru bisa dipahami dan dijelaskan ketika bisa mengungkap apa yang tersembunyi dalam dunia kesadaran atau pengetahuan si pelaku. Sebab realitas itu pada dasarnya bersifat subjektif maknawi. Makna tidak melekat begitu saja pada realitas yang terjadi, melainkan bergantung bagaimana setiap individu memahami realitas tersebut. Karenanya dunia konseptual para pelaku ditempatkan sebagai kata kunci untuk bisa memahami tindakan manusia (Bungin, 2007: 44).

Sebagai bidang filsafat modern, fenomenologi menyelidiki pengalaman kesadaran yang berkaitan dengan pembagian antara subjek (ego) dengan objek (dunia) dan bagaimana sesuatu hal di dunia ini diklasifikasikan. Para fenomenolog berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu lainnya, melainkan oleh dirinya sendiri. Edmund Husserl menyatakan bahwa filosofinya merupakan strategi untuk ‘mengamankan’ kesadaran dari teori-teori reduktivisme yang ada pada abad ke-19 dalam bentuk ilmu pengetahuan alam mekanistik seperti Freud (Moleong, 2005: 16).

Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berbeda dalam situasi tertentu. Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh filusuf Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Fenomenologis tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka. Yang menjadi penekanan ialah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Moleong, 2005: 17).

BAB III

Dokumen terkait