2.5. Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah
2.5.4. Intergovernmental Networks Sebagai Mekanisme
Mengelola kerjasama antar daerah pada prinsipnya adalah mengelola hubungan antar organisasi. Secara teoritis, ada dua pola hubungan antar organisasi yang bisa dilakukan dalam pengelolaan kerjasama antar daerah (Warsono, 2009). Pertama, adalah pola hubungan organisasi yang bersifat intergovernmental ralationship. Pola hubungan ini memiliki karakter hubungan yang bersifat hierarkis, yang melihat forum kerjasama sebagai unit yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, diarahkan pada tujuan tertentu, keputusan organisasi didominasi pada kewenangan yang terpusat dan mempunyai tujuan dan nilai yang jelas.
Kedua, adalah pola hubungan organisasi yang bersifat Intergovernmental Networks. Kerjasama antar daerah yang berbasis network lebih didasarkan pada inter-relasi yang dilakukan oleh daerah, yang masing-masing daerah bersifat bebas dan mandiri untuk melakukan relasi satu sama lain. Selain itu, tidak ada struktur kewenangan sentral dan tujuan dari kerjasama tersebut yang bukan merupakan hasil kesepakatan dari daerah-daerah yang menjadi anggota forum kerjasama antar daerah tersebut sebagai sebuah perwujudan dari aksi bersama (collective action) (Ruhyanto dan Hanif, (2007). Oleh karena setiap kerjasama antar daerah harus didasarkan pada kepentingan bersama, maka proses pembentukannya harus bersifat partisipatif dan fleksibel sehingga dapat melahirkan konsensus. Konsensus ini tidak akan terbentuk tanpa adanya pengakuan kesetaraan, kesukarelaan, dan kemandirian dari setiap daerah yang terlibat. Dalam konteks ini, maka penggunaan pola hubungan organisasi kerjasama antar daerah haruslah yang bersifat Intergovernmental Networks.
Terdapat beberapa perwujudan dari bentuk-bentuk Intergovernmental Networks yang membuat kerjasama antar daerah menjadi lebih efektif. Pertama, adalah information networks, dimana daerah dapat membuat sebuah forum yang berfungsi sebagai pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi potensi atas masalah-masalah bersama. Kedua, adalah development networks, dalam jenis ini engagement dari masing-masing daerah lebih tingi karena interaksi antar daerah tidak hanya dalam pertukaran informasi, tetapi juga dikombinasikan dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung meningkatkan kapasitas informasi daerah untuk melaksanakan solusi atas masing-masing persoalannya. Ketiga, adalah outreach networks, dimana networks antar daerah lebih solid dengan adanya program strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan dilaksanakan di daerah lain. Keempat, adalah action networks, dimana daerah- daerah secara bersama-sama membuat serangkaiuan program aksi bersama yang dijalankan oleh masing-masing daerah sesuai dengan proporsi dan kemampuannya masing-masing. (Agranoff, 2003 dalam Ruhyanto dan Hanif, 2007).
2.5.5. Format Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah
Format kelembagaan kerjasama meliputi; format kerjasama, pengelolaan kerjasama, struktur organisasi, kerangka regulasi, dan sumber pendanaan.
2.5.5.1. Format Kerjasama
Aspek kelembagaan kerjasama yang pertama adalah bagaimana bentuk- bentuk kerjasama antar daerah yang paling ideal untuk dipilih agar efektivitas dari lembaga kerjasama tersebut dapat tercapai. Ada beberapa alternatif bentuk kerjasama yang dapat dipilih sebagai dasar bagi pengembangan kerjasama antar daerah. Masing-masing alternatif akan dikomparasikan dengan melihat kekuatan, kelemahan serta fisibilitas pelaksanaannya. Perbedaan dari masing-masing bentuk kerjasama tersebut terutama terletak pada dimensi kewenangan serta lingkup otoritas dan pola relasi antara lembaga kerjasama dengan anggota-anggotanya.
Berikut digambarkan berbagai alternatif dari format kerjasama tersebut (Sukmajati, Kurniadi dan Ruhyanto (2007):
A. Lembaga Kerjasama 1.Karakteristik
Format kerjasama ini tidak hanya berbasis pada sharing of information, namun lebih dari itu, fomat kelembagan seperti ini juga menyentuh aktivitas- aktivitas lainnya seperti pelaksanaan program-program dalam rangka meningkatkan kapasitas daerah sebagai anggota, memfasilitasi terjadinya
horizontal learning antar daerah, bahkan sampai pada kesepakatan membuat program aksi bersama. Dengan kata lain, format kerjasama semacam ini memiliki sifat developmental networks, outreach networks, dan action networks. Yang membedakan format kerjasama ini dengan format kerjasama yang lainnya adalah adanya otoritas pengaturan (regulatory) yang kuat. Otoritas pengaturan ini diharapkan dapat menciptakan sustainabilitas dan efektivitas kerjasama melalui penciptaan struktur sanksi yang ketat bagi pihak yang tidak melaksanakan hasil kesepakatan bersama. Hal ini dimaksudkan agar network diantara anggota dapat terlembagakan secara kuat.
2.Kelebihan
Kekuatan dari format kerjasama ini adalah tingginya engagement antar daerah sebagai anggota kerjasama. Semua kesepakatan yang dibuat dalam lembaga kerjasama antar daerah dalam format ini dimungkinkan memiliki tingkat integrasi yang tinggi dengan kebijakan internal daerah. Hal ini terjadi karena adanya kesepakatan bersama yang bersifat mengikat dan wajib ditaati oleh para anggotanya jika tidak ingin mendapat sanksi. Dengan adanya aturan ini solidaritas dan keberlangsungan forum kerjasama akan dapat lebih terjamin.
3.Kelemahan
Kelemahan mendasar dari format kerjasama ini adalah menyangkut tingkat penerimaan kepemimpinan lembaga kerjasama antar daerah dengan daerah sebagai anggotanya. Format kelembagaan seperti ini membutuhkan karakter kepemimpinan yang kuat. Persoalannya adalah dalam kelompok kerjasama antara daerah yang memiliki tingkat otonomi yang sama dan sederajat, siapa yang kemudian menjadi pemimpin lembaga kerjasama antar daerah dengan model tersebut. Apakah ada mekanisme checks and balances? Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena kerjasama dengan alternatif semacam ini sangat membuka
peluang dominasi satu daerah atas daerah lainnya. Selain itu, model ini juga mengasumsikan bahwa secara internal daerah sudah tidak memiliki permasalahan terkait denga karakteristik lokal masing-masing, sehingga apa yang menjadi kesepakatan dalam lembaga kerjasama secara otomatis dapat diimplementasikan di masing-masing anggota.
4.Fisibilitas
Penerapan model ini secara teknis tidak mudah dilahirkan dan dikembangkan dengan mengandalkan pada mekanisme network. Diperlukan mekanisme lain yang bersifat legal-formal yang baku untuk dapat menerapkan alternatif ini. Dalam suasana desentralisasi dan otonomi seperti sekarang ini, dimana daerah memiliki posisi yang sederajat sangat tidak mudah untuk membentuk lembaga kerjasama dengan format seperti ini. Kekuatan pengikat yang didasarkan semata-mata pada pemberian sanksi dan bukan toleransi antar pihak yang bekerjasama justru dapat menjadi bumerang bagi efektivitas dan sustainabilitas kerjasama yang hendak dibangun.
B. Forum Koordinasi 1.Karakteristik
Pada pola kerjasama semacam ini fungsi lembaga kerjasama yang dibentuk sangat terbatas pada upaya memfasilitasi komunikasi dan koordinasi antar daerah anggota, lingkup komunikasi dan koordinasi juga sangat terbatas pada teknis pelaksanaan dan penganggaran. Yang menjadi kekuatan pengikat adalah adanya toleransi antar pihak dan adaya informasi yang seimbang mengenai bidang-bidang yang dikerjasamakan. Lembaga kerjasama yang dibentuk tidak memiliki otoritas regulatif dan tidak ada mekanisme sanksi bagi pelanggar kesepakatan. Hubungan antar anggota bersifat cair dan fleksibel.
2. Kelebihan
Dibandingkan dengan format kelembagaan yang lainnya, alternatif ini relatif sangat mudah untuk dibangun dan dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena daerah hanya memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi atas daerahnya sendiri tanpa ada kewajiban atau beban yang lain. Kekuatan pengikat daerah untuk bekerjasama hanya berdasarkan toleransi antar daerah dan tidak
menyediakan sanksi yang tegas. Dengan demikian, energi yang dikeluarkan oleh suatu daerah relatif tidak banyak dan daerah relatif aman dari sanksi ketika suatu daerah akan membangun kerjasama dengan model ini. Alternatif kerjasama seperti ini umumnya menjadi embrio bagi pengembangan format kerjasama yang lebih canggih. Tanpa didahului oleh adanya sharing of information antar daerah sebagai anggota lembaga kerjasama intergavenmental networks yang diwujudkan dalam kerjasama antara daerah tidak akan eksis dan berkembang.
3.Kelemahan
Kelemahan paling menonjol dari format kerjasama ini adalah minimnya kontribusi yang bisa diberikan forum kerjasama bagai pembangunan wilayah karena aktivitas kerjasama hanya terbatas pada sharing of infomation. Karena sifatya yang cair dan fleksibel serta tidak adanya jaminan sanksi membuat keterlibatan dan solidaritas antar anggota sangat longgar, oleh karenanya keberlangsungan forum kerjasama dengan model ini sangat diragukan.
4.Fisibilitas
Secara teknis model kerjasama antar daerah semacam ini tidak sulit untuk dilahirkan dan dikembangkan oleh daerah. Pembentukan kerjasama semacam ini cenderung ”aman” dari sisi politik internal. Persoalan penganggaran yang biasanya menjadi ganjalan utama dalam pengembangan kerjasama relatif tidak menjadi kendala karena relatif kecilnya penganggaran yang dibutuhkan. Sedangkan secara eksternal (antar daerah) penerapan model ini sangat mungkin untuk dilakukan, masing-masing anggota tidak akan menghadapi kedala karena sifat kerja sama yang cair dan fleksibel.
C. Forum Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi 1.Karakteristik
Alternatif ini merupakan kombinasi dari developmental networks, outreach networks, dan action networks. Yang membedakan dari alternatif pertama adalah lembaga kerjasama semacam ini tidak memiliki otoritas pemberian sanksi yang mengikat dengan ketat pada anggotanya. Model ini merupakan perkembangan dari alternatif model kerjasama antar daerah yang kedua, namun dengan karakter yang lebih canggih, yang tidak lagi sekedar
berbasis pada sharing of information antar daerah sebagai anggotanya, tetapi juga pada aktivitas lainnya seperti pelaksanaan program-program dalam rangka meningkatkan kapasitas daerah anggota, fasilitasi horizontal learning antar daerah hingga fasilitasi dalam membuat aksi bersama yang terintegrasi dengan kebijakan internal daerah. Model kelembagaan seperti ini memiliki karakter hubungan antar anggota yang sifatnya cair dan fleksibel. Meski tidak menyediakan dan mengatur sanksi bagi daerah yang melanggar, namun model kerjasama semacam ini menyediakan dan mengatur struktur insentif dan sekumpulan aturan yang dapat mempengaruhi anggotanya untuk melaksanakan apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama.
2.Kelebihan
Kekuatan dari model ini adalah terletak pada besarnya kontribusi jangka panjang yang diberikan oleh lembaga kerjasama terhadap kebijakan internal daerah karena dapat memberikan pengaruh yang signifikan. sehingga soliditas dan keberlangsungan forum kerjasama dengan model ini menjadi dapat lebih dijamin. 3.Kelemahan
Format kerjasama ini pada umumnya berorientasi pada upaya penguatan kapasitas anggotanya melalui fasilitasi berbagai bentuk capacity building. Efek
capacity building yang umumnya bersifat jangka panjang dan tidak kasat mata ini selalu menjadi persoalan ketika dihadapkan pada tuntutan instan jangka pendek yang cenderung berorientasi fisik. Karakter ini biasanya menjadi hambatan dalam upaya menarik dukungan politik dari DPRD yang cenderung menekankan pada dampak langsung yang lebih berdimensi material.
4.Fisibilitas
Format model kerjasama semacam ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Diperlukan keuletan dan energi yang tidak sedikit untuk membangun kesadaran bersama bahwa kerjasama antar daerah sangat penting dan perlu untuk dilakukan dalam rangka mendorong potensi daerah. Model ini juga memerlukan adanya dukungan dan kesiapan internal daerah seperti kepemimpinan yang visioner serta adanya kesamaan persepsi dan keputusan bersama antara eksekutif dan legislatif daerah. Intinya, energi yang harus dikeluarkan oleh suatu daerah
untuk membentuk kerjasama dengan model ini tidak sedikit serta diperlukan adanya sinergi dari pihak lain.
D. Badan Usaha Bersama 1.Karakteristik
Format kerjasama model ini mendasarkan pada logika networking, dengan menekankan pada orientasi pengembangan ekonomi regional. Pada umunya alternatif ini merupakan kerjasama beberapa daerah dalam pengembangan sektor ekonomi tertentu sesuai dengan competitive advantages yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Misalnya kesepakatan antar daerah untuk mengembangkan sektor pariwisata, pertambangan, industri, peningkatan investasi, dan sebagainya.
2.Kelebihan
Kekuatan dari format ini terletak dari kontribusi yang riil bagi pengembangan ekonomi dan pembangunan bagi daerah-daerah anggota dapat lebih optimal. Forum kerjasama semacam ini dapat memberikan pengaruh secara langsung terhadap kebijakan internal daerah. Misalnya adanya kesepakatan kerjasama pada pengembangan sektor pariwisata, maka daerah-daerah yang tergabung dalam forum kerjasama tersebut akan menindaklanjuti kesepakatan ini dalam kebijakan internal daerah termasuk mengalokasikan anggaran yang memadahi untuk sektor pariwisata tersebut. Dengan demikian, tingkat
engagement antar daerah menjadi tinggi karena setiap daerah memilik kepentingan untuk memperoleh manfaat dari adanya kerjasama yang dibangun. 3.Kelemahan
Kelemahan mendasar dari format kerjasama ini terletak pada basis hukum kerjasama. Sejauh ini kerangka legal yang memungkinkan baru sebatas Surat Keputusan Bersama (SKB) di antara kepala daerah anggota. Di satu sisi basis legal ini memiliki keunggulan karena proses perumusannya tidak memerlukan waktu lama dan tidak memerlukan biaya yang banyak. Tetapi di sisi lain memiliki kelemahan, dimana kerangka legal yang hanya berbentuk SKB, tidak mudah bagi daerah untuk mendapatkan dukungan dan komitmen dari DPRD terutama terkait dengan dukungan perencanaan dan penganggaran. Dari sisi sustainabilitas,
kerangka legal ini juga kurang memberikan jaminan sustainabilitas kerjasama, karena kekuatan hukumnya yang hanya terbatas pada kesepakatan antar anggota yang pada umumnya tidak disertai dengan pemberian sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan. Keberhasilan format ini sangat tergantung pada daya tarik dan efektivitas struktur insentif yang diciptakan bersama.
4.Fisibilitas
Pengembangan kerjasama dengan format badan usaha ini memerlukan proses yang rumit dan energi yang tidak sedikit. Kerjasama model ini biasanya menghadapi tantangan yang relatif berat pada awal membangun kesadaran dan komitmen bersama. Upaya mencari titik temu dari berbagai perbedaan prioritas masing-masing daerah bukanlah pekerjaan yang sederhana. Namun demikian, kendala-kendala tersebut pada dasarnya dapat diatasi selama tersedia argumen logis dan diikuti dengan pembuktian bahwa kerjasama dapat bekerja efektif serta memberikan kontribusi riil bagi pembangunan daerah.
2.5.5.2. Pengelolaan Kerjasama
Aspek kelembagaan kerjasama yang lain yang juga harus mendapatkan perhatian adalah bagaimana pengelolaan kerjasama dilakukan agar efektivitas dari lembaga kerjasama antar daerah dapat dijamin. Pilihan pola pengelolaan kerjasama biasanya juga sangat dipengaruhi oleh pilihan bentuk-bentuk kerjasama sebagaimana diuraikan di atas. Karena pilihan terhadap bentuk kerjasama akan sangat berpengaruh terhadap pola pengorganisasian, pengelolaan, atau mekanisme kerja lembaga kerjasama maupun karakter struktur organisasi yang terbentuk. Terlepas dari bentuk kelembagan yang dipilih, secara umum pengelolaan kerjasama antar daerah terbagi dalam dua pola yaitu pengelolaan profesional dan pengelolaan terintegrasi dengan pemerintah daerah.
a. Pengelolaan oleh Profesional (Privat Sector)
Pada pengelolaan profesional, pengelolaan lembaga kerjasama diserahkan kepada kelompok profesional yang direkrut secara khusus untuk mengelola aktivitas kerjasama. Kelompok profesional biasanya dipimpin oleh seorang manager yang dipilih dengan menggunakan pertimbangan meritokrasi, misalnya melalui fit and proper test dan bekerja selama kurun waktu yang disepakati.
Manager merupakan eksekutor dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan daerah- daerah sebagai anggota lembaga kerjasama. Daerah-daerah berfungsi sebagai dewan pengarah yang berada di atas manager. Forum kerjasama yang melibatkan daerah-daerah inilah yang menjadi forum tertinggi dalam proses pengambilan keputusan.
Model pengelolaan profesional ini memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari para anggotanya karena mereka percaya bahwa manager dan para stafnya bersifat independen serta tidak memihak kepada salah satu anggota. Namun, pengelolaan model ini memiliki kendala yaitu tidak mudahnya proses integrasi antara aktivitas kerjasama antar daerah dengan unit-unit di pemerintah daerah.
b. Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah (Public Sector)
Pengelolaan kerjasama dengan menggunakan model ini yaitu pengelolaan kerjasama antar daerah yang sepenuhnya melekat dalam unit-unit SKPD tanpa melibatkan kalangan profesional. Peran pengelolaan dilimpahkan kepada aparat- aparat instansi yang sesuai dengan bidang tugas dari sektor atau bidang yang dikerjasamakan. Masing-masing daerah dapat berperan sebagai manager secara bergantian dalam periode waktu tertentu. Manager merupakan eksekutor dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan daerah-daerah sebagai anggota lembaga kerjasama. Daerah-daerah berfungsi sebagai dewan pengarah yang berada di atas manager. Forum kerjasama yang melibatkan daerah-daerah inilah yang menjadi forum tertinggi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam beberapa kasus, model ini tidak terlalu mempercepat proses kerjasama antar daerah karena sangat berpeluang terjebak dalam logika birokrasi dalam proses mengembangkan kerjasama tersebut, serta rendahnya tingkat kepercayaan antar anggota terhadap netralitas manajer. Namun, pengelolaan kerjasama dengan model ini mempunyai kekuatan berupa tingginya integrasi antara aktivitas kerjasama antar daerah dengan unit-unit kerja di pemerintah daerah karena model ini memang di bawah pengelolaan pemerintah daerah secara langsung.
2.5.5.3. Struktur Organisasi
Aspek kelembagan kerjasama antar daerah yang ketiga adalah struktur organisasi. Menurut Brinton Milward dan Keith G. Provan (2003), setidaknya ada dua model struktur organisasi yang dominan dalam pengembangan kerjasama antar daerah yaitu (Sukmajati, Kurniadi dan Ruhyanto, (2007):
a. Organisasi berbasis pada Hierarki
Model ini mendasarkan pada teori intraorganisasi (intraorganizational theory). Karakter yang dimiliki oleh model ini adalah pola hubungan yang bersifat hirarkis antar anggota. Forum kerjasama dianggap unit yang koheren dengan tujuan yang jelas yang ditentukan oleh sekelompok pihak. Proses pembuatan keputusan bersifat top-down dan tidak melibatkan anggota. Sedangkan relasi antar anggota bersifat otoritatif.
b. Organisasi berbasis pada Networks
Model ini mendasarkan pada teori interorganisasi (interorganizational theory) dengan berbasis pada network antar anggota. Kerjasama antar daerah yang berbasis network lebih didasarkan pada inter-relasi yng dilakukan oleh daerah, yang masing-masing daerah bersifat bebas dan mandiri untuk melakukan relasi satu sama lain. Dalam model ini tidak ada struktur kewenangan yang sentral dan tujuan dari kerjasama merupakan hasil kesepakatan dari daerah-daerah yang menjadi anggota forum kerjasama antara daerah tersebut sebagai perwujudan dari aksi bersama (collective action).
2.5.5.4. Kerangka Regulasi
Aspek kelembagaan kerjasama antar daerah yang keempat adalah kerangka regulasi. Keberhasilan lembaga kerjasama antar daerah juga sangat ditentukan oleh kerangka regulasi yang membentuk terjadinya kerjasama tersebut. Legitimasi suatu kerjasama antar daerah tidak hanya ditunjukkan dari berfungsinya lembaga kerjasama tersebut, namun juga harus dijamin dalam kerangka regulasi yang mewadahinya sehingga dapat menjamin dan mendorong bekerjanya bentuk-bentuk kerjasama antar daerah. Di samping itu, kerjasama antar daerah tanpa adanya kerangka regulasi yang jelas akan dapat menimbulkan konfilik dan kesalahpahaman antar angggotanya. Ada beberapa alternatif pilihan
kerangka regulasi yang dapat digunakan dalam melakukan kerjasama antar daerah diantaranya melalui (Ruhyanto dan Hanif, 2007):
a. Perjanjian, menyangkut pada materi yang merupakan hal yang sangat prinsip yang memerlukan pengesahan/ratifikasi. Menurut Rosen (1993) kerangka regulasi kerjasama antar daerah dalam bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis
2. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis.
b. Persetujuan, Cakupan materi yang diatur dalam jenis peraturan semacam ini lebih sempit dari perjanjian. Sifat persetujuan biasanya menyangkut hal-hal yang teknis.
c. Deklarasi, merupakan perjanjian-perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana para pihak bersepakat untuk melakukan kebijakan-kebijakan tertentu di masa mendatang.
d. Memorandum of Understanding (MoU), regulasi ini merupakan bentuk perjanjian yang umumnya mengatur pelaksanaan suatu perjanjian induk.
Kerangka regulasi sebagai bentuk pengaturan legal formal bagi kerjasama antar daerah bisa menjadi sangat kontraproduktif dengan semangat networking
yang dibangun dalam forum kerjasama antar daerah. Karena semakin formal pengaturan kerjasama antar daerah, maka derajat network-nya menjadi makin lemah. Apabila mengacu pada hipotesis ini maka kerangka regulasi dalam bentuk
handshake agreements menjadi pilihan tepat untuk diterapkan. Namun, Keban (2010) menganggap bahwa kerangka regulasi handshake agreements merupakan bentuk regulasi yang banyak menimbulkan konflik dan kesalahpahaman (misunderstanding), karena kesepakatan dibuat tidak dengan cara ditulis sehingga potensi pengingkaran terhadap kesepakatan tersebut menjadi sangat tinggi. Atas dasar hal tersebut, perjanjian tertulis (written agreements) menjadi pilihan alternatif sebagai kerangka regulasi bagi kerjasama antar daerah. Per janjian tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan bersama, atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus dituangkan
dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan kerjasama dan penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, jadwal, operasi dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, dan cara pemecahan konflik.
2.5.5.5. Sumber Pendanaan
Aspek kelembagaan kerjasama antar daerah yang ke lima adalah terkait dengan sumber pendanaan. Sumber pendanaan sangat penting peranannya, tidak hanya berkait dengan keberlangsungan lembaga kerjasama antar daerah, tetapi juga bisa berimplikasi pada pergeseran fungsi dari lembaga kerjasama. Ada beberapa alternatif sumber pendanaan kerjasama antar daerah yang dapat digali diantaranya (Sukmajati, Kurniadi dan Ruhyanto, 2007).
a. Mengandalkan Iuran dari Anggota
Iuran anggota diambil dari alokasi dana APBD. Kelebihan dari model pendanaan ini terjaminnya eksistensi aktivitas lembaga kerjasama antara daerah yang terintegrasi dalam program-program pembangunan daerah. Sedangkan kelemahannya, mekanisme ini harus membutuhkan kesepakatan antara pemerintah daerah dengan DPRD tentang pentingnya kerjasama antar daerah. b. Mengandalkan Bantuan Pemerintah
Adanya bantuan keuangan dari pemerintah akan menjamin kepastian sumber pendanaan yang diperlukan dalam melakukan kerjasama antar daerah. Namun, model ini memiliki kelemahan yaitu membuka peluang masuknya intervensi pemerintah terhadap kinerja lembaga kerjasama antar daerah.
c. Mengandalkan Bantuan Lembaga Donor.
Model ini akan dapat menjamin tersedianya jaminan keuangan yang berimplikasi pada eksistensi lembaga kerjasama. Namun, model ini tidak dapat menjamin keberlanjutan dukungan pendanaan untuk lembaga kerjasama antar daerah.
d. Mengandalkan Bantuan Sponsor
Model ini menjamin tersedianya keuangan yang dapat digunakan untuk operasional lembaga kerjasama. Namun, bantuan dari sponsor biasanya menuntut kompensasi yang harus ditanggung dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah,
dan hal ini bisa berimplikasi pada bergesernya fungsi dari lembaga kerjasama antar daerah tersebut.
e. Mengandalkan Pelanggan
Model ini dapat diterapkan apabila format kelembagaan kerjasama antar