• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis on performance of inter regional cooperation institutions in improving regional economies of scale

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis on performance of inter regional cooperation institutions in improving regional economies of scale"

Copied!
292
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ASPEK KELEMBAGAAN

Studi Kasus Kerjasama Antar Daerah Banjarnegara,

Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen

BAMBANG TRI HARSANTO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah: Kajian Aspek Kelembagaan (Studi Kasus Kerjasama Antar Daerah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap Dan Kebumen) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli, 2012

Bambang Tri Harsanto

(4)
(5)

Cooperation Institutions in Improving Regional Economies of Scale: A Study of Institutional Aspects A Case Study of Inter-Regional Cooperation of Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap and Kebumen. Supervised by DEDI BUDIMAN

HAKIM, KOMARSA GANDASASMITA, and AKHMAD FAUZI.

Cooperation between regions is an issue that needs attention from the government because of its role in helping to solve socio-political and economical problems in the region as a result of the negative effects of regional autonomy. For this reason, this study is focused on the study of the role of inter-regional cooperation in solving the economic problem, i.e. a low scale of local economy. By taking the case of the inter-regional cooperation institutions of BARLINGMASCAKEB, this study aimed to: (1) identify the factors that trigger the formation of inter-regional cooperation, (2) evaluate the performance of inter-regional cooperation, (3) determine whether the formation of inter-regional cooperation is an appropriate strategy for strengthening the scale of regional economy, and (4) formulate an appropriate form of inter-regional cooperation in order to perform its functions optimally. The data analyzed in this study are of primary and secondary data. The primary data were taken from the respondents by a purposive sampling while the secondary data were collected from the documents of various institutions such as regencies in figures, the report of SKPD activities, and the reports of BARLINGMASCAKEB Regional Management. By using a descriptive analysis, game analysis, transaction cost analysis and AHP (Analytical Hierarchy Process), this study obtained the following results: (1) the motivation to form the inter-regional cooperation institution was to conduct a joint marketing of the economic potential at the regional level and make cooperation and synergy among the regions to enhance regional economic development; (2) the resulted performance in terms of output or outcome is still at a very low level; (3) based on the game analysis and transaction cost analysis, the establishment of inter-regional cooperation institutions was effective and efficient to improve the regional economic scale; and (4) the autonomous form of inter-regional cooperation institution was the strategy selected by expert respondents in an effort to improve the functions of inter-regional cooperation institutions.

(6)
(7)

Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah: Kajian Aspek Kelembagaan Studi Kasus Kerjasama Antar Daerah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap Dan Kebumen. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM, KOMARSA GANDASASMITA, dan AKHMAD FAUZI.

Kerjasama antar daerah mulai dikembangkan di Indonesia sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan. Otonomi diberikan kepada pemerintah daerah dengan tujuan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, hasil pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia masih jauh dari harapan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kegagalan pelaksanaan otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat disebabkan oleh dua hal. Pertama, munculnya permasalahan sosial politik sebagai akibat dari ekses negatif pelaksanaan otonomi daerah. Kedua, hampir setiap daerah menghadapi persoalan ekonomi berupa rendahnya skala ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing daerah sehingga setiap daerah menjadi sangat sulit untuk mengembangkan kegiatan perekonomian daerahnya. Untuk mengatasi dua persoalan tersebut kegiatan kerjasama antar daerah dapat dijadikan solusi.

Melihat pentingnya manfaat kerjasama antar daerah bagi peningkatan pembangunan ekonomi daerah dan pelayanan publik kepada masyarakat maka telah banyak pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang melakukan kerjasama antar daerah. Namun demikian, pelaksanaan fungsi dari forum-forum kerjasama antar daerah tersebut masih jauh dari ideal. Dalam konteks ini menjadi penting untuk melihat bagaimana prinsip-prinsip dasar pengelolaan kerjasama antar daerah dijalankan sehingga dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Atas dasar hal tersebut, dengan mengambil kasus pada lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB, penelitian ini tertarik untuk mengkaji bagaimana kinerja lembaga kerjasama antar daerah dalam menjalankan kegiatannya untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.

Penelitian ini bertujuan untuk; (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong terbentuknya kerjasama a n t a r daerah; ( 2 ) Mengevaluasi kinerja lembaga kerjasama antar daerah; (3) Menganalisis kebijakan pembentukan kerjasama antar daerah sebagai strategi penguatan skala ekonomi daerah; dan (4) Merumuskan format kelembagaan yang tepat bagi lembaga kerjasama antar daerah agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

Penel itian ini dilakukan di l ima kabupaten yang ter gabung dalam l embaga

(8)

regional dan melakukan kerjasama dan sinergi antar daerah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah; (2) Capaian kinerja dari sisi output maupun outcome

masih menunjukkan tingkatan yang sangat rendah; (3) Berdasarkan analisis permainan (game analysis) dan analisis biaya transaksi pembentukan lembaga kerjasama antar daerah efektif dan efisien untuk meningkatkan skala ekonomi daerah; dan (4) Format kelembagaan dalam bentuk lembaga otonom kerjasama antar daerah merupakan strategi yang dipilih responden expert dalam upaya meningkatkan fungsi kelembagaan kerjasama antar daerah.

Kata kunci: kerjasama antar daerah, skala ekonomi daerah, lembaga otonom kerjasama antar daerah

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Mengutip hanya untk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

KAJIAN ASPEK KELEMBAGAAN

Studi Kasus Kerjasama Antar Daerah Banjarnegara,

Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen

BAMBANG TRI HARSANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

(13)
(14)
(15)

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2011 adalah implementasi kerjasama antar pemerintah daerah dengan judul Analisis Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah: Kajian Aspek Kelembagaan (Studi Kasus Kerjasama Antar Daerah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap Dan Kebumen).

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec., Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc., dan Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Budi Wibowo, M.Si., Bapak Ir. Setiyadi, M.Si., Bapak Drs. Titho AW, M.Si, Bapak Drs. Nooryono, M.M, Bapak Drs. Prasetyo Murbulat, M.M. dan Ibu Dra. Rohmah Hidayati selaku anggota Dewan Eksekutif RM BARLINGMASCAKEB yang telah memberikan kemudahan dan membantu penulis dalam mendapatkan data.

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara yang telah mengijinkan penulis untuk melanjutkan studi pada program doktor Sekolah Pascasarjana Istitut Pertanian Bogor.

Akhirnya penulis menyampaikan terimakasih kepada ayah, ibu, istri, dan anak-anak tercinta atas segala doa, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2012

(16)
(17)

sebagai anak ketiga dari pasangan Suprat Kiswoto dan Karyatun. Pada tahun 1991 menikah dengan Dra. Suwiati, M.Si. dan dikaruniai dua orang putri Dyah Wahyu Nastiti dan Dyah Anggita Rati. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1994 penulis diterima di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

(18)
(19)

i

2.1. Kerjasama Antar Daerah ... 19

2.2. Teori Kerjasama Antar Daerah ... 19

2.2.1. Teori Model Kemitraan Antar Pemerintah Daerah ... 19

2.2.2. Game Theory ... ... 21

2.2.3. Teori Kemitraan Regional Untuk Pembangunan Ekonomi ... 22

2.3. Teori Regionalisasi ... 26

2.4. Teori Tindakan Kolektif ... 29

2.5. Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah ... 32

2.5.1. Pengertian Kelembagaan ... 32

2.5.2 Tingkatan Kelembagaan ... 33

2.5.3. Teori Perubahan Kelembagaan ... 34

2.5.4. Intergovernmental Networks Sebagai Mekanisme Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah ... 37 2.5.5. Format Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah ... 38

2.5.5.1. Format Kerjasama ... 38

2.5.5.2. Pengelolaan Kerjasama ... 44

2.5.5.3. Struktur Organisasi ... 45

2.5.5.4. Kerangka Regulasi ... 46

2.5.5.5. Sumber Pendanaan ... 48

2.6. Konsep Kinerja Organisasi ... 49

2.6.1. Pengertian Kinerja Organisasi ... 49

2.6.2. Evaluasi Kinerja Organisasi ... 49

2.7. Penelitian Terdahulu ... 50

2.7.1. Penelitian Lembaga Kerjasama Antar Daerah di Indonesia ... 50

2.7.2. Penelitian Lembaga Kerjasama Antar Daerah di Negara Lain ... 52

2.7.3. Penelitian Lembaga Kerjasama Antar Daerah di Amerika Serikat ... 56

III METODE PENELITIAN ... 59

3.1. Kerangka Pemikiran ... 59

(20)

ii

3.6 Teknik Pengambilan Sampel ... 63

3.7. Metode Analisis Data ... 64

3.7.1. Identifikasi Faktor Pendorong Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB... 64

3.7.2. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB ... 68

3.7.3. Analisis Kebijakan Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah Sebagai Strategi Penguatan Skala Ekonomi Daerah ... 73

3.7.4.Merumuskan Format Kelembagaan yang Tepat Bagi Lembaga KSAD BARLINGMASCAKEB ... 79

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 85

4.1. Letak Geografis dan Batas Administrasi Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB ... 85

4.2. Indikator Kependudukan ... 87

4.3. Indikator Pengembangan Sumberdaya Manusia ... 91

4.4. Indikator Perekonomian ... 95

V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 99

5.1. Indentifikasi Faktor Pendorong Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB ... 99

5.1.1. Proses Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB ... 99

5.1.2. Motif Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB ... 103

5.1.3. Skala Ekonomi Daerah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB ... 107 5.1.4. Kondisi Tipologi dan Hirarkhi Wilayah ... 120

5.2. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB ... 129

5.2.1. Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB ... 130

5.2.2. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerja Sama Antar Daerah Dari Sisi Output ... 144

5.2.3. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah Dari Sisi Outcome ... 158

5.2.4. Identifikasi Penyebab Rendahnya Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB .. 163

5.2.5. Analisis Kritis Dimensi Kelembagaan Sebagai Pengaruh Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB ... 170

5.3. Analisis Kebijakan Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah Sebagai Strategi Penguatan Skala Ekonomi Daerah. .. 181

(21)

iii

5.4.Format Kelembagaan Yang Tepat Bagi Lembaga Kerjasama

Antar Daerah BARLINGMASCAKEB ... 199

5.4.1. Tahap Dekomposisi ... 199

5.4.2. Tahap Comparative Judgement ... 200

5.4.3. Tahap Synthesis of Priority ... 204

VI SIMPULAN DAN SARAN ... 215

6.1. SIMPULAN ... 215

6.2. SARAN ... 215

DAFTAR PUSTAKA ... 217

(22)
(23)

v

1 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran

di Indonesia Tahun 1996 – 2011 ... 2 2 Nama Lembaga dan Pola Kerjasama Antar Daerah di Indonesia ... 7 3 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banjarnegara,

Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen

Tahun 1999 – 2003 ... 11 4 Inisiasi Kegiatan Investasi di BARLINGMASCAKEB ... 15 5 Perbedaan Proses Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik …… 28 6 Kelompok Sampel dan Jumlah Responden ……… 64 7 Pengukuran Skala Ekonomi Daerah ... 65 8 Indikator Hirarkhi Wilayah Pertanian serta Perdagangan dan

Industri Kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB tahun 2002. 66 9 Kriteria Penentuan Hirarkhi Wilayah Berdasarkan Kelengkapan

Sarana dan Prasarana Sosial dan Ekonomi Wilayah ... 67 10 Pengukuran Kinerja Dari Sisi output berdasar perbandingan realisasi

capaian terhadap target capaian program kerja lembaga KSAD ... 69 11 Pengukuran Kinerja Dari Sisi output berdasar penghitungan

efisiensi biaya (cost-efficiency) ... 70 12 Pengukuran Capaian Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah

Dilihat Dari Sisi outcome ... 70 13 Panduan Analisis Faktor Pengaruh Kinerja Lembaga KSAD 72 14 Matriks Pay off Kerjasama Antar Daerah dalam Meningkatkan

Skala

Ekonomi Daerah ... 75

15 Perhitungan Nilai Pay Off Untuk Analisis Game Theory …………. 76 16 Aktivitas Biaya Transaksi Pada Kegiatan Peningkatan Skala

Ekonomi Daerah ... 78 17 Skala Banding Secara Berpasangan ... 81 18 Nilai RI pada ordo bermatriks n ... 82 19 Matriks Pendapat Individu ... 82 20 Ketinggian Wilayah BARLINGMASCAKEB ... 85 21 Perkembangan IPM Kabupaten Di Wilayah

BARLINGMASCAKEB dan Provinsi Jawa Tengah ... 93 22 Jumlah Investasi Yang Masuk di Kabupaten di Wilayah

BARLINGMASCAKEB dan Kabupaten Lain di Provinsi Jawa Tengah (Rupiah) ...

108

23 Jumlah Penduduk Bekerja, Pencari Kerja dan Angkatan Kerja di

Wilayah BARLINGMASCAKEB dan di Provinsi Jawa Tengah ... 110 24 Proporsi Jumlah Pendududk Bekerja Terhadap Angkatan Kerja di

Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB (%) ... 112 25 Banyaknya Obyek Wisata Yang Telah Memberikan Nilai Ekonomi

di Wilayah BARLINGMASCAKEB dan Kabupaten lain di Jawa

Tengah Tahun 2000 – 2003 ... 114 26 Banyaknya Potensi dan Obyek Wisata Yang Telah Memberikan

(24)

vi

28 Persentase Kontribusi Sektor Pariwisata Terhadap Pendapatan Asli

Daerah di Wilayah BARLINGMASCAKEB (%) ... 117 29 Proporsi Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di Kabupaten di

Wilayah BARLINGMASCAKEB dan Provinsi Jawa Tengah

Sampai Dengan Tahun 2003 ... 118 30 Banyaknya Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) Yang

Dikeluarkan Pemerintah Daerah tahun 2000 – 2003 ... 120 31 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Menurut Lapangan Usaha

Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas di Wilayah

BARLINGMASCAKEB Tahun 2002 (Persen) ... 121 32 Besarnya Nilai PAD Kabupaten Di Wilayah

BARLINGMASCAKEB ……… 122

33 Indikator Hirarkhi Wilayah Pertanian Kabupaten di wilayah

BARLINGMASCAKEB tahun 2002 ……… 123 34 Indikator Hirarkhi Wilayah Perdagangan dan Industri Kabupaten di

Wilayah BARLINGMASCAKEB tahun 2002 ………. 125 35 Rekapitulasi Transaksi Pasar Lelang BARLINGMASCAKEB ... 138 36 Daftar Kegiatan dan Hasil yang Dicapai Oleh Regional

Management BARLINGMASCAKEB... 142 37 Indikator Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah

BARLINGMASCAKEB Berdasar Perbandingan Target

Dan Realisasi Program Kerja ... 146 38 Alokasi Anggaran Kegiatan Lembaga KSAD

BARLINGMASCAKEB Tahun 2003 -2009 ... 148 39 Investasi Baru yang Masuk di Kabupaten di Wilayah

Barlingmascakeb ... 150 40 Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasarkan Penghitungan

Efisiensi Biaya (Cost-Efficiency) Untuk Kegiatan Fasilitasi

Investasi Daerah ... 150 41 Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasarkan Penghitungan

Efisiensi Biaya (Cost-Efficiency) Untuk Kegiatan Perdagangan

Produk Daerah ... 155 42 Retribusi Pariwisata Kabupaten di Wilayah

BARLINGMASCAKEB ... 157 43 Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasarkan Penghitungan

Efisiensi Biaya (Cost-Efficiency) Untuk Kegiatan Pengembangan

Pariwisata Regional ... 157 44 Nilai Investasi yang Masuk di Kabupaten Sebelum dan Sesudah

adanya Lembaga KSAD di Wilayah Barlingmascakeb ... 160 45 Kontribusi Besarnya Investasi Yang Masuk di Kabupaten Yang

Difasilitasi Oleh Lembaga KSAD BARLINGMASCAKEB ... 161 46 Kontribusi Tenaga Kerja Yang Bekerja di Perusahaan di Kabupaten

Yang Keberadaannya Di Fasilitasi Lembaga KSAD

(25)

vii

KSAD BARLINGMASCAKEB ... 163 48 Kontribusi Jumlah Obyek Wisata Yang Telah memberikan Manfaat

Ekonomi di Kabupaten Yang Keberadaannya Di Fasilitasi Oleh

Lembaga KSAD BARLINGMASCAKEB ... 163 49 Pay off dari Masing-Masing Pelaku KSAD BARLINGMASCAKEB

Th 2009 ... 183 50 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Banjarnegara dan

Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi

Daerah (dalam milyar rupiah) ... 183 51 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Purbalingga dan Empat

Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah

(dalam milyar rupiah) ... 185 52 Matriks Pay off Game InteraksiKabupaten Banyumas dan Empat

Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah

(dalam milyar rupiah) ... 186 53 Matriks Pay off Game InteraksiKabupaten Cilacap dan Empat

Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah

(dalam milyar rupiah) ... 187 54 Matriks Pay off Game InteraksiKabupaten Kebumen dan Empat

Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah

(dalam milyar rupiah) ... 188 55 MatriksPerbandingan Berpasangan Antar Pelaku Berdasarkan

Fungsi Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah ... 201 56 MatriksPerbandingan Berpasangan Antar Kriteria Berdasarkan

Pelaku Birokrasi ... 201 57 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Kriteria Berdasarkan

Pelaku Tenaga Profesional ... 202 58 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Kriteria Berdasarkan

Pelaku Campuran Antara Birokrasi dan Tenaga Profesional ………. 202 59 MatriksPerbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan

Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria

Mengurangi Terjadinya Ekternalitas ... 202 60 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan

Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria

Peningkatan Efisiensi ... 203 61 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan

Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria

Peningkatan Pelayanan Publik ... 203 62 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan

Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria

(26)
(27)

ix

Halaman 1 Perkembangan Kontribusi PAD Terhadap APBD Kabupaten di

Wilayah BARLINGMASCAKEB ... 12 2 Transaksi Pasar Lelang BARLINGMASCAKEB

Tahun 2004 – 2009 ………. 14

3 Teori Kemitraan Regional Untuk Pembangunan Ekonomi ... 25 4 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 61 5 Lokasi Penelitian Menurut Pembagian Wilayah Administratif

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah ... 62 6 Hierarki Peningkatan Fungsi Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah

BARLINGMASCAKEB ... 80 7 Jumlah Penduduk Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB

Tahun 2009 ... 88 8 Pertumbuhan Penduduk Kabupaten di Wilayah

BARLINGMASCAKEB Tahun 2009 ... 89 9 Tingkat Kepadatan Penduduk Kabupaten di Wilayah

BARLINGMASCAKEB Tahun 2009 ... 90 10 Perkembangan IPM Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB

dan Provinsi Jawa Tengah ………. 92 11 Persentase Pendududk Miskin Di BARLINGMASCAKEB

dan Jawa Tengah ... 95 12 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten di Wilayah

BARLINGMASCAKEB ... 98 13 Bagan Struktur Organisasi Regional Management

BARLINGMASCAKEB ... 103 14 Proporsi Penduduk Bekerja Terhadap Angkatan Kerja Kabupaten

di Wilayah BARLINGMASCAKEB ... 111 15 Persentase Pemanfaatan Sumberdaya Tambang Kabupaten

di Wilayah BARLINGMASCAKEB ... 119 16 Hirarkhi Wilayah Pertanian Kabupaten di Wilayah

BARLINGMASCAKEB TAHUN 2002 ………. 124

17 Hirarkhi Wilayah Perdagangan dan Industri Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB TAHUN 2002 ... 126 18 Peta Infrastruktur Kabupaten di Wilayah

BARLINGMASCAKEB ... 127 19 Biaya Transaksi Promosi Potensi Daerah Untuk Mendatangkan

Investasi ... 190 20 Biaya Transaksi Pembuatan Rencana Program Mendatangkan

Investasi di Daerah ... 191 21 Biaya Transaksi Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan

Mendatangkan Investasi di Daerah ... 192 22 Biaya Transaksi Pembuatan Rencana Kegiatan Bidang

Ketenagakerjaan ... 194 23 Biaya Transaksi Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Ketenagakerjaan 195

(28)

x

26 Biaya Transaksi Pembuatan Rencana Kegiatan Pengembangan

Pariwisata ... 198 27 Bobot Prioritas dari Pencapaian Tujuan Peningkatan Fungsi

(29)

xi

Halaman 1 Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Pertumbuhan

Penduduk di Wilayah BARLINGMASCAKEB Tahun 2009 ... 223 2 Peta Kabupaten Banjarnegara ……… 227 3 Peta Kabupaten Purbalingga ……….. 229 4 Peta Kabupaten Banyumas ……… 231 5 Peta Kabupaten Cilacap ………. 233 6 Peta Kabupaten Kebumen ... 235 7 Kuesioner AHP ... 237 8 Kesepakatan Bersama Bupati Dalam Rangka Pembentukan

Regional Management dan Regional Marketing

BARLINGMASCAKEB ………... 245 9 Keputusan Bersama Bupati Tentang Pembentukan Lembaga

Kerjasama Regional Management dan Regional Marketing

(30)
(31)

1.1. Latar Belakang

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa implikasi yang luas berupa perubahan sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Sebelum diberlakukannya undang-undang tersebut sistem pemerintahan lebih bersifat sentralistik, dimana setiap keputusan yang menyangkut kepentingan daerah lebih banyak ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini mengakibatkan daerah kehilangan inisiatif termasuk pula tidak adanya penghormatan terhadap masyarakat lokal. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, sistem pemerintahan bergeser dari sentralistik yang cenderung non partisipatif dan kurang demokratis menjadi desentralistik yang memberikan ruang bagi pelaksanaan otonomi daerah yang bersifat demokratis.

Otonomi daerah muncul karena adanya tuntutan pembagian kewenangan yang lebih besar untuk mengelola pemerintahan di daerah dengan lebih baik. Otonomi daerah juga diharapkan dapat menstimulan kemandirian dan kreativitas dalam mengembangkan wilayah. Dengan diberikannya otonomi kepada daerah berarti pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, kecuali beberapa kewenangan yang memang menjadi urusan pemerintah pusat yang meliputi; urusan politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, fiskal dan moneter serta agama. Dengan adanya perubahan paradigma pemerintahan ini diharapkan mampu mendorong proses demokratisasi dimana rakyat termasuk masyarakat lokal mempunyai kesempatan yang sama dalam proses pengambilan keputusan.

(32)

potensi sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan tanpa harus membebani masyarakat. Hal ini perlu digarisbawahi, karena tujuan dari pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam bentuk otonomi daerah dimaksudkan untuk lebih mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Hasil pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dalam kenyataannya masih jauh dari harapan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data statistik menunjukkan bahwa meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan, namun persentase jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi dan angka pengangguran di Indonesia tidak mengalami penurunan. Tabel berikut menggambarkan kondisi hasil perekonomian tersebut.

Tabel 1 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia Tahun 1996 – 2011

Sumber: BPS, 2011 Keterangan; * Data tidak tersedia Catatan:

- Laju pertumbuhan ekonomi dinyatakan dalam persentase.

- Jumlah penduduk miskin dinyatakan dalam persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk.

- Tingkat pengangguran dinyatakan dalam persentase jumlah penganggur terbuka terhadap jumlah angkatan kerja,

(33)

politik sebagai akibat dari diberlakukannya otonomi daerah. Kedua, hampir setiap daerah menghadapi persoalan ekonomi berupa rendahnya skala ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing daerah sehingga setiap daerah menjadi sangat sulit untuk mengembangkan kegiatan perekonomian daerahnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua permasalahan tersebut saling terkait karena timbulnya permasalahan sosial politik di daerah akan semakin memperberat penyelesaian persoalan ekonomi bagi daerah tersebut.

Persoalan sosial politik muncul akibat dampak negatif dari pelaksanaan otonomi daerah. Dalam banyak kasus, otonomi daerah telah dipersepsikan secara beragam oleh beberapa pemerintah daerah. Diantaranya mereka menganggap bahwa otonomi daerah sebagai momentum untuk memenuhi keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan. Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah, berkembangnya proses KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap “ego daerah” yang berlebihan. Pemerintah kabupaten/kota cenderung memproteksi seluruh potensinya secara ketat demi kepentingan daerahnya sendiri dan menutup diri terhadap kepentingan kabupaten/kota lainnya. Bahkan dampak negatif kegiatan ekonomi di suatu daerah pada daerah lain, seperti timbulnya eksternalitas t id a k lagi dihiraukan. Rasa sentimen daerah juga mulai timbul dengan adanya kecenderungan umum mengangkat “putra daerah” menjadi pegawai negeri sipil daerah (Keban, 2010).

(34)

program pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Rendahnya kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari sisi pembiayaan pembangunan. Proses desentralisasi di Indonesia baru pada tahap desentralisasi dari sisi pengeluaran pemerintah dan belum sampai pada tahap desentralisasi dari sisi penerimaan. Sehingga sebagian besar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunannya yang tercermin dalam besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih mengandalkan subsidi dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan yang ditransfer dari pusat ke daerah dalam beberapa skema (Brodjonegoro, 2008). Untuk mengatasi dua persoalan tersebut, baik masalah sosial politik maupun ekonomi, agar pelaksanaan otonomi daerah mampu menjadi instrumen pemerintah bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat maka kegiatan kerjasama antar daerah dapat dijadikan solusi (Keban, 2010, Brodjonegoro, 2008).

Dalam perspektif sosial politik, dikenal batas wilayah administratif (sesuai peraturan perundangan), dan batas wilayah fungsional (sesuai hubungan sosial ekonomi lintas batas administratif). Setiap daerah memiliki batas wilayah administratif yang ditentukan secara formal melalui peraturan perundangan, akan tetapi dalam kenyataan berbagai masalah dan kepentingan sering muncul sebagai akibat dari hubungan fungsional di bidang sosial ekonomi yang melewati batas-batas wilayah administratif tersebut. Dalam konteks ini, maka alasan utama diperlukan kerjasama antar pemerintah daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama (Keban, 2010). Melalui kerjasama antar daerah, ego daerah yang merugikan masyarakat dalam pelayanan publik dan pembangunan ekonomi bisa diminimalisir. Melalui kerjasama antar daerah inovasi-inovasi dari masing-masing daerah bisa saling dipertularkan dan dikerjakan bersama-sama (Pratikno, 2007).

(35)

desentralisasi ekonomi. Implementasi desentralisasi ekonomi hanya dapat terjadi apabila pemerintah daerah melaksanakan dengan baik lima kewajiban dasarnya, yaitu; (1) mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya berdasarkan potensi yang dimiliki serta sebanyak mungkin melibatkan peran serta pelaku ekonomi lokal, (2) mengupayakan perbaikan pendapatan masyarakat dengan mengutamakan prinsip keadilan. Kelompok yang mampu diberi kemudahan untuk terus memperbaiki pendapatannya yang tidak mampu diberi subsidi terarah yang mendidik, (3) menciptakan lapangan kerja baru sebanyak mungkin dengan mengundang sebanyak-banyaknya investasi baru di daerah, terutama yang berpotensi menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar, (4) ikut menjaga laju inflasi di daerah dengan memperbaiki jaringan distribusi serta kepastian pasokan bahan pokok, (5) memberikan pelayanan publik dasar kepada masyarakat, terutama pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar dengan standar setara atau di atas standar minimum nasional (Brodjonegoro, 2008).

Kelima kewajiban dasar tersebut akan dapat terwujud apabila pemerintah daerah dapat memperkuat skala ekonomi daerahnya. Dengan skala ekonomi daerah yang kuat aktivitas perekonomian akan menjadi meningkat. Meningkatnya aktivitas perekonomian akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan untuk memperkuat skala ekonomi bagi daerah yang perekonomiannya kecil dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan daerah lain (Brodjonegoro, 2008). Dengan demikian, kerjasama antar daerah dapat dipandang sebagai ”perahu penyelamat” pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu, dimasa depan, kerjasama antar daerah haruslah dilihat sebagai suatu kebutuhan penting yang tidak terelakkan sehingga harus ada upaya yang sistimatis dan berkesinambungan dari pihak pemerintah untuk memperkenalkan, mendorong dan menginstitusionalisasikan kerjasama antar daerah agar pemerintah daerah terbiasa melakukannya dan dapat mengambil manfaatnya (Keban, 2010).

(36)

pengentasan kemiskinan, efisiensi pelayanan publik, konflik antar penduduk, dan lain-lainnya, kalau mereka tidak bekerjasama. Oleh karena itu, identifikasi untuk menemukan kesamaan isu dan permasalahan pembangunan diantara anggota menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Kedua, adanya komitmen bersama dari masing-masing pemerintah daerah dalam menangani isu-isu yang telah disepakati, dan lebih mendahulukan kepentingan bersama dibanding kepentingan masing-masing daerah. Ketiga, adanya prinsip saling menguntungkan bagi semua fihak yang bekerjasama. Prinsip saling meguntungkan menggambarkan bahwa dalam bekerjasama setiap anggota harus dapat menarik manfaat dari adanya kerjasama tersebut. Namun demikian, tidak berarti bahwa setiap daerah harus mendapatkan bentuk keuntungan yang seragam. Kerjasama tidak dimaksudkan untuk membuat keseragaman antar daerah, melainkan melakukan pengembangan daerah sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah masing-masing. Keempat, adanya dukungan dari pemerintah (baik pusat maupun provinsi) terhadap kerjasama antar daerah yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dukungan dapat berupa bantuan pendanaan maupun penyediaan aturan perundangan sebagai dasar hukum untuk melakukan kerjasama antar daerah.

(37)

Tabel 2 Nama Lembaga dan Pola Kerjasama Antar Daerah di Indonesia No. Format

Kelembagaan

Nama Lembaga Lingkup Wilayah dan Keanggotaan Daerah

1. BKSAD Jabodetabek Prov. DKI Jakarta; Prov. Jabar meliputi: Kabupaten & Kota Bogor; Kabupaten & Kota Bekasi, Kota Depok; Prov. Banten meliputi: Kabupaten & Kota Tangerang 2. BARLINGMASCAKEB Prov. Jateng meliputi; Kabupaten

Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen

3. Kartamantul Prov. DIY meliputi: Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Bantul 4. Subosukawonosraten Prov. Jateng meliputi: Kota Surakarta,

Kabupaten Boyolali, Sukokarjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten

5. Sampan Prov. Jateng meliputi: Kabupaten Brebes, Kota & Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kota & Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Batang 6. Java Promo Prov. DIY meliputi: Kota Yogyakarta,

Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon

7. Gerbangkertosusilo Prov. Jatim meliputi: Kabupaten Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Kota Surabaya & Mojokerto, Kabupaten Sidoarjo, dan Lamongan

8. Lake Toba Prov. Sumut meliputi: Kabupaten Samosir, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, Dairi, Toba Samosir, dan Humbang Hasundutan.

(38)

Tabel 2. Lanjutan No. Format

Kelembagaan

Nama Lembaga Lingkup Wilayah dan Keanggotaan Daerah

2. Kerjasama Regional dan Sektoral

9. Jonjok Batur Prov. NTB meliputi: Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur

10. Pawonsari Prov. Jatim meliputi Kabupaten Pacitan Prov. Jateng meliputi Kab.Wonogiri Prov. DIY meliputi Kab. Gunung Kidul (Wonosari)

11. Kedungsepur Prov. Jateng meliputi Kabupaten Kendal, Demak, Ungaran (Kab. Semarang), Kota Semarang, dan Purwodadi (Kab. Grobogan)

12. Janhiangbong Prov. Bengkulu meliputi: Kabupaten Kepahiang, Lebong, dan Rejang Lebong 13. Kaukus Setara Kuat Prov. Bengkulu meliputi: Kab. Kaur,

Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara; Bulukumba, Jeneponto, Selayar, dan Sinjai

15. Wanua Mappatuo Prov. Sulsel meliputi: Kab. Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Tana Toraja, Toraja Utara, dan Kota Palopo

16. Pulau Sumbawa Prov. NTB meliputi: Kab.& Kota Bima, Kab.Dompu, Sumbawa, Sumbawa Barat Mangondow dan Minahasa Tenggara. 18. Kawasan Terpadu

Teluk Bone

Prov. Sulsel meliputi: Kabupaten Selayar, Bulukumba, Sinjai, Bone, Wajo, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo

Prov. Sulrameliputi: Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka, Bombana, Buton, Muna, dan Utara, Timor Tengah Selatan, Belu, dan Rotendau

(39)

Meskipun tidak semua pemerintah kabupaten/kota di Indonesia telah membentuk kerjasama diantara mereka. Namun, fakta menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kota yang telah melakukan kerjasama antar daerah jumlahnya cukup banyak dengan sebaran yang hampir merata di setiap provinsi di Indonesia. Namun, dari berbagai studi yang telah dilakukan, meskipun sudah terdapat banyak lembaga kerjasama, tetapi pelaksanaan fungsi dari forum-forum kerjasama antar daerah tersebut masih jauh dari ideal (Sukmajati, Bayu Dardias Kurniadi, dan Arie Ruhyanto, dalam Pratikno, 2007). Hasil kajian yang dilakukan oleh Direktorat Dekonsentrasi dan Kerjasama Kementerian Dalam Negeri (2011) mengungkapkan bahwa kurang optimalnya kinerja lembaga kerjasama antar daerah disebabkan karena beberapa kelemahan yaitu (1) kurangnya dukungan dari pemerintah pusat yaitu tidak adanya koordinasi, komunikasi dan kerjasama lintas sektoral di tingkat pusat, (2) peran pemerintah provinsi dalam mendukung kerjasama antar daerah kabupaten kota masih rendah, (3) banyaknya kesepakatan kerjasama yang tidak ditindaklanjuti atau mengalami stagnasi karena minimnya komitmen pimpinan daerah atau karena tingginya ego daerah, (4) terbatasnya kapasitas personal pengelola kerjasama antar daerah yang berasal dari PNS karena terkendala dengan tupoksi utamanya, (5) partisipasi masyarakat yang rendah, dan (6) tidak jelasnya regulasi keuangan kerjasama antar daerah terkait pos penganggaran dan peraturan pengelolaan keuangan.

(40)

tapi untuk mengefektifkan dan meningkatkan kapabilitas penyelenggaraan pemerintahan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lembaga ini belum menunjukkan prestasinya. Dalam banyak hal lembaga ini tidak mendasarkan pada problem riil yang mereka hadapi kemudian membuat semacam aksi kolektif yang berdampak sosial ekonomi pada masyarakat (Pratikno, 2007)

Faozan (2002) mengidentifikasi beberapa faktor penyebab belum optimalnya kerjasama antar pemerintah daerah karena motif awal pembentukannya memang sudah menyimpang, diantaranya yaitu yaitu:

1. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah seringkali hanya merupakan media formalitas, bukan karena keinginan untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kolaborasi yang dibangun.

2. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah kerapkali dibentuk hanya dikarenakan adanya tekanan dari suatu kebijakan yang biasanya disusun oleh instansi pusat atau yang lebih tinggi, yang pada umumnya validitas dan reliabilitasnya layak dipertanyakan.

3. Kolaborasi kerap diperkeruh oleh oknum-oknum pimpinan instansi pemerintah, perancang atau pengusul kebijakan tersebut sebagai lahan added salary tanpa mempertimbangkan berbagai faktor sensitif yang berkembang.

Dalam konteks ini menjadi penting untuk melihat bagaimana prinsip-prinsip dasar pengelolaan kerjasama antar daerah, format kelembagaan seperti bentuk kerjasama, pengelolaan kerjasama, struktur organisasi, sumber pendanaan dan kerangka regulasi yang ideal yang memungkinkan sebuah forum atau lembaga kerjasama antar daerah dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Atas dasar hal tersebut, dengan mengambil kasus pada lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB, penelitian ini tertarik untuk mengkaji bagaimana kinerja suatu lembaga kerjasama antar daerah dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.

1.2.Perumusan Masalah

(41)

Banyumas, Cilacap, dan Kebumen. Ke lima kabupaten tersebut berada di Provinsi Jawa Tengah.

Pembentukan lembaga kerjasama antar daerah ini lebih dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi berupa kecilnya skala perekonomian daerah. Kecilnya skala perekonomian daerah tercermin dari kecilnya pertumbuhan ekonomi daerah serta kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) yang mampu digali oleh pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan serta seperti terlihat pada tabel dan grafik berikut.

Tabel 3 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen Tahun 1999 – 2003

Tahun Persentase Pertumbuhan Ekonomi

Banjarnegara Pubalingga Banyumas Cilacap Kebumen

1999 0.17 1.10 0.53 3.76 3.62

2000 - - - - -

2001 -0.11 2.96 2.22 4.88 0.94

2002 0.95 3.23 3.27 8.98 3.24

2003 2.94 4.46 4.78 6.56 3.70

Rata-Rata

Pertumbuhan 0.99 2.94 2.70 6.05 2.88

Sumber: Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen dalam angka 1999 – 2003.

(42)

0,00

Gambar 1 Perkembangan Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB.

Dari gambar di atas terlihat bahwa besaran nilai PAD terhadap APBD di kelima kabupaten sebelum adanya lembaga kerjasama antar daerah rata-rata di bawah 10 persen, kecuali untuk Kabupaten Cilacap pada tahun 2002. Hal ini berarti program pembangunan yang dijalankan di setiap kabupaten lebih mengandalkan alokasi tranfer dana dari pusat ke daerah.

(43)

Pembentukan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dilakukan dengan maksud untuk: (1) Mewujudkan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan antar daerah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya pembangunan; (2) Sinkronisasi dalam penyusunan peraturan daerah untuk mengurangi hambatan birokrasi dalam kegiatan ekonomi dan investasi; (3) Menghindari persaingan yang tidak sehat antar daerah; (4) Memperkuat posisi tawar dan meningkatkan daya saing daerah agar mampu mengakses pasar nasional dan internasional dalam era globalisasi ekonomi; (5) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas promosi daerah; dan (6) Membangun kemitraan antar daerah dan antara pemerintah kabupaten dengan provinsi.

Dalam rangka untuk mewujudkan tujuan di atas lembaga kerjasama antar daerah ini memfokuskan kegiatan kerjasama pada tiga aktivitas, yaitu; (1) melakukan perdagangan (trade) produk pertanian, (2) memfasilitasi masuknya investasi (invesment); dan (3) melakukan pengembangan pariwisata regional (regional tourism).

1. Kegiatan Perdagangan (Trade)

Aktivitas perdagangan dilakukan dengan menyelenggarakan pasar lelang komoditi agro. Penyelenggaraan pasar lelang dilakukan dengan sistem

forward (penyerahan kemudian), dimana para penjual cukup membawa contoh/sampel yang dilengkapi dengan spesifikasi dari komoditas yang akan dijual. Setelah terjadi transaksi pihak pembeli membayar pada saat penerimaan barang dengan harga yang telah disepakati dalam pasar lelang tersebut. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 telah diselenggarakan kegiatan pasar lelang komoditi agro sebanyak 17 kali dengan nilai transaksi sebagai berikut.

(44)

2,45

Gambar 2 Transaksi Pasar Lelang BARLINGMASCAKEB Tahun 2004 – 2009.

Kegiatan pasar lelang diselenggarakan pertama kali pada tahun 2004 sebanyak enam kali. Pada tahun 2005 kegiatan pasar lelang diselenggarakan satu kali, tahun 2006 diselenggarakan dua kali, pada tahun 2007 sebanyak dua kali, tahun 2008 diselenggarakan sebanyak tiga kali, dan pada tahun 2009 pasar lelang diselenggarakan sebanyak tiga kali. Dari kegiatan pasar lelang tersebut, secara umum besarnya transaksi yang dihasilkan dapat dikatakan mengalami peningkatan, namun peningkatannya bersifat fluktuatif.

(45)

2. Kegiatan Fasilitasi Investasi (Invesment)

Kegiatan peningkatan investasi dilakukan dengan memfasilitasi hadirnya para investor dari luar daerah agar bersedia menanamkan modalnya di wilayah BARLINGMASCAKEB. Beberapa investor yang telah dicoba untuk dijajagi agar menanamkan investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB antara lain:

Tabel 4 Inisiasi Kegiatan Investasi di BARLINGMASCAKEB

No. Jenis Kegiatan Lokasi Asal Investor

1. Penanaman Jagung Jenis Unggul

Cilacap Amerika Serikat

2. Pabrik Pupuk Organik Purbalingga Canada 3. Pabrik Pengolahan Nanas Banjarnegara Belanda 4. Pabrik Minyak Atsiri Banyumas China 5. Wisata Agro

”Serang-Kutabawa”

Purbalingga Nasional

6. Kawasan Industri ”Sokaraja” Banyumas Nasional

7. Ritel ”Carrefour” Banyumas Nasional

Sumber: RM BARLINGMASCAKEB, 2009.

Dari kegiatan fasilitasi masuknya investor, belum ada satupun realisasi investasi yang masuk. Permasalahan ini muncul karena kurangnya selektivitas calon investor yang digandeng untuk menanamkan investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB. Diantaranya; (1) beberapa investor yang akan menanamkan investasi masih diragukan kemampuannya dalam bidang finansial, karena mereka mensyaratkan disediakannya dana pendamping oleh pemerintah kabupaten, (2) beberapa investor dianggap kurang tepat untuk berinvestasi di wilayah BARLINGMASCAKEB, seperti calon investor pada tanaman jagung dan pabrik pengolahan nanas yang membutuhkan lahan lebih dari 100 ribu Ha, sehingga pemerintah daerah menjadi kesulitan untuk menyediakan lahannya.

3. Kegiatan Pengembangan Pariwisata Regional (Regional Tourism)

(46)

negara dengan mendatangkan wisatawan dari Belanda, Korea, Jepang, dan New Zealand untuk mengunjungi obyek-obyek wisata di kawasan BARLINGMASCAKEB, seperti; wisata alam Gua Jatijajar dan Pantai Petanahan di Kabupaten Kebumen; wisata alam Pantai Teluk Penyu dan Benteng Pendem di Kabupaten Cilacap; wisata alam Pemandian Air Panas Baturaden di Kabupaten Banyumas; wisata buatan “wisata air Owabong” di Kabupaten Purbalingga; dan wisata alam Arung Jeram di Kabupaten Banjarnegara.

Pada kegiatan pengembangan pariwisata regional, kegiatannya baru sebatas mempromosikan obyek wisata di wilayah BARLINGMASCAKEB dengan cara mendatangkan wisatawan. Pada tahap awal kegiatan ini memang cukup baik untuk mengenalkan potensi wisata wilayah, namun kegiatan ini belum bisa memberikan dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat.

Dari berbagai aktivitas yang telah dilakukan oleh lembaga kerjasama BARLINGMASCAKEB di atas, telah cukup memberikan gambaran adanya usaha untuk memanfaatkan secara bersama potensi ekonomi dari masing-masing daerah anggota untuk mengembangkan ekonomi wilayah. Namun demikian, berbagai aktivitas tersebut belum cukup menjadi daya ungkit bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dari deskripsi di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Faktor apa yang mendorong terbentuknya kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB?

2. Bagaimana kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB? 3. Apakah pembentukan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB

merupakan pilihan tepat bagi penguatan skala ekonomi daerah?

(47)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong terbentuknya kerjasama a n t a r daerah BARLINGMASCAKEB.

2. Mengevaluasi kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB.

3. Menganalisis kebijakan pembentukan kerjasama antar daerah sebagai strategi penguatan skala ekonomi daerah.

4. Merumuskan format kelembagaan yang tepat bagi lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Memberikan masukan kepada lembaga kerjasama antar daerah

BARLINGMASCAKEB dalam meningkatkan kinerjanya agar mampu memberikan kontribusi bagi pembangnan daerah

2. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah yang tergabung dalam lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB untuk lebih memberdayakan lembaga kerjasama tersebut sehingga mampu mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.

3. Memperkaya pengembangan teoritis berkenaan dengan pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam kajian mengenai kerjasama antar daerah.

1.5Kebaharuan Penelitian (Novelty)

Nilai kebaruan (Novelty) dari penelitian mencakup dua hal yaitu berkenaan dengan pemilihan topik dan hasil penelitian.

(48)
(49)

2.1. Kerjasama Antar Daerah

Kerjasama antar daerah adalah suatu kerangka hubungan kerja yang dilakukan oleh dua daerah atau lebih, dalam posisi yang setingkat dan seimbang untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat (Pamudji, 1985). Sedangkan Patterson(2008) dalam Warsono (2009: 118) mendefinisikan kerjasama antar daerah (intergovernmental cooperation) sebagai ”an arrangement two or more goverments for accomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem”. Dari definisi tersebut tercermin adanya kepentingan bersama yang mendorong dua atau lebih pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan bersama atau memecahkan masalah secara bersama-sama.

Ada dua motivasi utama mengapa kerjasama antar daerah menjadi penting untuk dilakukan. Pertama, untuk menghindari terjadinya eksternalitas, berupa kemungkinan adanya pembangunan yang pesat di suatu daerah tetapi berdampak negatif bagi daerah yang lain. Kedua, adanya keinginan untuk memecahkan masalah secara bersama dan mewujudkan tujuan bersama pada bidang-bidang tertentu. Motivasi kedua ini biasanya didasarkan pada kesadaran bahwa masing-masing daerah memiliki keterbatasan sumberdaya pembangunan baik alam maupun manusia. Oleh karena itu, dengan bekerjasama masing-masing daerah akan saling mendapat keuntungan apabila mereka saling memanfaatkan dan mengembangkan potensi mereka secara bersama.

2.2. Teori Kerjasama Antar Daerah

2.2.1. Teori Model Kemitraan Antar Pemerintah Daerah

(50)

publik dengan biaya yang murah, sedangkan lainnya tidak. Penduduk dan pengusaha yang tinggal di kota dengan pelayanan yang prima tidak terdorong untuk keluar dari kota tersebut. Sebaliknya, mereka yang tinggal di kota-kota yang tidak dapat memuaskan pelayanan publik cenderung untuk bermigrasi ke kota-kota lain. Karena persaingan antar pemerintah kota untuk menghasilkan

outcomes yang paling efisien, maka penduduk dan pengusaha akan memilih tinggal di kota-kota yang pelayanan publik dan tarif pajaknya paling cocok dengan preferensi mereka. Bahkan dapat dimungkinkan pula terjadinya pembentukan kota-kota baru akibat buruknya pelayanan.

Berbeda dengan model kompetisi, model regionalisme menyatakan bahwa kerjasama antar pemerintahan lokal dapat tercipta jika mereka mengakui rasa saling tergantung (interdependency) dan bertindak dalam koridor yang terkoordinasi. Para teoritisi administrasi publik tradisional menyatakan bahwa beberapa pemerintahan kota yang bekerjasama menghasilkan skala ekonomi yang menguntungkan, perlakuan warga negara yang lebih adil, dan peluang-peluang yang lebih besar untuk mengatasi beberapa persoalan penting (Lyons, Lowery, dan DeHoog, 1992).

Model regionalisme mengasumsikan bahwa setiap pemerintahan lokal memiliki keterbatasan sumberdaya, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan maupun sumberdaya sosial. Oleh karena itu, agar pemerintah lokal dapat berkembang maka antar pemerintah lokal diharapkan dapat saling bekerjasama. Konsep pembentukan regionalisme seperti ini identik dengan konsep perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pilar dari perencanaan pembanguna wilayah adalah bahwa dalam membangun suatu wilayah harus memperhatikan aspek tata ruang/spasial (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju, 2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa perkembangan suatu wilayah lebih dipengaruhi oleh wilayah di sebelahnya atau wilayah yang lebih dekat dibandingkan dengan wilayah lainnya yang lebih berjauhan akibat adanya interaksi sosial-ekonomi antar penduduknya.

(51)

ilmu wilayah, pengertian jarak tidak selalu berkonotasi fisik, tetapi lebih tepat jika diungkapkan sebagai tingkat aksesibilitas yang dapat diukur melalui pendekatan waktu tempuh, biaya perjalanan dan sebagainya. Secara alami, “kedekatan psikologis” hubungan antar manusia tidak hanya ditentukan oleh jarak yang memisahkannya, namun “posisi relatif” antar keduanya, akan menentukan pola interaksi dan komunikasi antar keduanya. Sebagai contoh, secara psikologis komunikasi dua orang yang duduk bersebelahan, berhadapan, dan saling membelakangi akan memiliki nilai yang berbeda (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju, 2007). Sejalan dengan konsep tersebut, model regionalisme mensyaratkan, meskipun dua atau lebih pemerintahan lokal secara geografis saling berdekatan, namun agar tetap terjalin hubungan komunikasi yang baik dan saling menguntungkan maka diantara mereka hendahnya saling menjalin hubungan kerjasama.

Dalam perspektif Good Governance, kemitraan merupakan ciri utama dari model baru tata pemerintahan lokal (a new model of local governance) yang mencakup penciptaan dan pencerminan perubahan hubungan yang melibatkan tiga komponen, yaitu negara, pasar dan masyarakat sipil (Southern, 2002). Dalam situasi dimana pemerintah (negara) mengalami kesulitan finansial, kombinasi tiga komponen atau multistakeholders tersebut dapat menciptakan perpaduan ketrampilan dan sumberdaya. Hal ini tidak saja penting, tetapi juga bermanfaat untuk meningkatkan pemberian dan kualitas layanan dengan cara-cara yang lebih efisien dan efektif (Slater, 2001).

2.2.2. Game Theory

(52)

sesama pemain. Intinya, teori ini menyediakan pendekatan permodelan formal terhadap situasi sosial mengenai bagaimana pelaku keputusan berinteraksi dengan agen lain. Teori permainan dapat menjelaskan suatu paradoks yang cukup terkenal, yakni bagaimana orang bisa bekerjasama dalam masyarakat apabila masing-masing dari mereka cenderung berusaha untuk menjadi pemenang.

John Nash menunjukkan perbedaan antara permainan kooperatif, dimana masing-masing pemain saling bekerjasama secara terikat, dan permainan non-kooperatif, dimana tidak ada kekuatan dari luar permainan yang dapat memaksakan berlakunya sekumpulan peraturan yang sudah ditentukan sebelumnya. Dalam teori permainan, setiap pemain berusaha untuk mencapai suatu kesetimbangan (equilibrium) yang disebut sebagai Kesetimbangan Nash.

Dalam konteks pembangunan wilayah, penerapan teori permainan ini dapat juga dilakukan. Apabila akan membangun suatu wilayah, pilihannya adalah apakah antar pemerintah daerah di wilayah tersebut harus saling bekerjasama atau justru saling bersaing. Apabila pemicu kerjasama telah terbentuk, kondisi kesetimbangan akan dapat terwujud apabila diantara mereka melakukan kerjasama. Sebagai ilustrasi, jika beberapa daerah otonom memiliki keterbatasan sumberdaya ekonomi dan sumber daya manusia (SDM), dan mereka ingin mengembangkan ekonomi wilayahnya, maka jika mereka menerapkan permainan non kooperatif justru akan saling melemahkan. Namun, jika mereka mau menerapkan permainan kooperatif atau mau saling bekerjasama maka keuntungan akan diperoleh seperti efisiensi biaya dalam mengembangkan potensi sumberdaya ekonomi di masing-masing daerah.

2.2.3. Teori Kemitraan Regional Untuk Pembangunan Ekonomi

(53)

bahwa jika perilaku terkoordinasi tercipta tanpa campur tangan pemerintah pusat untuk mengawasi perilaku tersebut, maka keberadaan norma cenderung bertalian erat dengan perilaku terkoordinasi dan regulasi penanganan konflik.

Ilmuwan lainnya juga menyimpulkan bahwa norma kerjasama sangat penting untuk menggeser perilaku kompetitif menjadi perilaku kooperatif. Sebagai contoh, Ostrom (1998) menyimpulkan bahwa penentu utama kerjasama adalah norma timbal balik (norms of reciprocity) atau kecenderungan para individu untuk bereaksi terhadap tindakan positif yang dilakukan oleh orang lain dengan respon yang positif dan terhadap tindakan negatif dengan respon yang negatif. Di samping itu, Ostrom (1998) juga menyarankan bahwa ada dua cara untuk mengatasi dilema sosial yaitu komunikasi tatap muka (face-to-face communication) antar berbagai pihak dan pembangunan sanksi, aturan dan lembaga yang mendukung dan mempertahankan kerjasama. Hal yang sama dikatakan oleh Axelrod (1997) bahwa mekanisme-mekanisme tertentu mendukung norma dan akhirnya membantu untuk mencapai dan mempertahankan kerjasama diantara kelompok-kelompok besar atau sekumpulan individu atau organisasi. Ilmuwan lain menganggap bahwa norma adalah suatu bentuk kelembagaan. Schotter (1981), mengatakan kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang. Apapun bentuknya, baik formal maupun informal, kelembagaan bertujuan mengurangi ketidakpastian melalui pembentukan struktur/pola interaksi (North, 1990 dalam Hidayat, 2007), atau untuk meningkatkan derajat kepastian dalam interaksi antar individu (Kasper dan Streit, 1998 dalam Hidayat, 2007). Sedangkan menurut Ostrom, (1990) dalam Hidayat, (2007) tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan prilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi prilaku oportunis.

(54)

pembentukan kemitraan regional (lihat Coe, 1992; Huggins, 1992). Selain faktor ekonomi, para ilmuwan politik juga menemukan bahwa kebutuhan-kebutuhan sosial mempengaruhi hasil-hasil kebijakan publik (Peterson, 1981; Dye, 1990). Dengan demikian, faktor kebutuhan merupakan sebuah faktor penentu penting lainnya yang mendorong proses pembentukan kemitraan. Dalam hal ini, faktor kebutuhan dapat dikatakan sebagai faktor pendorong terciptanya kemitraan agar suatu daerah tetap dapat bertahan. Kebutuhan daerah dapat berupa kebutuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta kebutuhan sosial seperti melakukan interaksi antar pejabat, pengusaha dan stakeholders lainnya. Kemampuan interaksi ini akan dapat menambah wawasan pengetahuan terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal lainnya, dan pengetahuan terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal lain dapat dijadikan benchmarking dalam pembuatan kebijakan sejenis di tempat pemerintahan lokal sendiri.

(55)

Sumber: Diadopsi dari Olberding, 2002

Gambar 3 Teori Kemitraan Regional Untuk Pembangunan Ekonomi

Gambar di atas menunjukkan bahwa pengaruh norma kerjasama tidak hanya pada pembentukan hubungan antar pemerintahan lokal atau antar organisasi, tetapi juga terhadap struktur dan proses pembentukannya. Van de Ven (dalam Olberding, 2002) mengindentifikasikan tiga dimensi struktur dalam hubungan antar organisasi: (1) formalisasi melalui kesepakatan atau kontrak; (2) kompleksitas, atau jumlah organisasi yang terlibat dalam kerjasama dan jumlah proyek dan tugas yang dilaksanakan melalui hubungan antar organisasi; dan (3) sentralisasi, atau derajat pembuatan keputusan bersama oleh komite atau dewan. Di samping itu, terdapat dua dimensi proses dalam hubungan antar organisasi: (1) intensitas aliran sumberdaya, atau jumlah sumberdaya yang mengalir diantara

Kebutuhan

Norma-norma kerjasama yang dibangun secara parsial

Pemerintah

Sektor Swasta

Masyarakat Sipil

Kemitraan Regional untuk Pembangunan Ekonomi

Formalisasi

Sentralisasi

Kompleksitas

Intensitas aliran sumberdaya

Intensitas aliran informasi

+

+

_

_

+

+

+

(56)

organisasi; dan (2) intensitas aliran informasi, atau frekuensi komunikasi diantara organisasi.

Terakhir, lingkungan ekonomi dan politik makro juga dapat berperan dalam pembentukan kerjasama regional. Perubahan kebijakan otonomi daerah yang tengah digodok oleh pemerintah maupun kondisi perekonomian di tingkat nasional maupun internasional dapat menjadi faktor pendukung atau bahkan penghambat bagi terciptanya kerjasama regional. Birner dan Wittmer (2003), misalnya, mencatat bahwa lingkungan ekonomi dan politik makro turut menentukan dinamika politik yang terjadi di tingkat lokal.

2.3. Teori Regionalisasi

Kata region (dalam bhs.Latin: regio) terbentuk dari kata latin rege

yang berarti tata pemerintahan, yang menunjuk pada batasan geografis yang terdiri dari beberapa ruang administratif tertentu. Sedangkan regionalisasi terbentuk dari kata dasar regio(n) dan kemudian menjadi regional sebagai kata sifat yang berarti kewilayahan. Kata regional diartikan sebagai sifat kewilayahan yang melibatkan beberapa area administratif, baik sebagian ataupun menyeluruh, dan imbuhan-isasi (pada kata regionalisasi) menunjukkan suatu proses pembentukannya. Dengan demikian, regionalisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses terbentuknya suatu region yang terdiri dari beberapa daerah administratif dan secara keruangan memiliki relevansi/keterkaitan geografis (Abdurahman, 2009). Dari pengertian ini terlihat bahwa region merupakan produk dari sebuah proses regionalisasi. Proses yang tidak hanya menitikberatkan aspek teknis kewilayahan namun juga mempertimbangkan aspek batasan administratif (politik-administratif).

(57)

pembentukan region yang melibatkan beberapa daerah otonom, khususnya kabupaten/kota, baik di dalam satu provinsi maupun antar provinsi.

Di Indonesia, hasil regionalisasi yang merupakan tindak lanjut dari kegiatan pewilayahan sangat dipengaruhi oleh penggunaan paradigma yang mendominasi pembentukannya. Ada dua paradigma yang biasa digunakan dalam melakukan proses regionalisasi, yaitu paradigma sentralistik dan desentralistik. Menurut Abdurahman (2009), pada pemanfaatan paradigma sentralistik, regionalisasi dapat digambarkan sebagai proses terbentuknya suatu pewilayahan yang terdiri dari beberapa daerah administratif yang memiliki relevansi pada aspek geografis atas perintah (ex mandato) struktur hirarkis yang berwenang. Proses regionalisasi yang didominasi oleh pola sentralistik disebut regionalisasi-sentralistik atau sruktural-administratif. Hasil dari regionalisasi regionalisasi-sentralistik ini adalah terbentuknya daerah-daerah eks karesidenan di Pulau Jawa, provinsi, kota, dan kabupaten. Sedangkan regionalisasi dengan paradigma desentralistik dapat diartikan sebagai proses pewilayahan yang ditandai dengan platform kerja sama oleh para aktor regional antara daerah otonom yang bertetangga (memiliki relevansi keruangan) berdasarkan kebersamaan dan kepentingan pembangunan tertentu serta atas dasar kehendak sendiri (ex mera motu). Proses regionalisasi yang didominasi oleh pengaruh pola desentralistik biasa disebut regionalisasi-desentralistik atau nonstruktural-administratif. Hasil dari regionalisasi ini adalah pembentukan beberapa lembaga kerjasama antar daerah seperti BARLINGMASCAKEB, Subosukawonosraten, Sampan, dan lain-lain.

(58)

Tabel 5 Perbedaan Proses Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik

Regionalisasi sentralistik sebagai produk dari pewilayahan, implementasinya relatif mudah dan sederhana karena dalam proses pengambilan keputusannya tidak menitikberatkan pertimbangan pada aspek keterlibatan daerah terkait. Dengan kewenangnan yang bersifat direktif-koordinatif, lembaga pemerintahan yang lebih tinggi memiliki kewenangan utama dalam pembentukan regionalisasi sentralistik. Kewenangan tersebut dapat berupa pembuatan kebijakan berupa produk hukum, seperti peraturan pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lainnya. Sementara koordinasi pelaksanaan dari peraturan tersebut dilakukan secara direktif (bersifat struktural-hirarkhis) oleh lembaga pemerintah yang lebih tinggi sedangkan lembaga pemerintah yang lebih rendah hanya bersifat afirmatif (Abdurahman, 2009).

(59)

dan konsensus bersama antar pemimpin daerah otonom yang terlibat. Diantara mereka harus dibangun komunikasi yang mutualistik melalui asas musyawarah secara terus menerus. Kendala biasanya akan muncul ketika terjadi pergantian kepala daerah. Karena mereka tidak terlibat dalam proses pembentukan kerjasama sejak awal biasanya komitmennya terhadap keberlangsungan kerja sama tersebut tidak sekuat pejabat yang digantikannnya.

2.4. Teori Tindakan Kolektif

Teori tindakan kolektif pertama kali dikembangkan oleh Mancur Olson (2001). Teori ini mengupas mengenai aktivitas berbagai kelompok kepentingan (interest group) dalam mengelola sumberdaya bersama (common risources). Teori ini dikembangkan dalam rangka untuk mengatasi munculnya penunggang bebas (free-riders) dalam pengelolaan sumberdaya bersama. Teori ini sudah mapan digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang bersingggungan dengan masalah pengelolaan sumberdaya bersama. Dimasa lalu, penyelesaiaan atas solusi ini dilakukan dngan cara memformulasikan dan menegakkan hak kepemilikan (property right). Tetapi dalam studi yang lebih baru, kesepakatan kelembagaan lokal (local institutional arrangements), dapat dipakai untuk mengatasi persoalan pengelolaan sumberdaya secara efisien (Yustika, 2008).

(60)

berpengaruh terhadap efektivitas tindakan kolektif. Tujuan kelompok harus dibuat secara fokus dengan memperhatikan kepentingan semua anggota. Tujuan kelompok yang luas, disamping kabur juga akan memecah kesatuan antar anggota sehingga dukungan terhadap tindakan kolektif menjadi lemah.

Dari beberapa tindakan kolektif yang dilakukan, terdapat beberapa situasi yang membutuhkan tindakan kolektif untuk menyelesaikan persoalan (Heckarthorn, 1993). Pertama, sistem untuk mengelola sumberdaya bersama (common-pool resources), seperti perikanan, sumberdaya air yang dikelola melalui sistem irigasi atau padang rumput. Kedua, sistem untuk mengontrol perilaku (controlling behavior), misal norma-norma sosial yang melarang eksploitasi atau perilaku merusak. Ketiga, perubahan-perubahan sosial semacam revolusi atau perubahan perlahan dalam kebijakan publik. Ketiga situasi tersebut mempersyaratkan adanya tindakan kolektif agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Bahkan lebih dari itu tindakan kolektif menjadi krusial sebagai instrumen untuk mencegah konflik dan kemungkinan dieksploitasinya salah satu atau beberapa pihak dalam kegiatan tersebut. Hal ini menjadi argumentasi penting perlunya kehadiran tindakan kolektif dalam pemecahan masalah kegiatan ekonomi (Yustika, 2008).

(61)

Berkaitan dengan masalah penunggang bebas (free-riders), tindakan kolektif bisa menjadi salah satu cara untuk menyelesaiakan masalah ini, tetapi dapat pula bahwa tindakan kolektif justru menjadi sumber munculnya penunggang bebas (Yustika, 2008). Dalam proposisi yang pertama, mereka yang dirugikan dari keberadaan free-riders akan menggalang kekuatan yang berujung pada tindakan kolektif, misalnya melakukan eksklusi terhadap penunggang bebas tersebut. Sedangkan dalam proposisi kedua, tindakan kolektif yang didesain secara kurang lengkap besar peluangnya untuk menciptakan free-riders baru, misalnya ketidakjelasan aturan main tentang hukuman dan insentif. Kedua kemungkinan skenario tentang free-riders itu sangat mungkin terjadi sehingga desain tindakan kolektif memang mesti dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan banyak aspek, seperti ukuran, homogenitas dan tujuan kelompok.

Gambar

Tabel 1  Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran di
Tabel 2   Nama Lembaga  dan Pola Kerjasama Antar Daerah di Indonesia
Tabel 2. Lanjutan
Gambar 2  Transaksi Pasar Lelang BARLINGMASCAKEB Tahun 2004 – 2009.
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan demikian, penerapan model discovery learning untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sifat fisik tanah, telah memberikan dampak positif terhadap proses

[r]

Pemerintah kolonial Belanda, dalam hal ini gubernur jenderal, tetap bersikukuh bahwa satu-satunya cara untuk mengubah kondisi kampung-kampung yang tidak beraturan,

Oktober 2015, dan disampaikan kepada Pokja 1 Unit Layanan Pengadaan Kabupaten Jayapura secara manual dengan. tembusan disampaikan Kepada Dinas Pekerjaan Umum dan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa setelah penelitian pada kelompok kontrol sebanyak 16 responden yang mengalami gangguan kualitas tidur dalam kategori

Dalam skema Kerangka dan Elemen Penting Bagi Perkembangan Sistem Inovasi Daerah seperti digambarkan pada sub bab 2.1.2. di atas, tidak terlihat secara eksplisit posisi PI UMKM.

Organisasi informal adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang telibat pada suatu. aktifitas serta tujuan bersama yang