PERBEDAAN TEKANAN DARAH SISTOLIK DAN DIASTOLIK SETELAH GILIR JAGA MALAM PADA MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
Oleh
TIFFANY SAQFILIA PRAMESWARI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PERBEDAAN TEKANAN DARAH SISTOLIK DAN DIASTOLIK SETELAH GILIR JAGA MALAM PADA MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK DI RSUD. DR. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
Oleh
TIFFANY SAQFILIA PRAMESWARI
Kerja gilir adalah periode waktu kerja dimana suatu pekerja dijadwalkan bekerja secara bergiliran dalam waktu 24 jam. Dampak positifnya adalah memaksimalkan sumber daya yang ada, memberikan lingkungan kerja yang sepi khususnya kerja gilir malam dan memberikan waktu libur yang banyak. Sedangkan dampak negatifnya adalah penurunan kinerja, keselamatan kerja dan masalah kesehatan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Desain penelitian menggunakan metode analitik-komparatif dengan pendekatan cross sectional. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari 2013. Sampel penelitian berjumlah 40 orang yang gilir jaga malam yang ditentukan menggunakan metode rumus Sopiyudin Dahlan.
Dari hasil penelitian diperoleh tekanan darah sistolik sebelum gilir jaga malam memiliki nilai rata-rata 114,375 mmHg dan tekanan darah sistolik sesudah gilir jaga malam memiliki nilai rata-rata 119,625 mmHg. Tekanan darah diastolik sebelum gilir jaga malam memiliki nilai rata-rata 73,25 mmHg dan tekanan darah diastolik sesudah gilir jaga malam memiliki nilai rata-rata 76,875 mmHg. Terdapat perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik antara sesudah gilir jaga malam dengan sebelum gilir jaga malam. Perbedaan selisih rerata tekanan darah sistolik dan diastolik tersebut sebesar 5,25 mmHg dan 3,625 mmHg. Hasil uji analisis statistik t-berpasangan didapatkan a = 0,000 dan a = 0,002. Sehingga dapat dikatakan perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik tersebut bermakna secara statistik.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR GAMBAR ... iii
DAFTAR TABEL ... iv
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Kerangka Teori ... 5
F. Kerangka Konsep ... 7
G. Hipotesis ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerja Gilir ... 8
a. Pengertian Kerja Gilir ... 8
b. Dampak Kerja Gilir ... 11
c. Hubungan Kerja Gilir dengan Kesehatan ... 12
B. Tekanan Darah ... 15
a. Cara Pengukuran Tekanan Darah ... 17
b. Pengaruh Tidur terhadap Tekanan Darah ... 18
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21
C. Populasi dan Sampel ... 21
D. Variabel Penelitian ... 23
E. Definisi Operasional ... 24
F. Metode Pengumpulan Data ... 24
G. Prosedur Penelitian ... 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ... 27 B. Pembahasan ... 30 C. Keterbatasan Penelitian ... 44
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 46 B. Saran ... 47
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persaingan ketat dibidang kualitas semua instansi berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas instansi mereka. Salah satu cara yang dilakukan
adalah dengan memberlakukan gilir malam sehingga waktu kerja dapat diperpanjang dan memberikan hasil yang optimal. Setidaknya 20 juta pekerja
di Amerika bekerja diluar jam kerja normal. Dua juta orang diantaranya bekerja pada malam hari dan sekitar tiga juta pekerja merupakan pegilir malam termasuk pada malam hari (Sofrina, 2004).
Ada beberapa faktor yang dapat dipengaruhi oleh gilir malam dibandingkan
dengan kerja pada jam normal, yaitu gangguan pada irama sirkadian dan gangguan tidur. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya,
menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat
kewaspadaan pada perawat gilir malam sebesar 71,1 %. Adanya perubahan
waktu gilir malam tersebut akan mengakibatkan beban tambahan bagi pekerja karena tubuh harus beradaptasi dengan adanya perubahan tersebut. Selain itu
interaksi sosial juga terganggu. Semua keadaan di atas pada akhirnya berperan penting dalam timbulnya kondisi stres (Kroemer, 2000).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Darliah, Handoyo, dan Asti tahun 2007 menyebutkan bahwa stres yang timbul dari tuntutan pekerjaan dan hubungan
kepuasan kerja terhadap suatu pekerjaan akan terpapar stres yang dapat meningkatkan tekanan darah sepintas dan hipertensi dini cenderung reaktif.
Berdasarkan buku Panduan Penyelenggaraan Program Sarjana Kedokteran Universitas Lampung 2010, mahasiswa kepaniteraan klinik adalah mahasiswa
yang dinyatakan telah menyelesaikan dan lulus dari program sarjana kedokteran dan diwajibkan mengikuti setiap kegiatan kepaniteraan klinik yang telah ditentukan.
Universitas lampung, merupakan universitas negeri di Lampung yang
memiliki mahasiswa kepaniteraan klinik dengan kegiatan kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan memiliki waktu gilir jaga malam dan jaga tidak gilir cukup banyak. Mahasiswa kepaniteraan klinik
di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung terbagi menjadi 3 kelompok jaga gilir yaitu gilir pagi siang (07.00-14.00), gilir siang malam
gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung termasuk dalam gilir jaga malam putaran cepat.
Mahasiswa kepaniteraan klinik pada gilir jaga malam memiliki waktu kerja yang melebihi dari waktu kerja normal yaitu 8 jam. Hasil survey pendahuluan
yang dilakukan kepada beberapa mahasiswa kepaniteraan klinik gilir jaga malam, mereka menyatakan bahwa gilir jaga malam membuat mereka mengalami perubahan jam tidur, stres, dan tidak dapat mengontrol makanan
pada malam hari. Perubahan ini berdampak pada pengukuran-pengukuran suhu badan, nadi, tekanan darah, dan lain dari orang yang gilir jaga malam,
daripada orang yang tidak gilir jaga malam.
Hal ini penting untuk meningkatkan optimalisasi pekerjaan dan meminimalisi risiko pekerjaan yang timbul di kemudian hari, seperti hipertensi. Peneliti mencoba meneliti aspek kesehatan atau resiko kesehatan yang ditimbulkan
akibat gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah “Apakah terdapat perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui adakah perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi rata-rata tekanan darah sistolik sebelum gilir jaga
malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
b. Mengetahui distribusi rata-rata tekanan darah sistolik setelah gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
c. Mengetahui distribusi rata-rata tekanan darah diastolik sebelum gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
d. Mengetahui distribusi rata-rata tekanan darah diastolik setelah gilir jaga setelah pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang akan dilakukan adalah : 1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa
informasi mengenai perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga malam.
2. Bagi Dinas Kesehatan dan jaringannya
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan berbasis bukti ilmiah yang digunakan sebagai salah satu upaya untuk menurunkan resiko
peningkatan tekanan darah pada mahasiswa kepaniteraan klinik gilir malam di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
3. Bagi Responden
Hasil penelitian dapat memberikan gambaran secara umum tentang dampak gilir malam terhadap tekanan darah sistolik dan diastolik pada
kesehatan.
E. Kerangka Teori
Faktor-faktor kesehatan yang dipengaruhi oleh gilir malam adalah gangguan irama sirkadian dan terjadinya perubahan perilaku, serta adanya perubahan kehidupan sosial pekerja. Perubahan irama sirkadian akan menyebabkan
terjadinya gangguan tidur. Selain itu akan terjadi perubahan ritme organ-organ di dalam tubuh. Hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya waktu
menjadi sakit. Pada orang-orang tertentu, apabila hal ini terjadi secara terus
menerus dapat menimbulkan stres. Stres dapat menimbulkan perubahan perilaku, yang nantinya akan menimbulkan penyakit, termasuk didalamnya
peningkatan tekanan darah (Tjita, 2002). Salah satu penyebab peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi adalah stres. Stres merupakan suatu
tekanan fisik maupun psikis yang tidak menyenangkan. Stres dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat, sehingga tekanan darah akan
[image:12.595.196.437.351.695.2]meningkat (Gunawan, 2001).
Gambar 1. Kerangka Teori (Gunawan 2001 dan Tjita, 2002)
Gilir malam
Gangguan Irama Sirkardian
Gangguan tidur Disinkronisasi organ tubuh
Stres
Adrenalin
Denyut Jantung
F. Kerangka Konsep
Dari kerangka teori diatas menunjukan bahwa tekanan darah dapat dipengaruhi oleh kurangnya tidur malam. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk mengambil responden mahasiswa kepaniteraan klinik gilir malam karena mahasiswa kepaniteraan klinik gilir malam memiliki waktu tidur
malam yang lebih sedikit. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat kerangka konsep sebagai berikut :
Variabel Independent Variabel Dependent
= memperbedaani
Variable Confounding = perancu
G. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah: Ada perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Gilir Jaga Malam Dan Gilir Jaga Siang
Aktivitas Fisik
Asupan makanan
Saat sedang gilir jaga
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma bronkial merupakan masalah kesehatan yang serius pada ibu hamil dan pada saat persalinan. Asma bronkial adalah sindroma yang kompleks dengan berbagai tipe klinis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh faktor genetik ataupun faktor lingkungan (virus, alergen maupun paparan bahan
kerja). Pada asma bronkial terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini akan menyebabkan
gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis
[image:14.595.230.429.546.700.2]pada tingkat lanjut.
B. Prevalensi
Di Indonesia, prevalensi asma sekitar 5 - 6 % dari populasi. Prevalensi
asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.
C. Sistem Pernafasan Selama Kehamilan
Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik.
Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus.
Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas
sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 %. Peningkatan volume
tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida.
Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah
pertengahan kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu fungsional, yang merupakan volume udara yang
Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan
pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH
darah tidak mengalami perubahan.
Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 – 103,5 selama kehamilan. Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi
diafragma sekitar 4 cm dan peningkatan diameter tranversal dada maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubahan ini menyebabkan perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal
yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan.
Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh
peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan mungkin
tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal distress dapat terjadi.
D. Pengaruh Perubahan Hormonal Selama Kehamilan
Perubahan-perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan
sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron
selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keadaan tidak hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai temuan klinis yang terbuka diperdebatkan.
Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh terhadap
asma selama kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol.
Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar total kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi
dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam
Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai
adanya peningkatan kadar matabolit prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama
persalinan.
Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase
(diaminoksidase) dalam jumlah besar mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang
ditimbulkannya.
E. Patofisiologi
Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh
spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi
(hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat
lanjut.
Ciri patofisiologi asma adalah inflamasi kronis and hiperaktif bronkial
saluran pernapasan yang radang termasuk T sel aktif, terdiri dari yang terbesar adalah eosinofil dan limfosit TH2. Karena alasan inilah, agen
anti-inflamasi merupakan hal pokok dalam pengawasan asma persisten. Walaupun kortikosteroid mengurangi produksi sitokin dan chemokines pada pasien asma atau dengan rhinitis dan alur pengobatan utama untuk banyak pasien, leukotriene modifiers and antagonis juga bersifat anti-inflamasi. Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permukaan sel mast paru, yang akan diikuti dengan
pelepasan berbagai mediator kimia untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler bronkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan
reaksi peradangan dengan bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leukotrien juga meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme transpor mukosilia.
Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi tampaknya diperantarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi ketidak seimbangan antara tonus simpatis dan parasimpatis. Saraf
Patofisiologi asma yang terbaru berbicara mengenai konsep inflamasi saluran pernapasan mutakhir dan strategi terapeutik di masa mendatang.
Perubahan fisiologis selama kehamilan mengubah prognosis asma, Hal ini berhubungan dengan perubahan hormonal selama kehamilan. Bronkodilatasi yang dimediasi oleh progesteron serta peningkatan kadar
kortisol serum bebas merupakan salah satu perubahan fisiologis kehamilan yang dapat memperbaiki gejala asma, sedangkan prostaglandin F2 dapat memperburuk gejala asma karena efek bronkokonstriksi yang
ditimbulkannya (Nelson and Piercy, 2001).
Pengaruh kehamilan pada asma
Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi hidung, sinus dan paru. Peningkatan hormon estrogen menyebabkan kongesti kapiler hidung, terutama selama trimester ketiga, sedangkan
peningkatan kadar hormon progesteron menyebabkan peningkatan laju pernapasan (ACAAI, 2002).
Beecroft dkk mengatakan bahwa jenis kelamin janin dapat mempengaruhi serangan asma pada kehamilan. Pada studi prospektif blind, ditemukan
50% ibu bayi perempuan mengalami peningkatan gejala asma selama
kehamilan dibandingkan dengan 22,2% ibu bayi laki-laki. Ibu dengan bayi laki-laki menunjukkan perbaikan gejala asma (44,4%), sementara tidak satu pun ibu dari bayi perempuan mengalami perbaikan. Penelitian ini
mengandung janin laki-laki dapat meringankan gejala asma (Frezzo et al., 2002).
Ada hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami serangan pada
kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma berat 50 %. Sebanyak 20
% dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali lipat setelah
persalinan dengan seksio sesarea jika dibandingkan dengan persalinan per vaginam.
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya
serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan.
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan
beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan
Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma
menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan,
49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya
dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi
pada persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam
Pengaruh asma pada kehamilan
Asma pada kehamilan pada umumnya tidak mempengaruhi janin, namun serangan asma berat dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan hipoksemia ibu sehingga berefek pada janin (Nelson and Piercy, 2001). Hipoksia janin terjadi sebelum hipoksia ibu terjadi. Asma pada kehamilan
berdampak penting bagi ibu dan janin selama kehamilan dan persalinan. Dampak yang terjadi dapat berupa kelahiran prematur, usia kehamilan muda, hipertensi pada kehamilan, abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan
seksio sesaria (Liu et al.,2000; Bhatia and Bhatia,2000).
F. Manifestasi Klinis
hiperventilasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan yang menyebabkan retensi O2 akibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal napas,
ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernapasan, sianosis sentral, sampai gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversible dan dapat ditoleransi. Namun, pada kehamilan sangat berbahaya akibat adanya penurunan kapasitas residu.
Manifestasi klinis asma ditandai dengan dyspnea, kesesakan dada, wheezing, dan batuk malam hari, di mana hanya menjadi tanda dalam beberapa kasus. Pasien melaporkan gejala seperti gangguan tidur dan nyeri dada.
Batuk yang memicu spasme atau kesesakan dalam saluran pernapasan, atau berlanjut terus, dapat berbahaya. Beberapa serangan dimulai dengan
batuk yang menjadi progresif lebih “sesak”, dan kemudian bunyi wheezing terjadi. Ada pula yang berbeda, beberapa penderita asma hanya dimulai wheezing tanpa batuk. Beberapa yang lain tidak pernah wheezing tetapi
hanya batuk selama serangan asma terjadi.
Selama serangan asma, mucus cenderung menjadi kering dan sukar, sebagian karena cepat, beratnya pernapasan umumnya terjadi saat serangan asma. Mucus juga menjadi lebih kental karena sel-sel mati
Kontraksi otot bronkus menyebabkan saluran udara menyempit atau konstriksi. Hal ini disebut brokokonstriksi yang memperbesar obstruksi
yaitu asma.
Dengan demikian ada derajat asma :
1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor pencetus.
2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik tanpa kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini banyak ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari
serangan asma
3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi
jalan nafas.
4. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan napas.
5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik berupa serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap
pengobatan yang biasa dipakai.
Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut :
Di luar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam
status asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan kortikosteroid.
2. Asma akut dan status asmatikus:
Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari pertolongan. Bila serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan
obat-obat adrenergik beta dan teofilin disebut status asmatikus.
3. Asma kronik persisten (asma kronik):
Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas, sehingga diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut
disebabkan oleh karena saluran nafas penderita terlalu sensitif selain adanya faktor pencetus yang terus-menerus.
Modifikasi asma berdasarkan National Asthma Education Program (NAEPP) yaitu :
1. Asma Ringan
• Singkat (< 1 jam ) eksaserbasi symptomatic < dua kali/minggu.
• Puncak aliran udara ekspirasi > 80% diduga akan tanpa gejala.
2. Asma Sedang
• Gejala asma kambuh >2 kali / mingggu
• Kekambuhan mungkin berlangsung berhari-hari
• Kemampuan puncak ekspirasi /detik dan kemampuan volume
ekspirasi berkisar antara 60-80%.
3. Asma Berat
• Gejala terus menerus menganggu aktivitas sehari-hari
• Puncak aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi kurang dari
60% dengan variasi luas
• Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan gejala.
G. Diagnosa Asma dalam Kehamilan
Diagnosis asma ditegakkan berdasar gejala episodic obstruksi aliran jalan nafas, yang bersifat reversibel atau reversibel sebagian. Derajat berat asma dapat dikelompokkan sebagai asma intermiten, asma persisten ringan,
asma persisten sedang dan asma persisten berat, tergantung pada frekwensi dan derajat berat gejalanya, termasuk gejala malam, episode serangan dan faal paru (Sharma, 2004).
Kelompok kerja National Asthma Education and Prevention Program
(NAEPP) berpendapat bahwa pasien asma persisten harus dievaluasi minimal setiap bulannya selama kehamilan. Evaluasi termasuk riwayat penyakit (frekuensi gejala, asma malam hari, gangguan aktivitas, serangan
Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali, dan dilanjutkan
dengan pemantauan rutin pada kunjungan pasien selanjutnya, tetapi pengukuran APE dengan peak flow meter biasanya sudah cukup. Pasien dengan VEP1 60-80% prediksi meningkatkan risiko terjadinya asma pada
kehamilan, dan pasien dengan VEP1 kurang dari 60% prediksi memiliki risiko yang lebih tinggi (NAEPP, 2005).
Asma pada kehamilan berhubungan dengan kejadian Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran prematur, sangatlah penting untuk menegakkan waktu kehamilan secara akurat melalui pemeriksaan USG pada trimester pertama. Menurut pendapat kelompok kerja NAEPP,
evaluasi aktivitas dan perkembangan janin dengan pemeriksaan USG rutin dipertimbangkan bagi : 1) wanita dengan asma terkontrol; 2) wanita dengan asma sedang sampai berat, mulai kehamilan minggu ke-32; 3)
wanita setelah pulih dari serangan asma berat (NAEPP, 2005).
Diagnosis Differensial • Bronchitis kronis
• Bronchiectasis
• Hypogammaglobulinemia
• Emfisema
• Obstruksi laring
• Endobronchial space-occuping lesion
• Occult cardiac disease
• Multiple pulmonary emboli
• Eosinophilic pneumonia syndromes
• Systemic vasculitis
• Gastroesophageal reflux
• Cough secondary to drigs
• Carcinoid
H. Komplikasi pada Kehamilan
Asma pada kehamilan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan
penurunan asupan oksigen ibu, sehingga berefek negative bagi janin. Asma tak terkontrol pada kehamilan menyebabkan komplikasi baik bagi
ibu maupun janin (OSUMC, 2005).
Komplikasi asma pada kehamilan bagi ibu
Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu.
Komplikasi asma tak terkontrol bagi ibu termasuk : 1) Preeklampsia (11
%), ditandai dengan peningkatan tekanan darah, retensi air serta proteinuria; 2) Hipertensi kehamilan, yaitu tekanan darah tinggi selama
kehamilan; 3) Hiperemesis gravidarum, ditandai dengan mual-mual, berat badan turun serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; 4) Perdarahan
pervaginam Induksi kehamilan dan atau komplikasi kehamilan (OSUMC,
Komplikasi ini bergantung pada derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat menyebabkan gagal napas, pneumotoraks, pneumomediastinum, kor
pulmonale akut, dan aritmia jantung. Mortalitas meningkat pada penggunaan ventilasi mekanik. Penyulit yang mengancam nyawa adalah pnemotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia jantung,
dan kelelahan otot disertai henti napas. Angka kematian secara substantive meningkatkan apabila asmanya memerlukan ventilasi mekanis. (Obstetri Williams, 1376-1377)
Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin
Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah
kesehatan janin, termasuk : 1) Kematian perinatal; 2) IUGR (12 %) , gangguan perkembangan janin dalam rahim menyebabkan janin lebih kecil dari umur kehamilannya; 3) Kehamilan preterm (12 %); 4) Hipoksia
neonatal, oksigen tidak adekuat bagi sel-sel; 5) Berat bayi lahir rendah (OSUMC, 2005).
Satu studi mencatat kematian janin disebabkan oleh asma berat sebagai akibat episode wheezing yang tidak terkontrol. Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah pada wanita asma masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa factor yang mendukung seperti perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma (Murphy et al., 2003; Clifton
Plasenta memegang peranan penting dalam mengontrol perkembangan janin dengan memberi suplai nutrisi dan oksigen dari ibu. Plasenta juga
mencegah transfer konsentrasi kortisol dalam jumlah besar dari ibu ke janin. Enzim plasenta 11β-hidroksisteroid dehidrogenase tipe-2 (11β -HSD2) berperan sebagai barier dengan memetabolisme kortisol menjadi
kortison inaktif, sehingga dapat menghambat perkembangan janin (NAEPP, 2003; Clifton et al., 2001).
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa selain factor lingkungan, faktor genetik ikut menentukan kerentanan seseorang terhadap penyakiit asma. Penyakit ini dapat dijumpai pada ibu yang sedang hamil, dan dapat
menyebabkan komplikasi pada 7% kehamilan (Blaiss, 2004).
I. Penatalaksanaan Asma dalam Kehamilan
Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif antara dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang
khusus menangani asma dan ibu hamil itu sendiri. Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama dengan pada penderita asma yang tidak hamil. Terapi medikasi asma selama kehamilan hampir sama dengan terapi penderita
asma tidak hamil, dengan pelega kerja singkat serta terapi harian jangka panjang untuk mengatasi inflamasi (Nelson and Piercy, 2001). Pentingnya
Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal
berikut.
Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin
Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550
liter/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat disesuaikan.
Menghindari faktor pencetus asma
Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan
kesejahteraan ibu dengan kebutuhan medikasi yang minimal (NAEPP,
2005). Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obat-obatan anti inflamasi non steroid (NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi,
kelembaban, emosi (Kramer, 2001; ACAAI, 2002). Di samping itu, pencetus terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung, tungau, jamur, amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya kucing
merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma. Semua hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan asma, termasuk kecoak.
disebabkan oleh aspirasi isi lambung kedalam paru sehingga menyebabkan bronkospasme, maupun aktivasi arkus refleks vagal dari esofagus ke paru
sehingga menyebabkan bronkokonstriksi (Kahrilas, 1996).
Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari paparan asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang merokok
berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian asma pada anaknya (Blaiss, 2004; Nelson and Piercy, 2001; NAEPP, 2005).
Edukasi
Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin. Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang
memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktor-faktor
pencetus asma (NAEPP, 2005).
Terapi farmakologi selama kehamilan
Kelompok kerja NAEPP merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi (tabel.1). Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid inhalasi,
β2 agonis dan kromolin bukan merupakan kontra indikasi pada penderita asma yang menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma selama laktasi
menurunkan risiko komplikasi kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik pada janin
atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam pengobatan darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan jangka panjang seharusnya dihindari
pada kehamilan muda, terutama sekali sejak efek pada janin tidak diketahui.(Greenberger, 1985).
Tahap 1: Asma Intermitten
Bronkodilator kerja singkat, terutama β2 agonis inhalasi direkomendasikan sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma
intermiten. Aksi utama β2 agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos jalan napas dengan menstimulus β2 reseptor, sehingga meningkatkan siklik AMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah β2
agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data
yang membuktikan kejadian cidera janin pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontra indikasi selama menyusui (NAEPP,
2005).
Tahap 2 : Asma Persisten Ringan
Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma
persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek
puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi hiperresponsif jalan napas, mencegah serangan dan mencegah remodeling dinding jalan napas
(NAEPP, 2005). Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin, pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi (NAEPP, 2003). Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma
dalam kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan (Nelson and Piercy, 2001).
Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi
selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah terkontrol dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol (NAEPP, 2005).
Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan risiko preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah (Nelson and Piercy, 2001;
Gluck and Gluck,2005; NAEPP,2005; Sharma,2004). Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan janin, penggunaan
kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi janin yang tidak adekuat (Greenberger, 1997).
Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa studi menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan kongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian neonatus
yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid (Nelson and Piercy,2001; NAEPP,2003; Rotschild et al.,1997)
Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi.
Kromolin sodium memiliki kemampuan anti inflamasi, mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran klorida. Kromolin ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma persisten ringan
(NAEPP, 2005).
Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) digunakan
untuk mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum hamil. Menurut opini kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor leukotrien merupakan terapi
Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma. Konsentrasi rendah teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi
ringan. Teofilin memiliki potensi toksisitas serius bila dosisnya berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain (misal dengan eritromisin). Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang
hati-hati serta pemantauan ketat untuk mempertahankan konsentrasi teofilin serum 5 – 12 mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan pada asma persisten
ringan (NAEPP, 2005).
Tahap 3 : Asma Persisten Sedang
Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan β2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi sampai dosis medium. Data yang menunjukkan
keefektivan dan atau keamanan penggunaan kombinasi terapi ini selama kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa penambahan β2 agonis
inhalasi kerja lama pada kortiko steroid inhalasi dosis rendah menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan dosis kortikosteroid (NAEPP, 2005).
Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi kerja lama dan singkat hampir sama, terdapat justifikasi bahwa β2 agonis inhalasi kerja
agonis inhalasi kerja lama aman digunakan selama kehamilan. Contoh β2
agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol dan formoterol (NAEPP,
2005). Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur, maupun preeklampsia, pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja
lama bila dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan (Gluck and Gluck, 2005).
Tahap 4 : Asma Persisten Berat
Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih membutuhkan tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus
dinaikkan sampai batas dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk penambahan kortikosteroid sistemik (NAEPP, 2005). Dosis kortikosteroid sistemik sebagai pengontol jangka panjang selama kehamilan dan laktasi
dapat dilihat pada Tabel.3.
Penatalaksaan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut.
Penanganan lini pertama adalah β adrenergic agonis (sub-kutan, oral, inhalasi) loading dose 4–6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8–1
mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10 –
20 µg/ml, Dan kortikosteroid, metilprednisolon 40- 60 mg I.V. tiap 6 jam. Terapi selanjutnya bergantung pada pemantauan respons hasil terapi.
Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30 – 60 menit dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif, di ICU dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan kelelahan, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas dan
mortalitas.
J. Penatalaksanaan Asma dalam Persalinan
Serangan asma akut selama kelahiran dan persalinan sangat jarang ditemukan. Ibu hamil dapat melanjutkan penggunaan inhaler rutin sampai persalinan. Pada ibu dengan asma yang selama kehamilan telah menggunakan steroid oral (>7,5 mg prednisolon setiap hari selama lebih
dari 2 minggu) saat awal kelahiran atau persalinan harus mendapatkan steroid parenteral (hidrokortison 100mg setiap 6-8 jam) selama persalinan, sampai ia mampu memulai kembali pengobatan oralnya.
Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter klinik, khususnya pada
pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 l/menit,
maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan.
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8
jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan
seperti telah diuraikan di atas.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan
seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam, memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi
vakum atau forceps akan bermanfaat.
kehamilan. Prostaglandin F2α yang diindikasikan untuk perdarahan post partum berat, harus digunakan dengan hati-hati karena menyebabkan
bronkospasme (Nelson and Piercy, 2001).
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas histamin.
Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal.
Selama kehamilan semua bentuk penghilang rasa sakit dapat digunakan dengan aman, termasuk analgetik epidural. Hindarkan penggunaan opiat
pada serangan asma akut. Bila dibutuhkan tindakan anestesi, sebaiknya menggunakan epidural anestesi daripada anestesi umum karena
peningkatan risiko infeksi dada dan atelektasis. Ergometrin dapat menyebabkan bronkospasme, terutama pada anestesi umum. Sintometrin (oksitosin/ergometrin) yang digunakan untuk mencegah perdarahan post
partum, aman digunakan pada wanita asma. Sebelum menggunakan obat-obat analgetik harus ditanyakan mengenai sensitivitas pasien terhadap
aspirin atau NSAID (Nelson and Piercy, 2001).
K. Penatalaksanaan Asma Post Partum
dramatis setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan
kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.
L. Eksaserbasi Asma
Istilah eksaserbasi asma adalah sama dengan serangan asma atau asma akut yaitu episode meningkatnya secara prodresif gejala asma seperti sesak nafas, batuk, mengi atau rasa tertekan di dada atau kombinasi gejala-gejala
tadi yang umumnya diikuti juga dengan penurunan fungsi paru.
Eksaserbasi asma pada kehamilan perlu diobati secara agresif, pengawasan yang ketat, terlebih lagi bila berat karena tidak sengaja dapat mengancam nyawa ibu tetapi juga janin. Meskipun kematian karena asma jarang, ada beberapa resiko, kondisi yang berkaitan dengan kematian pada asma,
yaitu21:
• Riwayat eksaserbasi asma yang hampir fatal sampai memerlukan
intubasi dan ventilasi mekanis.
• Setahun terakhir dirawat atau mendapat pertolongan darurat karena
• Sedang memakai atau baru saja menghentikan pemakaian
kortikosteroid oral.
• Akhir-akhir ioni tidak memakai kortikosteroid inhalasi.
• Bergantung pada agonis β2 inhalasi aksi cepat, terutama yang
memakai lebih dari satu canister/bulan.
• Riwayat gangguan psikiatrik atau psikososial, termasuk penggunaan
obat-obat sedative.
• Riwayat ketidakpatuhan terhadap rencana obat.
• Pasien-pasien yang mempunyai resiko ini memerlukan pengawasan
yang lebih ketat dan dianjurkan mencari pertolongan segera bila mengalami eksaserbasi.
Langkah penanganan asma pada kehamilan
Sebelum kehamilan
Konseling mengenai pengaruh kahamilan dan asma, serta pengobatan. Penyesuaian terapi maintenance untuk optimalisasi fungsi respirasi, Hindari factor pencetus, alergen.
Rujukan dini pada pemeriksaan antenatal.
Selama kehamilan Penyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan kadar teofilkin dalam darah, karena selama hamil terjadi hemodilusi sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi.
Pengobatn untuk mencegah serangan dan penanganan dini bila terjadi serangan.
Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari efek sistemik pada janin.
Pemeriksaan fungsi paru ibu.
Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir trimester II/awal trimester III.
Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.
Saat persalinan Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan diulang bila timbul
gejala.
Pemberian oksigen adekuat.
Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg i.v. tiap 8 jam) diberika 4 minggu sebelum persalinan dan terapi maintenance diberikan selama persalinan.
Anestesi epidural dapat digunakan selama proses persalinan. Pada persalinan operatif lebih baik digunakan anestesi regional untuk menghindari rangsangan pada intubasi trakea. Penanganan hemoragi pascapersalinan sebaiknya menggunakan uterotonika atau PGE2karena
PGE dapat merangsang bronkospasme.
maintenance.
Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu mendapat obat antiasma termasuk prednisone.
(Dikutip dari : Williams Obstetrics 22nded, 2005)
M. Farmakologi Obat Asma pada Kehamilan
Terapi farmakologi asma selama kehamilan dan laktasi
Derajat Penyakit : Gambaran Klinis sebelum terapi atau Pengobatan yang dibutuhkan untuk control memelihara efek jangka panjang
Tahap 4 Persisten Berat Gejala harian Gejala malam Terus menerus Sering
APE atau VEP1 Variabilitas APE
≤60% >30%
Pengobatan harian
Terapi yang dianjurkan :
Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, dan
β-2 Agonis inhalasi kerja lama, dan jika perlu
Kortikosteroid tablet atau sirup (2mg/kg/hari, tidak>60mg/hari) Terapi alternatif :
Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, dan
Teofilin lepas lambat sampai kadar serum 5-12mcg/mL
setiap hari <60%-<80% Terapi yang dianjurkan :
Tahap 3 > 1 malam dlm 1 Kortikosteroid inhalasi dosis rendah,
Persisten minggu >30% dan
Sedang β-2 Agonis inhalasi kerja lama
atau :
Kortikosteroid inhalasi dosis sedang, jika perlu
( terutama pada pasien serangan berat berulang)
Kortikosteroid inhalasi dosis sedang dan
β-2 Agonis inhalasi kerja lama Terapi alternatif :
Kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan
Teofilin atau antagonis reseptor leukotrien, jika perlu
Kortikosteroid inhalasi dosis sedang dan
Teofilin atau antagonis reseptor leukotrien
>2 hari dalam 1 ≥80% Terapi yang dianjurkan :
Tahap 2 minggu Kortikosteroid inhalasi dosis rendah
Persisten tetapi < setiap 20%-30% Terapi alternatif :
Ringan hari Kromolin
>2 malam dalam Antagonis reseptor leukotrien, atau
serum 5-12mcg/mL
Tahap 1 Intermitten
≤2 hari dalam 1 Minggu
≤2 malam dalam 1 bulan
≥80%
≤20%
Tidak diperlukan pengobatan harian Bila terjadi serangan asma berat, dianjurkan
pemberian kortikosteroid sistemik untuk jangka waktu singkat Pelega cepat
Bronkodilator kerja singkat : 2-4 semprotβ-2 agonis inhalasi kerja singkat,untuk mengatasi gejala semua pasien
Intensitas terapi tergantung pada berat serangan, jika intensitasnya lebih dari 3
pengobatan dalam interval waktu 20 menit atau memerlukan terapi inhalasi, maka
dianjurkan pemberian kortikosteroid sistemik
Penggunaanβ-2 agonis inhalasi kerja singkat lebih dari 2 kali dalam 1 minggu pada asma intermitten (setiap hari,atau kebutuhan inhaler yang meningkat pada asma persisten) menandakan peningkatan kebutuhan terapi kontrol jangka lama
N. Dikutip dari (NAEPP, 2005)
Dosis pengobatan kontrol jangka lama selama kehamilan dan laktasi
Jenis Obat Sediaan Dosis Dewasa
Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik
Metilprednisolon tablet 2,4,8,16,32 mg
7,5-60 mg perhari sebagai
Prednisolon tablet 5 mg dosis
tunggal di pagi hari
5 mg/ 5 cc short course "burst" sebagai kontrol
15 mg/ 5 cc 40-60 mg perhari dosis Prednison tablet 1, 2,5, 5, 10, 20, tunggal
50 mg atau dosis terbagi
5 mg/ cc untuk 3-10 hari
5 mg/ 5 cc Beta-2 agonis inhalasi kerja
lama MDI 21 mcg/puff
Salmeterol DPI 50 mcg/puff DPI 12 mcg/ kapsul
Formoterol sekali pakai 2 puff setiap 12 jam
1 blister setiap 12 jam Obat Kombinasi DPI 100, 250 atau 500 mcg/50 1 kapsul setiap 12 jam
Fluticasone/ mcg
[image:44.595.110.575.118.413.2] [image:44.595.111.513.469.753.2]Kromolin
Kromolin MDI 1 mg/puff
1 puff 2 kali sehari : dosis tergantung pada derajat berat
Antagonis Reseptor Leukotrien
Nebulisasi 20 mg/ampul asma
Montelukast Zafirlukast Metilxantin Teofilin
tablet 10 mg tablet 10 atau 20 mg
cair, tablet lepas lambat dan kapsul
2-4 puff 3-4 kali sehari 1 ampul 3-4 kali sehari
10 mg qhs
40 mg perhari (20 mg tablet bid)
dosis dimulai 10 mg/kg/hari sampai maks. 300 mg biasanya maksimum 800 mg/hari
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional, yaitu mencari perbedaan antara variabel bebas, yaitu gilir jaga malam, variabel terikat, yaitu tekanan
darah sistolik, serta variabel perancu pada mahasiswa kepaniteraan klinik. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data pada satu waktu yang sama
(Sastroasmoro, 2008).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada
bulan Januari 2013.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung yang gilir jaga malam,
Besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus
(Dahlan, 2009) :
2
+
1= 2 =
1 2
n = jumlah sampel
S = simpang baku gabungan
X1-X2 = perbedaan klinis yang diinginkan
α = tingkat kesalahan tipe I 5%, maka tingkat kemaknaannya 95%, sehingga Zα= 1,64
β = tingkat kesalahan tipe II 20%, maka tingkat ketajamannya (power)80% sehingga Zβ =0,842
S adalah simpang baku gabungan dan X1-X2 adalah perbedaan klinis yang
diharapkan, dimana nilai ini ditetapkan berdasarkan penelitian Merijanti tahun 2008 didapatkan nilai simpang baku 8,8 dan perbedaan klinis tekanan
darah sistolik 4.
Dari rumus di atas ditentukan:
1 = 2 =
1,64 + 0,842 8,8 2
4
n1= n2= 29,8159 = 30≈ 40
Untuk mendapatkan hasil yang representatif dalam penelitian ini dibutuhkan
minimal 30 sampel, namun untuk mencegah jumlah sampel berkurang karena adanya sampel yang gugur akibat kriteria ekslusi dan inklusi, peneliti mengambil jumlah total sampel sebanyak 40 orang mahasiswa kepaniteraan
Adapun kriteria inklusi dari penelitian ini adalah :
1. Mahasiswa kepaniteraan klinik yang sedang gilir jaga malam di stase
mayor (bedah, obstetri ginekologi, dan anak) RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dalam keadaan sehat.
2. Bersedia dilakukan pemeriksaan pengukuran tekanan darah.
Subjek akan dikeluarkan dari penelitian jika memenuhi kriteria eksklusi
sebagai berikut:
1. Memiliki hipertensi. 2. Memiliki asma.
3. Cukup tidur 8 jam.
D. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. 1. Variabel Terikat(Independent variable)
Variabel terikat yang diteliti tekanan darah sistolik dan diastolik pada
mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
2. Variabel Bebas(Dependent variable)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah mahasiswa kepaniteraan klinik melaksanakan gilir jaga malam.
3. Variabel Perancu(Confounding variable)
E. Definisi Operasional
[image:49.595.146.509.182.500.2]Definisi operasional dari penelitian ini adalah : Table 1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
Gilir
malam
Ternasuk sistem gilir yang
berpindah tetap dan
Pengamatan
dilakukan sebelum
Nominal
dilakukan pada malam hari
selama 8 jam.
pekerja bekerja dan
setelah pekerja
bekerja
Tekanan
Darah
Diastolik
Tekanan bilik kiri jantung
yang sedang terisi kembali
(mmHg)
Sphygmomanometer Numerik
Tekanan
Darah
Sistolik
Kekuatan jantung bilik kiri
memompa darah ke arteri
(mmHg)
Sphygmomanometer Numerik
F. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh melalui kuisioner yang diisi oleh mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung yang gilir jaga malam, serta
G. Prosedur Penelitian
Alur Penelitian
Meminta izin untuk melakukan penelitian di RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung
Menyiapkan kuesioner yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Pengisian Lembar Persetujuan oleh responden
Membagikan kuisioner kepada responden yang sudah ditentukan dan melakukan pengukuran
tekanan darah sebelum dan sesudah gilir jaga malam.
Melakukan pengolahan data.
[image:50.595.140.516.107.388.2]Hasil dan kesimpulan.
Gambar 7. Alur Penelitian
H. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data
a. Editing, untuk melakukan pengecekan data yang didapat baik dari wawancara maupun pengukuran tekanan darah.
b. Coding, untuk mengkonversikan atau menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.
c. Data entry,memasukan data ke dalam komputer.
d. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukan ke dalam komputer.
2. Analisis data
a. Analisis Univariat
Analisis ini memberikan gambaran mengenai masing-masing variabel yaitu tekanan darah sistolik mahasiswa kepaniteraan klinik dan pengaruh gilir malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji T-test
berpasangan. Sebelum dilakukan analisis uji T-test berpasangan dilakukan uji normalitas Shapiro-wilk untuk mengetahui sebaran data. Berdasarkan data yang yang diperoleh, bila data berdistribusi
normal maka maka digunakan uji analisis data dengan menggunakan uji t-berpasangan dengan kemaknaaan 0,05 (α = 0,05), dan apabila
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan :
1. Adanya perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum dan sesudah melakukan gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan
klinik di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung, dimana tekanan darah sesudah melakukan gilir jaga malam lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum melakukan gilir jaga malam, dengan
selisih rerata tekanan darah sistolik tersebut sebesar 5,25 mmHg dan selisih rerata tekanan darah diastolik tersebut sebesar 3,625 mmHg.
2. Distribusi rerata tekanan darah sistolik sebelum melakukan gilir jaga malam adalah 114,375 mmHg.
3. Distribusi rerata tekanan darah sesudah sistolik melakukan gilir jaga malam adalah 119,625 mmHg.
4. Distribusi rerata tekanan darah diastolik sebelum melakukan gilir jaga malam adalah 73,25 mmHg.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis :
1. Waktu kerja normal adalah 8 jam kerja dalam seharinya yang merupakan efektivitas kerja. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja normal
dikatakan waktu kerja lembur.
2. Memberlakukan sistem gilir jaga dengan putaran cepat, yaitu 1 sampai 4 hari dengan pola kerja 2 kali gilir jaga siang, 2 kali gilir jaga malam dan 2
hari libur.
3. Perlunya penelitian selanjutnya dengan pembacaan hasil tekanan darah sistolik dan diastolik yang teliti sehingga hasil yang didapatkan lebih
akurat.
B, Karlsson., A, Knutsson., B, Lindah. 2001. Is there an association between shift work and having a metabolic syndrome? Results from a populationbased
study of 27 485 people.Occup Environ Med.58: 747-52.
Budijanto, D., Astuti WD, Anggaeini, R. 2000. Analisis kecenderungan hipertensi
dalam hubungannya dengan usia dan body mass index. J Kedokteran
Trisakti.19: 47-54.
Bøggild, H., Knutsson, A. 1999. Shiftwork, risk factors and cardiovascular
disease.Scand J Work Environ Health. 25: 85-99.
Costa, G. 2003.Factors Influencing health of workers and tolerance to shift work, Theory Issues in Ergonomic Science. 4, 263-288.
Dahlan, S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Seri EBM 2. Salemba Medika. Jakarta.
Darliah, L., Handoyo, Asti. 2007. Hubungan Antara Stres dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Perawat di IGD dan ICU RS PKU Muhammadiyah Goombong.Keperawatan STIKES. Muhammadiyah Gombong.
Dewi, S. 2006.Shift Work ( Kerja Gilir). Makalah Pelatihan Aplikasi Ergonomi di Perusahaan sub Bagian Kedokteran Okupasi. Ilmu Kedokteran Komunitas. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Diah, A. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja pada Pekerja bagian Produksi PT ISM Bogasari Flour Mills, Tbk Tahun 2009. Skripsi. FKM UIN : Jakarta.
Dongen, H. P. 2006. Shift Work and interindividual difference in sleep and Effect on-Duty Naping on Intern Sleep Time Fatique, Annals of internal Medicine, 81(5):419–425.
Eguchi, k. 2008. Short Sleep Duration as an Independent Predictor of Cardiovascular Events in Japanese Patients With Hypertension. The Journal of Clinical Hypertension Volume 168(20): 2225-2231.
Guyton, A.C., Hall J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta.
Hoshide, S., Kario, K., Hoshide, Y., Umeda, Y., Hashimoto, T., Kunii, O. 2003. Association between non dipping of nocturnal blood pressure decrease and cardiovascular target organ damage in strictly selected
community-dwelling normotensives.Am J Hypertens. 16: 434-8.
Joewono, B.S., 2003 . Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University
Press.
Kitamura, T. 2002. Circadian rhythm of blood pressure is transformed from a dipper to a non-dipper pattern in shift workers with hypertension. Journal of Human Hypertension. 16; 193–197.
Kroemer, KHE. 2000. Editor fitting the task to the human, The textbook of
Occupational Ergonomics. p. 211-30 and 259-27.
Lewington, S., Clarke, R., Qizilbash, N., Peto, R., Collins, R. 2002. Age-specific relevance of usual blood pressure to vascular mortality: a meta-analysis of
individual data for one million adults in 61 prospective studies. Lancet.
360: 1903-13.
Lie T, Merijanti., Samara Diana., Tandean, Reza., Harrianto, Ridwan. 2008. The role of night shift work on blood pressure among healthy female nurses. Universa Medicina Journal.Vol. 27-No. 2.
Lientjie, S. 2009. Faktor dan Penjadualan Shift Kerja. Jurnal Teknoin. 13 (2) : 11-22.ISSN :0853-8697.
Munandar, A.S. 2001. Stress dan Keselamatan Kerja. Universitas Indonesia: Jakarta.
Nazri, SM., Tengku, MA., Winn, T. 2008. The association of shift work and hypertension among male factory workers in Kota Bharu Kelantan,
Malaysia.Southeast Asian J Trop Med Public Health. 39: 176-83.
Ohira, T., Tanigawa, T., Iso, H., Odagiri, Y., Takamiya, T., Shimomitsu, T. 2000. Effects of shift work on 24-h ambulatory BP and its variability among
Japanese workers.Scand J Work Environ Health. 26: 421-6
Oginska, H. 2006. Fatigue and mood correlates of sleep lengthin three age-social groups: school children, students, and employees. Chronobiology International.23(6): 1317–1328.
Purwanto, D. 2005.Kerja gilir dan insomnia serta faktor yang mempengaruhi ada pekerja industri semen PT I .Tesis. Program Studi Magister Kedokteran Kerja. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Rasmun. 2004.Stress,Koping dan Adaptasi. Edisi Pertama. Sagung Seto. Jakarta. Rooke, TW., Sparks, HV. 2003. In: Rhoades RA, Tanner GA. Medical
Physiology, 2nd edition.Lippincott Williams & Wilkins.Philadelphia. Rouch, I. 2005. Shift experience, age and cognitive performance, Ergonomics,
48(10), 1282-1293.
Sastroasmoro, Sudigdo. 2010.Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.Edisi 3. Sagung Seto. Jakarta
Sauvet, F. 2009. Effect of acute sleep deprivation on vascular function in healthy subjects.Journal of Applied Physiology 108: 68–75.
Seaward, J.P. 2002. Occupational Stress. In: LaDou J. editor. Current Occupational and Environmental Medicine, 2th edition. McGraw-Hill : New York : 579-594.
Sherwood, L. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, alih bahasa Brahm U. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, C., Suzanne, Bare., G, Brenda. 2001. Buku Ajar medikal bedah Brunner dan Suddarth.EGC. Jakarta
Sofrina, I. 2004. Analisis Hubungan antara Kerja Gilir dengan StressKerja pada Pekerja Laki-Laki Pabrik Semen “x” di Jawa Barat. Thesis; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Suprapto, P. H. 2008. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Stres Kerja Pada Polisi Lalu Lintas Dikawasan Puncak-Cianjur. Skripsi. UIN : Jakarta.
Tayyari, F, Smith. 1997. Occupational ergonomic: priciples and application. Chaman and hall : London.
Tomei, G. 2006. Short communication: Assessment of subjective stress in the municipal police force at the start and at the end of the shift, Stress and Health, 22, 239-247.
Universitas Lampung. 2010. Panduan Penyelenggaraan Program Sarjana Kedokteran Universitas Lampung.Universitas Lampung: Bandar lampung. Wallace. 2002. Imlication of Shiftwork and Irregular hour of work,Guidelines of
Managing Shiftwork.