• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TEKANAN DARAH SISTOLIK DAN DIASTOLIK SETELAH GILIR JAGA MALAM PADA MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK DI RSUD. DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN TEKANAN DARAH SISTOLIK DAN DIASTOLIK SETELAH GILIR JAGA MALAM PADA MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK DI RSUD. DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TEKANAN DARAH SISTOLIK DAN DIASTOLIK SETELAH GILIR JAGA MALAM PADA MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK

BANDAR LAMPUNG

Oleh

TIFFANY SAQFILIA PRAMESWARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PERBEDAAN TEKANAN DARAH SISTOLIK DAN DIASTOLIK SETELAH GILIR JAGA MALAM PADA MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK DI RSUD. DR. H. ABDUL MOELOEK

BANDAR LAMPUNG

Oleh

TIFFANY SAQFILIA PRAMESWARI

Kerja gilir adalah periode waktu kerja dimana suatu pekerja dijadwalkan bekerja secara bergiliran dalam waktu 24 jam. Dampak positifnya adalah memaksimalkan sumber daya yang ada, memberikan lingkungan kerja yang sepi khususnya kerja gilir malam dan memberikan waktu libur yang banyak. Sedangkan dampak negatifnya adalah penurunan kinerja, keselamatan kerja dan masalah kesehatan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Desain penelitian menggunakan metode analitik-komparatif dengan pendekatan cross sectional. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari 2013. Sampel penelitian berjumlah 40 orang yang gilir jaga malam yang ditentukan menggunakan metode rumus Sopiyudin Dahlan.

Dari hasil penelitian diperoleh tekanan darah sistolik sebelum gilir jaga malam memiliki nilai rata-rata 114,375 mmHg dan tekanan darah sistolik sesudah gilir jaga malam memiliki nilai rata-rata 119,625 mmHg. Tekanan darah diastolik sebelum gilir jaga malam memiliki nilai rata-rata 73,25 mmHg dan tekanan darah diastolik sesudah gilir jaga malam memiliki nilai rata-rata 76,875 mmHg. Terdapat perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik antara sesudah gilir jaga malam dengan sebelum gilir jaga malam. Perbedaan selisih rerata tekanan darah sistolik dan diastolik tersebut sebesar 5,25 mmHg dan 3,625 mmHg. Hasil uji analisis statistik t-berpasangan didapatkan a = 0,000 dan a = 0,002. Sehingga dapat dikatakan perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik tersebut bermakna secara statistik.

(3)
(4)
(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kerangka Teori ... 5

F. Kerangka Konsep ... 7

G. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerja Gilir ... 8

a. Pengertian Kerja Gilir ... 8

b. Dampak Kerja Gilir ... 11

c. Hubungan Kerja Gilir dengan Kesehatan ... 12

B. Tekanan Darah ... 15

a. Cara Pengukuran Tekanan Darah ... 17

b. Pengaruh Tidur terhadap Tekanan Darah ... 18

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

C. Populasi dan Sampel ... 21

D. Variabel Penelitian ... 23

E. Definisi Operasional ... 24

F. Metode Pengumpulan Data ... 24

G. Prosedur Penelitian ... 25

(6)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 27 B. Pembahasan ... 30 C. Keterbatasan Penelitian ... 44

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 46 B. Saran ... 47

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persaingan ketat dibidang kualitas semua instansi berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas instansi mereka. Salah satu cara yang dilakukan

adalah dengan memberlakukan gilir malam sehingga waktu kerja dapat diperpanjang dan memberikan hasil yang optimal. Setidaknya 20 juta pekerja

di Amerika bekerja diluar jam kerja normal. Dua juta orang diantaranya bekerja pada malam hari dan sekitar tiga juta pekerja merupakan pegilir malam termasuk pada malam hari (Sofrina, 2004).

Ada beberapa faktor yang dapat dipengaruhi oleh gilir malam dibandingkan

dengan kerja pada jam normal, yaitu gangguan pada irama sirkadian dan gangguan tidur. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya,

menurun daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat

(8)

kewaspadaan pada perawat gilir malam sebesar 71,1 %. Adanya perubahan

waktu gilir malam tersebut akan mengakibatkan beban tambahan bagi pekerja karena tubuh harus beradaptasi dengan adanya perubahan tersebut. Selain itu

interaksi sosial juga terganggu. Semua keadaan di atas pada akhirnya berperan penting dalam timbulnya kondisi stres (Kroemer, 2000).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Darliah, Handoyo, dan Asti tahun 2007 menyebutkan bahwa stres yang timbul dari tuntutan pekerjaan dan hubungan

kepuasan kerja terhadap suatu pekerjaan akan terpapar stres yang dapat meningkatkan tekanan darah sepintas dan hipertensi dini cenderung reaktif.

Berdasarkan buku Panduan Penyelenggaraan Program Sarjana Kedokteran Universitas Lampung 2010, mahasiswa kepaniteraan klinik adalah mahasiswa

yang dinyatakan telah menyelesaikan dan lulus dari program sarjana kedokteran dan diwajibkan mengikuti setiap kegiatan kepaniteraan klinik yang telah ditentukan.

Universitas lampung, merupakan universitas negeri di Lampung yang

memiliki mahasiswa kepaniteraan klinik dengan kegiatan kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan memiliki waktu gilir jaga malam dan jaga tidak gilir cukup banyak. Mahasiswa kepaniteraan klinik

di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung terbagi menjadi 3 kelompok jaga gilir yaitu gilir pagi siang (07.00-14.00), gilir siang malam

(9)

gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung termasuk dalam gilir jaga malam putaran cepat.

Mahasiswa kepaniteraan klinik pada gilir jaga malam memiliki waktu kerja yang melebihi dari waktu kerja normal yaitu 8 jam. Hasil survey pendahuluan

yang dilakukan kepada beberapa mahasiswa kepaniteraan klinik gilir jaga malam, mereka menyatakan bahwa gilir jaga malam membuat mereka mengalami perubahan jam tidur, stres, dan tidak dapat mengontrol makanan

pada malam hari. Perubahan ini berdampak pada pengukuran-pengukuran suhu badan, nadi, tekanan darah, dan lain dari orang yang gilir jaga malam,

daripada orang yang tidak gilir jaga malam.

Hal ini penting untuk meningkatkan optimalisasi pekerjaan dan meminimalisi risiko pekerjaan yang timbul di kemudian hari, seperti hipertensi. Peneliti mencoba meneliti aspek kesehatan atau resiko kesehatan yang ditimbulkan

akibat gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah “Apakah terdapat perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga

(10)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui adakah perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi rata-rata tekanan darah sistolik sebelum gilir jaga

malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

b. Mengetahui distribusi rata-rata tekanan darah sistolik setelah gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

c. Mengetahui distribusi rata-rata tekanan darah diastolik sebelum gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

d. Mengetahui distribusi rata-rata tekanan darah diastolik setelah gilir jaga setelah pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul

(11)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang akan dilakukan adalah : 1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa

informasi mengenai perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga malam.

2. Bagi Dinas Kesehatan dan jaringannya

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan berbasis bukti ilmiah yang digunakan sebagai salah satu upaya untuk menurunkan resiko

peningkatan tekanan darah pada mahasiswa kepaniteraan klinik gilir malam di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

3. Bagi Responden

Hasil penelitian dapat memberikan gambaran secara umum tentang dampak gilir malam terhadap tekanan darah sistolik dan diastolik pada

kesehatan.

E. Kerangka Teori

Faktor-faktor kesehatan yang dipengaruhi oleh gilir malam adalah gangguan irama sirkadian dan terjadinya perubahan perilaku, serta adanya perubahan kehidupan sosial pekerja. Perubahan irama sirkadian akan menyebabkan

terjadinya gangguan tidur. Selain itu akan terjadi perubahan ritme organ-organ di dalam tubuh. Hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya waktu

(12)

menjadi sakit. Pada orang-orang tertentu, apabila hal ini terjadi secara terus

menerus dapat menimbulkan stres. Stres dapat menimbulkan perubahan perilaku, yang nantinya akan menimbulkan penyakit, termasuk didalamnya

peningkatan tekanan darah (Tjita, 2002). Salah satu penyebab peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi adalah stres. Stres merupakan suatu

tekanan fisik maupun psikis yang tidak menyenangkan. Stres dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat, sehingga tekanan darah akan

[image:12.595.196.437.351.695.2]

meningkat (Gunawan, 2001).

Gambar 1. Kerangka Teori (Gunawan 2001 dan Tjita, 2002)

Gilir malam

Gangguan Irama Sirkardian

Gangguan tidur Disinkronisasi organ tubuh

Stres

Adrenalin

Denyut Jantung

(13)

F. Kerangka Konsep

Dari kerangka teori diatas menunjukan bahwa tekanan darah dapat dipengaruhi oleh kurangnya tidur malam. Oleh karena itu peneliti tertarik

untuk mengambil responden mahasiswa kepaniteraan klinik gilir malam karena mahasiswa kepaniteraan klinik gilir malam memiliki waktu tidur

malam yang lebih sedikit. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independent Variabel Dependent

= memperbedaani

Variable Confounding = perancu

G. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan adalah: Ada perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik setelah gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik di

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Gilir Jaga Malam Dan Gilir Jaga Siang

Aktivitas Fisik

 Asupan makanan

Saat sedang gilir jaga

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Asma bronkial merupakan masalah kesehatan yang serius pada ibu hamil dan pada saat persalinan. Asma bronkial adalah sindroma yang kompleks dengan berbagai tipe klinis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh faktor genetik ataupun faktor lingkungan (virus, alergen maupun paparan bahan

kerja). Pada asma bronkial terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini akan menyebabkan

gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis

[image:14.595.230.429.546.700.2]

pada tingkat lanjut.

(15)

B. Prevalensi

Di Indonesia, prevalensi asma sekitar 5 - 6 % dari populasi. Prevalensi

asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.

C. Sistem Pernafasan Selama Kehamilan

Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik.

Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus.

Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas

sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 %. Peningkatan volume

tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida.

Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah

pertengahan kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu fungsional, yang merupakan volume udara yang

(16)

Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan

pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH

darah tidak mengalami perubahan.

Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 – 103,5 selama kehamilan. Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi

diafragma sekitar 4 cm dan peningkatan diameter tranversal dada maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubahan ini menyebabkan perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal

yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan.

Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh

peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan mungkin

tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal distress dapat terjadi.

D. Pengaruh Perubahan Hormonal Selama Kehamilan

(17)

Perubahan-perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan

sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progesteron

selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keadaan tidak hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai temuan klinis yang terbuka diperdebatkan.

Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh terhadap

asma selama kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol.

Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar total kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi

dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam

(18)

Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai

adanya peningkatan kadar matabolit prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama

persalinan.

Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase

(diaminoksidase) dalam jumlah besar mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang

ditimbulkannya.

E. Patofisiologi

Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh

spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi

(hipoventilasi), distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis pada tingkat

lanjut.

Ciri patofisiologi asma adalah inflamasi kronis and hiperaktif bronkial

(19)

saluran pernapasan yang radang termasuk T sel aktif, terdiri dari yang terbesar adalah eosinofil dan limfosit TH2. Karena alasan inilah, agen

anti-inflamasi merupakan hal pokok dalam pengawasan asma persisten. Walaupun kortikosteroid mengurangi produksi sitokin dan chemokines pada pasien asma atau dengan rhinitis dan alur pengobatan utama untuk banyak pasien, leukotriene modifiers and antagonis juga bersifat anti-inflamasi. Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permukaan sel mast paru, yang akan diikuti dengan

pelepasan berbagai mediator kimia untuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler bronkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglandin PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan

reaksi peradangan dengan bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leukotrien juga meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme transpor mukosilia.

Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi tampaknya diperantarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi ketidak seimbangan antara tonus simpatis dan parasimpatis. Saraf

(20)

Patofisiologi asma yang terbaru berbicara mengenai konsep inflamasi saluran pernapasan mutakhir dan strategi terapeutik di masa mendatang.

Perubahan fisiologis selama kehamilan mengubah prognosis asma, Hal ini berhubungan dengan perubahan hormonal selama kehamilan. Bronkodilatasi yang dimediasi oleh progesteron serta peningkatan kadar

kortisol serum bebas merupakan salah satu perubahan fisiologis kehamilan yang dapat memperbaiki gejala asma, sedangkan prostaglandin F2 dapat memperburuk gejala asma karena efek bronkokonstriksi yang

ditimbulkannya (Nelson and Piercy, 2001).

Pengaruh kehamilan pada asma

Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi hidung, sinus dan paru. Peningkatan hormon estrogen menyebabkan kongesti kapiler hidung, terutama selama trimester ketiga, sedangkan

peningkatan kadar hormon progesteron menyebabkan peningkatan laju pernapasan (ACAAI, 2002).

Beecroft dkk mengatakan bahwa jenis kelamin janin dapat mempengaruhi serangan asma pada kehamilan. Pada studi prospektif blind, ditemukan

50% ibu bayi perempuan mengalami peningkatan gejala asma selama

kehamilan dibandingkan dengan 22,2% ibu bayi laki-laki. Ibu dengan bayi laki-laki menunjukkan perbaikan gejala asma (44,4%), sementara tidak satu pun ibu dari bayi perempuan mengalami perbaikan. Penelitian ini

(21)

mengandung janin laki-laki dapat meringankan gejala asma (Frezzo et al., 2002).

Ada hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami serangan pada

kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma berat 50 %. Sebanyak 20

% dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali lipat setelah

persalinan dengan seksio sesarea jika dibandingkan dengan persalinan per vaginam.

Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya

serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan.

Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan

beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan

(22)

Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma

menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan,

49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya

dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi

pada persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam

Pengaruh asma pada kehamilan

Asma pada kehamilan pada umumnya tidak mempengaruhi janin, namun serangan asma berat dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan hipoksemia ibu sehingga berefek pada janin (Nelson and Piercy, 2001). Hipoksia janin terjadi sebelum hipoksia ibu terjadi. Asma pada kehamilan

berdampak penting bagi ibu dan janin selama kehamilan dan persalinan. Dampak yang terjadi dapat berupa kelahiran prematur, usia kehamilan muda, hipertensi pada kehamilan, abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan

seksio sesaria (Liu et al.,2000; Bhatia and Bhatia,2000).

F. Manifestasi Klinis

(23)

hiperventilasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan yang menyebabkan retensi O2 akibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal napas,

ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulsus paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernapasan, sianosis sentral, sampai gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversible dan dapat ditoleransi. Namun, pada kehamilan sangat berbahaya akibat adanya penurunan kapasitas residu.

Manifestasi klinis asma ditandai dengan dyspnea, kesesakan dada, wheezing, dan batuk malam hari, di mana hanya menjadi tanda dalam beberapa kasus. Pasien melaporkan gejala seperti gangguan tidur dan nyeri dada.

Batuk yang memicu spasme atau kesesakan dalam saluran pernapasan, atau berlanjut terus, dapat berbahaya. Beberapa serangan dimulai dengan

batuk yang menjadi progresif lebih “sesak”, dan kemudian bunyi wheezing terjadi. Ada pula yang berbeda, beberapa penderita asma hanya dimulai wheezing tanpa batuk. Beberapa yang lain tidak pernah wheezing tetapi

hanya batuk selama serangan asma terjadi.

Selama serangan asma, mucus cenderung menjadi kering dan sukar, sebagian karena cepat, beratnya pernapasan umumnya terjadi saat serangan asma. Mucus juga menjadi lebih kental karena sel-sel mati

(24)

Kontraksi otot bronkus menyebabkan saluran udara menyempit atau konstriksi. Hal ini disebut brokokonstriksi yang memperbesar obstruksi

yaitu asma.

Dengan demikian ada derajat asma :

1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor pencetus.

2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik tanpa kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini banyak ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari

serangan asma

3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi

jalan nafas.

4. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan napas.

5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik berupa serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap

pengobatan yang biasa dipakai.

Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut :

(25)

Di luar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam

status asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan kortikosteroid.

2. Asma akut dan status asmatikus:

Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari pertolongan. Bila serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan

obat-obat adrenergik beta dan teofilin disebut status asmatikus.

3. Asma kronik persisten (asma kronik):

Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas, sehingga diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut

disebabkan oleh karena saluran nafas penderita terlalu sensitif selain adanya faktor pencetus yang terus-menerus.

Modifikasi asma berdasarkan National Asthma Education Program (NAEPP) yaitu :

1. Asma Ringan

• Singkat (< 1 jam ) eksaserbasi symptomatic < dua kali/minggu.

• Puncak aliran udara ekspirasi > 80% diduga akan tanpa gejala.

2. Asma Sedang

• Gejala asma kambuh >2 kali / mingggu

(26)

• Kekambuhan mungkin berlangsung berhari-hari

• Kemampuan puncak ekspirasi /detik dan kemampuan volume

ekspirasi berkisar antara 60-80%.

3. Asma Berat

• Gejala terus menerus menganggu aktivitas sehari-hari

• Puncak aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi kurang dari

60% dengan variasi luas

• Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan gejala.

G. Diagnosa Asma dalam Kehamilan

Diagnosis asma ditegakkan berdasar gejala episodic obstruksi aliran jalan nafas, yang bersifat reversibel atau reversibel sebagian. Derajat berat asma dapat dikelompokkan sebagai asma intermiten, asma persisten ringan,

asma persisten sedang dan asma persisten berat, tergantung pada frekwensi dan derajat berat gejalanya, termasuk gejala malam, episode serangan dan faal paru (Sharma, 2004).

Kelompok kerja National Asthma Education and Prevention Program

(NAEPP) berpendapat bahwa pasien asma persisten harus dievaluasi minimal setiap bulannya selama kehamilan. Evaluasi termasuk riwayat penyakit (frekuensi gejala, asma malam hari, gangguan aktivitas, serangan

(27)

Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali, dan dilanjutkan

dengan pemantauan rutin pada kunjungan pasien selanjutnya, tetapi pengukuran APE dengan peak flow meter biasanya sudah cukup. Pasien dengan VEP1 60-80% prediksi meningkatkan risiko terjadinya asma pada

kehamilan, dan pasien dengan VEP1 kurang dari 60% prediksi memiliki risiko yang lebih tinggi (NAEPP, 2005).

Asma pada kehamilan berhubungan dengan kejadian Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran prematur, sangatlah penting untuk menegakkan waktu kehamilan secara akurat melalui pemeriksaan USG pada trimester pertama. Menurut pendapat kelompok kerja NAEPP,

evaluasi aktivitas dan perkembangan janin dengan pemeriksaan USG rutin dipertimbangkan bagi : 1) wanita dengan asma terkontrol; 2) wanita dengan asma sedang sampai berat, mulai kehamilan minggu ke-32; 3)

wanita setelah pulih dari serangan asma berat (NAEPP, 2005).

Diagnosis Differensial • Bronchitis kronis

• Bronchiectasis

• Hypogammaglobulinemia

• Emfisema

• Obstruksi laring

• Endobronchial space-occuping lesion

(28)

• Occult cardiac disease

• Multiple pulmonary emboli

• Eosinophilic pneumonia syndromes

• Systemic vasculitis

• Gastroesophageal reflux

• Cough secondary to drigs

• Carcinoid

H. Komplikasi pada Kehamilan

Asma pada kehamilan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan

penurunan asupan oksigen ibu, sehingga berefek negative bagi janin. Asma tak terkontrol pada kehamilan menyebabkan komplikasi baik bagi

ibu maupun janin (OSUMC, 2005).

Komplikasi asma pada kehamilan bagi ibu

Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu.

Komplikasi asma tak terkontrol bagi ibu termasuk : 1) Preeklampsia (11

%), ditandai dengan peningkatan tekanan darah, retensi air serta proteinuria; 2) Hipertensi kehamilan, yaitu tekanan darah tinggi selama

kehamilan; 3) Hiperemesis gravidarum, ditandai dengan mual-mual, berat badan turun serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; 4) Perdarahan

pervaginam Induksi kehamilan dan atau komplikasi kehamilan (OSUMC,

(29)

Komplikasi ini bergantung pada derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat menyebabkan gagal napas, pneumotoraks, pneumomediastinum, kor

pulmonale akut, dan aritmia jantung. Mortalitas meningkat pada penggunaan ventilasi mekanik. Penyulit yang mengancam nyawa adalah pnemotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia jantung,

dan kelelahan otot disertai henti napas. Angka kematian secara substantive meningkatkan apabila asmanya memerlukan ventilasi mekanis. (Obstetri Williams, 1376-1377)

Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin

Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah

kesehatan janin, termasuk : 1) Kematian perinatal; 2) IUGR (12 %) , gangguan perkembangan janin dalam rahim menyebabkan janin lebih kecil dari umur kehamilannya; 3) Kehamilan preterm (12 %); 4) Hipoksia

neonatal, oksigen tidak adekuat bagi sel-sel; 5) Berat bayi lahir rendah (OSUMC, 2005).

Satu studi mencatat kematian janin disebabkan oleh asma berat sebagai akibat episode wheezing yang tidak terkontrol. Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah pada wanita asma masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa factor yang mendukung seperti perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma (Murphy et al., 2003; Clifton

(30)

Plasenta memegang peranan penting dalam mengontrol perkembangan janin dengan memberi suplai nutrisi dan oksigen dari ibu. Plasenta juga

mencegah transfer konsentrasi kortisol dalam jumlah besar dari ibu ke janin. Enzim plasenta 11β-hidroksisteroid dehidrogenase tipe-2 (11β -HSD2) berperan sebagai barier dengan memetabolisme kortisol menjadi

kortison inaktif, sehingga dapat menghambat perkembangan janin (NAEPP, 2003; Clifton et al., 2001).

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa selain factor lingkungan, faktor genetik ikut menentukan kerentanan seseorang terhadap penyakiit asma. Penyakit ini dapat dijumpai pada ibu yang sedang hamil, dan dapat

menyebabkan komplikasi pada 7% kehamilan (Blaiss, 2004).

I. Penatalaksanaan Asma dalam Kehamilan

Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif antara dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang

khusus menangani asma dan ibu hamil itu sendiri. Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama dengan pada penderita asma yang tidak hamil. Terapi medikasi asma selama kehamilan hampir sama dengan terapi penderita

asma tidak hamil, dengan pelega kerja singkat serta terapi harian jangka panjang untuk mengatasi inflamasi (Nelson and Piercy, 2001). Pentingnya

(31)

Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal

berikut.

Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin

Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550

liter/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat disesuaikan.

Menghindari faktor pencetus asma

Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan

kesejahteraan ibu dengan kebutuhan medikasi yang minimal (NAEPP,

2005). Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obat-obatan anti inflamasi non steroid (NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi,

kelembaban, emosi (Kramer, 2001; ACAAI, 2002). Di samping itu, pencetus terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung, tungau, jamur, amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya kucing

merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma. Semua hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan asma, termasuk kecoak.

(32)

disebabkan oleh aspirasi isi lambung kedalam paru sehingga menyebabkan bronkospasme, maupun aktivasi arkus refleks vagal dari esofagus ke paru

sehingga menyebabkan bronkokonstriksi (Kahrilas, 1996).

Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari paparan asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang merokok

berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian asma pada anaknya (Blaiss, 2004; Nelson and Piercy, 2001; NAEPP, 2005).

Edukasi

Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin. Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang

memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktor-faktor

pencetus asma (NAEPP, 2005).

Terapi farmakologi selama kehamilan

Kelompok kerja NAEPP merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi (tabel.1). Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid inhalasi,

β2 agonis dan kromolin bukan merupakan kontra indikasi pada penderita asma yang menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma selama laktasi

(33)

menurunkan risiko komplikasi kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik pada janin

atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam pengobatan darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan jangka panjang seharusnya dihindari

pada kehamilan muda, terutama sekali sejak efek pada janin tidak diketahui.(Greenberger, 1985).

Tahap 1: Asma Intermitten

Bronkodilator kerja singkat, terutama β2 agonis inhalasi direkomendasikan sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma

intermiten. Aksi utama β2 agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos jalan napas dengan menstimulus β2 reseptor, sehingga meningkatkan siklik AMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah β2

agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data

yang membuktikan kejadian cidera janin pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontra indikasi selama menyusui (NAEPP,

2005).

Tahap 2 : Asma Persisten Ringan

Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma

persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek

(34)

puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi hiperresponsif jalan napas, mencegah serangan dan mencegah remodeling dinding jalan napas

(NAEPP, 2005). Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin, pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi (NAEPP, 2003). Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma

dalam kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan (Nelson and Piercy, 2001).

Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi

selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah terkontrol dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol (NAEPP, 2005).

Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan risiko preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah (Nelson and Piercy, 2001;

Gluck and Gluck,2005; NAEPP,2005; Sharma,2004). Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan janin, penggunaan

(35)

kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi janin yang tidak adekuat (Greenberger, 1997).

Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa studi menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan kongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian neonatus

yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid (Nelson and Piercy,2001; NAEPP,2003; Rotschild et al.,1997)

Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi.

Kromolin sodium memiliki kemampuan anti inflamasi, mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran klorida. Kromolin ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma persisten ringan

(NAEPP, 2005).

Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) digunakan

untuk mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum hamil. Menurut opini kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor leukotrien merupakan terapi

(36)

Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma. Konsentrasi rendah teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi

ringan. Teofilin memiliki potensi toksisitas serius bila dosisnya berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain (misal dengan eritromisin). Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang

hati-hati serta pemantauan ketat untuk mempertahankan konsentrasi teofilin serum 5 – 12 mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan pada asma persisten

ringan (NAEPP, 2005).

Tahap 3 : Asma Persisten Sedang

Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan β2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi sampai dosis medium. Data yang menunjukkan

keefektivan dan atau keamanan penggunaan kombinasi terapi ini selama kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa penambahan β2 agonis

inhalasi kerja lama pada kortiko steroid inhalasi dosis rendah menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan dosis kortikosteroid (NAEPP, 2005).

Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi kerja lama dan singkat hampir sama, terdapat justifikasi bahwa β2 agonis inhalasi kerja

(37)

agonis inhalasi kerja lama aman digunakan selama kehamilan. Contoh β2

agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol dan formoterol (NAEPP,

2005). Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur, maupun preeklampsia, pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja

lama bila dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan (Gluck and Gluck, 2005).

Tahap 4 : Asma Persisten Berat

Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih membutuhkan tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus

dinaikkan sampai batas dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk penambahan kortikosteroid sistemik (NAEPP, 2005). Dosis kortikosteroid sistemik sebagai pengontol jangka panjang selama kehamilan dan laktasi

dapat dilihat pada Tabel.3.

Penatalaksaan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut.

(38)

Penanganan lini pertama adalah β adrenergic agonis (sub-kutan, oral, inhalasi) loading dose 4–6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8–1

mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10 –

20 µg/ml, Dan kortikosteroid, metilprednisolon 40- 60 mg I.V. tiap 6 jam. Terapi selanjutnya bergantung pada pemantauan respons hasil terapi.

Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30 – 60 menit dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif, di ICU dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan kelelahan, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas dan

mortalitas.

J. Penatalaksanaan Asma dalam Persalinan

Serangan asma akut selama kelahiran dan persalinan sangat jarang ditemukan. Ibu hamil dapat melanjutkan penggunaan inhaler rutin sampai persalinan. Pada ibu dengan asma yang selama kehamilan telah menggunakan steroid oral (>7,5 mg prednisolon setiap hari selama lebih

dari 2 minggu) saat awal kelahiran atau persalinan harus mendapatkan steroid parenteral (hidrokortison 100mg setiap 6-8 jam) selama persalinan, sampai ia mampu memulai kembali pengobatan oralnya.

Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter klinik, khususnya pada

(39)

pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik.

Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 l/menit,

maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan.

Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8

jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan

seperti telah diuraikan di atas.

Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan

seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat.

Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam, memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi

vakum atau forceps akan bermanfaat.

(40)

kehamilan. Prostaglandin F2α yang diindikasikan untuk perdarahan post partum berat, harus digunakan dengan hati-hati karena menyebabkan

bronkospasme (Nelson and Piercy, 2001).

Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas histamin.

Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal.

Selama kehamilan semua bentuk penghilang rasa sakit dapat digunakan dengan aman, termasuk analgetik epidural. Hindarkan penggunaan opiat

pada serangan asma akut. Bila dibutuhkan tindakan anestesi, sebaiknya menggunakan epidural anestesi daripada anestesi umum karena

peningkatan risiko infeksi dada dan atelektasis. Ergometrin dapat menyebabkan bronkospasme, terutama pada anestesi umum. Sintometrin (oksitosin/ergometrin) yang digunakan untuk mencegah perdarahan post

partum, aman digunakan pada wanita asma. Sebelum menggunakan obat-obat analgetik harus ditanyakan mengenai sensitivitas pasien terhadap

aspirin atau NSAID (Nelson and Piercy, 2001).

K. Penatalaksanaan Asma Post Partum

(41)

dramatis setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini.

Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan

kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.

L. Eksaserbasi Asma

Istilah eksaserbasi asma adalah sama dengan serangan asma atau asma akut yaitu episode meningkatnya secara prodresif gejala asma seperti sesak nafas, batuk, mengi atau rasa tertekan di dada atau kombinasi gejala-gejala

tadi yang umumnya diikuti juga dengan penurunan fungsi paru.

Eksaserbasi asma pada kehamilan perlu diobati secara agresif, pengawasan yang ketat, terlebih lagi bila berat karena tidak sengaja dapat mengancam nyawa ibu tetapi juga janin. Meskipun kematian karena asma jarang, ada beberapa resiko, kondisi yang berkaitan dengan kematian pada asma,

yaitu21:

• Riwayat eksaserbasi asma yang hampir fatal sampai memerlukan

intubasi dan ventilasi mekanis.

• Setahun terakhir dirawat atau mendapat pertolongan darurat karena

(42)

• Sedang memakai atau baru saja menghentikan pemakaian

kortikosteroid oral.

• Akhir-akhir ioni tidak memakai kortikosteroid inhalasi.

• Bergantung pada agonis β2 inhalasi aksi cepat, terutama yang

memakai lebih dari satu canister/bulan.

• Riwayat gangguan psikiatrik atau psikososial, termasuk penggunaan

obat-obat sedative.

• Riwayat ketidakpatuhan terhadap rencana obat.

• Pasien-pasien yang mempunyai resiko ini memerlukan pengawasan

yang lebih ketat dan dianjurkan mencari pertolongan segera bila mengalami eksaserbasi.

Langkah penanganan asma pada kehamilan

Sebelum kehamilan

Konseling mengenai pengaruh kahamilan dan asma, serta pengobatan. Penyesuaian terapi maintenance untuk optimalisasi fungsi respirasi, Hindari factor pencetus, alergen.

Rujukan dini pada pemeriksaan antenatal.

Selama kehamilan Penyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan kadar teofilkin dalam darah, karena selama hamil terjadi hemodilusi sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi.

Pengobatn untuk mencegah serangan dan penanganan dini bila terjadi serangan.

Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari efek sistemik pada janin.

Pemeriksaan fungsi paru ibu.

Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir trimester II/awal trimester III.

Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.

Saat persalinan Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan diulang bila timbul

gejala.

Pemberian oksigen adekuat.

Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg i.v. tiap 8 jam) diberika 4 minggu sebelum persalinan dan terapi maintenance diberikan selama persalinan.

Anestesi epidural dapat digunakan selama proses persalinan. Pada persalinan operatif lebih baik digunakan anestesi regional untuk menghindari rangsangan pada intubasi trakea. Penanganan hemoragi pascapersalinan sebaiknya menggunakan uterotonika atau PGE2karena

PGE dapat merangsang bronkospasme.

(43)

maintenance.

Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu mendapat obat antiasma termasuk prednisone.

(Dikutip dari : Williams Obstetrics 22nded, 2005)

M. Farmakologi Obat Asma pada Kehamilan

Terapi farmakologi asma selama kehamilan dan laktasi

Derajat Penyakit : Gambaran Klinis sebelum terapi atau Pengobatan yang dibutuhkan untuk control memelihara efek jangka panjang

Tahap 4 Persisten Berat Gejala harian Gejala malam Terus menerus Sering

APE atau VEP1 Variabilitas APE

≤60% >30%

Pengobatan harian

Terapi yang dianjurkan :

Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, dan

β-2 Agonis inhalasi kerja lama, dan jika perlu

Kortikosteroid tablet atau sirup (2mg/kg/hari, tidak>60mg/hari) Terapi alternatif :

Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, dan

Teofilin lepas lambat sampai kadar serum 5-12mcg/mL

setiap hari <60%-<80% Terapi yang dianjurkan :

Tahap 3 > 1 malam dlm 1 Kortikosteroid inhalasi dosis rendah,

Persisten minggu >30% dan

Sedang β-2 Agonis inhalasi kerja lama

atau :

Kortikosteroid inhalasi dosis sedang, jika perlu

( terutama pada pasien serangan berat berulang)

Kortikosteroid inhalasi dosis sedang dan

β-2 Agonis inhalasi kerja lama Terapi alternatif :

Kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan

Teofilin atau antagonis reseptor leukotrien, jika perlu

Kortikosteroid inhalasi dosis sedang dan

Teofilin atau antagonis reseptor leukotrien

>2 hari dalam 1 ≥80% Terapi yang dianjurkan :

Tahap 2 minggu Kortikosteroid inhalasi dosis rendah

Persisten tetapi < setiap 20%-30% Terapi alternatif :

Ringan hari Kromolin

>2 malam dalam Antagonis reseptor leukotrien, atau

(44)

serum 5-12mcg/mL

Tahap 1 Intermitten

≤2 hari dalam 1 Minggu

≤2 malam dalam 1 bulan

≥80%

≤20%

Tidak diperlukan pengobatan harian Bila terjadi serangan asma berat, dianjurkan

pemberian kortikosteroid sistemik untuk jangka waktu singkat Pelega cepat

Bronkodilator kerja singkat : 2-4 semprotβ-2 agonis inhalasi kerja singkat,untuk mengatasi gejala semua pasien

Intensitas terapi tergantung pada berat serangan, jika intensitasnya lebih dari 3

pengobatan dalam interval waktu 20 menit atau memerlukan terapi inhalasi, maka

dianjurkan pemberian kortikosteroid sistemik

Penggunaanβ-2 agonis inhalasi kerja singkat lebih dari 2 kali dalam 1 minggu pada asma intermitten (setiap hari,atau kebutuhan inhaler yang meningkat pada asma persisten) menandakan peningkatan kebutuhan terapi kontrol jangka lama

N. Dikutip dari (NAEPP, 2005)

Dosis pengobatan kontrol jangka lama selama kehamilan dan laktasi

Jenis Obat Sediaan Dosis Dewasa

Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik

Metilprednisolon tablet 2,4,8,16,32 mg

7,5-60 mg perhari sebagai

Prednisolon tablet 5 mg dosis

tunggal di pagi hari

5 mg/ 5 cc short course "burst" sebagai kontrol

15 mg/ 5 cc 40-60 mg perhari dosis Prednison tablet 1, 2,5, 5, 10, 20, tunggal

50 mg atau dosis terbagi

5 mg/ cc untuk 3-10 hari

5 mg/ 5 cc Beta-2 agonis inhalasi kerja

lama MDI 21 mcg/puff

Salmeterol DPI 50 mcg/puff DPI 12 mcg/ kapsul

Formoterol sekali pakai 2 puff setiap 12 jam

1 blister setiap 12 jam Obat Kombinasi DPI 100, 250 atau 500 mcg/50 1 kapsul setiap 12 jam

Fluticasone/ mcg

[image:44.595.110.575.118.413.2] [image:44.595.111.513.469.753.2]
(45)

Kromolin

Kromolin MDI 1 mg/puff

1 puff 2 kali sehari : dosis tergantung pada derajat berat

Antagonis Reseptor Leukotrien

Nebulisasi 20 mg/ampul asma

Montelukast Zafirlukast Metilxantin Teofilin

tablet 10 mg tablet 10 atau 20 mg

cair, tablet lepas lambat dan kapsul

2-4 puff 3-4 kali sehari 1 ampul 3-4 kali sehari

10 mg qhs

40 mg perhari (20 mg tablet bid)

dosis dimulai 10 mg/kg/hari sampai maks. 300 mg biasanya maksimum 800 mg/hari

(46)

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional, yaitu mencari perbedaan antara variabel bebas, yaitu gilir jaga malam, variabel terikat, yaitu tekanan

darah sistolik, serta variabel perancu pada mahasiswa kepaniteraan klinik. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data pada satu waktu yang sama

(Sastroasmoro, 2008).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada

bulan Januari 2013.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung yang gilir jaga malam,

(47)

Besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus

(Dahlan, 2009) :

2

+

1= 2 =

1 2

n = jumlah sampel

S = simpang baku gabungan

X1-X2 = perbedaan klinis yang diinginkan

α = tingkat kesalahan tipe I 5%, maka tingkat kemaknaannya 95%, sehingga Zα= 1,64

β = tingkat kesalahan tipe II 20%, maka tingkat ketajamannya (power)80% sehingga Zβ =0,842

S adalah simpang baku gabungan dan X1-X2 adalah perbedaan klinis yang

diharapkan, dimana nilai ini ditetapkan berdasarkan penelitian Merijanti tahun 2008 didapatkan nilai simpang baku 8,8 dan perbedaan klinis tekanan

darah sistolik 4.

Dari rumus di atas ditentukan:

1 = 2 =

1,64 + 0,842 8,8 2

4

n1= n2= 29,8159 = 30≈ 40

Untuk mendapatkan hasil yang representatif dalam penelitian ini dibutuhkan

minimal 30 sampel, namun untuk mencegah jumlah sampel berkurang karena adanya sampel yang gugur akibat kriteria ekslusi dan inklusi, peneliti mengambil jumlah total sampel sebanyak 40 orang mahasiswa kepaniteraan

(48)

Adapun kriteria inklusi dari penelitian ini adalah :

1. Mahasiswa kepaniteraan klinik yang sedang gilir jaga malam di stase

mayor (bedah, obstetri ginekologi, dan anak) RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dalam keadaan sehat.

2. Bersedia dilakukan pemeriksaan pengukuran tekanan darah.

Subjek akan dikeluarkan dari penelitian jika memenuhi kriteria eksklusi

sebagai berikut:

1. Memiliki hipertensi. 2. Memiliki asma.

3. Cukup tidur 8 jam.

D. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. 1. Variabel Terikat(Independent variable)

Variabel terikat yang diteliti tekanan darah sistolik dan diastolik pada

mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

2. Variabel Bebas(Dependent variable)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah mahasiswa kepaniteraan klinik melaksanakan gilir jaga malam.

3. Variabel Perancu(Confounding variable)

(49)

E. Definisi Operasional

[image:49.595.146.509.182.500.2]

Definisi operasional dari penelitian ini adalah : Table 1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala

Gilir

malam

Ternasuk sistem gilir yang

berpindah tetap dan

Pengamatan

dilakukan sebelum

Nominal

dilakukan pada malam hari

selama 8 jam.

pekerja bekerja dan

setelah pekerja

bekerja

Tekanan

Darah

Diastolik

Tekanan bilik kiri jantung

yang sedang terisi kembali

(mmHg)

Sphygmomanometer Numerik

Tekanan

Darah

Sistolik

Kekuatan jantung bilik kiri

memompa darah ke arteri

(mmHg)

Sphygmomanometer Numerik

F. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data primer yang

diperoleh melalui kuisioner yang diisi oleh mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung yang gilir jaga malam, serta

(50)

G. Prosedur Penelitian

Alur Penelitian

Meminta izin untuk melakukan penelitian di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung

Menyiapkan kuesioner yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Pengisian Lembar Persetujuan oleh responden

Membagikan kuisioner kepada responden yang sudah ditentukan dan melakukan pengukuran

tekanan darah sebelum dan sesudah gilir jaga malam.

Melakukan pengolahan data.

[image:50.595.140.516.107.388.2]

Hasil dan kesimpulan.

Gambar 7. Alur Penelitian

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data

(51)

a. Editing, untuk melakukan pengecekan data yang didapat baik dari wawancara maupun pengukuran tekanan darah.

b. Coding, untuk mengkonversikan atau menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

c. Data entry,memasukan data ke dalam komputer.

d. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukan ke dalam komputer.

2. Analisis data

a. Analisis Univariat

Analisis ini memberikan gambaran mengenai masing-masing variabel yaitu tekanan darah sistolik mahasiswa kepaniteraan klinik dan pengaruh gilir malam pada mahasiswa kepaniteraan klinik

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji T-test

berpasangan. Sebelum dilakukan analisis uji T-test berpasangan dilakukan uji normalitas Shapiro-wilk untuk mengetahui sebaran data. Berdasarkan data yang yang diperoleh, bila data berdistribusi

normal maka maka digunakan uji analisis data dengan menggunakan uji t-berpasangan dengan kemaknaaan 0,05 (α = 0,05), dan apabila

(52)

A. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan :

1. Adanya perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum dan sesudah melakukan gilir jaga malam pada mahasiswa kepaniteraan

klinik di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung, dimana tekanan darah sesudah melakukan gilir jaga malam lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum melakukan gilir jaga malam, dengan

selisih rerata tekanan darah sistolik tersebut sebesar 5,25 mmHg dan selisih rerata tekanan darah diastolik tersebut sebesar 3,625 mmHg.

2. Distribusi rerata tekanan darah sistolik sebelum melakukan gilir jaga malam adalah 114,375 mmHg.

3. Distribusi rerata tekanan darah sesudah sistolik melakukan gilir jaga malam adalah 119,625 mmHg.

4. Distribusi rerata tekanan darah diastolik sebelum melakukan gilir jaga malam adalah 73,25 mmHg.

(53)

B. Saran

Saran yang dapat diberikan oleh penulis :

1. Waktu kerja normal adalah 8 jam kerja dalam seharinya yang merupakan efektivitas kerja. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja normal

dikatakan waktu kerja lembur.

2. Memberlakukan sistem gilir jaga dengan putaran cepat, yaitu 1 sampai 4 hari dengan pola kerja 2 kali gilir jaga siang, 2 kali gilir jaga malam dan 2

hari libur.

3. Perlunya penelitian selanjutnya dengan pembacaan hasil tekanan darah sistolik dan diastolik yang teliti sehingga hasil yang didapatkan lebih

akurat.

(54)

B, Karlsson., A, Knutsson., B, Lindah. 2001. Is there an association between shift work and having a metabolic syndrome? Results from a populationbased

study of 27 485 people.Occup Environ Med.58: 747-52.

Budijanto, D., Astuti WD, Anggaeini, R. 2000. Analisis kecenderungan hipertensi

dalam hubungannya dengan usia dan body mass index. J Kedokteran

Trisakti.19: 47-54.

Bøggild, H., Knutsson, A. 1999. Shiftwork, risk factors and cardiovascular

disease.Scand J Work Environ Health. 25: 85-99.

Costa, G. 2003.Factors Influencing health of workers and tolerance to shift work, Theory Issues in Ergonomic Science. 4, 263-288.

Dahlan, S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Seri EBM 2. Salemba Medika. Jakarta.

Darliah, L., Handoyo, Asti. 2007. Hubungan Antara Stres dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Perawat di IGD dan ICU RS PKU Muhammadiyah Goombong.Keperawatan STIKES. Muhammadiyah Gombong.

Dewi, S. 2006.Shift Work ( Kerja Gilir). Makalah Pelatihan Aplikasi Ergonomi di Perusahaan sub Bagian Kedokteran Okupasi. Ilmu Kedokteran Komunitas. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Diah, A. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja pada Pekerja bagian Produksi PT ISM Bogasari Flour Mills, Tbk Tahun 2009. Skripsi. FKM UIN : Jakarta.

Dongen, H. P. 2006. Shift Work and interindividual difference in sleep and Effect on-Duty Naping on Intern Sleep Time Fatique, Annals of internal Medicine, 81(5):419–425.

Eguchi, k. 2008. Short Sleep Duration as an Independent Predictor of Cardiovascular Events in Japanese Patients With Hypertension. The Journal of Clinical Hypertension Volume 168(20): 2225-2231.

(55)

Guyton, A.C., Hall J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta.

Hoshide, S., Kario, K., Hoshide, Y., Umeda, Y., Hashimoto, T., Kunii, O. 2003. Association between non dipping of nocturnal blood pressure decrease and cardiovascular target organ damage in strictly selected

community-dwelling normotensives.Am J Hypertens. 16: 434-8.

Joewono, B.S., 2003 . Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University

Press.

Kitamura, T. 2002. Circadian rhythm of blood pressure is transformed from a dipper to a non-dipper pattern in shift workers with hypertension. Journal of Human Hypertension. 16; 193–197.

Kroemer, KHE. 2000. Editor fitting the task to the human, The textbook of

Occupational Ergonomics. p. 211-30 and 259-27.

Lewington, S., Clarke, R., Qizilbash, N., Peto, R., Collins, R. 2002. Age-specific relevance of usual blood pressure to vascular mortality: a meta-analysis of

individual data for one million adults in 61 prospective studies. Lancet.

360: 1903-13.

Lie T, Merijanti., Samara Diana., Tandean, Reza., Harrianto, Ridwan. 2008. The role of night shift work on blood pressure among healthy female nurses. Universa Medicina Journal.Vol. 27-No. 2.

Lientjie, S. 2009. Faktor dan Penjadualan Shift Kerja. Jurnal Teknoin. 13 (2) : 11-22.ISSN :0853-8697.

Munandar, A.S. 2001. Stress dan Keselamatan Kerja. Universitas Indonesia: Jakarta.

Nazri, SM., Tengku, MA., Winn, T. 2008. The association of shift work and hypertension among male factory workers in Kota Bharu Kelantan,

Malaysia.Southeast Asian J Trop Med Public Health. 39: 176-83.

Ohira, T., Tanigawa, T., Iso, H., Odagiri, Y., Takamiya, T., Shimomitsu, T. 2000. Effects of shift work on 24-h ambulatory BP and its variability among

Japanese workers.Scand J Work Environ Health. 26: 421-6

(56)

Oginska, H. 2006. Fatigue and mood correlates of sleep lengthin three age-social groups: school children, students, and employees. Chronobiology International.23(6): 1317–1328.

Purwanto, D. 2005.Kerja gilir dan insomnia serta faktor yang mempengaruhi ada pekerja industri semen PT I .Tesis. Program Studi Magister Kedokteran Kerja. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Rasmun. 2004.Stress,Koping dan Adaptasi. Edisi Pertama. Sagung Seto. Jakarta. Rooke, TW., Sparks, HV. 2003. In: Rhoades RA, Tanner GA. Medical

Physiology, 2nd edition.Lippincott Williams & Wilkins.Philadelphia. Rouch, I. 2005. Shift experience, age and cognitive performance, Ergonomics,

48(10), 1282-1293.

Sastroasmoro, Sudigdo. 2010.Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.Edisi 3. Sagung Seto. Jakarta

Sauvet, F. 2009. Effect of acute sleep deprivation on vascular function in healthy subjects.Journal of Applied Physiology 108: 68–75.

Seaward, J.P. 2002. Occupational Stress. In: LaDou J. editor. Current Occupational and Environmental Medicine, 2th edition. McGraw-Hill : New York : 579-594.

Sherwood, L. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, alih bahasa Brahm U. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Smeltzer, C., Suzanne, Bare., G, Brenda. 2001. Buku Ajar medikal bedah Brunner dan Suddarth.EGC. Jakarta

Sofrina, I. 2004. Analisis Hubungan antara Kerja Gilir dengan StressKerja pada Pekerja Laki-Laki Pabrik Semen x” di Jawa Barat. Thesis; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Suprapto, P. H. 2008. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Stres Kerja Pada Polisi Lalu Lintas Dikawasan Puncak-Cianjur. Skripsi. UIN : Jakarta.

Tayyari, F, Smith. 1997. Occupational ergonomic: priciples and application. Chaman and hall : London.

(57)

Tomei, G. 2006. Short communication: Assessment of subjective stress in the municipal police force at the start and at the end of the shift, Stress and Health, 22, 239-247.

Universitas Lampung. 2010. Panduan Penyelenggaraan Program Sarjana Kedokteran Universitas Lampung.Universitas Lampung: Bandar lampung. Wallace. 2002. Imlication of Shiftwork and Irregular hour of work,Guidelines of

Managing Shiftwork.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 1. Penampang saluran nafas pada keadaan normal dan pada asma
tablet 2,4,8,16,32 mg
Table 1. Definisi Operasional
+2

Referensi

Dokumen terkait

Based on interview, the researcher found that the EED UMY lecturers faced several challenges in applying the strategies to encourage the students to speak in English.. Mainly, the

Ciri-ciri eksplan terkontaminasi oleh jamur pada minggu ke-3, kontaminasi akibat jamur pertumbuhannya lebih cepat dibandigkan dengan bakteri, hal ini disebabkan

Laporan Individu Kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) UNY 2015 20 selain itu, keunggulan sentra adalah memudahkan pendidik untuk mengawasi dan mengontrol lingkungan

AKAN SEGERA MENYAPA JIKA BERKUNJUNG KE PANTAI GLAGAH // DI SETIAP LOKASI ITU, / ANDA BISA MENIKMATI SELURUH KEINDAHAN PANTAI DENGAN LELUASA, SAMA SEKALI TAK ADA

Makanan yang mengandung banyak lemak dapat menyebabkan penimbunan lemak disepanjang pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan pada pembuluh darah dan memacu

&#34;Putusan lepas {onslag van recht vervolging) dijatuhkan oleh hakim apabiia segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut

Kamus liii berhasil disusun temtama atas kepercayaan Pemimpin Pro-. yek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pu sat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Untuk itu,

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLI-B3, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague,