• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Reptilia

F. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Reptilia

2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Reptilia

[mundukusi s w in ʌ ʌ ʌ ʌ dimb ℓ k i d n , inʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘kalau memukul ular jangan sampai bergaris tanah, jangan dimpokakai wobo, pala sawa na made.

dimp k k i wobo, p l ͻ ʌ ʌ ʌ ʌ s w n m d ] ʌ ʌ ʌ ʌ ɛ

sampai dipatahkan cambuk, tetapi ular yang mati’

‘Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (14) berfokus pada kata “ular”, “tanah”, “mematahkan”, dan “cambuk”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.29. Alur Analisis Makna Metaforis

“Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati” Data (14)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya

yang akan mati Ular KM: [binatang melata]

[tubuhnya agak bulat memanjang] Tanah KM: [permukaan bumi] Mematahkan KM: [memutuskan] Cambuk KM:

[alat untuk melecut binatang]

Kehatia-hatian dalam menegakkan hukum, jangan korbankan orang

yang diadili ataupun hukum

KM:

[orang yang bersalah]

KM:

[tempat manusia tinggal] KM:

[mencederai] [mengorbankan]

KM: [hukum]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Aktivitas memukul ular dipetakan pada kehati-hatian dalam hukum

Interpretasi terhadap tanda “kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati” mengakibatkan munculnya KM: kalau memukul ular, ularnya yang dipukul sampai mati, jangan sampai mengenai tanah dan cambuknya patah, hingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis seorang hakim atau pemimmpin harus berhati-hati dalam menegakkan hukum, jangan mengorbankan orang yang diadili ataupun hukum itu sendiri; sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM tanda “Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati”

Ungkapan ini diawali dengan kata mundukusi ‘kalau memukul’. Memukul dalam konteks ini adalah menggunakan cambuk. Kalau cambuk dipukulkan pada ular, jangan sampai mengenai tanah dan jangan sampai cambuk yang patah. Artinya, hanya ular yang kena pukul, sedangkan tanah dan cambuk harus tetap utuh. Jika tidak hati-hati akibatnya bisa tidak menguntungkan, jika cambuk mengenai tanah dan patah, ular tidak mati dan terlepas dari kejaran. Ular adalah metafora orang yang bersalah, cambuk adalah metafora hukum, dan tanah adalah wadah tempat manusia tinggal. Sesanti ini ditujukan pada penegak hukum agar berhati-hati dalam menegakkan hukum. Penegakan hukum yang baik adalah yang menjaga hak-hak pihak yang bermasalah dan hukum itu sendiri. Jangan sampai salah satu dari keduanya dikorbankan untuk kepentingan tertentu.

Pengalaman orang Bima dengan alam lingkungannya menjadi sumber untuk memahami ide atau hal-hal yang abstrak atau yang bersifat kontekstual. Timbulnya sesanti Mu-nduku-si sawa aina dimbalakai dana, aina dimpokakai wobo, pala sawa na made merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat orang yang memukul ular. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang seorang hakim atau pemimpin harus berhati-hati dalam menyelesaikan perkara. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada sesuatu yang dijadikan referansi dalam metafora tersebut.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti (14) adalah “Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “tegakkanlah hukum dengan seadil-adilnya, jangan korbankan orang yang diadili ataupun hukum itu sendiri”.

(23) Linta ma-ne’e ndadi sawa [ℓint m -neqe nd di s w ]ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘lintah ingin jadi ular’ ‘Pacet hendak menjadi ular’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (23) berfokus pada kata

“pacet”, dan “ular”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.30. Alur Analisis Makna Metaforis

“Pacet hendak menjadi ular” Data (23)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Pacet hendak menjadi ular

Pacet KM:

[binatang pengisap darah] [badan langsing mengecil ke depan]

Ular KM: [binatang melata]

[tubuhnya agak bulat memanjang, jauh lebih besar dari pada pacet]

Orang miskin berlagak seperti orang kaya

KM: [orang miskin]

KM: [orang kaya]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Pacet dipetakan pada orang miskin dan ular dipetakan pada orang kaya

Proses interpretasi terhadap tanda “pacet hendak menjadi ular” mengakibatkan munculnya KM: pacet binatang kecil ingin menjadi ular yang jauh lebih besar, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis ‘orang miskin yang berlagak seperti orang kaya’.

Ungkapan linta ma-ne’e ndadi sawa ‘pacet hendak menjadi ular’ ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang miskin tapi berlagak seperti orang kaya. Linta ‘pacet’ adalah binatang kecil pengisap darah yang biasa bergaya ketika berjalan, kadang berjalan seperti ulat jengkol dan kadang bisa memipihkan tubuhnya sampai sekecil benang. Gaya pacet berjalan inilah yang digunakan

masyarakat Bima untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang orang miskin yang berlagak seperti layaknya orang kaya.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “pacet hendak menjadi ular”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang miskin yang berlagak seperti orang kaya”.

(25) Aina ma-sapa si sawa [ænʌ m -s p si s w ]ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘jangan melangkahi ular’ ‘Jangan melangkahi ular’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (25) berfokus pada kata “melangkahi ”, dan “ular”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.32. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan melangkahi ular” Data (25)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Jangan melangkahi ular Melangkahi KM: [melewati] Ular KM: [binatang berbisa]

Melakukan sesuatu yang sangat berbahaya

KM:

[melakukan aktivitas] KM:

Perbandingan dan Pengalihan Konsep Melangkahi ular dipetakan pada tindakan berbahaya

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam sesanti ini referen/tanda bahasa “jangan melangkahi ular” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa kandungan sifat (KM) yang dimiliki tanda tersebut, yaitu: melangkahi binatang berbisa yang dapat menyebabkan kematian, diasosiasikan dengan “melakukan suatu yang sangat berbahaya”.

Timbulnya ekspresi bijak bune ma-sapa si sawa ‘jangan melangkahi ular’ merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat sawa ‘ular’ yang mematuk manusia dengan bisanya, jika bisa racun tidak cepat-cepat dikeluarkan dapat berakibat pada kematian. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang orang yang melakukan suatu yang sangat berbahaya.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “jangan melangkahi ular”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “orang yang melakukan sesuatu yang sangat berbahaya ”.