• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas

D. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas

2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas

(16) Bune janga ma ntolu ese wawo jompa [bun jaɛ ŋ m nt ℓu ese w wo j mp ]ʌ ʌ ͻ ʌ ͻ ʌ

‘seperti ayam yang bertelur di atas lumbung’ ‘Seperti ayam bertelur di lumbung’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (16) berfokus pada kata “ayam”, dan “lumbung”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.12. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam bertelur di lumbung” Data (16)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti ayam bertelur di lumbung

Ayam KM: [binatang piaraan] [suka makan padi]

Lumbung KM:

[tempan menyimpan hasil pertanian]

Orang yang hidup senang dan mewah

Manusia KM:

[makhluk berakal budi]

KM:

[semua kebutuan tersedia]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam yang berada di lumbung dipetakan pada kehidupan mewah

Dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “seperti ayam bertelur di lumbung” yang memiliki KM: ayam yang bertelur di tempat yang penuh dengan makanan kesukaannya (padi), telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan orang yang hidup senang dan mewah.

Penggunaan leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor (16) berdasarkan pengalaman pencipta sesanti yang melihat kebiasaan ayam yang sangat menyukai beras atau padi. Sehingga apabila seekor ayam berada di jompa ‘lumbung’, ia akan dapat memakan padi dalam lumbung tersebut sampai puas. Mengacu pada kebiasaan tersebut janga ‘ayam’ digunakan sebagai penggambaran suatu konsep baru tentang orang yang hidup senang dan mewah.

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam bertelur di lumbung”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “orang yang hidup senang dan mewah”.

(17) Bune janga di tando saninu [bun jɛ ʌŋ ʌ di tʌndͻ sʌninu] ‘seperti ayam PREP-di depan cermin’ ‘Seperti ayam di depan cermin’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (17) berfokus pada kata “ayam”, dan “cermin”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.13. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam di depan cermin” Data (17)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti ayam di depan cermin Ayam

KM:

[binatang dipelihara] Cermin

KM:

[kaca yang dapat memperlihatkan bayangan benda yang diletakkan di

depannya]

Orang yang asing dengan bayangannya sendiri

KM:

[manusia berakal budi] KM:

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam yang melabrak bayangannya sendiri dipetakan pada sifat manusia

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam sesanti ini tanda bahasa “seperti ayam di depan cermin” telah melewati teknik interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa KM yang dimiliki tanda bahasa tersebut diasosiasikan dengan karakter seseorang yang asing dengan bayangannya sendiri.

Leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor (17) digunakan sebagai sarana acuan metafora yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang asing dengan kebudayaan, agama, keluarga, adat-istiadat atau tradisi tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, sehingga ia merasa aneh bahkan melawan kebudayaan dan peradaban tersebut, yang sebenarnya adalah “bayangannya” sendiri. Dengan demikian, orang seperti itu mirip dengan perilaku ayam yang melabrak bayangannya sendiri ketika berdiri di depan cermin atau kaca karena disangka musuh atau bayangan dari ayam yang lain.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam di depan cermin”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang yang asing dengan bayangannya sendiri”.

(18) Ma-gogu-ra bune janga ma noto sia, coro-coro ka-male weki [mʌgͻgurʌ bun jɛ ʌŋ m n t si c r -c r k m ℓʌ ʌ ͻ ͻ ʌ ͻ ͻ ͻ ͻ ʌ ʌ ɛ

w ki]ɛ

‘2:T-lesu-lah seperti ayam yang mematuk garam, pura-pura melesukan diri’ ‘Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (18) berfokus pada kata “ayam”, “garam” dan “lemas”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.14. Alur Analisis Makna Metaforis “Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas” Data (18)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas

Ayam KM: [binatang piaraan] [makan biji-bijian] Garam KM:

[bumbu dapur yang rasanya asin] Lemas

KM: [tidak berdaya]

Orang yang berpura-pura sakit karena kesalahan yang disengaja

diketahui orang lain KM:

[manusia berakal budi]

KM:

[melakukan kesalahan dengan sengaja]

KM: [pura-pura sakit] Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam yang lemas karena makan garam dipetakan pada sifat manusia

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam sesanti ini referen/tanda bahasa “sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi,

yang artinya bahwa kandungan sifat (KM) yang dimiliki tanda tersebut, yaitu: ayam yang lemas karena makan makanan yang asing (garam) seakan-akan dia pura-pura sakit, diasosiasikan dengan karakter seseorang yang berpura-pura sakit agar terbebas dari kesalahan yang telah diperbuat.

Janga ‘ayam’ yang makan garam biasanya akan sakit (layu) dan layunya itu seakan-akan dibuat-buat. Kata coro-coro berarti ‘pura-pura’. Ayam yang memakan garam sebenarnya tidak benar-benar sakit, tetapi hanya layu karena ada makanan asing yang masuk dalam tubuhnya. Tingkah laku ayam yang makan sia ‘garam’ agak aneh, yaitu coro-coro kamale weki ‘berpura-pura layu’. Dalam proses menahan rasa asin itu ayam biasanya akan diam seperti sedang menderita gogu ‘sakit’. Kalau rasa asin itu hilang, ayam akan kembali sehat dan berlari-lari seperti biasanya.

Perilaku ayam seperti pada sesanti di atas dibandingkan dengan orang yang membuat suatu kesalahan dan kesalahan itu dilakukan dengan sengaja. Begitu kesalahan itu diketahui orang lain, orang itu kemudian berpura-pura sakit, tidak bergairah untuk melakukan sesuatu. Kepura-puraan itu dilakukan agar orang lain tidak memperhatikan kesalahan yang dibuatnya. Artinya, seseorang yang sedang sakit tidak akan diganggu orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kesalahan yang pernah dibuatnya. Kalau orang lain sudah melupakan kesalahannya, orang itu akan kembali beraktivitas lagi. Perilaku semacam itu adalah suatu cara agar kesalahannya tidak dibesar-besarkan oleh orang disekitarnya sehingga terhindarlah dia dari perasaan malu.

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang yang berpura-pura sakit agar terbebas dari kesalahan.

(9) Dou musu Ruma-na bune nasi ade kuru-na [dou musu rum n ʌ ʌ bun n si de kurun ]ɛ ʌ ʌ ʌ

‘manusia lawan Tuhan3:T bagaikan burung didalam sangkar3:T’ ‘Manusia melawan Tuhannya bagaikan burung di sangkar

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (9) berfokus pada kata “burung”, dan “sangkar”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.15. Alur Analisis Makna Metaforis

“Manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya” Data (9)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya

Burung KM: [binatang] [bersayap dan berbulu]

Sangkar KM: [terkunggkung]

Sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan

Tuhan Manusia

KM: [hamba]

[tunduk pada kuasa Tuhan] Tuhan

KM:

[tidak bisa keluar] [mempunyai kekuasaaan terhadap manusia]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep Burung dalam sangkar dipetakan pada sifat manusia

Interpretasi terhadap tanda “manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya” mengakibatkan munculnya KM: sekuat apapun seekor burung tidak akan bisa keluar dari sangkarnya, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis ‘sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan Tuhannya.

Sesanti nomor (9) ini menggunakan perbandingan dou musu Ruma-na ‘manusia melawan Tuhannya’ yang kemudian diambil acuan pemetaforaannya seperti nasi ade kuru ‘burung dalam sangkar’. Ungkapan ini mengiaskan manusia mirip dengan burung, sementara kekuasaan Tuhan mirip seperti sangkar. Bagaimanapun kuat dan hebatnya manusia, ia tidak akan pernah bisa melawan kekuasaan Tuhan, sebagaimana layaknya seekor burung yang berada dalam sangkar. Jadi, sesanti ini memberikan perumpamaan tentang sesungguhnya hidup manusia itu berada dalam genggaman atau kekuasaan Tuhan.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘bagaikan’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “manusia melawan Tuhannya bagaikan burung di sangkarnya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan

memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan tuhan”.

Dalam penentuan makna metaforis pada sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(10) Sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa [s -ese-ese k in ʌ ʌ ʌŋ mo bɛ ʌŋ , cumpuͻ k in mb ℓi j mpʌ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘setinggi-tinggi terbang bangau, berakhir bercampur kembali mundur di ndano

di nd n ]ʌ ͻ

PREP-di danau’

‘Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (10) berfokus pada kata “bangau”, “terbang” dan “danau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.16. Alur Analisis Makna Metaforis

“Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” Data (10)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga

Bangau KM:

[unggas paruh panjang] [hidup di tempat berair]

Terbang KM:

[melayang di udara]

Sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali

Manusia KM:

[makhluk berakal budi]

KM: [merantau]

Danau KM:

[genangan air yang luas]

KM:

[kampung halaman]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Tindakan bangau dipetakan pada pola rantau masyarakat Bima

Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “setinggi- tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan “sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali”.

Kata bango ‘bangau’ dalam sesanti ini adalah metafora yang menggambarkan manusia yang pergi jauh merantau. Satwa burung bangau yang banyak terdapat di daerah Bima telah menjadi inspirasi dan pelajaran berharga bagi masyarakat Bima. Burung yang juga termasuk burung imigran tersebut selalu terbang jauh setiap pergantian musim dari belahan bumi utara ke selatan atau sebaliknya, namun ndano ‘danau’ selalu menjadi tempat tujuan. Selain di danau dan laut, bangau juga banyak ditemui di areal persawahan daerah Bima. Burung bangau sudah menjadi simbol bagi pola rantau masyarakat Bima. Ini membuktikan betapa pola hidup masyarakat Bima sangat menyatu dengan alam. Ungkapan sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa di ndano ‘setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga’ benar-benar diaplikasikan masyarakat Bima dengan konsep merantau bukan pindah kampung halaman. Menurut informan, pola rantau orang Bima adalah temporer (sementara), mereka

pergi merantau karena misi tertentu, yakni untuk penempaan jiwa, pencerdasan diri, pendidikan, kedinasan, dan mengadu nasib. Namun seiring perkembangan zaman, sekarang banyak juga orang Bima yang menetap di daerah rantau sampai akhir hayatnya.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali”.

Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(12) Bango made ba karefa [bʌŋ m d ͻ ʌ ɛb k r f ]ʌ ʌ ɛ ʌ

‘bangau mati oleh katak’ ‘Bangau mati oleh katak’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (12) berfokus pada kata “bangau”, dan “katak”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.17. Alur Analisis Makna Metaforis “Bangau mati oleh katak” Data (12)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Bangau KM:

[unggas paruh panjang] [hidup di tempat berair]

Katak KM: [makanan bangau]

mendatangkan petaka karena keserakahan

KM: [keserakahan]

KM:

[sesuatu yang disukai]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Bangau yang mati karena katak dipetakan pada sifat manusia

Interpretasi terhadap tanda “bangau mati oleh katak” mengakibatkan munculnya KM: bangau mati karena menelan beberapa ekor katak sekaligus, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis “sesuatu yang disukai kadang-kadang mendatangkan petaka pada diri sendiri karena keserakahan”.

Untuk memaknai metafora pada sesanti nomor (12) di atas mungkin agak sulit diterima akal mengenai katak bisa membunuh bangau, karena yang kita tahu bahwa katak itu adalah salah satu makanan favorit burung bangau. Akan tetapi, berangkat dari ketidaklogisan itulah makna metaforis dari ungkapan tersebut bisa ditemukan. Artinya, menjadi sangat mungkin bangau mati ketika ia memakan atau menelan beberapa ekor katak sekaligus sehingga membuat tenggorokannya tersumbat dan akhirnya berakibat pada kematian. Semua itu bisa terjadi gara-gara sifat serakah burung bangau itu sendiri.

Timbulnya sesanti bango made ba karefa ‘bangau mati oleh katak’ akibat pengalaman pencipta sesanti melihat bango ‘bangau’ yang mati karena

tenggorokannya tersumbat oleh karefa ‘katak’. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang sesuatu yang disukai kadang-kadang bisa membahayakan diri sendiri. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referensi dalam metafora.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “bangau mati oleh katak”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “sesuatu yang disukai kadang-kadang membahayakan dirinya sendiri”.

(24) Pehe pada janga ade dolu [pehe pʌdʌ ʌ j ŋ de d ℓu]ʌ ʌ ͻ

‘menerka ayam dalam telur’ ‘menerka ayam di dalam telur’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (24) berfokus pada kata “ayam di dalam telur”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.18. Alur Analisis Makna Metaforis “Menerka ayam di dalam telur” Data (24)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Menerka ayam di dalam telur Memastikan sesuatu yang mustahil ditentukan

Ayam dalam telur KM:

[ayam belum menetas]

KM:

[sesuatu yang tidak tampak]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam dalam telur dipetakan pada sesuatu yang tidak tampak

Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanada bahasa “menerka ayam di dalam telur” mengakibatkan munculnya aspek (KM): menduga ayam yang masih berada dalam telur, mengakibatkan munculnya makna metaforis ‘memastikan sesuatu yang mustahil ditentukan karena tidak bisa dilihat’.

Ana janga ‘anak ayam’ yang masih berada dalam dolu ‘telur’ mustahil bisa diketahui sebelumnya, apakah setelah menetas nanti akan menjadi ayam betina atau jantan, bulunya berwarna hitam atau putih. Pada saat sekarang, hal tersebut sangat mungkin dilakukan dengan peralatan canggih, akan tetapi pada waktu diciptakannya sesanti, hal itu mustahil dilakukan. Untuk mengetahui apakah telur ayam berkualitas baik atau buruk, masyarakat Bima biasanya meneropongnya dengan menggunakan kertas tebal yang digulung. Pengalaman pencipta sesanti yang melihat keadaan ayam dalam telur inilah kemudian menggunakannya untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang “memastikan sesuatu yang mustahil bisa ditentukan”.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “menerka ayam di dalam telur”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan

ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “memastikan sesuatu yang mustahil ditentukan”.

(27) Bune ana janga ma-mada ina-na [bun n jɛ ʌ ʌ ʌŋ m -m d in -n ]ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘seperti anak ayam mati induk-3:T’ ‘Seperti anak ayam kehilangan induk’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (27) berfokus pada kata “anak ayam”, dan “induk”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.19. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti anak ayam kehilangan induk” Data (27)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti anak ayam kehilangan induk Anak ayam KM: [keturunan ayam] Induk KM: [ibu]

Terpecah belah karena kehilangan tumpuan harapan atau pemimpin

KM:

[suatu kelompok yang kebingungan dan terpecah belah]

KM: [pemimpin]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Anak ayam yang kehilangan induk dipetakan pada sifat suatu kelompok Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “seperti anak ayam kehilangan induk” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut

diasosiasikan dengan “suatu keadaan yang terpecah belah karena kehilangan tumpuan harapan atau pemimpin”.

Terciptanya ungkapan bijak bune ana janga ma-mada ina-na ‘seperti anak ayam kehilangan induk’ sangat dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman sehari- hari masyarakat Bima yang biasa memelihara ayam. Mereka hafal betul dengan tingkah polah ayam, misalnya ana janga ‘anak ayam’ yang kehilangan induknya akan bertetiak-teriak kebingungan. Pengalaman ini, kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang situasi di mana sebuah kelompok kehilangan pemimpinnya sehingga bingung dan tidak tahu harus melakukan apa.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti anak ayam kehilangan induk”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah suatu keadaan yang “terpecah belah karena kehilangan tumpuan harapan atau pemimpin”.

(29) Sabua kuru dua mbua nasi [s bu kuru du mbu n si]ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘satu sangkar dua ekor burung’ ‘Satu sangkar dua burung’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (29) berfokus pada kata “satu sangkar”, dan “dua burung”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.20. Alur Analisis Makna Metaforis “Satu sangkar dua burung” Data (29)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Satu sangkar dua burung

Satu sangkar KM:

[satu tempat untuk mengurung burung] Dua burung

KM:

[dua binatang bersayap] [bisa terbang]

Dua orang perempuan sama-sama menghendaki seorang lelaki

KM: [seorang laki-laki]

KM:

[dua orang wanita]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Dua burung dalam sangkar dipetakan pada dua orang perempuan yang menghendaki sati laki-laki

Proses interpretasi terhadap tanda “satu sangkar dua burung” mengakibatkan munculnya KM: satu kurungan dihuni oleh dua burung, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis dua orang perempuan yang sama- sama menghendaki seorang laki-laki, sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM “satu sangkar dua burung”.

Pengalaman orang Bima dengan alam lingkungannya menjadi sumber untuk memahami ide atau hal-hal yang abstrak atau yang bersifat kontekstual. Timbulnya sesanti sabua kuru dua mbua nasi ‘satu sangkar dua burung’ merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat nasi ‘burung’ yang berada dalam satu sangkar. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang dua orang perempuan yang sama-sama menghendaki

seorang laki-laki. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referansi dalam metafora tersebut.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “satu sangkar dua burung”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “dua orang perempuan yang sama-sama menghendaki seorang laki-laki”.

(30) Bune janga ma-tio nggalu [bun jɛ ʌŋ m -ti ʌ ʌ ͻ ŋgʌℓu] ‘seperti ayam melihat musang] ‘Seperti ayam melihat musang’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (30) berfokus pada kata “ayam”, dan “musang”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.21. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam melihat musang” Data (30)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti ayam melihat musang Orang yang ketakutan dan kehilangan akal

Ayam KM:

[binatang jenis unggas biasa dipelihara] Musang

KM:

[binatang mirip kucing] [suka makan ayam]

KM: [manusia] [punya rasa takut]

KM: [musuh] [pemangsa yang buas]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Perilaku ayam yang bertemu musang dipetakan pada sifat manusia

Interpretasi terhadap tanda “seperti ayam melihat musang” mengakibatkan munculnya KM: ayam yang ketakutan karena melihat musang, yaitu binatang yang biasa memakan ayam. Selanjutnya KM tersebut memiliki makna metaforis