• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Jenis Ikan

E. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Jenis Ikan

2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Jenis Ikan

(1) Aina kani ilmu sanggilo, na-nono-ku ana ndai-na [æn k ni iℓmu sʌ ʌ ʌŋgiℓ n n n ku n nd in ]ͻ ʌ ͻ ͻ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘jangan ikut ilmu ikan gabus, 3:T-minum-PAST anak sendiri-3:T’ ‘Jangan mengikuti ilmu ikan gabus, dia akan memakan anaknya sendiri’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (1) berfokus pada kata “ikan gabus”, “memakan” dan “anaknya sendiri”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.23. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan mengikuti ilmu ikan gabus, dia akan memakan anaknya sendiri” Data (1)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Jangan mengikuti ilmu ikan gabus, dia akan memakan anaknya sendiri

Ikan gabus KM:

[ikan yang hidup di air tawar] [kanibal]

Memakan KM:

[memasukkan sesuatu ke mulut dan menelannya]

Anaknya sendiri KM:

[keturunan yang kedua]

Orang yang melakukan perbuatan memalukan (asusila) pada

keluarganya sendiri Orang KM: [manusia] [buruk perbuatannya] KM:

Melakukan perbuatan yang memalukan/aib

KM: Keluarga

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Sifat ikan gabus yang suka memakan anaknya sendiri dipetakan pada sifat orang yang berbuat asusila pada keluarganya sendiri

Untuk lebih jelasnya, perhatikan uraian berikut. Leksikon sanggilo ‘ikan gabus’ pada sesanti di atas digunakan sebagai sarana pemetaforaan yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang mempunyai sifat jelek seperti ikan sanggilo. Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada referen sanggilo ‘ikan gabus’ yang memiliki aspek (KM): jenis ikan yang memakan anaknya sendiri memiliki kemiripan dengan “orang yang buruk perbuatannya” yang memiliki aspek (KM): orang yang membuat malu/aib pada keluarganya sendiri.

Pengalaman orang Bima dengan alam lingkungannya menjadi sumber untuk memahami ide atau hal-hal yang abstrak atau yang bersifat kontekstual. Timbulnya sesanti Aina kani ilmu sanggilo, nanonoku ana ndaina merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat sanggilo ‘ikan gabus’ yang memakan anaknya sendiri. Pengalaman ini digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang suka berbuat hal memalukan (asusila) pada keluarganya sendiri, yaitu orang yang seharusnya dilindungi. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referansi dalam metafora tersebut.

Sanggilo ‘ikan gabus’ banyak ditemukan di daerah Bima, biasanya ikan ini hidup di danau, rawa-rawa, sungai, saluran-saluran air hingga ke sawah-sawah. Ikan gabus merupakan jenis ikan predator, ia akan makan apa saja. Mulai dari kodok, udang, belut, ikan kecil, bahkan kadang-kadang tikus pun ditangkapnya. Selain untuk dikonsumsi dagingnya, keberadaan ikan gabus sangat membantu masyarakat Bima, khususnya bagi para petani untuk memusnahkan hama, misalnya: sawah yang banyak di huni oleh hama keong, sering kali berujung dengan gagal panen, akibat dari ulah keong yang sering memakan padi, terutama di usia muda. Namun beberapa petani menemukan cara yang cukup mudah dan sangat membantu, yaitu, dengan mengembang biakkan ikan gabus di sawah- sawah yang sedang di garapnya, dengan demikian keong-keong yang banyak merugikan petani sedikit demi sedikit akan berkurang.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah ini adalah “Jangan

mengikuti ilmu ikan gabus, dia akan memakan anaknya sendiri”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis, dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian pada saat itu) dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang yang suka membuat malu/aib (asusila) pada keluarganya sendiri.

(11) Bune lindu mabu dei macompo [bun lindu m bu dei m c mp ] ɛ ʌ ʌ ͻ ͻ

‘seperti belut jatuh di dalam lumpur’ ‘Seperti belut jatuh ke lumpur’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (11) berfokus pada kata “belut”, dan “lumpur”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.24. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti belut jatuh ke lumpur” Data (11)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti belut jatuh ke lumpur Belut

KM:

[ikan yang bentuknya seperti ular] [kulit licin]

[hidup di lumpur] Lumpur

KM:

[tanah lunak berair]

Orang yang sangat senang karena dapat kembali ke tempat asalnya

KM: [manusia]

[punya perasaan senang]

KM: [tempat asal]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Proses interpretasi terhadap tanda “seperti belut jatuh ke lumpur” mengakibatkan munculnya KM: [ikan yang bentuknya seperti ular], [kulit licin] dan [hidup di lumpur], sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis orang yang sangat senang karena dapat kembali ke tempat asalnya, sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM “seperti belut jatuh ke lumpur”.

Sesanti nomor (11) ini menggunakan leksikon lindu ‘belut’ sebagai acuan pemetaforaannya. Lindu ‘belut’ banyak ditemui di daerah Bima, terutama di araeal persawahan. Walaupun belut hidup berkubang lumpur tetapi tubuhnya tetap licin dan bersih sama sekali, tidak terpengaruh oleh kotornya lumpur. Rupanya manusia perlu merenung dan belajar dari perilaku belut ini, sehingga manusia minimal dapat terhindar dari pengaruh buruk kehidupan duniawi. Namun dalam pembentukan sesanti ini, tidak berdasarkan pada nilai filosofis tentang belut tersebut, tapi berdasarkan pada pengalaman masyarakat Bima melihat kesenangan belut ketika dijatuhkan ke lumpur. Pengalaman tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang senang karena dapat kembali ke tempat asalnya. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referansi dalam metafora tersebut.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti belut jatuh ke lumpur”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks

budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “orang yang sangat senang karena dapat kembali ke tempat asalnya”.

(13) Aina eda-mu to’i uta simbu ma mbisa [æn ed mu t qi ut simbu m mbis ]ʌ ʌ ͻ ʌ ʌ ʌ

‘jangan melihat2:T meremehkan ikan lele yang pingsan’ ‘Jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (13) berfokus pada kata “ikan lele”, dan “pingsan”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.25. Alur Analisis Makna Metaforis

“Jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan” Data (13)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan

Ikan lele KM: [jenis ikan]

[memiliki sengatan yang menyakitkan] [kuat bertahan hidup]

Pingsan KM: [tidak sadar] [tidak ingat]

Jangan meremehkan hal yang sepele, karena boleh jadi hal itu akan

mendatangkan bahaya besar KM:

[hal yang sepele]

KM:

[kelihatannya tidak berbahaya]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Interpretasi terhadap tanda “Jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan” mengakibatkan munculnya KM: ikan lele yang sedang pingsan masih bisa menyengat, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis ‘jangan meremehkan hal yang sepele, karena boleh jadi hal itu akan mendatangkan bahaya besar’

Uta simbu ‘ikan lele’ adalah ikan yang hidup di air tawar. Yang dimaksud uta simbu pada sesanti nomor (13) di atas adalah ikan lele lokal daerah Bima yang memiliki sengatan menyakitkan pada duri samping kanan dan kiri dekat kepalanya. Badan uta simbu ‘ikan lele’ lokal biasanya lebih kecil dan kurus, tidak seperti lele jumbo (yang diternakkan). Simbu ‘lele’ biasanya agak kuat bertahan hidup meskipun hanya pada lumpur, sehingga ketika sudah ditangkap ia biasanya tidak langsung mati, namun ia hanya mbisa ‘pingsan’ dulu. Pada saat ia pingsan ini jangan coba-coba untuk menyetuhnya secara sembarangan, karena bisa jadi ia masih bisa menyengat.

Terciptanya ungkapan aina eda-mu to’i uta simbu ma mbisa ‘jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan’ ini akibat pengalaman pencipta sesanti yang melihat ikan lele yang pingsan tapi masih bisa menyengat. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang peringatan agar jangan meremehkan hal yang sepele, karena boleh jadi hal itu akan mendatangkan bahaya besar.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan”. Sedangkan berdasarkan

interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah peringatan agar “jangan meremehkan hal yang sepele, karena boleh jadi hal itu akan mendatangkan bahaya besar”.

(26) Bune lindu ma-dula dei macompo [bun lindu m -duℓ dei m c mp ]ɛ ʌ ʌ ʌ ͻ ͻ

‘seperti belut pulang ke lumpur’ ‘Seperti belut pulang ke lumpur’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (26) berfokus pada kata “belut”, dan “lumpur”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.26. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti belut pulang ke lumpur” Data (26)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti belut pulang ke lumpur

Belut KM:

[ikan yang bentuknya seperti ular] [hidup di lumpur]

Lumpur KM:

[tanah lunak berair]

Seorang perantau yang kembali ke kampung halamannya dan tidak

merantau lagi KM: [manusia yang pergi merantau] KM: [tempat asal] [kampung halaman]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Proses interpretasi terhadap tanda “seperti belut pulang ke lumpur” mengakibatkan munculnya KM: [ikan yang bentuknya seperti ular] dan [hidup di lumpur], sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis orang perantau yang kembali ke kampung halamannya dan tidak merantau lagi, sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM “seperti belut pulang ke lumpur”.

Sebagaimana telah disebutkan pada sesanti sebelumnya, yaitu data (11), sesanti nomor (26) ini juga menggunakan leksikon lindu ‘belut’ sebagai acuan pemetaforaannya. Namun demikian makna yang terkandung di dalamnya berkaitan dengan sesanti nomor (10).

Sudah menjadi tradisi orang Bima untuk merantau ke luar daerahnya terutama ke pulau Jawa dan Sulawesi. Hampir setiap tahun banyak putera puteri Bima menuju kota-kota besar untuk menuntut ilmu atau mengadu nasib. Bagi para perantau, senyaman apapun kehidupan di tanah orang, suatu saat akan merasa rindu pada kampung halaman. Karena materi tidak akan bisa menggantikan maupun mengisi kekosongan dan kesepian batin sebagaimana yang didapatkan di kampung halaman, bahkan ada pepatah yang mengatakan “hujan emas di negeri orang lebih baik hujan batu dinegeri sendiri”.

Sesanti ini timbul berdasarkan pada pengalaman masyarakat Bima melihat kesenangan belut ketika pulang kembali ke lumpur. Pengalaman tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang senang karena dapat kembali ke kampung halamannya dan tidak pergi merantau lagi. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referansi dalam metafora tersebut.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti belut pulang ke lumpur ”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “seorang perantau yang kembali ke kampung halamannya dan tidak merantau lagi”.