• Tidak ada hasil yang ditemukan

SESANTI BAHASA BIMA YANG MENGGUNAKAN LEKSIKON BINATANG (SEBUAH KAJIAN ETNOLINGUISTIK) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) BAB V PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SESANTI BAHASA BIMA YANG MENGGUNAKAN LEKSIKON BINATANG (SEBUAH KAJIAN ETNOLINGUISTIK) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) BAB V PEMBAHASAN"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengantar

Penelitian ini mencoba melihat keterhubungan antara bahasa dan budaya. Melalui

bahasa inilah fenomena budaya dapat terungkap. Bahasanya merujuk pada sesanti

(peribahasa) dan makna metaforanya. Dikatakan sebuah sesanti memiliki nilai

metafora apabila ada unsur yang dibandingkan (sumber) dan yang

membandingkan (sasaran), di mana keduanya dihubungkan oleh kesamaan atau

perbandingan secara eksplesit. Sebaliknya, budaya yang dimaksud lebih

ditekankan pada latar belakang budaya masyarakat Bima yang mempengaruhi

terbentuknya sesanti.

Data yang dianalisis sebanyak tiga puluh satu data sesanti yang

menggunakan leksikon binatang. Untuk lebih mempermudah sistematisasi analisis

dan pemaknaan, data sesanti tersebut dikelompokkan berdasarkan kategori

leksikon binatang yang digunakan sebagai acuan pemetaforaannya, baik dalam

hubungan persamaan ataupun pengiasan. Leksikon-leksikon binatang tersebut

dibagi menjadi enam, yaitu leksikon binatang ternak, leksikon binatang piaraan,

leksikon binatang unggas, leksikon binatang jenis ikan, leksikon binatang reptilia,

dan leksikon binatang buruan. Sehubungan dengan itu, pada bagian ini akan

diuraikan berturut-turut tentang latar belakang budaya Bima yang mempengaruhi

pembentukan sesanti, serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan

(2)

Selain itu, relasi asosiasi antara ranah sumber dan ranah sasaran juga dipaparkan

pada bagian ini

.

B. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak

Sesanti yang menggunakan leksikon binatang ternak, yang dianalisis dalam

penelitian ini ada sepuluh buah, yaitu sesanti nomor (3), (4), (5), (6), (7), (8), (15),

(20), (21), dan (22). Adapun binatang ternak dimaksud meliputi: kuda, kerbau,

sapi, dan kambing. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang yang mempengaruhi

terciptanya sesanti-sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses

pembentukan konsep metaforanya.

1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak

Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya (Bab IV), selain mata pencaharian

pokok masyarakat Bima yang berasal dari pertanian, mereka juga sangat akrab

dengan binatang-binatang ternak. Hal tersebut sangat berpengaruh pada munculnya

sesanti-sesanti yang menggunakan leksikon binatang ternak karena memang sudah

lekat dengan kehidupan mereka. Binatang ternak yang paling digandrungi untuk

dikembangbiakkan pada masyarakat tradisional Bima adalah kerbau, sapi, kuda,

dan kambing. Akan tetapi yang sangat dominan adalah kerbau dan sapi. Karena

kerbau dan sapi biasanya dimanfaatkan untuk membajak sawah dan diambil susu

perahnya. Bahkan, orang Bima zaman dahulu baru dikatakan kaya apabila

(3)

Masyarakat Bima dahulu, beternak kerbau, sapi dan kuda dengan cara

dilepas di padang rumput dan di hutan-hutan tanpa dimasukkan dalam kandang.

Kecuali kuda yang digunakan sebagai pacuan. Beternak dengan cara seperti ini

dalam bahasa Bima disebut so atau nta’a di hori. Ternak-ternak tersebut diberi

tanda seperti stempel dan dibuatkan parangga atau penentuan areal

penggembalaan, biasanya hewan ternak akan dikunjungi atau ditinjau setiap dua

kali dalam sebulan. Jika suatu saat pemiliknya ingin mengecek atau menjual

ternaknya, pemilik ternak tersebut akan bersuara yang sudah dikenal oleh binatang

ternaknya, anehnya binatang-binatang tersebut tidak pernah keliru untuk

mendekati tuannya. Oleh karena itu, di Pulau Sumbawa dikenal dengan susu kuda

liar sumbawa, maksudnya adalah susu dari kuda yang diternak dengan cara di

lepas di hutan. Menurut penelitian susu kuda liar ini memiliki kandungan gizi dan

manfaat yang lebih banyak dibandingkan dengan susu kuda yang diternak dengan

cara dikandangkan, karena kuda liar memakan segala yang ada di hutan. Cara

beternak semacam itu sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Bima,

kecuali bagi mereka yang tinggal di daerah pegunungan.

Bagi masyarakat Bima, jara ‘kuda’ adalah sejarah panjang. Lebih dari

lima abad, jejak kuda tertoreh terkait erat dengan kisah kesultanan di Bima.

Menurut Hj. Siti Maryam Salahudin, keturunan Sultan Bima jara ‘kuda’ adalah

bagian penting perjalanan agama Islam di Bima. Kala itu abad ke 17 Masehi, para

penyebar Islam datang ke daerah tersebut bersama pasukan berkuda. Mereka

menyebarkan ajaran Islam. Sejak itulah jara ‘kuda’ menjadi tumpuan masyarakat

(4)

pasukan kuda atau kavaleri yang cukup tangguh. Hal ini didukung oleh banyaknya

populasi kuda di daerah ini dan juga keahlian masyarakatnya menunggang kuda.

Ketika era kolonialisme berakhir, kuda berubah fungsi menjadi hewan ternak,

transportasi dan binatang pacu. Dalam bahasa Bima, pacuan kuda disebut pacuo

jara, tradisi leluhur yang hingga kini tidak pudar. Oleh karena itu, tidak heran jika

leksikon jara ‘kuda’ banyak digunakan sebagai sumber acuan pemetaforaan dalam

sesanti bahasa Bima.

Binatang ternak selanjutnya adalah kambing. Secara umum masyarakat

Bima kurang berminat untuk beternak kambing karena tidak bisa dimanfaatkan

untuk membantu pekerjaan disawah. Biasanya masyarakat Bima mempunyai

beberapa ekor kambing untuk dipelihara sebagai pengisi waktu luang ketika tidak

sibuk dengan pekerjaan di sawah.

2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak

(3) Jara monca aina fonti, lalo ba edamu pali ma [j r m nc ʌ ʌ ͻ ʌ æn f nti, ℓ ℓ ʌ ͻ ʌ ͻ b ed mu p ℓi mʌ ʌ ʌ ʌ

‘kuda kuning jangan senang, langsung karena melihat2:T lapangan yang kalau kalula, malanta labo didula labomu k ℓ w k ℓuℓ , m ℓ nt ℓʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌb ͻ diduℓ ℓʌ ʌb mu]ͻ

luas, kain yangputih bersama dibawa pulang bersamamu’

‘Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (3) berfokus pada kata “ kuda

(5)

interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.1. Alur Analisis Makna Metaforis ”Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang

bersamamu” Data (3).

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang

bersamamu

Sifat kuda pacuan ketika dilepas dipetakan dengan sifat orang yang mendapat kebebasan

Interpretasi terhadap tanda “kuda kuning jangan terlalu bersemangat

karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu”

(6)

bersemangat di arena pacuan, karena jarang dilepas, sehingga pada akhirnya akan

memiliki makna metaforis manusia jangan yang terlalu senang karena

mendapatkan kebebasan hidup di dunia, karena ketika meninggal dunia hanya

kain kafan yang di bawa; sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM

tanda “kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain

kafan yang dibawa pulang bersamamu”.

Jara monca ‘kuda kuning’ pada data nomor (3) adalah lambang keindahan.

Masyarakat Bima sangat menyukai kuda berwarna kuning. Warna kuning adalah

warna yang menonjol sehingga kalau beberapa kuda dideretkan, warna itulah yang

menarik perhatian. Jara monca ‘kuda kuning’ biasanya akan merasa senang dan

bergaya kalau dilepas di padang luas atau di arena pacuan. Dia akan menunjukkan

kebolehan untuk berlari sekencang-kencangnya. Jara monca ‘kuda kuning’ adalah

metafora manusia yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup.

Masyarakat Bima, jika ingin menasehati orang, tidak hanya dilakukan

secara langsung, tetapi juga dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui kiasan

(metafora). Metafora jara monca ‘kuda kuning’ digunakan karena objek yang

menjadi sasaran nasehat atau teguran mempunyai kesamaan dengan perilaku

kuda. Perilaku fonti ‘bersemangat, bergaya, atau membanggakan diri’ dimiliki

oleh kuda pacuan. Perilaku itu menjadi sifat dan ciri kuda pacuan karena dia

jarang dilepas. Begitu melihat pali makalau kalula ‘lapangan luas’, kuda pacuan

biasanya akan bergerak-gerak dan melompat ke sana ke mari. Kuda ingin

menunjukkan kebolehannya bahwa dia lebih hebat, lebih perkasa daripada kuda

(7)

kebebasan hidup yang kadang-kadang berbuat sekehendak hati tanpa

menghiraukan norma-norma yang berlaku.

Klausa malanta labo didula labomu ‘kain putih kasar yang dibawa pulang’

berarti ‘kain kafan yang akan dibawa mati’ dan kemudian dapat juga berarti ‘kalau

mati kita hanya membawa selembar kain’. Maka klausa itu merupakan peringatan

agar seseorang tidak lupa diri dengan kebebasannya dalam hidup. Sesanti ini

biasanya ditujukan kepada anak-anak muda di Bima. Orang muda yang terlalu

bebas dalam hidupnya harus diberikan peringatan agar perilakunya menjadi baik.

Orang yang suka dengan kebebasan biasanya hanya orang muda. Makna itu sesuai

dengan kata jara monca yang mengacu pada kuda pacuan. Kuda pacuan adalah

kuda muda dan hanya kuda muda yang dapat bergerak dengan lincah ketika di

lepaskan dari kandangnya. Dalam hal ini kuda diperbandingkan dengan orang

muda dan pali makalau kalula ‘lapangan luas’ diperbandingkan dengan ‘dunia

atau kehidupan’. Orang muda akan lupa diri karena mendapat kebebasan hidup di

dunia yang indah. Di balik keindahan dunia atau kehidupan ada kematian, yaitu

tertera pada klausa malanta labo didula labomu ‘kain putih kasar yang dibawa

pulang’.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah sasaran dalam sesanti (3)

tidak ditunjukkan oleh pemarkah apa pun. Walaupun demikian, jika ditelusuri

makna metaforisnya secara seksama ada relasi asosiatif kesamaan sifat

antarkeduanya. Dengan demikian berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat

ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah

(8)

yang dibawa pulang bersamamu”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis

dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian

pada saat itu), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam

sesanti ini adalah orang yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup

di dunia karena ketika meninggal dunia hanya kain kafan yang di bawa. Dalam

penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber

dan juga ranah sasaran. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat

Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(4) Arujiki jimba, wati loa diraka ba mbe’e [ rujiki jimb , wati ℓʌ ʌ ͻʌ dirak ʌ b mbeqe]ʌ

‘rejeki domba tidak bisa didapat oleh kambing’ ‘Rejeki domba tidak didapat oleh kambing’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (4) berfokus pada kata

“rejeki”, “domba”, “tidak didapat” dan “kambing”. Berikut ini teknik interpretasi

yang diterapkan.

Tabel 5.2. Alur Analisis Makna Metaforis “Rejeki domba tidak didapat oleh kambing” Data (4)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

(9)

[berbulu tebal]

Tidak didapat KM: [tidak diperoleh]

Kambing KM:

[binatang pemakan rumput] [tanduk bergeronggang]

[diternak]

[diambil daging, dan susu]

KM: [tidak tertukar]

Manusia lain KM:

[makhluk berakal budi]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Rejeki yang diterima oleh domba dan kambing dipetakan ketetapan Allah pada manusia.

Tanda “Rejeki domba tidak didapat oleh kambing” merupakan gambaran

atas ”seseorang yang tidak puas dengan dirinya sendiri dan selalu iri hati terhadap

apa yang diperoleh orang lain, karena itu dia tidak mensyukuri pemberian dan

ketentuan Allah, dengan kata lain, setiap manusia telah ditentukan rejekinya oleh

Allah”.

Leksikon jimba ‘domba’ dan mbeqe ‘kambing’ dalam konteks ini adalah

metafora manusia. Kata jimba ‘domba’ dan mbeqe ‘kambing’ mewakili manusia.

Penggunaan kedua kata itu dirasakan lebih halus dan efektif daripada

menggunakan si A atau si B artinya, seseorang yang dinasehati tidak terlalu

merasa kecewa karena kata yang digunakan berkaitan dengan binatang. Domba

(10)

yang digunakan, misalnya lako ‘anjing’ dan bote ‘monyet’, orang yang menjadi

sasaran sesanti tersebut akan tersinggung karena dianggap penghinaan.

Sesanti ini digunakan untuk menasehati orang yang tidak puas dengan

keadaan dirinya. Keadaan dirinya selalu dibandingkan dengan orang lain,

misalnya ada tetangganya yang mendapat hasil panen (padi) yang berlimpah,

orang itu lalu menyesali dirinya “mengapa dia tidak mendapat hasil panen seperti

tetangganya”. Sesanti ini mengandung nasehat atau pesan yang bersifat didaktis,

berintikan ajaran moral dan agama yang mengandung nilai filosofis yang tinggi,

yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda agar

siap menghadapi berbagai corak kehidupan duniawi.

Masyarakat Bima memandang rezeki itu berasal dari Allah dan setiap

manusia memiliki rezeki masing-masing. Realitas kehidupan yang berakar pada

kebenaran hakiki (percaya pada Allah) menjadi konsep yang sangat diyakini dan

diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan

karena mayoritas masyarakat Bima memeluk agama Islam dan konsep kehidupan,

baik pendidikan, etika pergaulan hidup, perkawinan, maupun segala bentuk tradisi

dan adat istiadat disesuaikan dengan ajaran Islam.

Berdasarkan analisis komponen makna unsur metaforis data (4)

interpretasi nonmetaforis dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

konkret, dalam sesanti ini adalah “rejeki domba tidak didapat oleh kambing”.

Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks

(11)

ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah jangan iri hati,

masing-masing manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah untuk dimilikinya.

(5) Weli sahe ade diwu [w ℓi ɛ s he de diwu]ʌ ʌ

‘beli kerbau dalam lubuk’ ‘Membeli kerbau di dalam lubuk’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (5) berfokus pada kata

“kerbau” dan “lubuk”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.3. Alur Analisis Makna Metaforis “Membeli kerbau di dalam lubuk” Data (5)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Membeli kerbau di dalam lubuk

Kerbau KM: [binatang ternak] [suka berkubang]

Lubuk KM:

[bagian yang dalam di sungai, danau]

Membeli sesuatu yang tidak jelas keberadaannya

KM: [sesuatu]

KM: [tidak tampak]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Kerbau yang sedang berendam dipetakan sesuatu yang tidak tampak

Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanada bahasa

(12)

kerbau yang sedang berendam di tempat yang dalam, memunculkan makna

metaforis berhati-hatilah membeli sesuatu yang tidak tampak atau berhati-hatilah

melakukan sesuatu yang tidak jelas.

Jual beli kerbau dalam masyarakat Bima biasanya dilakukan secara

terbuka. Kerbau harus dilihat ukuran dan warnanya, serta tanda-tanda

kepemilikan. Apabila proses jual beli kerbau atau hewan lainnya tidak dilakukan

secara terbuka, hal itu disebut weli sahe ade diwu. Sahe ‘kerbau’ yang berendam

dalam diwu ‘lubuk’ biasanya tidak dapat dilihat atau dikenali. Bisa saja kerbau

milik si Ali diakui oleh si Ahmad sebagai pemiliknya. Sahe ade diwu ‘kerbau

dalam lubuk’ adalah kiasan ‘sesuatu yang tidak jelas’. Kerbau yang dibeli itu tidak

dapat dikenal dan belum tentu ada.

Sesanti itu mengajak untuk berpikir kritis agar kita mengenal dengan baik

segala sesuatu yang dilakukan. Menurut informan sesanti itu bukan hanya berlaku

dalam hal berjual-beli hewan saja, melainkan juga berlaku untuk masalah sosial

lainnya, misalnya dalam hal melamar gadis. Seorang pemuda yang ingin melamar

seorang gadis, terlebih dahulu dia harus mengenal gadis yang akan dilamar, yaitu

bagaimana wajahnya, postur tubuhnya dan keturunannya. Kalau sudah mengenal

ihwal gadis itu, barulah utusan keluarga pemuda itu datang ke rumah si gadis.

Segala sesuatu yang akan dilakukan harus dilihat dahulu kebenarannya.

Jangan sampai membeli barang atau melakukan sesuatu tanpa mengetahui

substansinya. Tindakan yang ceroboh hanya akan menimbulkan masalah baru

(13)

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah

sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “membeli kerbau di

dalam lubuk”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan

memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian pada

saat itu), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti

ini adalah sikap kehati-hatian terhadap sesuatu yang tidak jelas keberadaannya.

(6) Aina mori bune sahe ra jara [æn m ri bun s he r j r ]ʌ ͻ ɛ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘jangan hidup seperti kerbau dan kuda’ ‘Jangan hidup seperti kerbau dan kuda’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (6) berfokus pada kata

“kerbau” dan “kuda”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.4. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan hidup seperti kerbau dan kuda” Data (6)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Jangan hidup seperti kerbau dan kuda

Kerbau KM: [binatang ternak] [suka berkubang]

Kuda KM: [binatang] [penarik kendaraan]

Orang yang bodoh dan liar

KM: [bodoh] [dungu]

KM:

(14)

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Sifat kerbau yang bodoh dan sifat kuda yang liar dipetakan pada sifat manusia

Tanda “jangan hidup seperti kerbau dan kuda” merupakan gambaran atas

”seseorang yang hidup bodoh dan liar”, yaitu membandingkan manusia dengan

sahe ‘kerbau’ dan jara ‘kuda’. Artinya, manusia dan binatang itu berbeda.

Binatang itu bodoh, tidak mempunyai akal sehingga dia hidup hanya mengikuti

hawa nafsu saja, yaitu makan dan berkembang biak. Manusia hidup harus

memiliki perencanaan, melakukan amal sholeh dan memikirkan kelangsungan

hidupnya, karena hanya hewanlah yang tidak melakukan hal tersebut. Manusia

harus selalu berjuang untuk mendapatkan segala hal yang diinginkan.

Pengalaman orang Bima dengan kedua binatang tersebut menjadi sumber

untuk memahami hal-hal yang abstrak. Timbulnya sesanti aina mori bune sahe

ra jara ‘jangan hidup seperti kerbau dan kuda’ merupakan akibat pengalaman

pencipta sesanti melihat sifat buruk kedua binatang tersebut. Pengalaman ini

kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang orang

bodoh dan liar.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

konkret, dalam sesanti ini adalah “jangan hidup seperti kerbau dan kuda”.

(15)

budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian) dapat ditentukan ranah sasaran

yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang bodoh dan liar.

(7) Nente-si jara nenti weha-pu rante-na, [n nt si j r n nti w pu r nt n ,ɛ ɛ ʌ ʌ ɛ ɛʌ ʌ ɛ ʌ

‘menunggang-kalau kuda pegang ambillah rantai-3:T, ita dou taho nenti nggahi sampu’u

ita d u t h n nti ͻ ʌ ͻ ɛ ŋg hi s mpuquʌ ʌ ] 2:T manusia pegang perkataan sepatah’

‘Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataanny

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (7) berfokus pada kata “kuda”,

“kekang”, manusia” dan “perkataan”. Berikut ini teknik interpretasi yang

diterapkan.

Tabel 5.5. Alur Analisis Makna Metaforis “Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya” data (7)

(16)

Perkataan KM:

[suatu yang dikatakan]

KM: [perkataan] [tingkah laku]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Tali kekang pada kuda dipetakan pada batas kebebasan manusia

Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “Kalau

menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya” telah

mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa

sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan “kebebasan

kuda dibatasi oleh tali kekangnya, kebebasan manusia dibatasi oleh perkataannya”

Pada sesanti nomor (7) terjadi dua perbandingan, yakni antara jara ‘kuda’

dan manusia yang sama-sama memiliki alat pengendali. Kalau kuda memiliki

pengendali berupa tali, yang berarti hanya bisa bergerak sepanjang tali yang

diikatkan padanya, sedangkan manusia alat pengendalinya adalah ucapan atau

perkataan. Maknanya, jika binatang bisa patuh kepada pengembalanya selama

digiring dengan tali, sedang manusia tidak demikian, namun cukuplah ucapannya

yang menjadi pegangan untuk bisa dipercaya orang. Kalau antara perkataan dan

perbuatannya sudah seimbang, maka ia sudah bisa dipegang omongannya. Jadi,

sesanti ini mengambarkan tentang ketidakleluasaan manusia dalam berbuat

semena-mena karena ia diawasi oleh kata-kata yang pernah diucapkannya, seperti

tidak bebasnya seekor kuda yang dibatasi geraknya oleh tali yang menjeratnya.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah

(17)

pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya”. Sedangkan berdasarkan

interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima

(pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih

abstrak dalam sesanti ini adalah kuda dikendalikan oleh tali sedangkan manusia

dikendalikan oleh perkataannya.

Dalam penentuan makna metaforis sesanti tersebut, dibutuhkan pemerian

KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks

budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna

tersebut.

(8) Hori co’o bune sahe ra capi [h ri c q ͻ ͻ ͻ bunɛ s h r c pi]ʌ ɛ ʌ ʌ

‘dilepas dibiarkan seperti kerbau dan sapi’ ‘Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (8) berfokus pada kata

“dilepas”, “dibiarkan” dan “kerbau dan sapi”. Berikut ini teknik interpretasi yang

diterapkan.

Tabel 5.6. Alur Analisis Makna unsur Metaforis “Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi” Data (8)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi

Dilepas KM: [tidak tertambat]

Orang yang hidup bebas dan mandiri

KM:

(18)

Dibiarkan KM:

[tidak dipelihara baik-baik]

Kerbau dan sapi KM:

[hewan yang diternak dengan cara dilepas di hutan]

KM:

[tidak bergantung pada orang lain]

Manusia KM:

[makhluk yang berakal budi]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Kerbau dan sapi yang diternak secara liar dipetakan pada kemandirian

Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “dilepas

dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi” telah mengalami proses interpretasi

berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda

tersebut diasosiasikan dengan karakter “orang yang hidup bebas dan mandiri”.

Terciptanya ungkapan bijak hori co’o bune sahe ra capi ‘dilepas dan

dibiarkan seperti kerbau dan sapi’ sangat dipengaruhi oleh budaya dan

pengalaman sehari-hari masyarakat Bima yang biasa beternak kerbau dan sapi

dengan cara dilepas di padang rumput dan di hutan-hutan tanpa dimasukkan

dalam kandang. Sehingga binatang-binatang tersebut mencari makanannya

sendiri. Pengalaman tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu

konsep baru tentang orang yang hidup mandiri tidak tergantung pada orang lain.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

(19)

sapi”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan

konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan

ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang

yang hidup mandiri”.

Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM

ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya

masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(15) Mapu keto sahe [m pu k t s h ]ʌ ɛ ͻ ʌ ɛ

‘lemas ekor kerbau’ ‘Lemas ekor kerbau’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (15) berfokus pada kata

“lemas” dan “ekor kerbau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.7. Alur Analisis Makna Metaforis “Lemas ekor kerbau” Data (15)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Lemas ekor kerbau Lemas

KM:

[mudah dilentukkan]

Ekor kerbau KM:

[bagian tubuh binatang paling belakang]

Orang yang sifatnya berubah-ubah

KM: [sifat]

KM:

(20)

Perbandingan dan Pengalihan Konsep Sifat ekor kerbau dipetakan pada sifat manusia

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam

sesanti ini tanda bahasa “lemas ekor kerbau” telah melewati teknik interpretasi

berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa KM yang dimiliki tanda bahasa tersebut,

yakni, bagian tubuh kerbau paling belakang yang kadang lemas

kadang-kadang keras, diasosiasikan dengan sifat seseorang yang berubah-ubah.

Sesanti nomor (15) merupakan metafora yang terbentuk dari gabungan

kata mapu ‘lemas’ dan keto sahe ‘ekor kerbau’. Ekor kerbau pada waktu tertentu,

kalau dipegang, akan terasa lemas, tapi pada waktu tertentu dapat menjadi keras.

Metafora ini terbentuk dari adanya persamaan sifat. Ekor kerbau yang bisa lembek

dan bisa keras disamakan dengan sifat manusia yang bisa keras dan lunak.

Orang Bima disebut mapu keto sahe jika pada awalnya memperlihatkan

sikap lunak, tetapi lama-kelamaan menjadi keras. Perubahan dari sikap lunak

kemudian menjadi keras mengandung makna ‘berubah-ubah’ yang kemudian

berarti ‘sulit diatur’. Orang yang mempunyai sifat seperti itu sulit diraba

kemauannya. Pada awalnya tampak lunak tetapi kemudian berubah lagi sehingga

kita tidak tahu bagaimana memperlakukannya. Dengan demikian sesanti itu

digunakan untuk menasehati orang yang suka berubah-ubah sikapnya. Perubahan

sikap itu membuat orang lain sulit untuk memahami kemauannya.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah

sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “lemas ekor

(21)

konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan

ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah sifat seseorang

yang berubah-ubah.

“garam”, “busuk” dan “kerbau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.8. Alur Analisis Makna Metaforis

“Sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor” Data (20)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

(22)

Interpretasi terhadap tanda “sayangkan garam sejumput, busuk kerbau

seekor” mengakibatkan munculnya KM: merasa sayang untuk memberi garam

pada dendeng kerbau, akhirnya satu ekor kerbau busuk, sehingga pada akhirnya

akan memiliki makna metaforis ‘tidak mau rugi sedikit, akhirnya merugi lebih

besar’, sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM tanda “sayangkan

garam sejumput, busuk kerbau seekor”.

Sahe ‘kerbau’ bagi masyarakat Bima, selain dimanfaatkan untuk

membantu pekerjaan di sawah, juga disembilih untuk dimakan dagingnya,

terutama pada acara-acara hajatan. Terciptanya sesanti sajana sia sa copu, mbai

sahe sabua ‘sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor’ ini dilatar

belakangi oleh pengalaman masyarakat Bima ketika ingin mengawetkan daging

kerbau, yaitu dengan cara dibuat dendeng. Teknik pembuatan dendeng daging

kerbau pada masyarakat Bima masih menggunakan cara-cara tradisional, yaitu

dengan memberi garam saja sebelum dijemur agar tidak busuk tanpa

bumbu-bumbu tambahan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan cita rasa dendeng kerbau

yang khas sehingga bisa diolah menjadi berbagai masakan khas Bima. Apabila

dalam pembuatan dendeng merasa sayang untuk memberi garam, maka dendeng

daging tersebut akan membusuk. Pengalam ini kemudian digunakan untuk

menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang takut merugi sedikit,

akhirnya malah merugi lebih banyak.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah

sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “sayangkan garam

(23)

dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman

keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam

sesanti ini tidak mau rugi sedikit, akhirnya malah merugi lebih besar.

(21) Bune mbe’e ade sampa [bun mbeqe de s mp ]ɛ ʌ ʌ ʌ

‘seperti kambing dalam sampan’ ‘Bagai kambing dalam sampan’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (21) berfokus pada kata

“kambing”, dan “sampan”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.9. Analisis komponen makna unsur metaforis tentang “Bagai kambing dalam sampan” Data (21)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Bagai kambing dalam sampan

Kambing KM: [binatang ternak]

[takut kena air]

Sampan KM: [perahu kecil]

Seorang yang dalam keadaan ketakutan dan tidak mampu

menyelamatkan diri

Manusia KM:

[makhluk berakal budi] [berada dalam ketakutan]

KM:

[tempat berbahaya] [tidak bisa menyelamatkan diri]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

(24)

Untuk lebih jelasnya, perhatikan uraian berikut. Sesanti bune mbe’e dei

sampa ‘bagai kambing dalam sampan’ digunakan sebagai sarana pemetaforaan

yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang berda di tempat yang

berbahaya seperti mbe’e ‘kambing’ yang berada dalam sampan. Teknik interpretasi

berdasarkan asosiasi diterapkan pada referen mbe’e ‘kambing’ yang memiliki

aspek (KM): binatang ternak yang takut dengan air, dia berada dalam sampan di

tengah sungai, memiliki kemiripan dengan kondisi “seseorang yang ketakutan”

yang memiliki aspek (KM): orang yang sangat ketakutan, sedang dia tidak bisa

menyelamatkan diri.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya beternak mbe’e ‘kambing’ bagi

masyarakat Bima hanyalah untuk mengisi waktu luang ketika tidak sibuk dengan

pekerjaan di sawah. Biasanya kambing dilepas di siang hari dan dikandangkan di

bawah rumah panggung pada malam hari. Binatang ini terkanal dengan binatang

yang takut dengan air. Tapi menurut pengamatan peneliti ketika berada di

lapangan binatang ini tidak takut dengan air, karena banyak peternak kambing

yang memandikan kambing-kambing tersebut.

Terciptanya sesanti nomor (21) merupakan akibat pengalaman masyarakat

Bima ketika melihat ketakutan kambing yang berada dalam sampan digunakan

untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang ketakutan karena

berada ditempat yang berbahaya, sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri.

Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi

pada benda yang dijadikan referensi dalam metafora tersebut.

(25)

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘bagai’. Berdasarkan

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

konkret, dalam sesanti ini adalah “bagai kambing dalam sampan”. Sedangkan

berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya

masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang

sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalak keadaan orang yang ketakutan,

sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri.

(22) Bune ma-reke kere mbe’e [bun m -reke kere mbeqe]ɛ ʌ

‘seperti menghitung bulu kambing’ ‘Bagai menghitung bulu kambing’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (20) berfokus pada seluruh

kalimat tersebut. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.10. Alur Analisis Makna Metaforis “Bagai menghitung bulu kambing” Data (22)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Bagai menghitung bulu kambing

Menghitung KM:

[mencari jumlahnya]

Bulu Kambing KM:

[rambut pendek yang menutupi seluruh tubuh kambing]

Melakukan pekerjaan yang sangat sulit atau sia-sia

KM:

[melakukan aktivitas]

KM:

[sesuatu yang sulit]

(26)

Aktivitas menghitung bulu kambing dipetakan pada melakukan pekerjaan yang sulit

Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanda bahasa

“bagai menghitung bulu kambing” mengakibatkan munculnya aspek (KM):

menghitung bulu-bulu kambing, memunculkan makna metaforis melakukan suatu

pekerjaan yang sangat sulit. Makna tersebut mengacu pada tubuh kambing yang

dilapisi bulu-bulu lurus dan kasar yang menyelimuti dari kepala hingga ekor, yang

tentunya jumlah bulu tersebut sangatlah banyak sehingga sukar untuk dihitung,

oleh karena itu penggunaan leksikon mbe’e ‘kambing’ dalam sesanti tersebut

memiliki peranan sebagai perlambangan/simbol pekerjaan yang sukar dikerjakan.

Terciptanya sesanti bune ma-reke kere mbe’e ‘bagai menghitung bulu

kambing’ tersebut berdasarkan pengalaman masyarakat Bima dengan alam

lingkungannya yang kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep

abstrak tentang suatu pekerjaan yang sulit untuk dikerjakan.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

konkret, dalam perumpamaan ini adalah “bagai menghitung bulu kambing”.

Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks

budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah

sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “melakukan

(27)

C. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan

Sesanti yang menggunakan leksikon binatang piaraan, yang dianalisis dalam

penelitian ini hanya satu buah, yaitu sesanti nomor (2). Adapun binatang piaraan

dimaksud adalah kucing dan anjing. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang

terciptanya sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan

konsep metaforanya.

1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan

Dalam masyarakat Bima, ngao ‘kucing’ melambangkan kebaikan atau kesucian,

karena Nabi Muhammad juga sangat menyayangi binatang tersebut. Sebaliknya

kata lako ‘anjing’ melambangkan sesuatu yang kotor. Masyarakat Bima tidak

begitu senang memelihara anjing, karena lako ‘anjing’ menurut budaya Bima

melambangkan sesuatu yang kotor atau najis. Lambang itu terbentuk dari

mitos-mitos yang berkembang dalam agama Islam. Mitos itu didukung oleh orang-orang

Bima yang taat beragama. Hidupnya mitos tentang binatang anjing di

tengah-tengah masyarakat Bima berkaitan dengan musibah meletusnya gunung Tambora.

Berdasarkan wawancara dengan informan, isi mitos tersebut secara ringkas

adalah: Dikisahkan, musibah meletusnya gunung Tambora bermula dari orang

Arab bernama Said Idrus. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan

berniaga. Suatu hari, Said Idrus berjalan-jalan dan berpesiar di negeri yang besar

itu sampai waktu sholat dhuhur tiba, kemudian ia masuk masjid untuk

(28)

menyuruh mengusir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, ia juga menyuruh

memukulnya. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu

pun berkata.

“Raja kami yang empunya anjing ini”.

“Baik, siapapun yang punya anjing ini, ini adalah masjid, Allah SWT yang

empunya rumah ini. Siapapun yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang

itu kafir,’’ papar Said Idrus.

Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada

sang Raja dia berkata:

“Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan orang Tambora kafir, sebab ada anjing

dalam masjid”.

Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh

memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu diundang makan di istana. Tuan

Said Idrus pun datang ke istana Raja Tambora bersama para pejabat istana.

Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang

banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing ditaruh di hadapan Tuan Said

Idrus. Hidangan lain berisi daging kambing ditaruh di hadapan orang-orang

Tambora dan raja. Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun

bertanya kepada Tuan Said Idrus.

“Hai Arab! Sebagaimana engkau katakan apakah anjing itu haram?”

“Ya, haram” sahut Tuan Said Idrus.

“Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makan anjing itu?” kata

(29)

“Bukannya anjing yang saya makan tadi. Saya makan daging kambing” sahut Said

Idrus.

Said Idrus mendebat, ia yakin raja telah salah menukar makanan. Mendapati

penentangan seperti ini, raja murka dan meminta pengawal membunuh Said Idrus.

“Bawa orang Arab ini, dan bunuh!’’ titah Sang Raja.

Orang-orang istana itu pun memegang tangan Said Idrus. Dia dibawa naik

ke Gunung Tambora. Setibanya di sana, para suruhan Raja Tambora menikam

Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan

senjata tajam. Orang-orang itu pun mengambil kayu, ada pula yang mengambil

batu. Ada yang melempar, ada yang memukul Tuan Said. Akhirnya tuan Said pun

meninggal dunia kepalanya pecah, darah berhamburan. Orang-orang itu

mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang

suruhan Raja Tambora pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja

mereka.

Kemudian di antara negeri dan gunung Tambora, tampak nyala api, tempat

Tuan Said dibunuh. Api itu makin membesar, kayu, batu, bumi semuanya

menyala. Api itu pun mengejar orang-orang yang membunuh Tuan Said. Mereka

berlari hendak masuk ke negeri Tambora, tapi api malah lebih dulu sampai di

negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan

dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah SWT, ke mana pun orang Tambora lari, api

mengejarnya. Tidak ada orang Tambora yang bisa lepas dari kejaran api. Orang

(30)

Paparan di atas adalah mitos yang menggambarkan terjadinya letusan

gunung Tambora yang terjadi pada 11 April 1815, kedahsyatan letusan gunung

Tambora tersebut terasa hingga tahun 1817. Bencana itu menyebabkan sekitar

150.000 orang menemui ajalnya. Seluruh penduduk pulau Sumbawa musnah.

Kerugian miliaran rupiah berupa padi yang rusak dan kehancuran lainnya.

Berdasarkan ilmu pengetahuan, letusan gunung Tambora adalah letusan

gunung barapi biasa, tetapi mitos yang hidup di tengah masyarakat Bima

menyebutkan, musibah tersebut merupakan kemarahan Allah SWT atas perilaku

rakyat Tambora yang membunuh Tuan Said Idrus.

2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan

(2) Bune ngao labo lako mpanggana [bun ɛ ŋʌͻ ℓʌb ℓ k mpͻ ʌ ͻ ʌŋgʌ ʌn ] ‘seperti kucing dengan anjing bertengkar3:T’ ‘Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (2) berfokus pada kata

“kucing” dan “anjing”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.11. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya” Data (2)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya

Kucing KM:

Dua orang yang selalu bertengkar

(31)

[binatang peliharaan] [musuh anjing]

Anjing KM:

[binatang peliharaan] [musuh kucing]

[makhluk berakal budi] [suka bertengkar]

Manusia KM:

[makhluk berakal budi] [suka bertengkar]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Sifat kucing ketika bertemu dengan anjing dipetakan pada sifat manusia

Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “seperti

kucing dan anjing bertengkarnya” telah mengalami proses interpretasi

berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda

tersebut diasosiasikan dengan karakter “dua orang yang selalu bertengkar”.

Dalam sesanti (2) di atas tampak jelas ada dua jenis binatang peliharaan

yang dikontraskan, yakni ngao ‘kucing’ dan lako ‘anjing’. Kedua binatang itu

menjadi lambang permusuhan, di mana pun dan kapan pun anjing bertemu dengan

kucing pasti akan bertengkar, entah karena saling berebut makanan atau hanya

berpapasan.

Kata ngao dan lako merupakan metafora yang digunakan oleh masyarakat

Bima untuk menggambarkan orang yang selalu bertengkar atau bermusuhan yang

sulit didamaikan. Artinya orang-orang itu mempunyai sifat yang bertolak

belakang sehingga sulit disatukan pendapat mereka. Kalau mereka bertemu, sering

terjadi perdebatan atau pertengkaran, seperti sifat ngao ‘kucing’ dan lako ‘anjing’.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti

(32)

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti kucing dengan anjing

bertengkarnya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan

memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian pada

saat itu), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti

ini adalah dua orang yang selalu bermusuhan.

Sesanti ini digunakan untuk menasehati dua orang atau kelompok yang

tidak pernah bisa akur selama hayatnya. Ada atau tidaknya masalah yang

melatarbelakangi pertengkaran mereka tidak menjadi pertimbangan. Dalam benak

mereka hanya ada api permusuhan. Permusuhan timbul karena tidak adanya sikap

saling menghargai dan menghormati perasaan orang lain. Sifat yang bertolak

belakang membuat mereka sulit untuk rukun dan menjalin hubungan yang akrab

dan harmonis. Kalau ada orang yang melihat mereka sedang bertengkar, orang

yang melihat mereka itu akan mengatakan Bune ngao labo lako mpanggana.

D. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas

Sesanti yang menggunakan leksikon binatang unggas, yang dianalisis dalam

penelitian ini ada sebelas buah, yaitu sesanti nomor (9), (10), (12), (16), (17), (18),

(24), (27), (29), (30), dan (31). Adapun binatang unggas dimaksud meliputi:

burung, bangau, dan ayam. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang terciptanya

sesanti-sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan

konsep metaforanya.

(33)

Jenis binatang unggas yang terdapat dalam sesanti adalah ayam, bangau, dan

burung. Sejak ribuan tahun lalu ayam telah dekat dengan peradaban manusia.

Ayam menjadi santapan, penanda waktu, sarana ritual, sampai simbol populer.

Kata janga ‘ayam’ merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan

masyarakat Bima, oleh sebab itu sesanti bahasa Bima banyak memanfaatkan

leksikon janga ‘ayam’ sebagai sumber acuannya. Janga ‘ayam’ sudah dikenal

sejak zaman kerajaan Bima. Pada saat itu, ayam merupakan salah satu jenis

persembahan untuk kerajaan sebagai upeti dari masyarakat setempat. Keharusan

menyerahkan upeti menyebabkan ayam selalu diternakkan oleh warga kampung

dan menyebabkan ayam tetap terjaga kelestariannya. Di samping itu, orang Bima

memiliki kepercayaan, firasat, alamat atau pertanda dari ayam ini, yaitu:

1) Bila ayam betina beradu dibawah kolong rumah, maka itu pertanda bahwa

yang empunya rumah akan kedatangan tamu;

2) Bila ayam betina berkotek di waktu malam, maka itu pertanda akan ada

kerabat yang akan meninggal. Karenanya harus disembelih, tidak boleh

dibiarkan bertelur karena dapat membawa sial atau celaka;

3) Bila ayam memakai jambul, maka itu pertanda ayam tersebut tidak baik

dipelihara karena bisa membawa sial;

4) Bila ayam berbulu kelabu, maka ayam tersebut juga tidak baik untuk

dipelihara karena dianggap ayam pembawa sial, dan

5) Bila ayam jantan berkokok seperti menyuarakan ‘pelihara aku’ maka ayam

(34)

Berkaitan dengan janga ‘ayam’ dalam masyarakat Bima ada sebuah

permainan tradisional yang disebut dengan “songko janga” terdiri dua kata yaitu

songko dan janga. Arti sebenarnya dari kata songko adalah songkok ‘kopiah’.

Tetapi dalam permainan ini artinya bukan songkok, melainkan “ditutup”

(diselubung) dengan tembe ‘sarung’. Dalam permainan ini, menggunakan sangkar

ayam dalam keadaan tertutup. Di dalamnya ada seorang pelaku yang berperan

sebagai seekor ayam untuk ditebak namanya oleh pihak lawan (regu lawan). Jadi

Mpa’a Songko Janga sebenarnya adalah jenis permainan adu tebak nama lawan

bermain yang disimbolkan sebagai seekor ayam jantan dalam sangkar tertutup.

Binatang unggas selanjutnya adalah bangau. Jenis burung yang badannya

berukuran besar, berkaki panjang, berleher panjang dan mempunyai paruh yang

besar, kuat dan tebal ini sering dijumpai di daerah beriklim hangat. Di daerah

Bima bangau banyak dijumpai di areal persawahan, danau atau di laut.

Makanannya berupa katak, ikan, serangga, cacing, burung kecil dan mamalia kecil

dari lahan basah dan pantai. Burung bangau hidup berkelompok dan jika

jumlahnya cukup dapat membentuk kawanan yang besar. Sarangnya dibangun di

atas tanah. Bergantung pada spesies, jumlah telur antara 1 butir hingga 4 butir.

Masa pengeraman telur sekitar 30 hari. Anak burung yang baru menetas tidak

bisa terbang, tetapi langsung bisa berjalan mengikuti induknya mencari makanan

ke sana kemari. Kesetiaan pada tempat bersarang menjadikan burung bangau

sering dijadikan simbol pembawa kebahagiaan di dalam banyak kebudayaan dan

(35)

Dalam sesanti bahasa Bima juga ditemukan binatang jenis unggas nasi

‘burung’ sebagai acuannya. Binatang ini banyak jenisnya, ada yang diternak untuk

dimanfaatkan daging dan telurnya, ada yang dipelihara karena merdu suaranya,

ada pula jenis burung liar, misalnya kari’i ‘burung pipit’. Kari’i ‘burung pipit’

adalah sekelompok burung kecil pemakan biji-bijian yang menyebar di wilayah

tropis. Kari’i ‘burung pipit’ senang berkelompok, dan sering terlihat bergerak dan

mencari makanan dalam gerombolan yang cukup besar. Dalam kelompok dan

jumlah yang banyak kari’i ‘burung pipit’ merupakan hama tanaman padi dan

musuh para petani Bima. masyarat Bima biasanya menghalau serangan burung

pipit dengan orang-orangan sawah, dalam bahasa Bima disebut dengan sedahu.

Sarang burung pipit terbuat dari rumput-rumputan yang dianyam

membentuk bulatan besar serupa bola tertutup, tempat menyimpan 4-10 butir

telurnya yang berwarna keputih-putihan. Beberapa spesies juga memiliki pohon

tenggeran tempat burung-burung ini melewatkan malam secara bersama-sama.

2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas

(16) Bune janga ma ntolu ese wawo jompa [bun jaɛ ŋ m nt ℓu ese w wo j mp ]ʌ ʌ ͻ ʌ ͻ ʌ

‘seperti ayam yang bertelur di atas lumbung’ ‘Seperti ayam bertelur di lumbung’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (16) berfokus pada kata

(36)

Tabel 5.12. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam bertelur di lumbung” Data (16)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti ayam bertelur di lumbung

Ayam KM: [binatang piaraan] [suka makan padi]

Lumbung KM:

[tempan menyimpan hasil pertanian]

Orang yang hidup senang dan mewah

Manusia KM:

[makhluk berakal budi]

KM:

[semua kebutuan tersedia]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam yang berada di lumbung dipetakan pada kehidupan mewah

Dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “seperti ayam bertelur di

lumbung” yang memiliki KM: ayam yang bertelur di tempat yang penuh dengan

makanan kesukaannya (padi), telah mengalami proses interpretasi berdasarkan

asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut

diasosiasikan dengan orang yang hidup senang dan mewah.

Penggunaan leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor (16) berdasarkan

pengalaman pencipta sesanti yang melihat kebiasaan ayam yang sangat menyukai

beras atau padi. Sehingga apabila seekor ayam berada di jompa ‘lumbung’, ia

akan dapat memakan padi dalam lumbung tersebut sampai puas. Mengacu pada

kebiasaan tersebut janga ‘ayam’ digunakan sebagai penggambaran suatu konsep

baru tentang orang yang hidup senang dan mewah.

(37)

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam bertelur di lumbung”.

Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks

budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah

sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “orang yang hidup

senang dan mewah”.

(17) Bune janga di tando saninu [bun jɛ ʌŋ ʌ di tʌndͻ sʌninu] ‘seperti ayam PREP-di depan cermin’ ‘Seperti ayam di depan cermin’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (17) berfokus pada kata

“ayam”, dan “cermin”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.13. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam di depan cermin” Data (17)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti ayam di depan cermin Ayam

KM:

[binatang dipelihara]

Cermin KM:

[kaca yang dapat memperlihatkan bayangan benda yang diletakkan di

depannya]

Orang yang asing dengan bayangannya sendiri

KM:

[manusia berakal budi]

KM:

(38)

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam yang melabrak bayangannya sendiri dipetakan pada sifat manusia

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam

sesanti ini tanda bahasa “seperti ayam di depan cermin” telah melewati teknik

interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa KM yang dimiliki tanda

bahasa tersebut diasosiasikan dengan karakter seseorang yang asing dengan

bayangannya sendiri.

Leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor (17) digunakan sebagai sarana

acuan metafora yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang asing

dengan kebudayaan, agama, keluarga, adat-istiadat atau tradisi tempat ia

dilahirkan dan dibesarkan, sehingga ia merasa aneh bahkan melawan kebudayaan

dan peradaban tersebut, yang sebenarnya adalah “bayangannya” sendiri. Dengan

demikian, orang seperti itu mirip dengan perilaku ayam yang melabrak

bayangannya sendiri ketika berdiri di depan cermin atau kaca karena disangka

musuh atau bayangan dari ayam yang lain.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam di depan cermin”.

Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks

budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah

sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang yang

(39)

(18) Ma-gogu-ra bune janga ma noto sia, coro-coro ka-male weki [mʌgͻgurʌ bun jɛ ʌŋ m n t si c r -c r k m ℓʌ ʌ ͻ ͻ ʌ ͻ ͻ ͻ ͻ ʌ ʌ ɛ

w ki]ɛ

‘2:T-lesu-lah seperti ayam yang mematuk garam, pura-pura melesukan diri’ ‘Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (18) berfokus pada kata

“ayam”, “garam” dan “lemas”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.14. Alur Analisis Makna Metaforis “Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas” Data (18)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Ayam yang lemas karena makan garam dipetakan pada sifat manusia

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam

sesanti ini referen/tanda bahasa “sakitlah kamu seperti ayam yang memakan

(40)

yang artinya bahwa kandungan sifat (KM) yang dimiliki tanda tersebut, yaitu:

ayam yang lemas karena makan makanan yang asing (garam) seakan-akan dia

pura-pura sakit, diasosiasikan dengan karakter seseorang yang berpura-pura sakit

agar terbebas dari kesalahan yang telah diperbuat.

Janga ‘ayam’ yang makan garam biasanya akan sakit (layu) dan layunya

itu seakan-akan dibuat-buat. Kata coro-coro berarti ‘pura-pura’. Ayam yang

memakan garam sebenarnya tidak benar-benar sakit, tetapi hanya layu karena ada

makanan asing yang masuk dalam tubuhnya. Tingkah laku ayam yang makan sia

‘garam’ agak aneh, yaitu coro-coro kamale weki ‘berpura-pura layu’. Dalam

proses menahan rasa asin itu ayam biasanya akan diam seperti sedang menderita

gogu ‘sakit’. Kalau rasa asin itu hilang, ayam akan kembali sehat dan berlari-lari

seperti biasanya.

Perilaku ayam seperti pada sesanti di atas dibandingkan dengan orang

yang membuat suatu kesalahan dan kesalahan itu dilakukan dengan sengaja.

Begitu kesalahan itu diketahui orang lain, orang itu kemudian berpura-pura sakit,

tidak bergairah untuk melakukan sesuatu. Kepura-puraan itu dilakukan agar orang

lain tidak memperhatikan kesalahan yang dibuatnya. Artinya, seseorang yang

sedang sakit tidak akan diganggu orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan yang

berkaitan dengan kesalahan yang pernah dibuatnya. Kalau orang lain sudah

melupakan kesalahannya, orang itu akan kembali beraktivitas lagi. Perilaku

semacam itu adalah suatu cara agar kesalahannya tidak dibesar-besarkan oleh

orang disekitarnya sehingga terhindarlah dia dari perasaan malu.

(41)

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

konkret, dalam perumpamaan ini adalah “sakitlah kamu seperti ayam yang

memakan garam, pura-pura lemas”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis

dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman

keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam

sesanti ini adalah orang yang berpura-pura sakit agar terbebas dari kesalahan.

(9) Dou musu Ruma-na bune nasi ade kuru-na [dou musu rum n ʌ ʌ bun n si de kurun ]ɛ ʌ ʌ ʌ

‘manusia lawan Tuhan3:T bagaikan burung didalam sangkar3:T’ ‘Manusia melawan Tuhannya bagaikan burung di sangkar

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (9) berfokus pada kata

“burung”, dan “sangkar”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.15. Alur Analisis Makna Metaforis

“Manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya” Data (9)

(42)

[tidak bisa keluar] [mempunyai kekuasaaan terhadap manusia]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep Burung dalam sangkar dipetakan pada sifat manusia

Interpretasi terhadap tanda “manusia melawan tuhannya bagaikan burung

di sangkarnya” mengakibatkan munculnya KM: sekuat apapun seekor burung

tidak akan bisa keluar dari sangkarnya, sehingga pada akhirnya akan memiliki

makna metaforis ‘sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan

kekuasaan Tuhannya.

Sesanti nomor (9) ini menggunakan perbandingan dou musu Ruma-na

‘manusia melawan Tuhannya’ yang kemudian diambil acuan pemetaforaannya

seperti nasi ade kuru ‘burung dalam sangkar’. Ungkapan ini mengiaskan manusia

mirip dengan burung, sementara kekuasaan Tuhan mirip seperti sangkar.

Bagaimanapun kuat dan hebatnya manusia, ia tidak akan pernah bisa melawan

kekuasaan Tuhan, sebagaimana layaknya seekor burung yang berada dalam

sangkar. Jadi, sesanti ini memberikan perumpamaan tentang sesungguhnya hidup

manusia itu berada dalam genggaman atau kekuasaan Tuhan.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘bagaikan’. Berdasarkan

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya

konkret, dalam perumpamaan ini adalah “manusia melawan Tuhannya bagaikan

(43)

memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat

ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah

karakter “sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan

tuhan”.

Dalam penentuan makna metaforis pada sesanti ini, dibutuhkan pemerian

KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks

budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(10) Sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa

“bangau”, “terbang” dan “danau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.16. Alur Analisis Makna Metaforis

“Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” Data (10)

(44)

Danau KM:

[genangan air yang luas]

KM:

[kampung halaman]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Tindakan bangau dipetakan pada pola rantau masyarakat Bima

Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa

“setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” telah mengalami proses

interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang

dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan “sejauh manapun orang merantau

akhirnya akan kembali”.

Kata bango ‘bangau’ dalam sesanti ini adalah metafora yang

menggambarkan manusia yang pergi jauh merantau. Satwa burung bangau yang

banyak terdapat di daerah Bima telah menjadi inspirasi dan pelajaran berharga

bagi masyarakat Bima. Burung yang juga termasuk burung imigran tersebut selalu

terbang jauh setiap pergantian musim dari belahan bumi utara ke selatan atau

sebaliknya, namun ndano ‘danau’ selalu menjadi tempat tujuan. Selain di danau

dan laut, bangau juga banyak ditemui di areal persawahan daerah Bima. Burung

bangau sudah menjadi simbol bagi pola rantau masyarakat Bima. Ini

membuktikan betapa pola hidup masyarakat Bima sangat menyatu dengan alam.

Ungkapan sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa di ndano

‘setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga’ benar-benar diaplikasikan

masyarakat Bima dengan konsep merantau bukan pindah kampung halaman.

(45)

pergi merantau karena misi tertentu, yakni untuk penempaan jiwa, pencerdasan

diri, pendidikan, kedinasan, dan mengadu nasib. Namun seiring perkembangan

zaman, sekarang banyak juga orang Bima yang menetap di daerah rantau sampai

akhir hayatnya.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah

sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “setinggi-tinggi bangau

terbang akhirnya ke danau juga”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis

dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman

keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam

sesanti ini adalah “sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali”.

Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM

ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya

masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(12) Bango made ba karefa [bʌŋ m d ͻ ʌ ɛb k r f ]ʌ ʌ ɛ ʌ

‘bangau mati oleh katak’ ‘Bangau mati oleh katak’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (12) berfokus pada kata

“bangau”, dan “katak”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.17. Alur Analisis Makna Metaforis “Bangau mati oleh katak” Data (12)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

(46)

Bangau KM:

[unggas paruh panjang] [hidup di tempat berair]

Katak KM: [makanan bangau]

mendatangkan petaka karena keserakahan

KM: [keserakahan]

KM:

[sesuatu yang disukai]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Bangau yang mati karena katak dipetakan pada sifat manusia

Interpretasi terhadap tanda “bangau mati oleh katak” mengakibatkan

munculnya KM: bangau mati karena menelan beberapa ekor katak sekaligus,

sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis “sesuatu yang disukai

kadang-kadang mendatangkan petaka pada diri sendiri karena keserakahan”.

Untuk memaknai metafora pada sesanti nomor (12) di atas mungkin agak

sulit diterima akal mengenai katak bisa membunuh bangau, karena yang kita tahu

bahwa katak itu adalah salah satu makanan favorit burung bangau. Akan tetapi,

berangkat dari ketidaklogisan itulah makna metaforis dari ungkapan tersebut bisa

ditemukan. Artinya, menjadi sangat mungkin bangau mati ketika ia memakan atau

menelan beberapa ekor katak sekaligus sehingga membuat tenggorokannya

tersumbat dan akhirnya berakibat pada kematian. Semua itu bisa terjadi gara-gara

sifat serakah burung bangau itu sendiri.

Timbulnya sesanti bango made ba karefa ‘bangau mati oleh katak’ akibat

(47)

tenggorokannya tersumbat oleh karefa ‘katak’. Pengalaman ini kemudian

digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang sesuatu yang disukai

kadang-kadang bisa membahayakan diri sendiri. Kondisi ini sebagai jalan untuk

mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan

referensi dalam metafora.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah

sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “bangau mati oleh

katak”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan

konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan

ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “sesuatu yang

disukai kadang-kadang membahayakan dirinya sendiri”.

(24) Pehe pada janga ade dolu [pehe pʌdʌ ʌ j ŋ de d ℓu]ʌ ʌ ͻ

‘menerka ayam dalam telur’ ‘menerka ayam di dalam telur’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa

kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (24) berfokus pada kata “ayam

di dalam telur”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.18. Alur Analisis Makna Metaforis “Menerka ayam di dalam telur” Data (24)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Gambar

Tabel 5.1. Alur Analisis Makna Metaforis ”Kuda kuning jangan terlalu
Tabel 5.2. Alur Analisis Makna Metaforis “Rejeki domba tidak  didapat oleh kambing” Data (4)
Tabel 5.3. Alur Analisis Makna Metaforis “Membeli kerbau di dalam lubuk” Data (5)
Tabel 5.4. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan hidup seperti kerbau dan kuda” Data (6)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas ridha- Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “ Pilihan

Guna memenuhi persyaratan tersebut maka diusahakan agar tampak atasnya selurus mungkin. Jika bentuk yang melengkung tidak dapat dihindarkan, maka diusahakan

Pembelajaran Fikih di Madrasah Tsanawiyah bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat: (1) mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam dalam mengatur ketentuan dan tata

untuk buahnya/ supaya buah tidak menempel pada tanah//Selain itu/tanaman ini juga bisa di tanam dengan

ratus 90 lowongan yang ditawarkan dari berbagai jenis pekerjaan, baik untuk penempatan lokal,. luar kota mapun

Untuk pembelian barang yang material, saya setuju dengan sumber dana pinjaman, dengan catatan jumlah angsuran kredit ≤ 20% dari jumlah pendapatan bulanan.. Pengunaan ATM

tanggal 29 juli 1947// kedua pahlawan nasional tersebut/ di jajaran TNI AU dikenal sebagai pelopor serta. perintis berdirinya Angkatan Udara// gugurnya kedua pahlawan

mendidik penulis sehingga dapat menjadi pribadi yang lebih baik..