A. Pengantar
Penelitian ini mencoba melihat keterhubungan antara bahasa dan budaya. Melalui
bahasa inilah fenomena budaya dapat terungkap. Bahasanya merujuk pada sesanti
(peribahasa) dan makna metaforanya. Dikatakan sebuah sesanti memiliki nilai
metafora apabila ada unsur yang dibandingkan (sumber) dan yang
membandingkan (sasaran), di mana keduanya dihubungkan oleh kesamaan atau
perbandingan secara eksplesit. Sebaliknya, budaya yang dimaksud lebih
ditekankan pada latar belakang budaya masyarakat Bima yang mempengaruhi
terbentuknya sesanti.
Data yang dianalisis sebanyak tiga puluh satu data sesanti yang
menggunakan leksikon binatang. Untuk lebih mempermudah sistematisasi analisis
dan pemaknaan, data sesanti tersebut dikelompokkan berdasarkan kategori
leksikon binatang yang digunakan sebagai acuan pemetaforaannya, baik dalam
hubungan persamaan ataupun pengiasan. Leksikon-leksikon binatang tersebut
dibagi menjadi enam, yaitu leksikon binatang ternak, leksikon binatang piaraan,
leksikon binatang unggas, leksikon binatang jenis ikan, leksikon binatang reptilia,
dan leksikon binatang buruan. Sehubungan dengan itu, pada bagian ini akan
diuraikan berturut-turut tentang latar belakang budaya Bima yang mempengaruhi
pembentukan sesanti, serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan
Selain itu, relasi asosiasi antara ranah sumber dan ranah sasaran juga dipaparkan
pada bagian ini
.
B. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak
Sesanti yang menggunakan leksikon binatang ternak, yang dianalisis dalam
penelitian ini ada sepuluh buah, yaitu sesanti nomor (3), (4), (5), (6), (7), (8), (15),
(20), (21), dan (22). Adapun binatang ternak dimaksud meliputi: kuda, kerbau,
sapi, dan kambing. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang yang mempengaruhi
terciptanya sesanti-sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses
pembentukan konsep metaforanya.
1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya (Bab IV), selain mata pencaharian
pokok masyarakat Bima yang berasal dari pertanian, mereka juga sangat akrab
dengan binatang-binatang ternak. Hal tersebut sangat berpengaruh pada munculnya
sesanti-sesanti yang menggunakan leksikon binatang ternak karena memang sudah
lekat dengan kehidupan mereka. Binatang ternak yang paling digandrungi untuk
dikembangbiakkan pada masyarakat tradisional Bima adalah kerbau, sapi, kuda,
dan kambing. Akan tetapi yang sangat dominan adalah kerbau dan sapi. Karena
kerbau dan sapi biasanya dimanfaatkan untuk membajak sawah dan diambil susu
perahnya. Bahkan, orang Bima zaman dahulu baru dikatakan kaya apabila
Masyarakat Bima dahulu, beternak kerbau, sapi dan kuda dengan cara
dilepas di padang rumput dan di hutan-hutan tanpa dimasukkan dalam kandang.
Kecuali kuda yang digunakan sebagai pacuan. Beternak dengan cara seperti ini
dalam bahasa Bima disebut so atau nta’a di hori. Ternak-ternak tersebut diberi
tanda seperti stempel dan dibuatkan parangga atau penentuan areal
penggembalaan, biasanya hewan ternak akan dikunjungi atau ditinjau setiap dua
kali dalam sebulan. Jika suatu saat pemiliknya ingin mengecek atau menjual
ternaknya, pemilik ternak tersebut akan bersuara yang sudah dikenal oleh binatang
ternaknya, anehnya binatang-binatang tersebut tidak pernah keliru untuk
mendekati tuannya. Oleh karena itu, di Pulau Sumbawa dikenal dengan susu kuda
liar sumbawa, maksudnya adalah susu dari kuda yang diternak dengan cara di
lepas di hutan. Menurut penelitian susu kuda liar ini memiliki kandungan gizi dan
manfaat yang lebih banyak dibandingkan dengan susu kuda yang diternak dengan
cara dikandangkan, karena kuda liar memakan segala yang ada di hutan. Cara
beternak semacam itu sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Bima,
kecuali bagi mereka yang tinggal di daerah pegunungan.
Bagi masyarakat Bima, jara ‘kuda’ adalah sejarah panjang. Lebih dari
lima abad, jejak kuda tertoreh terkait erat dengan kisah kesultanan di Bima.
Menurut Hj. Siti Maryam Salahudin, keturunan Sultan Bima jara ‘kuda’ adalah
bagian penting perjalanan agama Islam di Bima. Kala itu abad ke 17 Masehi, para
penyebar Islam datang ke daerah tersebut bersama pasukan berkuda. Mereka
menyebarkan ajaran Islam. Sejak itulah jara ‘kuda’ menjadi tumpuan masyarakat
pasukan kuda atau kavaleri yang cukup tangguh. Hal ini didukung oleh banyaknya
populasi kuda di daerah ini dan juga keahlian masyarakatnya menunggang kuda.
Ketika era kolonialisme berakhir, kuda berubah fungsi menjadi hewan ternak,
transportasi dan binatang pacu. Dalam bahasa Bima, pacuan kuda disebut pacuo
jara, tradisi leluhur yang hingga kini tidak pudar. Oleh karena itu, tidak heran jika
leksikon jara ‘kuda’ banyak digunakan sebagai sumber acuan pemetaforaan dalam
sesanti bahasa Bima.
Binatang ternak selanjutnya adalah kambing. Secara umum masyarakat
Bima kurang berminat untuk beternak kambing karena tidak bisa dimanfaatkan
untuk membantu pekerjaan disawah. Biasanya masyarakat Bima mempunyai
beberapa ekor kambing untuk dipelihara sebagai pengisi waktu luang ketika tidak
sibuk dengan pekerjaan di sawah.
2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak
(3) Jara monca aina fonti, lalo ba edamu pali ma [j r m nc ʌ ʌ ͻ ʌ æn f nti, ℓ ℓ ʌ ͻ ʌ ͻ b ed mu p ℓi mʌ ʌ ʌ ʌ
‘kuda kuning jangan senang, langsung karena melihat2:T lapangan yang kalau kalula, malanta labo didula labomu k ℓ w k ℓuℓ , m ℓ nt ℓʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌb ͻ diduℓ ℓʌ ʌb mu]ͻ
luas, kain yangputih bersama dibawa pulang bersamamu’
‘Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (3) berfokus pada kata “ kuda
interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.1. Alur Analisis Makna Metaforis ”Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang
bersamamu” Data (3).
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang
bersamamu
Sifat kuda pacuan ketika dilepas dipetakan dengan sifat orang yang mendapat kebebasan
Interpretasi terhadap tanda “kuda kuning jangan terlalu bersemangat
karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu”
bersemangat di arena pacuan, karena jarang dilepas, sehingga pada akhirnya akan
memiliki makna metaforis manusia jangan yang terlalu senang karena
mendapatkan kebebasan hidup di dunia, karena ketika meninggal dunia hanya
kain kafan yang di bawa; sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM
tanda “kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain
kafan yang dibawa pulang bersamamu”.
Jara monca ‘kuda kuning’ pada data nomor (3) adalah lambang keindahan.
Masyarakat Bima sangat menyukai kuda berwarna kuning. Warna kuning adalah
warna yang menonjol sehingga kalau beberapa kuda dideretkan, warna itulah yang
menarik perhatian. Jara monca ‘kuda kuning’ biasanya akan merasa senang dan
bergaya kalau dilepas di padang luas atau di arena pacuan. Dia akan menunjukkan
kebolehan untuk berlari sekencang-kencangnya. Jara monca ‘kuda kuning’ adalah
metafora manusia yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup.
Masyarakat Bima, jika ingin menasehati orang, tidak hanya dilakukan
secara langsung, tetapi juga dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui kiasan
(metafora). Metafora jara monca ‘kuda kuning’ digunakan karena objek yang
menjadi sasaran nasehat atau teguran mempunyai kesamaan dengan perilaku
kuda. Perilaku fonti ‘bersemangat, bergaya, atau membanggakan diri’ dimiliki
oleh kuda pacuan. Perilaku itu menjadi sifat dan ciri kuda pacuan karena dia
jarang dilepas. Begitu melihat pali makalau kalula ‘lapangan luas’, kuda pacuan
biasanya akan bergerak-gerak dan melompat ke sana ke mari. Kuda ingin
menunjukkan kebolehannya bahwa dia lebih hebat, lebih perkasa daripada kuda
kebebasan hidup yang kadang-kadang berbuat sekehendak hati tanpa
menghiraukan norma-norma yang berlaku.
Klausa malanta labo didula labomu ‘kain putih kasar yang dibawa pulang’
berarti ‘kain kafan yang akan dibawa mati’ dan kemudian dapat juga berarti ‘kalau
mati kita hanya membawa selembar kain’. Maka klausa itu merupakan peringatan
agar seseorang tidak lupa diri dengan kebebasannya dalam hidup. Sesanti ini
biasanya ditujukan kepada anak-anak muda di Bima. Orang muda yang terlalu
bebas dalam hidupnya harus diberikan peringatan agar perilakunya menjadi baik.
Orang yang suka dengan kebebasan biasanya hanya orang muda. Makna itu sesuai
dengan kata jara monca yang mengacu pada kuda pacuan. Kuda pacuan adalah
kuda muda dan hanya kuda muda yang dapat bergerak dengan lincah ketika di
lepaskan dari kandangnya. Dalam hal ini kuda diperbandingkan dengan orang
muda dan pali makalau kalula ‘lapangan luas’ diperbandingkan dengan ‘dunia
atau kehidupan’. Orang muda akan lupa diri karena mendapat kebebasan hidup di
dunia yang indah. Di balik keindahan dunia atau kehidupan ada kematian, yaitu
tertera pada klausa malanta labo didula labomu ‘kain putih kasar yang dibawa
pulang’.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah sasaran dalam sesanti (3)
tidak ditunjukkan oleh pemarkah apa pun. Walaupun demikian, jika ditelusuri
makna metaforisnya secara seksama ada relasi asosiatif kesamaan sifat
antarkeduanya. Dengan demikian berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat
ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah
yang dibawa pulang bersamamu”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis
dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian
pada saat itu), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam
sesanti ini adalah orang yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup
di dunia karena ketika meninggal dunia hanya kain kafan yang di bawa. Dalam
penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber
dan juga ranah sasaran. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat
Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.
(4) Arujiki jimba, wati loa diraka ba mbe’e [ rujiki jimb , wati ℓʌ ʌ ͻʌ dirak ʌ b mbeqe]ʌ
‘rejeki domba tidak bisa didapat oleh kambing’ ‘Rejeki domba tidak didapat oleh kambing’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (4) berfokus pada kata
“rejeki”, “domba”, “tidak didapat” dan “kambing”. Berikut ini teknik interpretasi
yang diterapkan.
Tabel 5.2. Alur Analisis Makna Metaforis “Rejeki domba tidak didapat oleh kambing” Data (4)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
[berbulu tebal]
Tidak didapat KM: [tidak diperoleh]
Kambing KM:
[binatang pemakan rumput] [tanduk bergeronggang]
[diternak]
[diambil daging, dan susu]
KM: [tidak tertukar]
Manusia lain KM:
[makhluk berakal budi]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Rejeki yang diterima oleh domba dan kambing dipetakan ketetapan Allah pada manusia.
Tanda “Rejeki domba tidak didapat oleh kambing” merupakan gambaran
atas ”seseorang yang tidak puas dengan dirinya sendiri dan selalu iri hati terhadap
apa yang diperoleh orang lain, karena itu dia tidak mensyukuri pemberian dan
ketentuan Allah, dengan kata lain, setiap manusia telah ditentukan rejekinya oleh
Allah”.
Leksikon jimba ‘domba’ dan mbeqe ‘kambing’ dalam konteks ini adalah
metafora manusia. Kata jimba ‘domba’ dan mbeqe ‘kambing’ mewakili manusia.
Penggunaan kedua kata itu dirasakan lebih halus dan efektif daripada
menggunakan si A atau si B artinya, seseorang yang dinasehati tidak terlalu
merasa kecewa karena kata yang digunakan berkaitan dengan binatang. Domba
yang digunakan, misalnya lako ‘anjing’ dan bote ‘monyet’, orang yang menjadi
sasaran sesanti tersebut akan tersinggung karena dianggap penghinaan.
Sesanti ini digunakan untuk menasehati orang yang tidak puas dengan
keadaan dirinya. Keadaan dirinya selalu dibandingkan dengan orang lain,
misalnya ada tetangganya yang mendapat hasil panen (padi) yang berlimpah,
orang itu lalu menyesali dirinya “mengapa dia tidak mendapat hasil panen seperti
tetangganya”. Sesanti ini mengandung nasehat atau pesan yang bersifat didaktis,
berintikan ajaran moral dan agama yang mengandung nilai filosofis yang tinggi,
yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda agar
siap menghadapi berbagai corak kehidupan duniawi.
Masyarakat Bima memandang rezeki itu berasal dari Allah dan setiap
manusia memiliki rezeki masing-masing. Realitas kehidupan yang berakar pada
kebenaran hakiki (percaya pada Allah) menjadi konsep yang sangat diyakini dan
diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan
karena mayoritas masyarakat Bima memeluk agama Islam dan konsep kehidupan,
baik pendidikan, etika pergaulan hidup, perkawinan, maupun segala bentuk tradisi
dan adat istiadat disesuaikan dengan ajaran Islam.
Berdasarkan analisis komponen makna unsur metaforis data (4)
interpretasi nonmetaforis dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
konkret, dalam sesanti ini adalah “rejeki domba tidak didapat oleh kambing”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks
ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah jangan iri hati,
masing-masing manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah untuk dimilikinya.
(5) Weli sahe ade diwu [w ℓi ɛ s he de diwu]ʌ ʌ
‘beli kerbau dalam lubuk’ ‘Membeli kerbau di dalam lubuk’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (5) berfokus pada kata
“kerbau” dan “lubuk”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.3. Alur Analisis Makna Metaforis “Membeli kerbau di dalam lubuk” Data (5)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Membeli kerbau di dalam lubuk
Kerbau KM: [binatang ternak] [suka berkubang]
Lubuk KM:
[bagian yang dalam di sungai, danau]
Membeli sesuatu yang tidak jelas keberadaannya
KM: [sesuatu]
KM: [tidak tampak]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Kerbau yang sedang berendam dipetakan sesuatu yang tidak tampak
Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanada bahasa
kerbau yang sedang berendam di tempat yang dalam, memunculkan makna
metaforis berhati-hatilah membeli sesuatu yang tidak tampak atau berhati-hatilah
melakukan sesuatu yang tidak jelas.
Jual beli kerbau dalam masyarakat Bima biasanya dilakukan secara
terbuka. Kerbau harus dilihat ukuran dan warnanya, serta tanda-tanda
kepemilikan. Apabila proses jual beli kerbau atau hewan lainnya tidak dilakukan
secara terbuka, hal itu disebut weli sahe ade diwu. Sahe ‘kerbau’ yang berendam
dalam diwu ‘lubuk’ biasanya tidak dapat dilihat atau dikenali. Bisa saja kerbau
milik si Ali diakui oleh si Ahmad sebagai pemiliknya. Sahe ade diwu ‘kerbau
dalam lubuk’ adalah kiasan ‘sesuatu yang tidak jelas’. Kerbau yang dibeli itu tidak
dapat dikenal dan belum tentu ada.
Sesanti itu mengajak untuk berpikir kritis agar kita mengenal dengan baik
segala sesuatu yang dilakukan. Menurut informan sesanti itu bukan hanya berlaku
dalam hal berjual-beli hewan saja, melainkan juga berlaku untuk masalah sosial
lainnya, misalnya dalam hal melamar gadis. Seorang pemuda yang ingin melamar
seorang gadis, terlebih dahulu dia harus mengenal gadis yang akan dilamar, yaitu
bagaimana wajahnya, postur tubuhnya dan keturunannya. Kalau sudah mengenal
ihwal gadis itu, barulah utusan keluarga pemuda itu datang ke rumah si gadis.
Segala sesuatu yang akan dilakukan harus dilihat dahulu kebenarannya.
Jangan sampai membeli barang atau melakukan sesuatu tanpa mengetahui
substansinya. Tindakan yang ceroboh hanya akan menimbulkan masalah baru
Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “membeli kerbau di
dalam lubuk”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan
memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian pada
saat itu), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti
ini adalah sikap kehati-hatian terhadap sesuatu yang tidak jelas keberadaannya.
(6) Aina mori bune sahe ra jara [æn m ri bun s he r j r ]ʌ ͻ ɛ ʌ ʌ ʌ ʌ
‘jangan hidup seperti kerbau dan kuda’ ‘Jangan hidup seperti kerbau dan kuda’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (6) berfokus pada kata
“kerbau” dan “kuda”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.4. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan hidup seperti kerbau dan kuda” Data (6)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Jangan hidup seperti kerbau dan kuda
Kerbau KM: [binatang ternak] [suka berkubang]
Kuda KM: [binatang] [penarik kendaraan]
Orang yang bodoh dan liar
KM: [bodoh] [dungu]
KM:
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Sifat kerbau yang bodoh dan sifat kuda yang liar dipetakan pada sifat manusia
Tanda “jangan hidup seperti kerbau dan kuda” merupakan gambaran atas
”seseorang yang hidup bodoh dan liar”, yaitu membandingkan manusia dengan
sahe ‘kerbau’ dan jara ‘kuda’. Artinya, manusia dan binatang itu berbeda.
Binatang itu bodoh, tidak mempunyai akal sehingga dia hidup hanya mengikuti
hawa nafsu saja, yaitu makan dan berkembang biak. Manusia hidup harus
memiliki perencanaan, melakukan amal sholeh dan memikirkan kelangsungan
hidupnya, karena hanya hewanlah yang tidak melakukan hal tersebut. Manusia
harus selalu berjuang untuk mendapatkan segala hal yang diinginkan.
Pengalaman orang Bima dengan kedua binatang tersebut menjadi sumber
untuk memahami hal-hal yang abstrak. Timbulnya sesanti aina mori bune sahe
ra jara ‘jangan hidup seperti kerbau dan kuda’ merupakan akibat pengalaman
pencipta sesanti melihat sifat buruk kedua binatang tersebut. Pengalaman ini
kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang orang
bodoh dan liar.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
konkret, dalam sesanti ini adalah “jangan hidup seperti kerbau dan kuda”.
budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian) dapat ditentukan ranah sasaran
yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang bodoh dan liar.
(7) Nente-si jara nenti weha-pu rante-na, [n nt si j r n nti w pu r nt n ,ɛ ɛ ʌ ʌ ɛ ɛʌ ʌ ɛ ʌ
‘menunggang-kalau kuda pegang ambillah rantai-3:T, ita dou taho nenti nggahi sampu’u
ita d u t h n nti ͻ ʌ ͻ ɛ ŋg hi s mpuquʌ ʌ ] 2:T manusia pegang perkataan sepatah’
‘Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataanny
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (7) berfokus pada kata “kuda”,
“kekang”, manusia” dan “perkataan”. Berikut ini teknik interpretasi yang
diterapkan.
Tabel 5.5. Alur Analisis Makna Metaforis “Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya” data (7)
Perkataan KM:
[suatu yang dikatakan]
KM: [perkataan] [tingkah laku]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Tali kekang pada kuda dipetakan pada batas kebebasan manusia
Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “Kalau
menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya” telah
mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa
sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan “kebebasan
kuda dibatasi oleh tali kekangnya, kebebasan manusia dibatasi oleh perkataannya”
Pada sesanti nomor (7) terjadi dua perbandingan, yakni antara jara ‘kuda’
dan manusia yang sama-sama memiliki alat pengendali. Kalau kuda memiliki
pengendali berupa tali, yang berarti hanya bisa bergerak sepanjang tali yang
diikatkan padanya, sedangkan manusia alat pengendalinya adalah ucapan atau
perkataan. Maknanya, jika binatang bisa patuh kepada pengembalanya selama
digiring dengan tali, sedang manusia tidak demikian, namun cukuplah ucapannya
yang menjadi pegangan untuk bisa dipercaya orang. Kalau antara perkataan dan
perbuatannya sudah seimbang, maka ia sudah bisa dipegang omongannya. Jadi,
sesanti ini mengambarkan tentang ketidakleluasaan manusia dalam berbuat
semena-mena karena ia diawasi oleh kata-kata yang pernah diucapkannya, seperti
tidak bebasnya seekor kuda yang dibatasi geraknya oleh tali yang menjeratnya.
Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya”. Sedangkan berdasarkan
interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima
(pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih
abstrak dalam sesanti ini adalah kuda dikendalikan oleh tali sedangkan manusia
dikendalikan oleh perkataannya.
Dalam penentuan makna metaforis sesanti tersebut, dibutuhkan pemerian
KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks
budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna
tersebut.
(8) Hori co’o bune sahe ra capi [h ri c q ͻ ͻ ͻ bunɛ s h r c pi]ʌ ɛ ʌ ʌ
‘dilepas dibiarkan seperti kerbau dan sapi’ ‘Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (8) berfokus pada kata
“dilepas”, “dibiarkan” dan “kerbau dan sapi”. Berikut ini teknik interpretasi yang
diterapkan.
Tabel 5.6. Alur Analisis Makna unsur Metaforis “Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi” Data (8)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi
Dilepas KM: [tidak tertambat]
Orang yang hidup bebas dan mandiri
KM:
Dibiarkan KM:
[tidak dipelihara baik-baik]
Kerbau dan sapi KM:
[hewan yang diternak dengan cara dilepas di hutan]
KM:
[tidak bergantung pada orang lain]
Manusia KM:
[makhluk yang berakal budi]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Kerbau dan sapi yang diternak secara liar dipetakan pada kemandirian
Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “dilepas
dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi” telah mengalami proses interpretasi
berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda
tersebut diasosiasikan dengan karakter “orang yang hidup bebas dan mandiri”.
Terciptanya ungkapan bijak hori co’o bune sahe ra capi ‘dilepas dan
dibiarkan seperti kerbau dan sapi’ sangat dipengaruhi oleh budaya dan
pengalaman sehari-hari masyarakat Bima yang biasa beternak kerbau dan sapi
dengan cara dilepas di padang rumput dan di hutan-hutan tanpa dimasukkan
dalam kandang. Sehingga binatang-binatang tersebut mencari makanannya
sendiri. Pengalaman tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu
konsep baru tentang orang yang hidup mandiri tidak tergantung pada orang lain.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
sapi”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan
konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan
ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang
yang hidup mandiri”.
Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM
ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya
masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.
(15) Mapu keto sahe [m pu k t s h ]ʌ ɛ ͻ ʌ ɛ
‘lemas ekor kerbau’ ‘Lemas ekor kerbau’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (15) berfokus pada kata
“lemas” dan “ekor kerbau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.7. Alur Analisis Makna Metaforis “Lemas ekor kerbau” Data (15)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Lemas ekor kerbau Lemas
KM:
[mudah dilentukkan]
Ekor kerbau KM:
[bagian tubuh binatang paling belakang]
Orang yang sifatnya berubah-ubah
KM: [sifat]
KM:
Perbandingan dan Pengalihan Konsep Sifat ekor kerbau dipetakan pada sifat manusia
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam
sesanti ini tanda bahasa “lemas ekor kerbau” telah melewati teknik interpretasi
berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa KM yang dimiliki tanda bahasa tersebut,
yakni, bagian tubuh kerbau paling belakang yang kadang lemas
kadang-kadang keras, diasosiasikan dengan sifat seseorang yang berubah-ubah.
Sesanti nomor (15) merupakan metafora yang terbentuk dari gabungan
kata mapu ‘lemas’ dan keto sahe ‘ekor kerbau’. Ekor kerbau pada waktu tertentu,
kalau dipegang, akan terasa lemas, tapi pada waktu tertentu dapat menjadi keras.
Metafora ini terbentuk dari adanya persamaan sifat. Ekor kerbau yang bisa lembek
dan bisa keras disamakan dengan sifat manusia yang bisa keras dan lunak.
Orang Bima disebut mapu keto sahe jika pada awalnya memperlihatkan
sikap lunak, tetapi lama-kelamaan menjadi keras. Perubahan dari sikap lunak
kemudian menjadi keras mengandung makna ‘berubah-ubah’ yang kemudian
berarti ‘sulit diatur’. Orang yang mempunyai sifat seperti itu sulit diraba
kemauannya. Pada awalnya tampak lunak tetapi kemudian berubah lagi sehingga
kita tidak tahu bagaimana memperlakukannya. Dengan demikian sesanti itu
digunakan untuk menasehati orang yang suka berubah-ubah sikapnya. Perubahan
sikap itu membuat orang lain sulit untuk memahami kemauannya.
Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “lemas ekor
konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan
ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah sifat seseorang
yang berubah-ubah.
“garam”, “busuk” dan “kerbau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.8. Alur Analisis Makna Metaforis
“Sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor” Data (20)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Interpretasi terhadap tanda “sayangkan garam sejumput, busuk kerbau
seekor” mengakibatkan munculnya KM: merasa sayang untuk memberi garam
pada dendeng kerbau, akhirnya satu ekor kerbau busuk, sehingga pada akhirnya
akan memiliki makna metaforis ‘tidak mau rugi sedikit, akhirnya merugi lebih
besar’, sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM tanda “sayangkan
garam sejumput, busuk kerbau seekor”.
Sahe ‘kerbau’ bagi masyarakat Bima, selain dimanfaatkan untuk
membantu pekerjaan di sawah, juga disembilih untuk dimakan dagingnya,
terutama pada acara-acara hajatan. Terciptanya sesanti sajana sia sa copu, mbai
sahe sabua ‘sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor’ ini dilatar
belakangi oleh pengalaman masyarakat Bima ketika ingin mengawetkan daging
kerbau, yaitu dengan cara dibuat dendeng. Teknik pembuatan dendeng daging
kerbau pada masyarakat Bima masih menggunakan cara-cara tradisional, yaitu
dengan memberi garam saja sebelum dijemur agar tidak busuk tanpa
bumbu-bumbu tambahan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan cita rasa dendeng kerbau
yang khas sehingga bisa diolah menjadi berbagai masakan khas Bima. Apabila
dalam pembuatan dendeng merasa sayang untuk memberi garam, maka dendeng
daging tersebut akan membusuk. Pengalam ini kemudian digunakan untuk
menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang takut merugi sedikit,
akhirnya malah merugi lebih banyak.
Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “sayangkan garam
dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman
keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam
sesanti ini tidak mau rugi sedikit, akhirnya malah merugi lebih besar.
(21) Bune mbe’e ade sampa [bun mbeqe de s mp ]ɛ ʌ ʌ ʌ
‘seperti kambing dalam sampan’ ‘Bagai kambing dalam sampan’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (21) berfokus pada kata
“kambing”, dan “sampan”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.9. Analisis komponen makna unsur metaforis tentang “Bagai kambing dalam sampan” Data (21)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Bagai kambing dalam sampan
Kambing KM: [binatang ternak]
[takut kena air]
Sampan KM: [perahu kecil]
Seorang yang dalam keadaan ketakutan dan tidak mampu
menyelamatkan diri
Manusia KM:
[makhluk berakal budi] [berada dalam ketakutan]
KM:
[tempat berbahaya] [tidak bisa menyelamatkan diri]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Untuk lebih jelasnya, perhatikan uraian berikut. Sesanti bune mbe’e dei
sampa ‘bagai kambing dalam sampan’ digunakan sebagai sarana pemetaforaan
yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang berda di tempat yang
berbahaya seperti mbe’e ‘kambing’ yang berada dalam sampan. Teknik interpretasi
berdasarkan asosiasi diterapkan pada referen mbe’e ‘kambing’ yang memiliki
aspek (KM): binatang ternak yang takut dengan air, dia berada dalam sampan di
tengah sungai, memiliki kemiripan dengan kondisi “seseorang yang ketakutan”
yang memiliki aspek (KM): orang yang sangat ketakutan, sedang dia tidak bisa
menyelamatkan diri.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya beternak mbe’e ‘kambing’ bagi
masyarakat Bima hanyalah untuk mengisi waktu luang ketika tidak sibuk dengan
pekerjaan di sawah. Biasanya kambing dilepas di siang hari dan dikandangkan di
bawah rumah panggung pada malam hari. Binatang ini terkanal dengan binatang
yang takut dengan air. Tapi menurut pengamatan peneliti ketika berada di
lapangan binatang ini tidak takut dengan air, karena banyak peternak kambing
yang memandikan kambing-kambing tersebut.
Terciptanya sesanti nomor (21) merupakan akibat pengalaman masyarakat
Bima ketika melihat ketakutan kambing yang berada dalam sampan digunakan
untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang ketakutan karena
berada ditempat yang berbahaya, sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri.
Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi
pada benda yang dijadikan referensi dalam metafora tersebut.
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘bagai’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
konkret, dalam sesanti ini adalah “bagai kambing dalam sampan”. Sedangkan
berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya
masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang
sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalak keadaan orang yang ketakutan,
sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri.
(22) Bune ma-reke kere mbe’e [bun m -reke kere mbeqe]ɛ ʌ
‘seperti menghitung bulu kambing’ ‘Bagai menghitung bulu kambing’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (20) berfokus pada seluruh
kalimat tersebut. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.10. Alur Analisis Makna Metaforis “Bagai menghitung bulu kambing” Data (22)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Bagai menghitung bulu kambing
Menghitung KM:
[mencari jumlahnya]
Bulu Kambing KM:
[rambut pendek yang menutupi seluruh tubuh kambing]
Melakukan pekerjaan yang sangat sulit atau sia-sia
KM:
[melakukan aktivitas]
KM:
[sesuatu yang sulit]
Aktivitas menghitung bulu kambing dipetakan pada melakukan pekerjaan yang sulit
Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanda bahasa
“bagai menghitung bulu kambing” mengakibatkan munculnya aspek (KM):
menghitung bulu-bulu kambing, memunculkan makna metaforis melakukan suatu
pekerjaan yang sangat sulit. Makna tersebut mengacu pada tubuh kambing yang
dilapisi bulu-bulu lurus dan kasar yang menyelimuti dari kepala hingga ekor, yang
tentunya jumlah bulu tersebut sangatlah banyak sehingga sukar untuk dihitung,
oleh karena itu penggunaan leksikon mbe’e ‘kambing’ dalam sesanti tersebut
memiliki peranan sebagai perlambangan/simbol pekerjaan yang sukar dikerjakan.
Terciptanya sesanti bune ma-reke kere mbe’e ‘bagai menghitung bulu
kambing’ tersebut berdasarkan pengalaman masyarakat Bima dengan alam
lingkungannya yang kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep
abstrak tentang suatu pekerjaan yang sulit untuk dikerjakan.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
konkret, dalam perumpamaan ini adalah “bagai menghitung bulu kambing”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks
budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah
sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “melakukan
C. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan
Sesanti yang menggunakan leksikon binatang piaraan, yang dianalisis dalam
penelitian ini hanya satu buah, yaitu sesanti nomor (2). Adapun binatang piaraan
dimaksud adalah kucing dan anjing. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang
terciptanya sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan
konsep metaforanya.
1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan
Dalam masyarakat Bima, ngao ‘kucing’ melambangkan kebaikan atau kesucian,
karena Nabi Muhammad juga sangat menyayangi binatang tersebut. Sebaliknya
kata lako ‘anjing’ melambangkan sesuatu yang kotor. Masyarakat Bima tidak
begitu senang memelihara anjing, karena lako ‘anjing’ menurut budaya Bima
melambangkan sesuatu yang kotor atau najis. Lambang itu terbentuk dari
mitos-mitos yang berkembang dalam agama Islam. Mitos itu didukung oleh orang-orang
Bima yang taat beragama. Hidupnya mitos tentang binatang anjing di
tengah-tengah masyarakat Bima berkaitan dengan musibah meletusnya gunung Tambora.
Berdasarkan wawancara dengan informan, isi mitos tersebut secara ringkas
adalah: Dikisahkan, musibah meletusnya gunung Tambora bermula dari orang
Arab bernama Said Idrus. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan
berniaga. Suatu hari, Said Idrus berjalan-jalan dan berpesiar di negeri yang besar
itu sampai waktu sholat dhuhur tiba, kemudian ia masuk masjid untuk
menyuruh mengusir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, ia juga menyuruh
memukulnya. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu
pun berkata.
“Raja kami yang empunya anjing ini”.
“Baik, siapapun yang punya anjing ini, ini adalah masjid, Allah SWT yang
empunya rumah ini. Siapapun yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang
itu kafir,’’ papar Said Idrus.
Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada
sang Raja dia berkata:
“Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan orang Tambora kafir, sebab ada anjing
dalam masjid”.
Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh
memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu diundang makan di istana. Tuan
Said Idrus pun datang ke istana Raja Tambora bersama para pejabat istana.
Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang
banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing ditaruh di hadapan Tuan Said
Idrus. Hidangan lain berisi daging kambing ditaruh di hadapan orang-orang
Tambora dan raja. Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun
bertanya kepada Tuan Said Idrus.
“Hai Arab! Sebagaimana engkau katakan apakah anjing itu haram?”
“Ya, haram” sahut Tuan Said Idrus.
“Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makan anjing itu?” kata
“Bukannya anjing yang saya makan tadi. Saya makan daging kambing” sahut Said
Idrus.
Said Idrus mendebat, ia yakin raja telah salah menukar makanan. Mendapati
penentangan seperti ini, raja murka dan meminta pengawal membunuh Said Idrus.
“Bawa orang Arab ini, dan bunuh!’’ titah Sang Raja.
Orang-orang istana itu pun memegang tangan Said Idrus. Dia dibawa naik
ke Gunung Tambora. Setibanya di sana, para suruhan Raja Tambora menikam
Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan
senjata tajam. Orang-orang itu pun mengambil kayu, ada pula yang mengambil
batu. Ada yang melempar, ada yang memukul Tuan Said. Akhirnya tuan Said pun
meninggal dunia kepalanya pecah, darah berhamburan. Orang-orang itu
mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang
suruhan Raja Tambora pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja
mereka.
Kemudian di antara negeri dan gunung Tambora, tampak nyala api, tempat
Tuan Said dibunuh. Api itu makin membesar, kayu, batu, bumi semuanya
menyala. Api itu pun mengejar orang-orang yang membunuh Tuan Said. Mereka
berlari hendak masuk ke negeri Tambora, tapi api malah lebih dulu sampai di
negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan
dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah SWT, ke mana pun orang Tambora lari, api
mengejarnya. Tidak ada orang Tambora yang bisa lepas dari kejaran api. Orang
Paparan di atas adalah mitos yang menggambarkan terjadinya letusan
gunung Tambora yang terjadi pada 11 April 1815, kedahsyatan letusan gunung
Tambora tersebut terasa hingga tahun 1817. Bencana itu menyebabkan sekitar
150.000 orang menemui ajalnya. Seluruh penduduk pulau Sumbawa musnah.
Kerugian miliaran rupiah berupa padi yang rusak dan kehancuran lainnya.
Berdasarkan ilmu pengetahuan, letusan gunung Tambora adalah letusan
gunung barapi biasa, tetapi mitos yang hidup di tengah masyarakat Bima
menyebutkan, musibah tersebut merupakan kemarahan Allah SWT atas perilaku
rakyat Tambora yang membunuh Tuan Said Idrus.
2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan
(2) Bune ngao labo lako mpanggana [bun ɛ ŋʌͻ ℓʌb ℓ k mpͻ ʌ ͻ ʌŋgʌ ʌn ] ‘seperti kucing dengan anjing bertengkar3:T’ ‘Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (2) berfokus pada kata
“kucing” dan “anjing”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.11. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya” Data (2)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya
Kucing KM:
Dua orang yang selalu bertengkar
[binatang peliharaan] [musuh anjing]
Anjing KM:
[binatang peliharaan] [musuh kucing]
[makhluk berakal budi] [suka bertengkar]
Manusia KM:
[makhluk berakal budi] [suka bertengkar]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Sifat kucing ketika bertemu dengan anjing dipetakan pada sifat manusia
Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “seperti
kucing dan anjing bertengkarnya” telah mengalami proses interpretasi
berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda
tersebut diasosiasikan dengan karakter “dua orang yang selalu bertengkar”.
Dalam sesanti (2) di atas tampak jelas ada dua jenis binatang peliharaan
yang dikontraskan, yakni ngao ‘kucing’ dan lako ‘anjing’. Kedua binatang itu
menjadi lambang permusuhan, di mana pun dan kapan pun anjing bertemu dengan
kucing pasti akan bertengkar, entah karena saling berebut makanan atau hanya
berpapasan.
Kata ngao dan lako merupakan metafora yang digunakan oleh masyarakat
Bima untuk menggambarkan orang yang selalu bertengkar atau bermusuhan yang
sulit didamaikan. Artinya orang-orang itu mempunyai sifat yang bertolak
belakang sehingga sulit disatukan pendapat mereka. Kalau mereka bertemu, sering
terjadi perdebatan atau pertengkaran, seperti sifat ngao ‘kucing’ dan lako ‘anjing’.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti kucing dengan anjing
bertengkarnya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan
memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian pada
saat itu), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti
ini adalah dua orang yang selalu bermusuhan.
Sesanti ini digunakan untuk menasehati dua orang atau kelompok yang
tidak pernah bisa akur selama hayatnya. Ada atau tidaknya masalah yang
melatarbelakangi pertengkaran mereka tidak menjadi pertimbangan. Dalam benak
mereka hanya ada api permusuhan. Permusuhan timbul karena tidak adanya sikap
saling menghargai dan menghormati perasaan orang lain. Sifat yang bertolak
belakang membuat mereka sulit untuk rukun dan menjalin hubungan yang akrab
dan harmonis. Kalau ada orang yang melihat mereka sedang bertengkar, orang
yang melihat mereka itu akan mengatakan Bune ngao labo lako mpanggana.
D. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas
Sesanti yang menggunakan leksikon binatang unggas, yang dianalisis dalam
penelitian ini ada sebelas buah, yaitu sesanti nomor (9), (10), (12), (16), (17), (18),
(24), (27), (29), (30), dan (31). Adapun binatang unggas dimaksud meliputi:
burung, bangau, dan ayam. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang terciptanya
sesanti-sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan
konsep metaforanya.
Jenis binatang unggas yang terdapat dalam sesanti adalah ayam, bangau, dan
burung. Sejak ribuan tahun lalu ayam telah dekat dengan peradaban manusia.
Ayam menjadi santapan, penanda waktu, sarana ritual, sampai simbol populer.
Kata janga ‘ayam’ merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan
masyarakat Bima, oleh sebab itu sesanti bahasa Bima banyak memanfaatkan
leksikon janga ‘ayam’ sebagai sumber acuannya. Janga ‘ayam’ sudah dikenal
sejak zaman kerajaan Bima. Pada saat itu, ayam merupakan salah satu jenis
persembahan untuk kerajaan sebagai upeti dari masyarakat setempat. Keharusan
menyerahkan upeti menyebabkan ayam selalu diternakkan oleh warga kampung
dan menyebabkan ayam tetap terjaga kelestariannya. Di samping itu, orang Bima
memiliki kepercayaan, firasat, alamat atau pertanda dari ayam ini, yaitu:
1) Bila ayam betina beradu dibawah kolong rumah, maka itu pertanda bahwa
yang empunya rumah akan kedatangan tamu;
2) Bila ayam betina berkotek di waktu malam, maka itu pertanda akan ada
kerabat yang akan meninggal. Karenanya harus disembelih, tidak boleh
dibiarkan bertelur karena dapat membawa sial atau celaka;
3) Bila ayam memakai jambul, maka itu pertanda ayam tersebut tidak baik
dipelihara karena bisa membawa sial;
4) Bila ayam berbulu kelabu, maka ayam tersebut juga tidak baik untuk
dipelihara karena dianggap ayam pembawa sial, dan
5) Bila ayam jantan berkokok seperti menyuarakan ‘pelihara aku’ maka ayam
Berkaitan dengan janga ‘ayam’ dalam masyarakat Bima ada sebuah
permainan tradisional yang disebut dengan “songko janga” terdiri dua kata yaitu
songko dan janga. Arti sebenarnya dari kata songko adalah songkok ‘kopiah’.
Tetapi dalam permainan ini artinya bukan songkok, melainkan “ditutup”
(diselubung) dengan tembe ‘sarung’. Dalam permainan ini, menggunakan sangkar
ayam dalam keadaan tertutup. Di dalamnya ada seorang pelaku yang berperan
sebagai seekor ayam untuk ditebak namanya oleh pihak lawan (regu lawan). Jadi
Mpa’a Songko Janga sebenarnya adalah jenis permainan adu tebak nama lawan
bermain yang disimbolkan sebagai seekor ayam jantan dalam sangkar tertutup.
Binatang unggas selanjutnya adalah bangau. Jenis burung yang badannya
berukuran besar, berkaki panjang, berleher panjang dan mempunyai paruh yang
besar, kuat dan tebal ini sering dijumpai di daerah beriklim hangat. Di daerah
Bima bangau banyak dijumpai di areal persawahan, danau atau di laut.
Makanannya berupa katak, ikan, serangga, cacing, burung kecil dan mamalia kecil
dari lahan basah dan pantai. Burung bangau hidup berkelompok dan jika
jumlahnya cukup dapat membentuk kawanan yang besar. Sarangnya dibangun di
atas tanah. Bergantung pada spesies, jumlah telur antara 1 butir hingga 4 butir.
Masa pengeraman telur sekitar 30 hari. Anak burung yang baru menetas tidak
bisa terbang, tetapi langsung bisa berjalan mengikuti induknya mencari makanan
ke sana kemari. Kesetiaan pada tempat bersarang menjadikan burung bangau
sering dijadikan simbol pembawa kebahagiaan di dalam banyak kebudayaan dan
Dalam sesanti bahasa Bima juga ditemukan binatang jenis unggas nasi
‘burung’ sebagai acuannya. Binatang ini banyak jenisnya, ada yang diternak untuk
dimanfaatkan daging dan telurnya, ada yang dipelihara karena merdu suaranya,
ada pula jenis burung liar, misalnya kari’i ‘burung pipit’. Kari’i ‘burung pipit’
adalah sekelompok burung kecil pemakan biji-bijian yang menyebar di wilayah
tropis. Kari’i ‘burung pipit’ senang berkelompok, dan sering terlihat bergerak dan
mencari makanan dalam gerombolan yang cukup besar. Dalam kelompok dan
jumlah yang banyak kari’i ‘burung pipit’ merupakan hama tanaman padi dan
musuh para petani Bima. masyarat Bima biasanya menghalau serangan burung
pipit dengan orang-orangan sawah, dalam bahasa Bima disebut dengan sedahu.
Sarang burung pipit terbuat dari rumput-rumputan yang dianyam
membentuk bulatan besar serupa bola tertutup, tempat menyimpan 4-10 butir
telurnya yang berwarna keputih-putihan. Beberapa spesies juga memiliki pohon
tenggeran tempat burung-burung ini melewatkan malam secara bersama-sama.
2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas
(16) Bune janga ma ntolu ese wawo jompa [bun jaɛ ŋ m nt ℓu ese w wo j mp ]ʌ ʌ ͻ ʌ ͻ ʌ
‘seperti ayam yang bertelur di atas lumbung’ ‘Seperti ayam bertelur di lumbung’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (16) berfokus pada kata
Tabel 5.12. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam bertelur di lumbung” Data (16)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti ayam bertelur di lumbung
Ayam KM: [binatang piaraan] [suka makan padi]
Lumbung KM:
[tempan menyimpan hasil pertanian]
Orang yang hidup senang dan mewah
Manusia KM:
[makhluk berakal budi]
KM:
[semua kebutuan tersedia]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Ayam yang berada di lumbung dipetakan pada kehidupan mewah
Dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “seperti ayam bertelur di
lumbung” yang memiliki KM: ayam yang bertelur di tempat yang penuh dengan
makanan kesukaannya (padi), telah mengalami proses interpretasi berdasarkan
asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut
diasosiasikan dengan orang yang hidup senang dan mewah.
Penggunaan leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor (16) berdasarkan
pengalaman pencipta sesanti yang melihat kebiasaan ayam yang sangat menyukai
beras atau padi. Sehingga apabila seekor ayam berada di jompa ‘lumbung’, ia
akan dapat memakan padi dalam lumbung tersebut sampai puas. Mengacu pada
kebiasaan tersebut janga ‘ayam’ digunakan sebagai penggambaran suatu konsep
baru tentang orang yang hidup senang dan mewah.
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam bertelur di lumbung”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks
budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah
sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “orang yang hidup
senang dan mewah”.
(17) Bune janga di tando saninu [bun jɛ ʌŋ ʌ di tʌndͻ sʌninu] ‘seperti ayam PREP-di depan cermin’ ‘Seperti ayam di depan cermin’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (17) berfokus pada kata
“ayam”, dan “cermin”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.13. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam di depan cermin” Data (17)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti ayam di depan cermin Ayam
KM:
[binatang dipelihara]
Cermin KM:
[kaca yang dapat memperlihatkan bayangan benda yang diletakkan di
depannya]
Orang yang asing dengan bayangannya sendiri
KM:
[manusia berakal budi]
KM:
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Ayam yang melabrak bayangannya sendiri dipetakan pada sifat manusia
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam
sesanti ini tanda bahasa “seperti ayam di depan cermin” telah melewati teknik
interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa KM yang dimiliki tanda
bahasa tersebut diasosiasikan dengan karakter seseorang yang asing dengan
bayangannya sendiri.
Leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor (17) digunakan sebagai sarana
acuan metafora yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang asing
dengan kebudayaan, agama, keluarga, adat-istiadat atau tradisi tempat ia
dilahirkan dan dibesarkan, sehingga ia merasa aneh bahkan melawan kebudayaan
dan peradaban tersebut, yang sebenarnya adalah “bayangannya” sendiri. Dengan
demikian, orang seperti itu mirip dengan perilaku ayam yang melabrak
bayangannya sendiri ketika berdiri di depan cermin atau kaca karena disangka
musuh atau bayangan dari ayam yang lain.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam di depan cermin”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks
budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah
sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang yang
(18) Ma-gogu-ra bune janga ma noto sia, coro-coro ka-male weki [mʌgͻgurʌ bun jɛ ʌŋ m n t si c r -c r k m ℓʌ ʌ ͻ ͻ ʌ ͻ ͻ ͻ ͻ ʌ ʌ ɛ
w ki]ɛ
‘2:T-lesu-lah seperti ayam yang mematuk garam, pura-pura melesukan diri’ ‘Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (18) berfokus pada kata
“ayam”, “garam” dan “lemas”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.14. Alur Analisis Makna Metaforis “Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas” Data (18)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Ayam yang lemas karena makan garam dipetakan pada sifat manusia
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam
sesanti ini referen/tanda bahasa “sakitlah kamu seperti ayam yang memakan
yang artinya bahwa kandungan sifat (KM) yang dimiliki tanda tersebut, yaitu:
ayam yang lemas karena makan makanan yang asing (garam) seakan-akan dia
pura-pura sakit, diasosiasikan dengan karakter seseorang yang berpura-pura sakit
agar terbebas dari kesalahan yang telah diperbuat.
Janga ‘ayam’ yang makan garam biasanya akan sakit (layu) dan layunya
itu seakan-akan dibuat-buat. Kata coro-coro berarti ‘pura-pura’. Ayam yang
memakan garam sebenarnya tidak benar-benar sakit, tetapi hanya layu karena ada
makanan asing yang masuk dalam tubuhnya. Tingkah laku ayam yang makan sia
‘garam’ agak aneh, yaitu coro-coro kamale weki ‘berpura-pura layu’. Dalam
proses menahan rasa asin itu ayam biasanya akan diam seperti sedang menderita
gogu ‘sakit’. Kalau rasa asin itu hilang, ayam akan kembali sehat dan berlari-lari
seperti biasanya.
Perilaku ayam seperti pada sesanti di atas dibandingkan dengan orang
yang membuat suatu kesalahan dan kesalahan itu dilakukan dengan sengaja.
Begitu kesalahan itu diketahui orang lain, orang itu kemudian berpura-pura sakit,
tidak bergairah untuk melakukan sesuatu. Kepura-puraan itu dilakukan agar orang
lain tidak memperhatikan kesalahan yang dibuatnya. Artinya, seseorang yang
sedang sakit tidak akan diganggu orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan kesalahan yang pernah dibuatnya. Kalau orang lain sudah
melupakan kesalahannya, orang itu akan kembali beraktivitas lagi. Perilaku
semacam itu adalah suatu cara agar kesalahannya tidak dibesar-besarkan oleh
orang disekitarnya sehingga terhindarlah dia dari perasaan malu.
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
konkret, dalam perumpamaan ini adalah “sakitlah kamu seperti ayam yang
memakan garam, pura-pura lemas”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis
dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman
keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam
sesanti ini adalah orang yang berpura-pura sakit agar terbebas dari kesalahan.
(9) Dou musu Ruma-na bune nasi ade kuru-na [dou musu rum n ʌ ʌ bun n si de kurun ]ɛ ʌ ʌ ʌ
‘manusia lawan Tuhan3:T bagaikan burung didalam sangkar3:T’ ‘Manusia melawan Tuhannya bagaikan burung di sangkar
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (9) berfokus pada kata
“burung”, dan “sangkar”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.15. Alur Analisis Makna Metaforis
“Manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya” Data (9)
[tidak bisa keluar] [mempunyai kekuasaaan terhadap manusia]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep Burung dalam sangkar dipetakan pada sifat manusia
Interpretasi terhadap tanda “manusia melawan tuhannya bagaikan burung
di sangkarnya” mengakibatkan munculnya KM: sekuat apapun seekor burung
tidak akan bisa keluar dari sangkarnya, sehingga pada akhirnya akan memiliki
makna metaforis ‘sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan
kekuasaan Tuhannya.
Sesanti nomor (9) ini menggunakan perbandingan dou musu Ruma-na
‘manusia melawan Tuhannya’ yang kemudian diambil acuan pemetaforaannya
seperti nasi ade kuru ‘burung dalam sangkar’. Ungkapan ini mengiaskan manusia
mirip dengan burung, sementara kekuasaan Tuhan mirip seperti sangkar.
Bagaimanapun kuat dan hebatnya manusia, ia tidak akan pernah bisa melawan
kekuasaan Tuhan, sebagaimana layaknya seekor burung yang berada dalam
sangkar. Jadi, sesanti ini memberikan perumpamaan tentang sesungguhnya hidup
manusia itu berada dalam genggaman atau kekuasaan Tuhan.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘bagaikan’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya
konkret, dalam perumpamaan ini adalah “manusia melawan Tuhannya bagaikan
memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat
ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah
karakter “sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan
tuhan”.
Dalam penentuan makna metaforis pada sesanti ini, dibutuhkan pemerian
KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks
budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.
(10) Sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa
“bangau”, “terbang” dan “danau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.16. Alur Analisis Makna Metaforis
“Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” Data (10)
Danau KM:
[genangan air yang luas]
KM:
[kampung halaman]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Tindakan bangau dipetakan pada pola rantau masyarakat Bima
Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa
“setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” telah mengalami proses
interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang
dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan “sejauh manapun orang merantau
akhirnya akan kembali”.
Kata bango ‘bangau’ dalam sesanti ini adalah metafora yang
menggambarkan manusia yang pergi jauh merantau. Satwa burung bangau yang
banyak terdapat di daerah Bima telah menjadi inspirasi dan pelajaran berharga
bagi masyarakat Bima. Burung yang juga termasuk burung imigran tersebut selalu
terbang jauh setiap pergantian musim dari belahan bumi utara ke selatan atau
sebaliknya, namun ndano ‘danau’ selalu menjadi tempat tujuan. Selain di danau
dan laut, bangau juga banyak ditemui di areal persawahan daerah Bima. Burung
bangau sudah menjadi simbol bagi pola rantau masyarakat Bima. Ini
membuktikan betapa pola hidup masyarakat Bima sangat menyatu dengan alam.
Ungkapan sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa di ndano
‘setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga’ benar-benar diaplikasikan
masyarakat Bima dengan konsep merantau bukan pindah kampung halaman.
pergi merantau karena misi tertentu, yakni untuk penempaan jiwa, pencerdasan
diri, pendidikan, kedinasan, dan mengadu nasib. Namun seiring perkembangan
zaman, sekarang banyak juga orang Bima yang menetap di daerah rantau sampai
akhir hayatnya.
Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “setinggi-tinggi bangau
terbang akhirnya ke danau juga”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis
dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman
keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam
sesanti ini adalah “sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali”.
Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM
ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya
masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.
(12) Bango made ba karefa [bʌŋ m d ͻ ʌ ɛb k r f ]ʌ ʌ ɛ ʌ
‘bangau mati oleh katak’ ‘Bangau mati oleh katak’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (12) berfokus pada kata
“bangau”, dan “katak”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.17. Alur Analisis Makna Metaforis “Bangau mati oleh katak” Data (12)
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Bangau KM:
[unggas paruh panjang] [hidup di tempat berair]
Katak KM: [makanan bangau]
mendatangkan petaka karena keserakahan
KM: [keserakahan]
KM:
[sesuatu yang disukai]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Bangau yang mati karena katak dipetakan pada sifat manusia
Interpretasi terhadap tanda “bangau mati oleh katak” mengakibatkan
munculnya KM: bangau mati karena menelan beberapa ekor katak sekaligus,
sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis “sesuatu yang disukai
kadang-kadang mendatangkan petaka pada diri sendiri karena keserakahan”.
Untuk memaknai metafora pada sesanti nomor (12) di atas mungkin agak
sulit diterima akal mengenai katak bisa membunuh bangau, karena yang kita tahu
bahwa katak itu adalah salah satu makanan favorit burung bangau. Akan tetapi,
berangkat dari ketidaklogisan itulah makna metaforis dari ungkapan tersebut bisa
ditemukan. Artinya, menjadi sangat mungkin bangau mati ketika ia memakan atau
menelan beberapa ekor katak sekaligus sehingga membuat tenggorokannya
tersumbat dan akhirnya berakibat pada kematian. Semua itu bisa terjadi gara-gara
sifat serakah burung bangau itu sendiri.
Timbulnya sesanti bango made ba karefa ‘bangau mati oleh katak’ akibat
tenggorokannya tersumbat oleh karefa ‘katak’. Pengalaman ini kemudian
digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang sesuatu yang disukai
kadang-kadang bisa membahayakan diri sendiri. Kondisi ini sebagai jalan untuk
mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan
referensi dalam metafora.
Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “bangau mati oleh
katak”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan
konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan
ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “sesuatu yang
disukai kadang-kadang membahayakan dirinya sendiri”.
(24) Pehe pada janga ade dolu [pehe pʌdʌ ʌ j ŋ de d ℓu]ʌ ʌ ͻ
‘menerka ayam dalam telur’ ‘menerka ayam di dalam telur’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (24) berfokus pada kata “ayam
di dalam telur”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.18. Alur Analisis Makna Metaforis “Menerka ayam di dalam telur” Data (24)
Ranah Sumber Ranah Sasaran