• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intervensi Kemanusiaan ( Humanitarian Intervention )

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI INTERVENSI

C. Intervensi yang Dibenarkan dalam Hukum Internasional

2. Intervensi Kemanusiaan ( Humanitarian Intervention )

“Suatu tindakan yang diklaim sebagai self-defence baik untuk menyerang maupun bertahan akan diputuskan berdasarkan hukum internasional”

Intervensi kemanusiaan telah lama menjadi praktek dalam masyarakat internasional. Hal ini telah dilakukan oleh negara-negara secara individual atau kolektif, misalnya intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh Rusia di Turki atas nama kaum nasionalis Bulgaria Tahun 1877, intervensi Amerika Serikat di Kuba Tahun 1898, Prancis melakukan intervensi di Syria Tahun 1860, dan Negara-negara besar Eropa ditambah Jepang melakukan intervensi di China tahun 1900.121

Praktek ini terus berlanjut hingga dewasa ini. Hal ini dapat dilihat dari intervensi-intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Somalia Tahun 1992, di

120

Putusan Mahkamah Militer di Nurenberg (1946), Trial of German Major War Criminals Before the International Military Tribunal

121

Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Bandung: PT.Alumni, hlm.650

Rwanda tahun 1994, di Haiti Tahun 1994, di Boznia-Herzegovina Tahun 1992-1995, di Kosovo Tahun 1998-1999, di Siere Leone Tahun 1999, dan di Libya Tahun 2011. Pelaksanaan intervensi kemanusiaan di berbagai tempat tersebut selalu diikuti dengan pro dan kontra. Bagi yang pro atas tindakan intervensi kemanusiaan, tindakan tersebut dipandang sebagai jalan keluar yang tepat untuk membebaskan orang-orang yang mengalami tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dari penindasan yang dialami di dalam wilayah suatu negara. Sedangkan bagi mereka yang kontra dengan tindakan intervensi kemanusiaan berpendapat bahwa pelaksanaan tindakan tersebut melemahkan kedaulatan negara, berpotensi merusak aturan yang ada di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),

Mayoritas negara saat ini mendukung perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan menjamin penegakan HAM bagi setiap individu yang berada di dalam wilayahnya. Oleh karenanya negara-negara juga mengakui adanya kewajiban untuk perlindungan HAM. Meskipun demikian hingga saat ini belum ada suatu definisi hukum yang jelas mengenai intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional. Hal ini mengakibatkan intervensi kemanusiaan terbuka untuk diinterpretasi oleh berbagai pihak yang berkepentingan.

Intervensi kemanusiaan didefinisikan oleh Danish Institute of International Affairs sebagai:

“coercive action by States involving the use of armed force in another State without the consent of its Government, with or without authorization from the UN

Security Council, for the purpose of preventing or putting to a halt gross and massive violations of human rights or international humanitarian law.”122

“the threat or use of force across state borders by a state (or group of states) aimed at preventing or ending widespread and grave violations of the fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the permission of the state within whose territory force is applied.”

Intervensi kemanusiaan juga didefinisikan oleh Robert O. Keohane dan J. L.Holzgrefe sebagai:

123

Intervensi kemanusiaan juga dapat diartikan sebagai intervensi bersenjata yang dilakukan oleh suatu negara dengan pertimbangan kemanusiaan. Intervensi ini bukan bertujuan untuk mengganti kedaulatan suatu negara tetapi menyelamatkan para korban perlakuan brutal atau kejam dan tidak manusiawi yang dialami di suatu negara.124

a. Menggunakan kekuatan bersenjata (armed force) Dalam melakukan intervensi kemanusiaan di dalam wilayah negara lain tempat terjadinya penggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional, digunakan kekeuatan bersenjata (armed force) untuk melindungi para korban dan menghentikan pelanggaran yang terjadi. Oleh karena itu penggunaan Dari ketiga definisi yang disajikan di atas setidaknya ada empat unsur dari tindakan intervensi kemanusiaan, yaitu:

122

Hans Corell, To intervene or not: The dilemma that will not go away, dalam Conference On The Future Of Humanitarian Intervention, hlm.2 [diakses tanggal 10-03-2015 dariuntreaty.un.org/ola/media/info...lc/duke01.pd)

123

Robert O. Keohane & J. L. Holzgrefe, ed, Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, Cambridge University Press (2003), hlm.18

124

tindakan intervensi yang tidak menggunakan kekuatan bersenjata

(armed force) seperti ancaman atau penggunaan sanksi ekonomi,

diplomatik,atau politik atau sanksi lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai intervensi kemanusiaan.125

b. Dilakukan dengan tujuan kemanusiaan yaitu untuk menghentikan pelanggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional. Dapat dilihat dari pengertian di atas bahwa tujuan utama dari intervensi kemanusiaan adalah untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran berat terhadap HAM atau hukum humaniter internasional. Dengan demikian maka motif lain selain hal ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah intervensi kemanusiaan.126

c. Dilakukan tanpa persetujuan negara tempat pelanggaran kemanusiaan terjadi. Sebagaimana diakui dalam hukum internasional, suatu negara memiliki kedaulatan dalam batas-batas teritorial yang diakui menjadi

Dalam melakukan tujuan kemanusiaan tersebut intervensi yang dilakukan oleh suatu negara dalam wilayah negara lain melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata. Hal ini dilakukan tanpa ada persetujuan dari pemerintahan negara tersebut. Penekanan perlu dilakukan terhadap bagian dimana tindakan intervensi ini dapat dilakukan tanpa ada persetujuan dari pemerintahan negara yang bersangkutan. Hal ini perlu ditekankan karena erat kaitannya dengan kedaulatan suatu negara dan kemampuan suatu negara dalam mengatasi permasalah HAM atau pun permaslahan humaniter di dalam wilayahnya.

125

Robert O. Keohane & J. L. Holzgrefe, loc.cit, hlm.18

126

Christoher C. Joyner, International Law in The 21st Century, New York: Rowman & Littlefield Publishers, inc (2005), hlm. 177

miliknya. Oleh karenanya negara memiliki yurisdiksi atas benda, orang, ataupun kejadian yang terjadi di dalam wilayahnya tersebut. Hal ini berarti negara juga berdaulat penuh untuk mengatasi pelanggaran berat HAM ataupun hukum humaniter internasional yang terjadi di dalam wilayahnya. Oleh karena itu sepanjang negara tersebut masih mempunyai kemampuan dan kapasitas untuk mengatasi permaslahan tersebut, negara lain tidak mempunyai hak untuk mengintervensi. Intervensi kemanusiaan mungkin untuk dilakukan tanpa persetujuan negara tempat pelanggaran kemanusiaan terjadi ketika negarater sebut tidak berkeinginan atau tidak mempunyai kemampuan atau kapasitas yang cukup untuk menyelasaikan permasalahan tersebut atau negara tersebut menjadi pelaku dari pelanggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional. Contohnya intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Somalia Tahun 1992 yang dalam hal ini Somalia dipandang tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang terjadi di sana karena dianggap sebagai negara gagal.127

d. Dilakukan dengan atau tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB. Tindakan intervensi kemanusiaan berdasarkan pengertian dari Danish Institute of International Affairs dapat dilakukan dengan atau tanpa otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Dewasa ini masyarakat internasional akan lebih bisa menerima suatu intervensi kemanusiaan yang

127

Gerald A. Bunga, 2012, Analisis Hukum Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium Dan Armed Robbery Di Wilayah Laut (Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia), LL.M, Universitas Gadjah Mada,hlm.78-82

dilakukan dengan otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruno Simma dalam Boer Mauna bahwa penggunaan kekerasan untuk tujuan humaniter tidak sesuai dengan tujuan Piagam PBB kecuali setelah mendapatotorisasi dari Dewan Keamanan PBB.128 Contohnya adalah intervensi kemnusiaan yang dilakukan di Somalia, Rwanda, dan Haiti, yang mana dilakukan berdasarkan otoritas Dewan Keamanan PBB sehingga dapatditerima oleh masyarakat internasional. Sebaliknya, intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh suatu negara tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB, akan diragukan legalitasnya dan cenderung mendapat penolakan dan kecaman dari masyarakat internasional. Contohya adalah intervensi militer yang dilakukan NATO di Kosovo pada Tahun 1999. Intervensi ini oleh sebagian besar sarjana dipandang sebagai tindakan unilateral dari NATO tanpa ada otorisasi dari Dewan Keamanan PBB.129

128

Boer Mauna, op.cit., hlm. 652

129

John O’brien, 2001, International Law, Newyork: Routledge-Cavendish; Ryan Goodman, Humanitarian Intervention and Pretext of War, American Journal of International Law, 100 (107), hlm.108; Natalino Ronzitti, 1999, Lessons of International Law from NATO’s Armed Intervention Against the Federal Republic of Yugoslavia, International Spectator, 35 (3), hlm. 46

Contoh lainnya adalah Intervensi militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat di beberapa negara seperti di Nicaragua pada Tahun 1989, di Grenada Pada Tahun 1983, dan di Panama Tahun 1989 pada masa pemerintahan Ronald Reagan diragukan oleh masyarakat internasional sebagai sebuah intervensi kemanusiaan yang bertujuan untuk alasan kemanusiaan. Intervensi ini dipandang lebih bertujuan untuk menggulingkan pemimpin totaliter dan memungkinkan

hidupnya kebebasan memilih secara demokratis di negara-negara tersebut.130

Ketiadaan instrumen hukum internasional yang secara jelas mengatur mengena permasalahan intervensi kemanusiaan menyebabkan sulit bagi kita untuk menetapkan standar atau syarat bagi suatu negara atau sekelompok negara untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Asian C. Udoh mengusulkan beberapa kriteria untuk menilai layak atau tidaknya suatu intervensi kemanusiaan, yang mana berdasarkan kriteria-kriteria ini bisa dijadikan pijakan untuk melihat syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan intervensi kemanusiaan di suatu negara. Kriteria yang diusulkan oleh Asian C. Udoh adalah sebagai berikut:

a. The use of humanitarian intervention must be immediate and only

occur during the actual commission of the human rights violation or immediate threat of an offense;

b. Authorization for intervention must be by a competent body within the

United Nation;

c. Humanitarian intervention must be a collective effort executed by more

than one nation;

d. Humanitarian intervention must be used as a last resort when all

other means have failed;

e. Humanitarian intervention must only be used for grave and large scale

violations of human rights;

130

Rosalyn Higgins, Problem and Process, International Law, How We Use It, Clarendon Press, Oxford (2001), hlm. 6

f. All military forces involved in the intervention must respect the principles and spirit of the Geneva Conventions and all other applicable international humanitarian laws.131

Jadi berdasarkan kriteria di atas, suatu intervensi kemanusiaan harusdilaksanakan dengan segera dan hanya dilakukan sepanjang terjadi pelanggaran berat terhada HAM atau ketika terjadi suatu ancaman penyeranagan secara langsung. Pelaksanaan intervensi ini harus dilakukan berdasarkan otorisasi dari badan PBB yang berkompeten, dalam hal ini adalah Dewan Keamanan PBB.132

131

Asian C. Udoh, When Is Humanitarian Intervention Legal, (pdf), Dengan demikian tindakan yang dilakukan secara sepihak tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB dapat dianggap bertentangan dengan hukum internasional.Intervensi kemanusiaan yang dilkukan juga harus dilaksanakan secara kolektif dan dilakukan sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM yang terjadi. Hal ini berarti sebelum dilakukan intervensi kemanusiaan, harus dilakukan upaya-upaya penyelesaian sengketa secara damai sebagaimana yang disediakan dalam aturan hukum internasional, misalnya seperti yang diatur dalam Piagam PBB yang menyediakan cara-cara penyelesaian sengketa secara damai melalui, perundingan, penyeledikan, mediasi, konsiliasi ,arbitrasi, penyelesaian melalu jalur hukum, penyelesaian melalui badan-badan

&source=web&cd=4&cad=rja&ved=0CEAQFjAD&url=htp%3%2F%2Fwww.lacba.org%2Ffiles %2Flal%2Fvol33no1%2F2687.pdf&ei=aasRUPNEcuVrgfx_4AQ&usg=AFQjCN 132 Pasal 39 Piagam PBB

atau peraturan-peraturan regional, dan melalui cara-cara penyelesaian secara damai lainnya yang disepakati oleh pihak-pihak yang bersengketa.133

a. The threat or occurrence of grave and large-scale violations of human

rights.

Internvesi kemanusiaan yang dilakukan juga hanya dilaksanakan ketikaterjadi pelanggaran yang berat dan dalam skala yang besar terhadap HAM (Grave and large scale violations of human rights). Penilaian terhadap hal ini tetap menjadi kewenangan Dewan Keamanan PBB karena akan berdampak terhadap penggunaan kekuatan bersenjata untuk penyelasaian masalah tersebut, yang manaot orisasi penggunaan kekuatan bersenjata hanya dapat dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB. Dalam melakukan intervensi kemanusiaan, pelaku intervensi juga sangat ditekanakan untuk tetap berpegang pada pada prinsip-prinsip Konvensi Genewa dan aturan-aturan hukum humaniter internasional lainnya. Selain kriteria yang diajukan oleh Asian C. Udoh di atas, terdapat juga kriteria lain yang diajukan oleh Centre for Strategic Studies, Victoria University of Wellington, yaitu sebagai berikut:

b. Clear and objective evidence of such a threat or occurrence.

c. The government of the state is unwilling or unable to take remedial

action.

d. There is clear urgency.

e. The use of force should be the last resort.

133

f. The purpose is clearly explained to publics and the international community.

g. The purpose is limited to stopping the human rights abuses. h. The action is supported by those for whom it is intended. i. There is support of regional states

j. There should be a high probability of success.

k. There should be a mapped-out transition to post conflict peace building. l. The use of force should be proportionate to achieving these goals.

m. International law on the conduct of war should be followed during

theaction.134

Berdasarkan kriteria di atas, jika dibandingkan dengan kriteria yang diajukan oleh Asian C Udoh, maka terdapat sembilan kriteria yang baru yaitu, sebelum melakukan intervensi kemanusiaan harus ada bukti yang jelas dan objektif bahwa telah terjadi ancam atau pelanggaran yang berat dan dalam skala besar terhadap HAM..

Pelaksanaan intervensi kemanusiaan juga dimungkinkan jika pemerintah dimana tempat pelanggaran kemanusiaan terjadi tidak bersedia (unwilling) atau tidak mempunyai kapasitas yang cukup (unable) untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun untuk melaksanakan intervensi

134

Centre for Strategic Studies, 2000, Humanitarian Intervention: Definition and Criteria, Centre for Strategic Studies Briefing Paper, 3 (1), hlm.2, (pdf =we WLMRUqjMF9DyrQfNgYHABw&usg=AFQjCNF8sdu

tersebut harus dilakukan penilaian terlebih dahulu apakah intervensi tersebut mendesak untuk dilakukan atau tidak, atau dengan kata lain apakah ada urgensi untuk segera melaksanakan intervensi tersebut atau tidak.Intervensi kemanusiaan yang dilaksanakan juga, berdasarkan kriteria di atas,harus mendapat persetujuan dari pihak yang mana intervensi ini ditujukan, yakni mereka yang menjadi korban pelanggaran kemanusiaan tersebut.

Selain itu tindakan intervensi yang dimaksud juga disarankan untuk mendapat dukungan dari negara-negara yang berada pada regional yang sama dengan tempat terjadinya pelanggaran kemanusiaan tersebut. Hal ini mungkin menjadi pertimbangan karena negara-negara tersebut bisa terkena imbas langsung ataupun tidak langsung dari pelanggaran kemanusiaan yang terjadi ataupun intervensi kemanusiaan yang akan dilakukan. Misalnya bisa terjadi pengungsian besaran dari para korban pelanggaran kemanusiaan ke negara-negara yang berada pada regional yang sama dengan negara mereka. Suatu intervensi kemanusiaan juga bisa dilaksanakan apabila ada peluang yang besar untuk sukses menghentikan pelanggaran berat HAM yang terjadi. Dalam hal ini tahap pertimbangan dan persiapan sebelum melakukan intervensi menjadi sangat penting. Hal ini tidak hanya meliputi persiapan dalam hal kekuatan bersenjata saja tapi juga mempertimbangkan aspek-aspek lain yang terkait, seperti aspek hukum dan politik.

Intervensi kemanusiaan yang dilakukan juga dikehendaki untuk tidak berhenti setelah sukses menghentikan pelanggaran berat HAM yang terjadi tapi juga harus disiapkan rencana pembangunan perdamaian pasca konflik yang terjadi. Hal ini

dapat dianggap sebagai langkah kemanusiaan yang baik, karena pengalaman yang ada menunjukan bahwa keadaan masyarakat setelah terjadi suatu konflik selalu berada pada situasi yang memprihatinkan. Contohnya apa yang terjadi di Somalia sejak tahun 1990an hingga saat ini.

Dalam melakukan intervensi kemanusiaan juga dikehendaki agar pelaksanaannya harus proporsional dalam mencapai tujuan yang dikehendaki dari intervensi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan kekuatan bersenjata yang digunakan tidak melebihi dari apa yang seharusnya dilakukan sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang tidak perlu yang mana bisa memperparah kondisi yang ada. Berdasarkan kriteria-kriteria yang diusulkan oleh Asian C. Udoh dan Centre for Strategic Studies, Victoria University of

Wellington, berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang

bermaksud melakukan intervensi kemanusiaan. Syarat-syarat ini dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan intervensikemanusiaan dan syarat yang harus dilakukan selama berlangsungnya intervensi kemanusiaan dan yang ketiga adalah syarat yang harus dilakukan setelah intervensi kemanusiaan berjalan dengan sukses.

a. Sebelum pelaksanaan intervensi kemanusiaan pihak yang melakukan intervensi harus:

- Dilakukan sebagai upaya terakhir setelah upaya-upaya penyelesaian sengketa secara damai telah dilakukan dan tidak berhasil menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang terjadi. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang mana dibentuk

pada masa sesudah konflik perang dunia I dan II, sehingga memliki tujuan untuk menciptakan suatu komunitas internasional yang berubah bukan dengan menggunakan kekerasan, dan apabila terjadi sengketa maka diharapkan bisa diselesaikan secara damai;135

- Ada otorisasi dari Dewan Keamanan PBB;

- Dilakukan terhadap pelanggaran yang berat dan dalam skala besar terhadap HAM. Oleh karena itu harus terlebih dahulu dilakukan suatu penilaian apakah memang benar terjadi pelanggaran yang dimaksud atau tidak. Hal ini harus didukung dengan bukti yang jelas dan objektif bahwa pelanggaran yang dimaksud memang benar terjadi;

- Pemerintahan negara tempat pelanggaran berat HAM terjadi tidak bersedia (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk menghentikan pelanggaran yang dimaksud. Dengan demikian harus ada suatu penilaian atau penyelidikan dan disertai bukti-bukti yang objektif yang menunjukan pemerintahan negara tempat pelanggaran terjadi tidak bersedia atau tidak mampu untuk menyelesiakan permasalahan tersebut;

b. Selama berlangsungnya intervensi kemanusiaan pihak yang melakukan intervensi harus:

- Menghormati prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi Jenewa dan aturan-aturan hukum internasional lainnya;

135

- Melakukan intervensi kemanusiaan dengan segera dan hanya selama terjadinya anacaman atau pelanggaran HAM dalam skala yang besar dan berat;

- Melakukan intervensi kemanasiaan secara proporsional dengan tujuanyang hedak dicapai, sehingga tidak menimbulkan kerusakan atau kerugian yang tidak perlu.

c. Setelah intervensi kemanusiaan berjalan dengan sukses pihak yang melakukan intervensi harus membantu dalam masa transisi untuk membangun perdamaian pasca konflik yang terjadi.

Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa hingga saat ini tidak ada suatuinstrumen internasional yang secara eksplisit dan khusus mengatur mengenai intervensi kemanusiaan. Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa pada prinsipnya Piagam PBB menentang penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan antar negaraanggotanya. Hal ini disadari oleh PBB berdasarkan pengalaman dua perang duniayang terjadi sebelumnya yang mana menunjukan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata terlalu berbahaya untuk digunakan sebagai alat yang sah dalam hubungan antar negara. Penggunaan kekerasan juga hanya dimungkinkan oleh Piagam PBB dalam hal bela diri (self defence) dan tindakan yang diotorisasi oleh Dewan Keamanan PBB.Dalam Pasal 39 Piagam penggunaan kekuatan bersenjata haya diizinkan dalam hal:

a. Ada ancaman terhadap perdamaian internasional;

c. Terjadi tindakan agresi. Dengan demikian dapat dilihat bahwa penggunaan kekuatan bersenjata dengan tujuan melakukan intervensi kemanusiaan tidak disebutkan secara eksplisit dalam pasal ini. Demikian juga dalam keseluruhan Bab VII Piagam PBB tidak ada satu pasalpun yang secara eksplisit berkaitan dengan penggunaan kekuatan bersenjata untuk tujuan intervensi kemanusiaan. Penggunaan kekeuatan bersenjata untuk tujuan intervensi kemanusiaan sedikit mendapat tempat dalam Piagam PBB jika kita melihat kepada tujuan dari PBB, yaitu:

- Menjaga perdamaian dunia, - Perlindungan HAM, dan

- Kegiatan untuk mendukung hak menentukan nasib sendiri (self-determination)