• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI INTERVENSI

B. Prinsip Non-Intervensi dalam Hukum Internasional

2. Pasal Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB

Dalam hal intervensi terhadap urusan dalam negeri suatu negara anggota PBB oleh PBB sebagai suatu organisasi internasional, pasal Pasal 2 ayat (7) mengarahkan agar PBB meghormati urusan dalam negeri masing-masing negara. Hal ini tercantum dalam bunyi pasal Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, yaitu;

“Nothing in the present Charter shall authorize The United nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the

74

Bruno Simma, op.cit., hlm.117

75

present Charter but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under chapter VII”

“Tidak ada satu ketentuan pun dalam Piagam ini yang member kuasa kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara atau mewajibkan Anggota- anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan Piagam ini; akan tertapi prinsip ini tidak menguurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti tercantum pada bab VII”

Prinsip Non-Intervensi sebagaimana termaktub dalam pasal ini tidaklah sama dengan prinsip non-intervensi dalam prinsip umum hukum internasional. pasal ini secara spesifik mengatur mengenai Intervensi yang dilakukan oleh Organisasi Internasional sebagai Subjek hukum internasional, dibanding dengan intervensi oleh suatu negara dalam urusan dalam negeri suatu negara lain.76 Pasal ini memberikan suatu pedoman kepada organ PBB dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan yang berada dalam batas yurisdiksi suatu negara.77 Pasal Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB dikatakan sebagai “life-safer” untuk negara-negara anggota PBB, karena mereka seolah-olah diberikan semacam hak veto untuk membatasi jurisdiksi organ PBB.78

76

Hans Kelsen, op.cit., hlm. 770

77

Bruno Simma, op.cit., hlm.143

78

Seha L. Meray, The Issue of Domestic Jurisdiction According to the United Nations Charter and Practice in International Law, Ankara, Canada (2004), hlm. 32

a. Aturan yang pertama ditujukan kepada organ-organ PBB untuk menghormati “domestic affairs” suatu negara.

b. Aturan yang kedua ditujukan kepada negara-negara anggota PBB, dimana setiap negara anggota sedapat mungkin tidak menyerahkan segala urusan yang berada dibawah kedaulatan yurisdiksinya kepada PBB untuk penyelesaian sengketa secara damai. Karena itu, organ PBB hanya berkompetensi untuk menangani sengketa yang berada dalam ranah hukum internasional

c. Aturan yang terakhir menyangkut mengenai pengecualian terhadap prinsip non-intervensi oleh organ PBB di dalam urusan dalam negeri suatu negara, sebagaimana diatur dalam Bab VII Piagam PBB.

Yang menjadi permasalahan adalah pasal ini tidak memberikan suatu klasfikasi yang pasti mengenai hal-hal apa yang dianggap sebagai masalah domestic atau dalam hal apa organ PBB dapat melakukan intervensi dalam masalah domestik negara.

i. Ruang Lingkup Yurisdiksi PBB

Pasal Pasal 2 ayat (7) menentang tindakan intervensi, namun tidak melarang semua tindakan dan keputusan PBB terkait masalah domestik suatu negara.79

79

Belatchew Asrat, op.cit., hlm. 421

Hal ini menimbulkan multitafsir terhadap bagian pasal ini. Dalam praktiknya, PBB dapat melakukan intervensi secara langsung maupun tidak langsung dalam masalah domestic suatu negara, namun intervensi ini tidak dilakukan dengan

tindakan-tindakan yang mengganggu teritori suatu negara. Intervensi yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan seperti membawa masalah domestic suatu negara dalam suatu forum PBB dan memberikan rekomendasi. Dalam hal intervensi tidak langsung seperti ini, PBB secara konsisten telah mempraktikannya, apabila negara yang bersangkutan tidak merasa keberatan, maka biasanya PBB secara otomatis akan melaksanakan intervensi ini.

Dalam memberikan Rekomendasi atau dalam mengadakan suatu resolusi dalam suatu masalah internal suatu negara, Badan PBB haruslah membuktikan terlebih dahulu bahwa konflik tersebut telah berkembang menjadi suatu konflik yang mendapat “international concern”(perhatian internasional) karena konflik tersebut berpotensi untuk mengganggu keamanan dan perdamaian dunia.80

Elemen “international concern” sebagai dasar yurisdiksi PBB untuk mengintervensi masalah domestic suatu negara tercermin di berbagai Resolusi Majelis Umum PBB, sebagai contoh, Resolusi Majelis Umum PBB terkait konflik di Afrika Selatan terkait masalah apartheid. Terkait masalah ini, PBB mengatakan bahwa apartheid adalah “ancaman besar bagi perdamaian dunia”.

Oleh karena itu segala permasalahan domestic suatu negara yang berpotensi menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional menjadi “international concern”, yang mana akan menghapuskan kewenangan yurisdiksi negara permasalahan tersebut.

81

80

Resolusi Dewan Keamanan PBB (29 April 1946)

81

Resolusi Majelis Umum PBB No. 820 (IX) (14 Desember 1954)

PBB dalam berbagai kesempatan menunjukan kecenderungan menghubung-hubungkan suatu

permasalahan domestic dengan perdamaian dan keamanan internasional sebagai dasar untuk membuktikan “international concern”.

Selain intervensi dalam bentuk memberikan rekomendasi dan membuat resolusi terkait masalah domestik suatu negara, PBB juga dapat melakukan intervensi secara langsung. PBB dapat melakukan suatu aktivitas secara langsung di wilayah teritorial suatu negara atau terlibat dalam urusan militer, ekonomi, dan politik negara tersebut. Pasal Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB mengatur mengenai operasi angkatan bersenjata negara asing di suatu wilayah kedaulatan negara asing. Dalam hal ini, kita dapat membedakan operasi militer PBB yang ‘non-coercive’ dan ‘coercive’. Suatu intervensi yang dilakukan secara

coercive adalah intervensi yang melanggar ketentuan pasal ini, namun intervensi

non-coercive adalah intervensi yang dapat dibenarkan. Tindakan PBB tidak

dikatakan sebagai intervensi yang coercive apabila intervensi tersebut tidak ditujukan secara adil kepada semua pihak yang bersengketa.

ii. Ruang Lingkup Yurisdiksi Domestik Suatu Negara

Satu hal lagi yang merupakan hal tersulit dalam memahami Pasal Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB adalah terkait ruang lingkup kewenangan yurisdiksi domestic (domestic jurisdiction). Piagam PBB sendiri tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan yurisdiksi domestik suatu negara. Di dalam Konferensi Fransisco 1945, masalah mengenai definisi domestic jurisdiction tidak diperbincangkan.82

82

Seha L. Meray, op.cit., hlm. 40-42

made ambiguous in recognition of the fact that it dealt with an issue so difficult of solution as to be better left unsolved.”83

“The question whether a certain matter is or is not solely within the jurisdiction of a state is an essentially relative question; it depends upon the development of international relations”

Selama 26 tahun eksistensi Liga Bangsa-Bangsa (LBB), hanya ada satu kasus yang merefleksikan batasan definisi dari terminologi ini. Di dalam advisory opinion LBB dalam sengketa terkait Nationally Decrees di Tunis dan Marocco, Mahkamah Internasional menyatakan;

84

“the right of a state to use its discretion is nevertheless restricted by obligations which it may have undertaken towards other states. In such a case, jurisdiction, in principle, belongs solely to the state, is limited by rules of international law.”

Apakah suatu permasalahan mutlak berada dalam yurisdiksi domestic suatu negara adalah relatif; tergantung kepada perkembangan hubungan internasional”

Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa dalam suatu sengketa yang secara prinsip tidak diatur dalam hukum internasional;

85

Terdapat dua hal penting yang dapat disimpulkan dari pernyataan di atas. Pertama, terkait yurisdiksi domestik tidaklah meliputi suatu persengketaan yang secara kaku dan pasti merupakan milik suatu negara, namun ditentukan oleh fakta-fakta dari kasus yang ada. Kedua, yurisdiksi domestik suatu negara dibatasi

83

Francis O. Wicox and Carl M. marcy, Proposals For Changes in the United Nations, Washington DC (1955), hlm. 465 dikutip oleh M. S. Rajan, United Nations and World Politics, New Delhi, Har-Anand Publications (1995), hlm. 164

84

PCIJ Reports, Ser. B. No. 4 (1923)

85

oleh komitmen dan kewajiban yang mungkin telah didiskusikan dengan negara-negara lain melalui perjanjian atau traktat tertentu.86

Pasal Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB tidak mendesain hukum internasional sebagai parameter untuk mendefinisikan yurisdiksi domestik. Pada Konferensi San Fransisco, perwakilan Amerika Serikat, John Foster Dulles menjelaskan alasan mengapa tidak dirumuskan suatu definisi yang pasti terkait masalah yurisdiksi domestik. Hal ini karena hukum internasional selalu berkembang.

87

Pendapat lain mengatakan bahwa Psal Pasal 2 ayat (7) dibuat agar hukum internasional tetap konsisten digunakan pada masa sekarang. Namun demikian, banyak sarjana yang berpendapat bahwa pengertian dari hukum internasional ridak perlu dilebih-lebihkan. Pertama, karena hukum internasional memang tidak memberikan suatu definisi yang pasti mengenai yurisdiksi domestic; kedua, karena tidak ada pengaturan khusus di dalam hukum internasional terkait masalah yurisdiksi.88

iii.Kewenangan Menentukan Kompetensi Yurisdiksi

Hingga saat ini, dalam melakukan intervensi, PBB sendiri tidak menunjukkan suatu interpretasi yang jelas terkait isu ini karena infiltrasi berbagai masalah politik.

Pertanyaan selanjutnya dalam memahami isi pasal Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB adalah, siapakah yang berhak menentukan apakah suatu sengketa itu berada dalam yurisdiksi negara atau PBB. Pasal ini tidak memberikan ketentuan yang

86

Ibid, hlm. 147-148

87

D, J. Harris, Cases and Materials on International Law, London, Sweet & Maxwell (1998), hlm. 973.

88

memeberi kewenangan kepada badan PBB untuk memutuskannya. Terkait ini ada dua pandangan yang muncul dari para ahli hukum internasional mengenai kompetensi ; pertama, setiap anggota PBB memberikan pendapat mengenai yurisdiksi mana yang berlaku terhadap sengketa tersebut;89 kedua, Organ PBB adalah pihak yang paling berkompetensi untuk menentukan.90 Sebagai contoh, pada tahun 1954, atas permintaan Yunani, Cases concerning the island of Cyprus, suatu persengketaan terkait mengenai equality rights and self determination, dibawa di dalam agenda rapat umum Majelis Umum PBB.91 Negara Inggris berpendapat bahwa sengketa tersebut adalah mutlak berada dibawah yurisdiksi Inggris, karena Cyprus adalah bagian teritorial Inggris. Delegasi Turki juga mendukung pendapat Inggris, mereka mengatakan bahwa Majelis Umum PBB tidak memiliki kompetensi terhadap sengketa tersebut sesuai pasal Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB.92 Melalui Resolusi 814 (IX) Majelis Umum PBB menolak pendapat tersebut.93 Namun pada tahun berikutnya, Majelis Umum menolak permintaan serupa dari Yunani.94