• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

2.1.2 Intervensi Komunitas

keberadaan kelembagaan akan memberikan kontibusi (keuntungan) bagi kehidupan masyarakat. Perspektif kelembagaan sebagai aturan yang ada dan keuntungan yang diperoleh dari keberadaan kelembagaan tersebut, dipengaruhi oleh perpektif rational choice theory.

Colemans (1990) mengatakan bahwa rational choice theory ini menekankan pada tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Terdapat tiga kelebihan yang dimiliki oleh rational choice

theory, untuk memilih tindakan yang dapat memaksimalkan

kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan yaitu: memiliki kontribusi pada area pengukuran, sebagai pendekatan pertikaian dalam institusi sosial (seperti: dalam hukum, peraturan-peraturan, norma, dan nilai-nilai budaya), serta memberikan kemungkinan tentang cara untuk menjawab pilihan tujuan. (Ritzer 2008)

Adapun dalam perspektif sosiologi-antropologi dalam corak kelembagaan biasa disebut dengan Normative Institution, dimana kelembagaan merupakan bagian sistem norma yang terdapat di masyarakat. Sehingga norma yang terdapat di masyarakat diinternalisasi elemen dari sistem kepribadaian, orientasi nilai dan objek orientasi yang ada di luar individu untuk mengatur kehidupan manusia.

2.1.2 Intervensi Komunitas

Pengembangan Masyarakat merupakan suatu model intervensi yang sangat memperhatikan aspek manusia serta pemberdayaan masyarakat, dimana di dalamnya kental terasa adanya unsur Pendidikan dalam upaya mengubah suatu

21 komunitas. Partisipasi masyarakat dalam proses intervensi pengembangan masyarakat menjadi salah satu kunci terwujudnya peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sebagai sebuah metode atau pendekatan yang cukup efektif, pengembangan masyarakat menekankan adanya proses pemberdayaan, partisipasi, dan peranan langsung warga komunitas dalam proses pembangunan di tingkat komunitas dan antar komunitas. (Rukminto, Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat 2013)

Intervensi sosial merupakan perubahan yang terencana yang dilakukan oleh pelaku perubahan (change agent) terhadap berbagai sasaran perubahan (target of change) yang terdiri dari individu, keluarga, dan kelompok kecil (level mikro), komunitas dan organisasi (level mezzo) dan masyarakat yang lebih luas, baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi, negara, maupun tingkat global (level makro). Kesimpulan mengenai definisi intervensi sosial adalah suatu metode perubahan sosial yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran intervensi dalam melakukan perubahan sosial yang diinginkan oleh pelaku perubahan.

Tujuan utama intervensi sosial adalah untuk membantu masyarakat untuk memperoleh kembali keberfungsian sosialnya, meningkatkan kemampuan mengatasi masalah yang dihadapi dengan teknik penyelesaian masalah yang lebih baik serta dapat menjalankan peran barunya sesuai dengan perkembangan yang dialami agar hambatan sosial yang dihadapi tidak terulang lagi.

22 (Rukminto, Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat 2013)

Bank Sampah Saraswati menjadi suatu komunitas dimana masyarakat melakukan aksi untuk menjadikan lingkungannya lebih baik lagi, Sebagimana dalam bukunya tersebut, Isbandi juga menjelaskan bahwa dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial, salah satu bentuk intervensi yang berkaitan dengan perspektif pembangunan sosial tersebut ialah metode intervensi sosial di level komunitas atau yang disebut dengan intervensi komunitas. Oleh karena itu, maka salah satu cara agar masyarakat mampu mewujudkan kesejahteraannya yaitu dengan melakukan beberapa model intervensi pada tingkat komunitas, salah satunya diantaranya ialah dengan melakukan aksi sosial (social action).

Untuk mewujudkan kesejahteraan pada suatu masyarakat, salah satu bentuk intervensi yang dapat dilakukan pada level komunitas ialah dengan melakukan aksi sosial. Dalam Adi (2013, hal.188) dipaparkan bahwa pelaksanaan model intervensi komunitas melalui aksi sosial lebih cenderung mengarah pada intervensi di tingkat komunitas lokal. Berdasarkan pemaparan Butcher (1993) Pendekatan aksi komunitas sangatlah berbeda dengan pendekatan pengembangan masyarakat. Sebab aksi komunitas melibatkan masyarakat dalam rangka membuat tuntutan kepada pembuat kebijakan, hal tersebut dolakukan untuk menunjukan adanya respon terhadap kebijakan serta adanya kepentingan yang dimiliki oleh masyarakat.

23 2.1.3 Strategi Pemberdayaan

a. Pengertian Strategi Pemberdayaan

Strategi adalah cara untuk mengerahkan tenaga, dana, daya, dan peralatan yang dimiliki guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Arti pemberdayaan masyarakat itu sendiri adalah suatu proses yang mengembangkan dan memperkuat kemampuan masyarakat untuk terus terlibat dalam proses pembangunan yang berlangsung secara dinamis sehingga masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat mengambil keputusan secara bebas (independent) dan mandiri (Sumaryo 1991)

Ada 3 (tiga) strategi utama yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat, antaranya yaitu:

1) Strategi tradisional, strategi ini menyarankan masyarakat mengetahui dan memilih kepentingan terbaik secara bebas dalam berbagai keadaan atau dengan kata lain semua pihak bebas menentukan kepentingan bagi kehidupan mereka sendiri dan tidak ada pihak lain yang menggangu kebebasan setiap pihak

2) Strategi direct-action, strategi ini memerlukan dominasi kepentingan yang dihormatui semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut perubahan yang mungkin terjadi. 3) Strategi transformatif, strategi ini menunjukan bahwa

pendidikan masa dalam jangka panjang diperlukan sebelum pengidentifikasian kepentingan diri sendiri (pelajaran.co.id 2018)

Sedangkan secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’

24 (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. (Suharto, Membangun Rakyat Memberdayakan Rakyat 2005)

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat “people centered, participatory, dan sustainable.” (Chambers 1985). Ada beberapa faktor internal yang menghambat pemberdayaan antara lain, kurang bisa untuk saling mempercayai, kurang daya inovasi atau kreativitas, mudah pasrah atau menyerah atau putus asa, aspirasi dan cita-cita rendah, tidak mampu menunda menikmati hasil kerja, wawasan waktu yang sempit, familisme, sangat tergantung pada bantuan pemerintah, sangat terikat pada tempat kediamannya dan tidak mampu atau tidak bersedia menempatkan diri sebagai orang lain. (Hikmat 2001)

Konsep pemberdayaan masyarakat layaknya sudah menjadi salah satu konsep utama dalam ilmu kesejahteraan sosial dimulai pada era 1990-an hingga saat ini, yang mana sering dikaitkan dengan intervensi komunitas. Dengan berbagai macam metode yang dijalankan oleh pekerja sosial atau community worker dalam menjalankan intervensi tersebut, membuat pemberdayaan memiliki tujuan, fungsi, dan definisi yang berbeda-beda.

Dalam teorinya Jim Ife mengatakan bahwa dalam proses pemberdayaan perlu adanya kesadaran seseorang terhadap apa

25 yang sedang terjadi di luar, karena hal tersebut sama pentingnya dengan kesadaran diri. Seseorang dituntut untuk menjadi sensitif terhadapat perkataan orang lain. Sehingga dalam proses pemberdayaan perlu dilakukannya proses penyadaran melalui sebuah percakapan yang bisa mempengaruhi masyarakat. Dengan proses penyadaran tersebut maka masyarakat akan mulai berfikir dan sadar bahwa program pemberdayaan yang ditawarkan itu penting untuk mereka.

Modal yang penting dalam suatu perencanaan pemberdayaan partisipatif adalah adanya modal lingkungan yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya Perempuan. Dalam kasus tertentu modal lingkungan dikatakan menjadi sebuah potensi yang belum diolah memiliki nilai yang tinggi dalam upaya pelestarian alam dan juga kenyamanan dalam menjalani kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam masyarakat terdapat aspek yang dapat dipertimbangkan seperti bumi, udara, laut, tumbuhan dan hewan. Kurangnya kesadaran masyarakat bahwa lingkungan masuk ke dalam asset masyarakat, tidak sedikit masyarakat yang mengeksploitasi lingkungan dan tidak peduli akan kelestarian lingkungan. (Rukminto, Pengantar Ilmu Kesejahteraan Sosial 2007)

Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment

setting) yakni Mikro, Mezzo, dan Makro.

a. Mikro: Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas

26 kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach)

b. Mezzo: Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. c. Makro: Pendekatan ini disebut juga sebagai strategi system besar (large-system-strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada system lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kamanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi sistem besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. (Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat 2005)

Pandangan mengenai pembangunan sosial dapat berjalan dengan baik jika dilakukan oleh rakyat, dan untuk rakyat sendiri diharapkan mampu membentuk semangat kerjasama secara harmonis pada masyarakat lokal setempat agar dapat membentuk dasar yang biasa disebut dengan pendekatan kemasyarakatan pembangunan sosial.

Tahapan atau langkah pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:

27 1) Tahap Persiapan (Engagement)

Pada tahap awal ini, sekurang-kurangnya ada dua tahapan yang harus dikerjakan yaitu penyiapan petugas dan penyiapan lapangan. Penyiapan tugas dalam hal ini tenaga pemberdayaan masyarakat yang bisa juga dilakukan oleh

community worker, dan penyiapan lapangan merupakan

prasyarat suksesnya suatu program pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya diusahakan dilakukan sacara non-direktif.

2) Tahap Pengkajian (Assessment)

Proses assessment yang dilakukan di sini dapat silakukan secara individual melalui tokoh-tokoh masyarakat

(key-person), tetapi dapat juga melalui kelompok-kelompok

dalam masyarakat. Pada tahap ini, petugas sebagai agen perubah berusaha mengidentifikasi masalah (kebutuhan yang dirasakan = felt needs) dan juga sumber daya yang dimiliki klien.

3) Tahap Perencanaan (Designing)

Pada tahap ini, petugas sebagai agen perubah (change agent) secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berpikir tentang masalah yang mereka hadapi dan bagaimana cara mengatasinya.

4) Tahap Pemformulasian Rencana Aksi

Yaitu petugas membantu masing-masing kelompok masyarakat untuk memformulasikan gagasan mereka dalam bentuk tertulis, terutama bila ada kaitannya dengan pembuatan proposal kepada pihak penyandang dana.

28 Tahap pelaksanaan ini merupakan salah satu tahap yang peling penting dalam program pemberdayaan masyarakat, karena sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik akan dapat melenceng dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerja sama antara petugas dan warga masyarakat, maupun kerja sama antar warga.

6) Tahap Evaluasi

Evaluasi sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap program pemberdayaan masyarakat yang sedang berjalan sebaiknya dilakukan dengan melibatkan warga. Dengan keterlibatan warga pada tahap ini diharapkan akan terbentuk suatu sistem dalam tahap ini diharapkan akan terbentuk suatu sistem dalam komunitas untuk melakukan pengawasan secara internal.

7) Tahap Terminasi (Disengagement)

Tahap terakhir ini merupakan tahap ‘pemutusan’ hubungan secara formal dengan komunitas sasaran. Terminasi dalam suatu program pemberdayaan masyarakat, tidak jarang dilakukan bukan karena masyarakat sudah dapat dianggap ‘mandiri’ tetapi karena proyek sudah harus dihentikan karena sudah melebihi jangka waktu yang ditetapkan sebelumnya, atau karena anggaran sudah selesai dan tidak ada penyandang dana yang dapat dan mau meneruskan. (Rukminto, Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial 2002)

b. Pemberdayaan Perempuan

Menurut Sara Longwe, Pemberdayaan perempuan yang dilakukan pada komunitas masyarakat harus mencakup kelima

29 level. Antara lain seperti Kesejahteraan/pemenuhan kebutuhan dasar (Welfare), Keterbukaan akses seperti antara Pendidikan, keterampilan, informasi, dan kredit (Access), Kesadaran kritis

(Conscientisation), Pergerakan (Mobilization) atau partisipasi

dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat rumah tangga, kehidupan bermasyarakat, dan area publik/politik, Kontrol terhadap sumber daya, implementasi dalam pengambilan keputusan, dan termasuk keterwakilan dalam Lembaga pengambilan keputusan (Control). (Handayani, Trisakti and Sugiarti 2004)

Pemberdayaan perempuan merupakan bagian dari pembangunan sumber daya manusia, dan ditujukan untuk meningkatkan status, posisi, dam kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan yang setara dengan laki-laki, serta membangun generasi yang berkualitas. Pemberdayaan perempuan merupakan prioritas pembangunan, meliputi kualitas hidup perempuan di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi dan politik yang selama ini masih rendah dan rentan diskriminasi serta eksploitasi.

Pemberdayaan perempuan dimulai dari kesadaran pribadi perempuan itu sendiri. Setiap manusia, tidak terkecuali perempuan, diciptakan dengan kekuatan pribadi. Kekuatan pribadi dan kekuatan kelompok ini bila direfleksikan dengan baik maka dapat membangkitkan semangat dari dalam diri kita. Faktanya, perempuan Indonesia dilihat sebagai investasi tenaga pembangunan, sehingga peran sertanya sangat diharapkan. Dengan demikian, perempuan Indonesia menjadi lebih berat

30 tanggung jawabnya dalam melaksanakan pembangunan, yang semua keputusannya hampir diambil oleh laki-laki.

Pemberdayaan perempuan merupakan bagian dari pembangunan sumber daya manusia, dan ditujukan untuk meningkatkan status, posisi, dam kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan yang setara dengan laki-laki, serta membangun generasi yang berkualitas. Pemberdayaan perempuan merupakan prioritas pembangunan, meliputi kualitas hidup perempuan di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi dan politik yang selama ini masih rendah dan rentan diskriminasi serta eksploitasi.

c. Tujuan Pemberdayaan Perempuan

Tujuan dari program pemberdayaan perempuan adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan kemampuan kaum perempuan untuk melibatkan diri dalam program pembangunan, sebagai partisipasi aktif (subjek) agar tidak sekedar menjadi objek pembangunan seperti yang terjadi selama ini

2) Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam kepemimpinan, untuk meningkatkan posisi tawar-tawaran dan keterlibatkan dalam setiap pembangunan baik sebagai perencana, pelaksana, maupun melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan.

3) Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam mengelola usaha skala rumang tangga, industri kecil maupun industri besar untuk menunjang peningkatkan kebutuhan rumah tangga, maupun untuk membuka peluang kerja produktif dan mandiri.

31 4) Meningkatkan peran fungsi organisasi perempuan di tingkat

lokal sebagai wadah pemberdayaan kaum perempuan agar dapat terlibat secara aktif dalam program pembangunan pada wilayah tempat tinggalnya. (Nugroho 2008)

d. Unsur dan Langkah Pemberdayaan Perempuan

Dikutip dari buku Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, terdapat empat unsur pemberdayaan bagi kaum perempuan yang dikemukakan oleh Nursahbani Kartjasungkana yaitu Aksesibilitas, Partisipasti, Kontrol, dan Manfaat. (Sumodiningrat 2008)

Akses, dalam arti kesamaan hak dalam mengakses sumber daya produktif di dalam lingkungan. Pemerataan akses juga bisa dikatakan meningkatnya kemampuan mereka masuk kesektor-sektor untuk mendapatkan informasi dan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Partisipasi, yaitu keikutsertaan dalam mendayagunakan asset atau sumberdaya yang terbatas tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Conyers (1991 dan Tjokrowinoto (1987), partisipasi merupakan faktor penentu bagi keberhasilan pembangunan. Davis (dalam Ndraha, 1987) mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan mental dan perasaan individu dalam suatu kelompok (masyarakat) untuk bersedia memberikan kontribusinya dalam mencapai tujuan kelompok disertai rasa ikut bertanggungjawab. (Setyawati and A. Susanto, 2013)

Kontrol, dimana seorang laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kontrol atas pemanfaatan sumber daya-sumber daya tersebut. Disamping itu, perlunya kesempatan perempuan dalam

32 penguasaan/kewenangan/kekuatan untuk mengambil setiap keputusan.

Manfaat, yaitu bahwa lelaki dan perempuan harus sama-sama memiliki hasil pemanfaatan sumber daya atau pembangunan secara bersama dan setara. Meskipun bagi sebagian orang berpikiran bahwa perbedaan gender menjadi hal yang patut untuk dibedakan dalam berbagai macam hal, namun dalam proses pemberdayaan, kebutuhan serta aspirasi dari kedua gender tersebut harus saling dipertimbangkan.

Disamping itu, perlunya langkah berkesinambungan dalam melakukan pemberdayaan, seperti pemihakan perempuan yang harus dipihaki daripada laki-laki, persiapan pemberdayaan perempuan untuk bisa ikut mengakses, persiapan perempuan untuk berpartisipasi, mengontrol, mengambil manfaat, dan kaum perempuan perlu mendapatkan perlindungan dalam mengikuti suatu kegiatan pembedayaan. (Sumodiningrat 2008)

e. Keberhasilan Pemberdayaan Perempuan

Keberhasilan pemberdayaan menurut Aida Vitayala S. Hubeis, tergantung pada interaksi empat unsur:

1) Motivasi perempuan untuk memberdayakan diri: hal ini memerlukan bentuan sarana dan prasarana (manusia, kelembagaan, tatanan kerja) yang mampu memotivasi perempuan untuk memberdayakan diri, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk keluarga.

2) Program-program tepat guna dan berdayaguna yang memiliki nilai tambah ekonomi bagi pemberdayaan perempuan, seperti kepeduliaan kalangan perguruan tinggu, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat selain pemerintah

33 merupakan elemen paling penting yang perlu dimantapkan dalam bentuk tatanan mekanisme kelembagaan permbedayaan sumberdaya perempuan secara terstruktur. 3) Dukungan berdedikasi untuk seluruh aparat yang terlibat

dalam ini, pelibatan perempuan untuk pemberdayaan sumberdaya perempuan perlu dibuat secara spesifik menurut segmen khalayak sasaran, menurut status dan segmen ekonomi.

4) Peran aktif masyarakat. Dalam hal ini, kesamaan pemahaman akan makna pemberdayaan perempuan merupakan prasyarakt tercapainya hasil optimal penanggulangan kemisikinan melalui peningkatan peran wanita. (Hubeis n.d.)

2.1.4 Gender

Di berbagai forum nasional maupun internasional seperti Indonesia, persoalan tentang perempuan merupakan salah satu isu penting yang selalu menjadi perhatian, terutama yang terkait tentang persoalan gender. Gender memiliki pengertian yang berbeda dengan jenis kelamin. Jika jenis kelamin terdapat jenis perempuan atau laki-laki, maka gender mengacu pada pembagian peran dan tanggung jawab perempuan atau laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan apa yang dianggap pantas bagi perempuan dan laki-laki menurut norma, adat, dan kebiasaan masyarakat.

Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron and Byrne, 1979 dalam

34 Kestaro, 2011). Adapun yang berpendapat bahwa gender adalah sesuatu yang dilihat sebagai “psychological, social, and

culturalaspects of maleness and femaleness”. Gander tidak

dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu, gender dapat berubah. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dinamakan sosialisasi gender (gendersozialization) (Kessler dan McKenna, 1978).

Gender adalah pembedaan peran, kedudukan, tanggung jawab dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Istilah “gender” untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Isu Gender adalah permasalahan yang timbul akibat adanya relasi gender yang berkaitan dengan adanya pelabelan

(stereotype), peminggiran (marginalisasi), perendahan (subordinasi), fungsi ganda dan beban kerja berlebihan serta adanya tindak kekerasan sehingga menimbulkan perbedaan pada akses, kontrol, partisipasi dan manfaat, yang berakibat kepada kesenjangan.

Keadilan Gender adalah kondisi dan perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,

35 ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan, keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan yang dampaknya seimbang.

Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, penyandang cacat dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi, lokasi, umur, dan kesukuan ke dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh program dan kegiatan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Dengan kata lain, PUG adalah salah satu strategi pembangunan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender yang harus melibatkan langsung perempuan dan laki-laki secara proporsional melalui partisipasi aktif dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pemantauan, serta evaluasi dalam semua bidang pembangunan, sehingga baik perempuan dan laki-laki akan mendapatkan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang sama terhadap pembangunan.

World Summit for Social Development di Copenhagen pada

tahun 1995 mengangkat kesetaraan gender sebagai strategi untuk pembangunan sosial ekonomi dan perlindungan lingkungan. Pada tahun 1995, The Fourth World Conference on Woman, di Beijing, mengungkap ulang pentingnya cara ini, dengan melukiskan agenda untuk memperkuat status perempuan dan mengadopsi sebuah deklarasi dan landasan kerja yang membidik untuk mengatasi rintangan untuk mencapai kesetaraan gender, dan

36 menjamin partisipasi aktif perempuan dalam segala aspek kehidupan. Pemerintah dengan segenap masyarakatnya, dihadapkan dengan area kritis terkait kesenjangan gender (Jurnal Perempuan 2011)

2.1.5 Pengolahan Sampah a. Pengertian Sampah

Menurut definisi World Health Organization (WHO) sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra, 2006). Undang-Undang Pengelolaan Sampah Nomor 18 tahun 2008 menyatakan sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia dan/atau dari proses alam yang berbentuk padat. Juli Soemirat (1994) berpendapat bahwa sampah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat.

Azwar (1990) mengatakan yang dimaksud dengan sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan manusia (termasuk kegiatan industri) tetapi bukan biologis karena kotoran manusia (human waste) tidak termasuk kedalamnya. Manik (2003) mendefinisikan sampah sebagai suatu benda yang tidak digunakan atau tidak dikehendaki dan harus dibuang, yang dihasilkan oleh kegiatan manusia. (Kahfi 2017)

Menurut Reksosoebroto (1985) dalam Efrianof (2001) pengelolaan sampah sangat penting untuk mencapai kualitas lingkungan yang bersih dan sehat, dengan demikian sampah harus dikelola dengan sebaik-baiknya sedemikian rupa sehingga

37 hal-hal yang negatif bagi kehidupan tidak sampai terjadi. Dalam ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengelolaan sampah dianggap baik jika sampah tersebut tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit serta sampah tersebut tidak menjadi media perantara menyebar luasnya suatu penyakit.

Dokumen terkait