• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ir BASAH HERNOWO

Bagaimana Bapak meman- dang upaya yang dilakukan oleh Waspola selama ini? Apakah pen- capaian saat ini telah seperti yang Bapak bayangkan di awal-awal pe laksanaan Waspola? Dan apa - kah terdapat hal yang menarik dalam pandangan Bapak?

Bayangan saya setelah adanya Konferensi Sanitasi Nasional (KSN) 2007 lalu, isu sanitasi makin berkem- bang bukan hanya isunya saja tapi juga penanganannya. Karena waktu itu Bank Dunia sudah siap dengan Pamsimas, beberapa donor juga ter- tarik. Apakah itu masih berlanjut atau tidak, tapi kita harapkan terus berkem- bang. Karena justru ini menjadi payung kebijakan dalam implemen- tasinya. Setelah tahun 1998 kita krisis, Waspola dimulai dan sebetulnya saat itu sudah bagus tinggal running saja. Di Cipta Karya De partemen PU perha- tian masalah sanitasi berkembang, di daerah-daerah dengan adanya ISSDP juga berkembang. Tinggal masalah investasinya, ini memang butuh biaya yang cukup besar yang tidak mungkin Cipta Karya saja yang membiayai atau Depkes, atau Depdagri, atau bahkan

Pemda saja, tapi harus sama-sama. Ini perlu komitmen alokasi berapa persen dari APBD dan APBN atau disusun program lima tahunan. Hal yang menarik adalah komitmen semua pihak untuk meningkatkan kualitas sanitasi dan kesadaran bahwa sanitasi adalah bukan kerja satu sektor saja, karena itu menyangkut masalah budaya masya rakat. Departemen PU mengurusi soal budaya, itu bukan wewenangnya dan saya kira tidak bisa karena itu lebih tepat menjadi urusan Depkes atau Depdagri demikian pula sebaliknya untuk urusan teknisnya. Untuk men do rong masyarakat berbu- daya bersih perlu kombinasi dan diharapkan makin kuat.

Salah satu kegiatan yang sam- pai saat ini masih belum tersele- saikan adalah kebijakan nasional pembangunan AMPL Berbasis Lem baga? Menurut Bapak faktor apa yang menjadi penyebabnya? Apakah masih perlu untuk disele- saikan pada Waspola menda - tang?

Nah ini yang berbasis lembaga bukan sulit sebetulnya kalau semua pihak mau. Kenapa? karena isu dasarnya sudah jelas yaitu masalah aset manajemen. Mau tidak mereka memperbaiki aset manajemen dengan baik. Contoh beberapa sarana dan prasarana sudah dibangun sekian tahun lalu, transfer asetnya dari pemerintah pusat ke daerah kemudian daerah ke PDAM apakah sudah sele- sai? Karena ini menyangkut status aset. Kalau misal aset sudah dibangun 20 tahun lalu, statusnya sekarang ini rusak atau tidak. Karena aset manaje- men itu menilai apakah aset itu masih bisa digunakan atau tidak sehingga membutuhkan perbaikan atau inves- tasi baru. Memang kebijakan yang berbasis lembaga tidak mudah. Tapi saya yakin kalau semua orang mau berangkat dari aset manajemen dan

WA W A N C A R A

46

Percik

Juni 2009

sepakat untuk tidak lari dari kesalahan, akan bisa berhasil. Tapi kalau orang- orang itu tidak mau karena takut kesalahannya terbuka, ya tidak akan selesai. Contoh, pipa yang semestinya pipa baja ternyata yang dipasang pipa paralon. Padahal ada standar keta- hanannya, nahsemua itu harus dibuka semua, baru yang berbasis lembaga ini bisa diselesaikan. Sebetulnya niatan kita bukan untuk mencari kesalahan orang tapi ingin memperbaiki per- formance. Baik terkait kebersihan, air minum, sanitasi perkotaan, karena kita ingin baik kalau rusak ya bilang rusak jangan bilang tidak rusak karena tidak akan memperbaiki kondisi. Ini juga menjadi tugas Waspola dimasa men- datang, bila Waspola terus lanjut, salah satu tantangannya ya ini. Dulu, waktu s a y a m a s i h d i s a n a ( D i r e k t o r a t Permukiman dan Perumahan Bappenas-

red), kita introdusirmenge nai aset mana- jemen. Sekarang aset manajemen harus diimplementasikan pada semua institusi sarana dan prasarana AMPL. Baik itu

level kota, dua kota maupun metropoli- tan.

Bagaimana Bapak meman- dang upaya yang dilakukan oleh Waspola dalam mengarusuta- makan pendekatan berbasis ma - syarakat melalui kebijakan nasio - nal pembangunan AMPL Berba - sis Masyarakat?

Ini sangat menarik karena yang berbasis masyarakat mempunyai tu - runan seperti Sanimas dan itu berkem- bang. Sekarang masyarakat di kota- kota besar dan di desa-desa tahu soal sanitasi dan itu jangan sampai berhen- ti agar kita tidak kehilangan kesem- patan lagi karena itu masalah budaya atau kebiasaan susah untuk memulai lagi. Kebiasaan itu harus terus- menerus dan harus dilakukan secara bersama-sama. Misal anggaran ada di Departemen PU untuk membangun fisik tapi soal mendorong keterlibatan masyarakat menjadi tugas Depkes atau

PMD Depdagri. Tidak mungkin PU mampu menyelesaikan sendiri, yang akan terjadi membangun prasarana tapi tidak ada keberlanjutan, jadi harus bersama-sama dengan modal yang sudah ada.

Bagaimana Bapak meman- dang upaya yang dilakukan oleh Waspola dalam meningkatkan kapasitas pemerintah daerah?

Dulu kita selalu mengeluh pada saat kualitas sudah bagus kemudian dipakai sektor lain. Ini sebetulnya per- soalan klasik. Kapasitas pemda juga merupakan satu proses yang tidak boleh dihentikan, melalui seminar, MPA/PHAST, forum-forum diskusi dan sebagainya harus terus berjalan. Di tingkat pusat yang menjadi pembina ya Waspola, jadi Waspola harus tetap ada karena Waspola ini sebenarnya terdiri dari sekian sektor dan Bappenas sebagai chairman-nya yang tidak mempunyai kepentingan pada ma- sing-masing sektor itu harus terus me- ngawal. Karena begitu kapasitas dae- rah itu meningkat, persepsi mengenai kesehatan meningkat, maka kebersih- an juga akan meningkat karena sifat- nya preventif, itu akan makin baik.

Salah satu ciri khas dari Was - pola adalah kemitraan dengan Pemerintah Pusat melalui Pokja AMPL Nasional. Bagai ma na pen- dapat Bapak tentang efektifitas dari keberadaan Pokja AMPL Nasional?

Efektivitas keberadaan Pokja AMPL harus tetap ada. Kalau hilang, nanti susah pendekatan sektoralnya lagi. Untuk pembiayaan ya menjadi tanggung jawab Bappenas, bukan PU sementara PU, Depkes dan Depdagri sebagai pelaksana.

Apakah di tempat Bapak se ka - rang terdapat juga sejenis Pokja AMPL?

Di tempat kami sekarang belum

ada Pokja. Di kehutanan ini sangat khas karena sangat sektoral dan tata hukum di kehutanan berbeda jauh dengan di Permukiman dan Peru - mahan. Kalau Perkim kanberhubung- an langsung dengan manusia, kita bisa ajak mereka untuk berbicara dan jelas sasarannya, sementara di Kehutanan dengan lingkungan yang dirusak manusia dan yang merusak adalah orang yang hit and runtidak tahu siapa mereka. Kedua, nilai kayu itu sangat tinggi. Manakala ekonomi surut, orang paling gampang menebang kayu kare- na tidak merasa menanam dan tidak investasi, itulah sebabnya hutan kita rusak. Sekarang kita sedang mencoba mengembangkan hal yang sama, mem- buat pokja, bagaimana bisa bersama- sama tapi tidak mudah, ya itu tadi karena satu sektor jadi sangat domi- nan. Kami melalui forum perubahan iklim sedang berusaha mengem- bangkan ini, ya setahap demi setahap. Apalagi tekanan dan dunia internasional tinggi sekali, sama seperti MDGs, target- nya tinggi. Kalau kami menangani sendiri tidak akan mampu. Isunya sama, soal aset manajemen. Ini memang mem- butuhkan pokja semacam AMPL tapi kami belum berhasil sampai sekarang.

Departemen Kehutanan pada dasarnya mempunyai keterkaitan dengan AMPL, walaupun sampai saat ini belum terjalin kemitraan dengan Waspola mau pun Pokja AMPL. Untuk itu, dalam hal apa Waspola dan Pokja AMPL dapat

bermitra dengan Departemen

Kehutanan?

Harusnya ada keterkaitan antara Pokja AMPL dengan Kehutanan kare- na sekarang ini kalau kita bicara AMPL tidak mungkin lepas dari masalah air. Untuk bisa sediakan air secara kualias dan kuantitas yang mencukupi itu tidak mudah. Kita sekarang sedang mengembangkan Payment of Environ - mental Services (PES). Jadi kalau hutan memberikan pelayanan dalam

WA W A N C A R A

47

Percik

bentuk air, mestinya penggunanya seperti PDAM turut berperan, tapi ternyata tidak. Satu persen saja dari pendapatan PDAM Jakarta untuk per- baikan kualitas lingkungan di puncak, proses akan baik. Bagaimana orang di hulu dan hilir ini kerjasama saling menguntungkan, yang hulu dapat uang dan bisa memperbaiki lingkungan sementara yang hilir dapat manfaat supaya orang tanpa menebang kayu tetap ada penghasilan. Masyarakat sebagai pelaku, bukan lagi obyek sama dengan di AMPL.

Dengan pencapaian Waspola saat ini, apakah menurut Bapak Waspola bisa dianggap berhasil? Jika ya, dalam hal apa? Apa kata kunci dari keberhasilan ini?

Saya kira kalau masalah berhasil atau tidak, tergantung pencapaiannya. Sebetulnya secara kuantitatif bisa dili- hat dari pencapaian berapa prosentase orang yang mendapat pelayanan AMPL dari dulu hingga sekarang. Kalau misalkan dari prosentase masih kelihatan belum tinggi, maka lihat nominalnya. Kenapa karena keter- batasan anggaran, menyebabkan seo- lah tidak ada kemajuan sementara nominalnya naik. Artinya tetap ada investasi yang tumbuh secara nominal, meski dibanding laju pertambahan penduduk masih kalah. Jadi kuncinya masalah konsensus dan komitmen dari semua sektor yang ada di pemerintah pusat. Jangan pernah merasa satu lebih unggul dari yang lain. Intinya kalau kita dalam satu kelompok tidak bisa memimpin semua, ya kita sama- sama tetap memberikan manfaat. Karena memang tidak semua orang akan jadi kapten tapi membutuhkan anak buah juga. Kenapa kaptennya tetap di Bappenas karena Bappenas tidak mempunyai kepentingan sektor dan harus kuat karena akan menjadi kapten dari AMPL. Kalau kunci itu runtuh ya kembali lagi seperti dulu, berjalan sendiri-sendiri.

Jika Waspola tetap dilan- jutkan, hal apa yang menurut Bapak perlu diperbaiki, dan apa yang perlu dipertahankan?

Menurut saya yang perlu diperbaiki ya melibatkan lagi sektor lain, seperti Direktorat Sumber Daya Alam (SDA) Departemen PU karena selama ini yang sering terlibat Direktorat Cipta Karya. Padahal Direktorat SDA sangat

vital karena jangan sampai memba- ngun kanal tidak berpikir keberlanjut- annya, sementara kualitas dan kuanti- tas air tidak bertambah. Libatkan juga Departemen Pertanian, walaupun sifatnya mendukung saja, contoh pada waktu petani menggunakan air dan pupuk, gunakan yang aman buat manusia karena di hilir buangan itu akan dipakai oleh manusia.

Mantan Pokja AMPL

Dokumen terkait