• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCIK. Media Informasi Air Minum dan Pe (23)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERCIK. Media Informasi Air Minum dan Pe (23)"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

D

A R I

R

E D A K S I

01

Percik

Juni 2009

M

emasuki tahun 2009 ini, banyak proyek AMPL di Indonesia yang telah dan akan segera berakhir, diantaranya Waspola 2. Setelah melalui satu dekade, akhirnya sebagaimana kata pepatah “Tiada pesta yang tak berakhir”, Waspola 2 per Juni 2009 telah tutup buku. Di ujung proyek, salah satu kewajiban dari pengelola proyek adalah menyusun laporan akhir.

Harapannya, laporan tersebut akan dibaca oleh khalayak. Namun kenyataannya, sebagian besar lapor-an tersebut hlapor-anya mengisi pojok berdebu dari rak buku di kantor pemerintah. Menyadari hal tersebut, Percik kemudian bekerjasama de-ngan Waspola mencoba menuangkan laporan akhir tersebut kedalam for-mat majalah. Tepatnya menjadi isi dari edisi khusus Percik pada bulan Juni 2009.

Informasi dan data tentang Waspola 2 dikemas dalam berbagai rubrik seperti laporan utama, wawan-cara, wawasan, regulasi, praktek ung-gulan, dan info seputar pelaku. Produk Waspola 2 pun mendapat porsi untuk ditampilkan baik yang berupa buku, audio visual, bahkan situs. Apakah dengan cara ini kemu-dian khalayak akan tertarik membaca hasil Waspola 2. Hanya waktu yang bisa menjawab.

Edisi kali ini merupakan edisi khusus kedua, setelah edisi khusus pertama dengan tema Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (PSBM) yang sebenarnya merupakan upaya memasyarakatkan PSBM ke tengah masyarakat. Ini merupakan terobosan kami agar pembaca tidak merasa bosan dengan gaya yang sama dari tahun ke tahun. Direncanakan sepan-jang tahun 2009, Percik akan terbit dalam bentuk edisi khusus sebanyak 5 kali.

Hal yang membanggakan bahwa kesemua edisi khusus tersebut didanai tidak lagi dari kocek

peme-rintah tetapi merupakan hasil kerja-sama dengan berbagai pihak. Pada saat yang bersamaan, Percik Yunior pun telah mendapat lampu hijau untuk didanai dari sumber non

pemerintah, melanjutkan kesepa-katan tahun-tahun sebelumnya. Kepercayaan ini menjadi bekal kami untuk menjadi lebih baik lagi ke depan.

Bukan hanya format Percikyang berubah. Kantor redaksi Percikpun telah pindah ke Jl. R.P. Soeroso 50 Menteng, Jakarta Pusat. Kepindahan ke kantor baru sepertinya menjadi salah satu faktor pendukung timbul-nya semangat dan keberanian kami untuk mencoba terbit dengan format baru.

Jika dicermati, terlihat fenomena baru di dunia AMPL. Semakin banyak proyek dan/atau institusi yang me-nganggap kampanye publik adalah bagian tidak terpisahkan dari upaya meningkatkan profil pembangunan AMPL di Indonesia. Contohnya, semakin banyak majalah, news letter

baik on-line maupun cetak, buku ter-masuk situs dengan fokus khusus AMPL.

Sebagai ilustrasi, sekretariat Pokja AMPL telah memiliki beragam bentuk media kampanye, mulai dari majalah Percik, Percik Yunior yang terbit setiap 3 bulan; news lettermingguan

on-linedan news letter bulanan cetak. Belum termasuk situs baik situs AMPL, situs Pokja AMPL daerah, situs AMPL yunior, situs WES Unicef,

digital library (digilib), situs Jejaring AMPL, situs Gugus Tugas Pengolahan Sampah. Bahkan juga telah meman-faatkan jejaring sosial seperti face book.

Budaya mengkomunikasikan apa yang kita kerjakan, apa yang kita ketahui, apa yang kita alami mulai menjadi sebuah keniscayaan. Semoga fenomena ini dapat menyumbang kepada semakin meningkatnya kesadaran semua pihak akan pen-tingnya AMPL bagi kemaslahatan umat manusia.

Akhir kata, upaya kami ini tidak akan berarti tanpa adanya dukungan dari seluruh pemangku kepentingan AMPL. Terima kasih atas dukungan Anda semua. Selamat membaca. Kami tunggu kritik dan sarannya. (OM)

(4)

Percikuntuk Daerah Pamsimas

Yth. Redaktur Percik

Senang juga baca-baca majalah Percik,disamping dapat memperoleh gambaran tentang masalah air minum dan sanitasi, juga beberapa topik dapat memicu untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik lagi bagi perkembangan AMPL.

Kebetulan saya bekerja di CMAC Pamsimas sebagai health hygiene spe-cialist. Saya mau minta bantuan nih: - Apakah kami bisa langganan Percik,

berapa biaya langganan?

- Ada 15 provinsi dengan sekitar 110 kabupaten daerah Pamsimas. Apakah mungkin Percik disebarluaskan ke daerah tersebut? Bagaimana caranya? - Mudah-mudahan suatu saat ada beri-t a beri-t e n beri-t a n g k e b e r h a s i l a n d e s a Pamsimas yang bisa masuk Percik, tapi tunggu dulu ya.

- Saya dengar kantor pindah ya dari Jl. Cianjur ke Jl. RP Suroso, dimana posisi tepatnya?

Nuhun pisan

Supriyanto Margono Jl. Melawai Raya No. 7 Kebayoran Baru Jakarta

Yth. Bapak Supriyanto,

Untuk berlangganan Percik, ter-masuk edisi sebelumnya, dan mem-peroleh buku-buku terkait AMPL, silahkan menghubungi Gerai AMPL (http://geraiampl.com). Dapat juga menghubungi Perpustakaan Pokja AMPL Jl. R.P. Soeroso 50 Menteng, Jakarta Pusat telp. (021) 31904113. Karena keterbatasan dana, sejak Juli 2009, kami mengenakan ongkos kirim pada pelanggan pribadi

Pada dasarnya kami senang jika

Percikdapat disebarluaskan di dae-rah Pamsimas, tapi tentunya kami perlu bekerjasama dengan Pamsimas dalam pendanaannya.

Kami dengan senang hati

meneri-ma tulisan tentang Pamsimeneri-mas, baik pembelajaran maupun praktek ung-gulannya.

Cara Mendapat Buku-buku AMPL

Yth. RedaksiPercik

Saya sudah dua kali mengikuti pelatihan fasilitator AMPL. Pertama kali di Yogyakarta, Agustus 2008 yakni pelatihan fasilitator AMPL mitra pokja. Dan baru-baru ini pelatihan orientasi MPA/PHAST di Makassar. Dari pe-latihan tersebut saya membuat tulisan tentang air bersih dan sanitasi dan telah dimuat pada koran lokal yaitu Fajar pada 22 November 2008.

Literatur penulisan saya banyak diperoleh dari Percikserta brosur dan buku panduan yang dibagikan sewaktu pelatihan. Bagaimana cara memper-oleh Perciksecara berkala dan buku-buku yang berkaitan dengan penye-hatan lingkungan? Dapatkah saya mengirimkan tulisan mengenai kondisi lingkungan di Makassar?

Suriyanti H. Salama Makassar

Yth. Ibu Suriyanti,

Kami senang dan salut mendengar bahwa Anda menuliskan pengalaman Anda di salah satu koran, termasuk juga bahwa Percik menjadi bahan rujukan. Silahkan Anda mengirimkan tulisan ke Percik, dengan senang hati kami akan memuatnya.

Cara memperoleh Percik dan dokumen lainnya silahkan lihat jawab-an sebelumnya.

Konsultasi Soal Sanitasi

Yth. Redaksi Percik

Perkenalkan saya Okta, mahasiswi Politeknik Depkes RI Jakarta II Jurusan Kesehatan Lingkungan. Saya baru pertama kali membaca majalah Percik edisi Agustus 2008 di suatu perpustakaan instansi pemerintah, saya langsung tertarik dengan segala ilmu yang saya dapatkan dari majalah Percik. Hal ini karena perkuliahan saya sama dengan bidang sanitasi dan saya calon sanitarian. Dan dalam mata kuliah saya ada tentang Pengolahan Air Bersih dan Air Limbah.

Pertanyaan saya:

1. Apakah saya bisa mendapatkan majalah Percik?Jika bisa, mohon dikirimkan ke alamat Jl. A.M.D 10 No. 36 RT 10/RW 01. Petukangan Utara. Jakarta Selatan 12260. 2. Bagaimana saya bisa

mendapat-k a n m a j a l a h P e r c i k e d i s i sebelumnya?

3. Saya mahasiswi tingkat akhir, untuk menyelesaikan perkulihan saya wajib membuat karya tulis dan saya membuat karya tulis ten-tang "Pengolahan Air Bersih". Pertanyaan saya apakah saya dapat melakukan konsultasi tentang karya tulis saya kepada redaksi Percik. Jika bisa, saya dapat menghubungi ke bagian mana untuk mendapatkan informasi ten-tang "Pengolahan Air Bersih".

Okta Jakarrta

Saudari Okta yang baik,

Cara memperoleh Percik terma-suk edisi terdahulu dan dokumen lain-nya silahkan lihat jawaban sebelum-nya.

Anda juga dapat berkunjung ke Perpustakaan Pokja AMPL Jl. R. P. Soeroso No. 50 Menteng, Jakarta Pusat, Telp. (021) 31904113

S

U A R A

A

N D A

02

Percik

Juni 2009

Majalah Percik Pindah Kantor

(5)
(6)

dekatan suplai (supply driven). Dalam pendekatan tanggap kebutuhan, masyarakat merupakan komponen yang utama dalam proses perencanaan pembangunan, karena masyarakat harus menentukan sendiri keputusan-keputusan yang diambil terkait dengan pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Pihak luar masyarakat, termasuk pemerintah merupakan pihak yang member-dayakan, harus memberi peluang kepada masyarakat untuk dapat menyampaikan kebutuhannya melalui dampingan pemberdayaan.

Menetapkan Tujuan Pembangun -an AMPL

Tujuan pembangunan AMPL dite-tapkan secara bersama-sama dalam serial lokakarya dan rapat kelompok kerja. Pada awalnya tujuan selalu ter-paku pada peningkatan cakupan pelayanan, karena persoalan tingkat pelayanan dipandang masih menjadi tujuan besar yang harus dicapai.

Melalui diskusi-diskusi baik dalam lokakarya maupun rapat kelompok kerja, penetapan tujuan ini harus dilakukan melalui tinjauan terhadap isu dan persoalan pokok yang harus diatasi. Persoalan yang selalu menge-muka adalah keberlanjutan sarana dan prasarana yang dibangun berbagai proyek pemerintah, yang berakhir de -ngan terbengkalainya sarana yang dibangun. Persoalan inilah yang harus dijawab lebih dulu, karena cakupan merupakan fungsi linier dari keberlan-jutan itu sendiri. Dalam penjabaran-nya, tujuan pembangunan AMPL diba-gi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum meru-pakan tujuan jangka panjang yang diharapkan terjadi sebagai hasil dari pembangunan AMPL, yaitu mencip-takan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang berkelan-jutan. Tujuan khusus lebih kepada tujuan langsung dari pembangunan

sarana air minum dan penyehatan lingkungan, yaitu keberlanjutan dan efektivitas penggunaan sarana AMPL yang dibangun. Dengan demikian ma -ka cakupan pelayanan merupa-kan bagian yang padu di dalam keber -lanjut an dan efektifitas penggunaan.

Karena unsur cakupan sudah

inheren di dalam keberlanjutan dan efektivitas penggunaan, maka peneri-maan para pihak terhadap usulan ini menjadi solid. Tanpa keberlanjutan sarana dan atau penggunaan yang efektif dari sarana, maka cakupan juga akan terpengaruh.

Secara konseptual pembangunan AMPL yang berkelanjutan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai aspek yang satu dengan lainnya sa ling berkaitan dan saling mempenga -ruhi. Kelima aspek keberlanjutan itu adalah kelembagaan, teknologi, ke-uangan, sosial budaya, dan lingkung-an.

Dikotomi Perkotaan dan Perde -sa an versus Berbasis Masyarakat dan Berbasis Lembaga

WASPOLA dirancang untuk fokus pada sektor AMPL di perdesaan. Namun demikian, perbedaan perko-taan dan perdesaan dalam konteks sek-tor AMPL sangat tidak jelas. Perkotaan dan perdesaan memiliki konotasi yang

kuat terhadap batasan administratif, sedangkan sektor air minum dan penyehatan lingkungan lebih bersifat sistem, yang adakalanya menafikan batasan administratif tersebut.

Menjadi tugas para pengambil keputusan dan para pelaku pemba -ngunan AMPL untuk melakukan redefinisi tentang peristilahan terse-but, yang perlu mempertimbangkan aspek pengambilan keputusan dan pengelolaan sarana. Pada satu sisi ada masyarakat, baik individu maupun kelompok, sedangkan pada sisi yang lain ada lembaga, seperti PDAM, perusahaan swasta, dinas, koperasi, dan LSM. Tetapi diantara keduanya ada wilayah abu-abu yang merupakan kombinasi atau kerjasama dari masyarakat dengan lembaga.

Pada awal perkembangannya, muncul istilah pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan skala kecil dan menengah, sebagai antitesa terhadap pendekatan perko-taan dan perdesaan. Alasan di belakang istilah ini adalah adanya area pelayanan yang bisa di perkotaan dan juga perdesaan, yang memiliki skala berbeda dengan pengelolaan sarana oleh institusi seperti PDAM, PDAL, Dinas, dan lain-lain. Peristilahan ini terus-menerus ditinjau guna menda -patkan istilah yang lebih cocok, yang

L

A P O R A N

U

T A M A

04

Percik

Juni 2009

(7)

akhirnya sampai pada peristilahan Berbasis Masyarakat dan Berbasis Lembaga.

Pada dasarnya ciri yang membe-dakan antara berbasis masyarakat dan berbasis lembaga adalah pada pengam-bilan keputusan. Pada berbasis masyarakat, pengambil keputusan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan sistem operasi pemeliharaan bera-da pabera-da pihak masyarakat, sebera-dangkan pada berbasis lembaga sebagai pengambil keputusan adalah pengelola lembaga tersebut. Pembedaan pe -ngelolaan AMPL antara berbasis masyarakat dengan berbasis lembaga dirasa lebih cocok, karena tidak lagi terkungkung dengan batasan adminis-tratif. Pada kenyataannya, di perko-taan masih dijumpai pengelolaan oleh masyarakat, sedangkan di perdesaan pengelolaan oleh kelompok yang telah mapan dapat dikelompokkan sebagai pengelolaan lembaga.

Membongkar Mitos

Mitos atau cerita yang dipercaya tetapi tidak berdasarkan pada fakta, juga terjadi pada sektor pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL). Mitos ini seringkali meng-ganggu dalam penerapan pendekatan pembangunan AMPL yang berorientasi pada keberlanjutan. Dalam pemba -ngunan AMPL berbasis masyarakat, masyarakat memiliki posisi kunci dalam seluruh proses pembangunan, mulai tahap perencanaan, pelak-sanaan, dan operasi serta pemeli-haraannya. Tetapi mitos yang berkem-bang pada saat itu sangat bertentangan dengan prinsip ini, misalnya:

Mitos 1: masyarakat miskin tidak mau dan tidak mampu membayar pelayanan air minum. Realita:

masyarakat miskin seringkali membayar air minum lebih mahal dari masyarakat yang mampu. Mitos 2: masyarakat miskin

tidak mampu memecahkan atau mengelola masalah teknis,

mere-ka tidak mengetahui apa yang ter-baik bagi mereka. Realita: ma syarakat miskin memiliki krea ti -vi tas, mereka mampu membentuk sistem dan aturan me ngelola sum berdaya alam.

Mitos 3: jika masyarakat sudah dilibatkan dalam membuat kepu-tusan, maka kepentingan perem-puan sebagai pengelola utama penggunaan air minum rumah tangga sudah terpenuhi. Realita:

karena faktor sosial budaya, seba-gian besar kepentingan perem-puan tidak terpenuhi, kecuali perempuan secara khusus ditar-getkan untuk dilibatkan dan ada strategi yang disusun untuk mem-berdayakan perempuan.

Mitos 4: lembaga teknis dan sek-toral harus menjadi pelaksana penyediaan sarana AMPL, karena tugas utamanya adalah memba -ngun sarana dan indikator

L

A P O R A N

U

T A M A

05

Percik

Juni 2009

W

ASPOLA adalah program berjangka waktu 5 tahun (1998-2003). Fokus utama diarahkan pada fasilitas penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan permukiman skala kecil dan menengah yang dikelola oleh masyarakat pengguna. Dalam pengembangan kebijakan, WASPOLA melakukan pendekatan kemi-traan, di bawah pimpinan Permerintah Indonesia dengan bantuan dari AusAID dan Bank Dunia, melalui program Water and Sanitation Program for East Asia and Pacific (WSP-EAP).

Tujuan WASPOLA

Tujuan akhir proyek WASPOLA adalah identifikasi dan kajian ulang pelajaran-pela-jaran yang didapat dari proyek-proyek air bersih dan penyehatan lingkungan yang lalu, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, dan ujicoba pendekatan-pendekatan baru dan fasilitasi kerangka kebijakan nasional air bersih dan penyehatan ling -kungan, yang memungkinkan masyarakat kurang mampu di Indonesia dapat memper-oleh pelayanan air bersih secara berkesinambungan.

Sasaran Proyek

Meningkatkan kemampuan Pemerin tah Indonesia untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan melalui pen-dekatan tanggap kebutuhan dan pelak-sanaan yang partisipatif.

Menguji pilihan-pilihan kebijakan yang mendorong inisiatif pemenuhan kebu-tuhan masyarakat miskin.

Memperkuat dan mengembangkan kemampuan Indonesia untuk me ngum -pulkan dan menganalisa data sek tor air bersih dan penyehatan lingkungan dan membuat data tersebut dapat diakses sedemikian rupa sehingga dapat diman-faatkan oleh konsumen, pemasok dan

penyusun kebijakan, mulai dari tingkat yang paling tinggi sampai tingkat yang pa ling rendah.

Komponen Proyek

a.Komponen Perubahan Kebijakan. Komponen ini mencakup: (i) lokakarya tingkat lokal, nasional dan regional untuk mengkaji kebijakan-kebijakan sektoral dan identifikasi isu yang mungkin membutuhkan perubahan kebi-jakan, (ii) studi kasus dan studi sektoral untuk memperjelas gambaran tentang masalah dan besaran perubahan yang sesuai, (iii) strategi sektoral dan ren-cana kegiatan yang didasarkan pada kebijakan-kebijakan baru yang mungkin timbul dalam proses pengkajian. b. Komponen Peningkatan Pelayanan.

Proyek ini dirancang untuk memperbesar manfaat yang dihasilkan oleh investasi skala besar untuk perdesaan dan kota kecil yang dirancang berdasarkan proses penyusunan kebijakan yang dikembangkan oleh WASPOLA. Komponen ini mencakup ujicoba prinsip-prinsip baru terkait kebi-jakan yang dikembangkan.

c. Komponen Proses Pembelajaran dan Komunikasi.

Salah satu nilai utama untuk dapat menerima pembiayaan hibah dari WASPOLA adalah identifikasi pen-dekatan yang paling efektif dan efisien untuk dapat secara berkesinambungan memenuhi kebutuhan akan air bersih dan penyehatan lingkungan masyarakat miskin di Indonesia, sehingga dapat mempengaruhi kebijakan masa yang akan datang dan pengambilan keputus-an ykeputus-ang menykeputus-angkut investasi. Komponen ini mencakup studi-studi yang mendukung dan diseminasi pembe-lajaran dalam bidang yang relevan.

(8)

hasilannya adalah sarana yang terbangun. Realita:lembaga tek-nis dapat mencapai keberhasilan dengan memonitor dan mem-berikan bantuan teknis kepada pihak lain. Tugas utamanya adalah membangun kemampuan masyarakat dalam mengelola sarana yang terbangun untuk mencapai keberlanjutan.

Mitos 5: pengambilan keputusan oleh masyarakat merupakan hal yang penting, namun kendali atas pelaksanaan program harus tetap berada pada manajer proyek.

Realita: hakikat proses partisi-patif adalah memberi pilihan dan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi. Partisipasi masyarakat tidak bisa dihidup-hidupkan oleh pihak luar, proses partisipatif adalah memberikan kendali pada masyarakat.

Mitos 6: pendekatan partisipatif memerlukan waktu lama. Realita:

ketika proyek dilaksanakan de -ngan pendekatan tanggap kebu-tuhan, masyarakat dapat bertin-dak dan mengorganisir diri de -ngan cepat.

Mitos 7: pendekatan partisipatif sulit dilaksanakan dalam skala besar karena membutuhkan pemimpin yang karismatik, LSM, dan orang berbakat. Realita: partisipasi masyarakat dapat dire -plikasi. Pemimpin karismatik berperan dalam memulai proses. LSM sering berhasil dalam me -nerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dan merupakan mediator yang efektif. Kete -rampilan teknis, kemampuan mendesain dan melaksanakan program secara partisipatif meru-pakan proses bekerja sambil bela-jar.

Mitos 8: partisipasi merupakan proses yang tidak pasti sehingga sulit ditentukan batasan dan

ukur-annya. Realita:konsep partisipasi dapat dilaksanakan dan diukur dengan mudah. Meng ukur, mem-onitor dan me ng evaluasi partisi-pasi ma syara kat mempermudah lembaga terkait dalam memper-tanggungjawabkan upayanya dalam peningkatan sumber daya manusia.

Dari Air Bersih ke Air Minum Ketika gagasan awal diluncurkan, terminologi menjadi salah satu bahasan yang menjadi pokok diskusi kelompok kerja. Ketika didiskusikan dalam bahasa Inggris, istilah water supply dapat diterima dan difahami oleh kelompok kerja, namun ketika mulai masuk ke dalam peristilahan bahasa Indonesia, perdebatan mulai muncul. Istilah "air bersih" dan "air minum" tidak begitu saja dipahami dan diterima. Air minum lebih dipa-hami sebagai air yang memiliki kuali-tas tertentu sehingga dapat langsung diminum, sedangkan air bersih dipa-hami sebagai air dengan kualitas ter-tentu yang memerlukan satu tahap pengolahan lagi untuk dapat diminum. Diskusi terminologi ini tidak berhenti sampai disitu saja, karena ternyata penggunaan istilah tersebut

memberikan konsekuensi kepada aspek lain. Ketika istilah air minum digunakan dalam kebijakan, kon-sekuensinya seluruh penyedia layanan air minum terikat dengan kualitas air yang harus disediakannya. Hal ini akan memberatkan. Pada awalnya disepa-kati bahwa istilah air bersih lebih tepat digunakan.

Baru pada diskusi naskah kebi-jakan ketiga pada awal tahun 2003, terminologi air minum ini diangkat lagi ke permukaan. Pertimbangan uta-manya adalah bahwa kebijakan ini harus menjadi daya dorong dalam upaya perbaikan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan di In -donesia. Konsekuensi dari penerapan istilah tersebut disadari sangat berat, namun sebagai kebijakan, sebagai dokumen acuan yang memiliki jang -kauan rentang waktu yang panjang, perlu menetapkan suatu acuan yang ideal yang perlu dicapai oleh seluruh pelaku pembangunan AMPL di In do -nesia.

Dinamika Perkembangan Kon-sep Kebijakan

Dalam perjalanannya, WASPOLA telah memfasilitasi Kelompok Kerja AMPL Nasional dan telah berhasil

L

A P O R A N

U

T A M A

06

Percik

Juni 2009

(9)

menanamkan gagasan tentang perlu -nya keberadaan suatu kebijakan yang menjadi acuan dalam pembangunan AMPL, khususnya yang berbasis pe -ngelolaan masyarakat. Ketiadaan kebi-jakan ikut andil dalam tidak efektifnya pembangunan AMPL, terbukti dengan rendahnya keberlanjutan sarana yang dibangun oleh proyek pemerintah. Pengulangan-pengulangan kegagalan yang sama dalam hal tidak berfungsinya sarana menjadi daya dorong dalam penyusunan kebijakan AMPL, khususnya yang berbasis pe -ngelolaan masyarakat.

Pada awalnya, Kelompok Kerja AMPL Nasional bersepakat dengan sebuah judul Kebijakan Pembangunan Air Bersih dan Sanitasi Skala Kecil dan Menengah di Indonesia: Dari, Oleh, dan Untuk Masyarakat. Naskah perta-ma kebijakan ini dilahirkan pada April 2000, terdiri atas 5 bab: Pendahuluan, Pengalaman Masa Lalu, Pelajaran Apa yang dapat Kita Petik, Kebijakan Dasar, dan Strategi Pelaksanaan.

Pada Agustus 2001, diterbitkan naskah kedua, dengan judul sama: Kebijakan Pembangunan Air Bersih dan Sanitasi Skala Kecil dan Menengah di Indonesia: Dari, Oleh, dan Untuk Masyarakat. Naskah kedua ini terdiri dari tiga bab: Pendahuluan, Kebijakan Dasar Program, dan Strategi Pelaksanaan.

Pada April 2002, diterbitkan naskah ketiga dengan judul berubah

menjadi: Kebijakan Nasional Pem -bangunan Prasarana dan Sarana Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Pengelolaan Masyarakat. Naskah ketiga ini memuat tiga bab: Pendahuluan, Kebijakan Pembangun -an terdiri dari 11 kebijak-an, d-an Strategi Pelaksanaan terdiri dari 17 strategi. Naskah ini ditandatangani oleh Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas.

Pada Juni 2003, diterbitkan naskah keempat dengan judul berubah menjadi: Kebijakan Nasional Pemba -ngunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat. Naskah keempat atau final ini memuat empat bab: Pendahuluan, Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat yang terdiri dari 11 kebi-jakan umum, dan Strategi Pelaksanaan yang terdiri dari 16 strategi. Naskah ini ditandatangani oleh enam pejabat eselon 1 yaitu: Deputi Menteri Negara/Kepala Bappenas Bidang Sarana dan Prasarana, Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen dalam Negeri, Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri,

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah De -partemen Keuangan.

Kebijakan yang Disepakati Dokumen kebijakan terakhir yang disepakati berjudul: Kebijakan Na -sional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat. Kebijakan ini terdiri dari tujuan umum, dua butir tujuan khusus, 11 butir kebijakan umum dan 16 butir strategi pelaksanaan.

Dari Berbasis Masyarakat ke Ber -basis Lembaga

Keberhasilan Kelompok Kerja AMPL Nasional dalam menyusun Ke -bijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat telah memberi semangat untuk melangkah lebih jauh, yaitu melengkapinya dengan Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Lembaga. Gagasan ini mulai dilontarkan oleh Ketua Pokja AMPL pada waktu itu, yaitu Ir Basah Hernowo. Pada tahun 2004 awal, gagasan ini mulai bergulir terutama dengan dukungan yang kuat dari anggota Pokja AMPL Nasional dari Departemen Pekerjaan Umum. Cita-cita ideal waktu itu adalah menyi-apkan dokumen kebijakan berbasis lembaga, yang kemudian disandingkan dengan kebijakan berbasis masyarakat, yang kemudian dipayungi oleh kebi-jakan menyeluruh tentang AMPL.

Berbeda dengan kebijakan berbasis masyarakat, kebijakan berbasis lemba-ga memiliki tantanlemba-gan yang lebih kom-pleks, mengingat telah banyaknya diluncurkan beberapa produk peraturan sektoral mengenai sektor air mi -num.

Pengalaman keberhasilan dalam penyusunan kebijakan AMPL berbasis masyarakat tidak terjadi pada pengem-bangan kebijakan berbasis lembaga. Pada wilayah berbasis masyarakat memang saat itu terjadi kekosongan atau ketiadaan kebijakan, sehingga semua pelaku dengan aklamasi

L

A P O R A N

U

T A M A

07

Percik

Juni 2009

(10)

dukung proses penyusunan kebijakan ini. Pada wilayah berbasis lembaga, hal tersebut tidak sama, sehingga sulit menyamakan persepsi dalam men-dudukkan kebijakan ini dalam konste-lasi produk-produk sejenis.

Sesungguhnya, pemahaman dasar kedua wilayah kebijakan sudah diper-oleh, bahwa baik pada berbasis masyarakat maupun berbasis lembaga diperlukan upaya-upaya perbaikan. Perlu dilakukan pelibatan banyak pihak dalam memperbaiki kinerja pembangunan AMPL bagi keduanya. Dan kalau belajar dari kebijakan berbasis masyarakat, sesungguhnya hal yang penting adalah bukan doku-men kebijakannya, tetapi proses inter-aksi para pelaku dalam pengembangan kebijakannya. Di situ para pelaku dapat saling belajar untuk memper-baiki kekurangan dalam penyeleng-garaan pembangunan AMPL di Indonesia.

Dengan upaya yang keras dari Pokja AMPL Nasional, draf pertama Kebijakan AMPL Berbasis Lembaga dapat tersusun pada Maret 2003. Pada Mei 2003 dilakukan revisi pada konsep pertama, pada Juni 2003 konsep per-tama direvisi untuk kedua kali. Konsep kedua tersusun pada November 2004. Konsep ketiga pada Desember 2004. Konsep ketiga revisi pertama pada Desember 2004 dan revisi kedua pada April 2005. Konsep terakhir dari Kebijakan Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga, telah dikonsul-tasikan kepada pejabat eselon 1 di Kementerian Lingkungan Hidup, Ditjen PMD Depdagri, dan Ditjen Bina Bangda Depdagri.

Dengan makin intensifnya kegiatan implementasi Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat di daerah, perhatian Pokja AMPL Nasional ter-hadap kebijakan berbasis lembaga menjadi kurang. Dan sampai saat ini belum ada rencana untuk melanjutkan kegiatan perbaikan atau upaya-upaya lanjutannya.

Adopsi dan Implementasi Kebi -jak an AMPL

Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 32 tahun 2004, pembangunan pelayanan dasar termasuk di dalamnya sektor air minum dan penyehatan lingkungan merupakan kewajiban daerah, baik provinsi maupun kabu-paten. Sedangkan kewajiban pemerin-tah pusat dibatasi hanya pada aspek pembinaan, pengawasan, dan bantuan teknis saja.

Hal tersebut sudah diantisipasi oleh pemerintah pusat (kelompok kerja lintas departemen) dengan berusaha meningkatkan kapasitas daerah dalam pengelolaan air minum dan penyehatan lingkungan, khusus-nya yang dikelola berbasis masyarakat. Upaya ini dijabarkan dalam bentuk fasilitasi kebijakan kepada daerah secara bertahap. Asumsinya adalah apabila daerah telah memahami kebi-jakan, kemudian mengadopsinya, diharapkan dapat memiliki kemam-puan dalam pengelolaan sektor AMPL sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri, yaitu yang menekankan pada aspek keberlanjutan baik teknis, pem-biayaan, sosial, institusi, dan ling -kungan.

Dalam perkembangannya, proses adopsi dan implementasi kebijakan berjalan secara evolutif, sejalan dengan teori Gunn yang menyatakan bahwa;

implementation as an evolutionary process. Juga sejalan dengan Bardach (1977) yang menyatakan bahwa; mentation as a political game: imple-mentation is a game of "bargaining, persuasion, and maneuvering under conditions of uncertainty.

Ketika mulai diujicobakan, pada saat itu sedang bersamaan dengan proses pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, di mana peranan kabu pa -ten/kota sangat dominan, sedangkan peranan provinsi tidak begitu jelas didefinisikan. Uji coba kebijakan, oleh karena itu langsung ke kabupaten;

yaitu Kabupaten Solok, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumba Timur.

Pada putaran berikutnya di tahun 2004, ketika UU No. 32 tahun 2004 sebagai revisi UU No. 22 tahun 1999 diberlakukan, implementasi kebijakan mulai melibatkan provinsi, tetapi fokus masih di tingkat kabupaten. Ka bu paten yang difasilitasi meliputi Kabu -paten Sawahlunto Sijunjung, Bangka Selatan, Lebak, Kebumen, Lombok Barat, Pangkep, dan Gorontalo.

Pada tahun 2005, ketika peranan provinsi sudah lebih jelas, peranan provinsi ditingkatkan untuk men-dampingi kabupaten. Provinsi yang didampingi adalah wilayah kerja sebelumnya, yaitu provinsi-provinsi Sumatera Barat, Bangka Belitung, Banten, Jawa Tengah, NTB, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo yang masing-masing provinsi mendampingi 3 kabu-paten di wilayahnya.

Sampai dengan tahun 2009, telah dilakukan fasilitasi adopsi dan imple-mentasi Kebijakan AMPL Berbasis Masyarakat di 9 provinsi dan 70 kabu-paten/kota, yang langsung dilakukan Pokja AMPL Nasional melalui WAS -POLA. Sedangkan melalui proyek lain, telah mencakup 4 provinsi melalui CWSHP-ADB, 3 provinsi baru mela lui WES-UNICEF.

Leadership dalam Perubahan Kebijakan

Perubahan kebijakan atau refor-masi kebijakan memerlukan pe -ngawalan, yaitu individu yang memili-ki komitmen penuh untuk melakukan perubahan. Persyaratan tersebut diperlukan karena reformasi kebijakan adalah proses yang penuh tantangan, terutama dalam merubah cara pan-dang dan cara pikir yang telah diyakini sebagai kebenaran. Dalam perkem -bangannya, upaya reformasi kebijakan pembangunan AMPL di Indonesia mengalami banyak tantangan, teruta-ma dari pelaku kuncinya sendiri.

L

A P O R A N

U

T A M A

08

Percik

(11)

Hanya dengan upaya yang keras dan sungguh-sungguh saja, kalau sekarang telah tersusun Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat.

Pada awalnya, kelompok kerja WASPOLA - yang kemudian lebih tepat disebut Pokja AMPL - merupakan sekelompok individu yang berasal dari berbagai departemen yang dipimpin oleh Bappenas. Mereka terikat secara historis karena terlibat dalam pemba -ngunan air bersih -istilah ini kemudian menjadi air minum- khususnya Proyek Inpres. Pada tahap awal, figur yang menonjol dan aktif dalam kelompok kerja adalah Medrilzam, seorang staf Bappenas yang ditugaskan menjadi koordinator kegiatan-kegiatan WAS -POLA.

Kegiatan yang dilakukan adalah rapat-rapat, lokakarya, dan pelatihan bagi anggota kelompok kerja, baik dilakukan di dalam negeri maupun luar negeri. Medrilzam -saat itu staf Biro Perkotaan dan Perdesaan- telah berhasil menanamkan fondasi refor-masi kebijakan sektor air minum (saat itu air bersih) dan penyehatan ling -kungan. Sampai dengan tahun 2002, WASPOLA dan kelompok kerja yang didukung WSPEAP berhasil me laku -kan berbagai ujicoba dan melaku-kan stu di-studi lapangan untuk memperkaya khasanah kebijakan yang se -dang dikembangkan. Sejalan dengan itu, secara pelan terus membangun

pola pikir dan cara pandang baru ter-hadap pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang berbasis masyarakat.

Ketika Medrilzam mengakhiri tugasnya di Biro Permukiman Perko -taan Bappenas, Basah Hernowo seba-gai atasannya yang selama itu men-dukung Medrilzam, turun tangan lang-sung menangani kegiatan terkait de-ngan kegiatan pengembade-ngan kebi-jakan. Di tangan Basah Hernowo -saat itu sebagai Kabag Permukiman pada Biro Permukiman dan Perkotaan, sam-pai akhirnya menjabat Direktur Per -mukiman dan Perumahan Bappenas-kegiatan dilanjutkan. Pada periode Basah Hernowo-lah kebijakan disele-saikan, dengan langsung me lakukan pengeditan akhir secara internal di Bappenas.

Pada awal tahun 2004, pena -nganan kegiatan WASPOLA dan kelompok kerjanya diserahkan kepada Oswar Mungkasa yang telah aktif sejak tahun 2003. Oswar Mungkasa adalah staf Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas dengan posisi terakhir sebagai Kasubdit Drainase dan Persampahan. Pada periode ini, dilakukan perubahan besar. Kelompok kerja yang tadinya dikenal sebagai kelompok kerja WASPOLA lebih didudukkan sebagaimana mestinya, sebagai Kelompok Kerja AMPL.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan

selanjutnya sepenuhnya berada dalam kendali Pokja AMPL. Kegiatan WASPOLA lebih intensif melakukan pendampingan daerah dalam rangka meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan pemba -ngunan AMPL berbasis masyarakat. Diseminasi kebijakan giat dilakukan, pelatihan-pelatihan dilakukan baik secara nasional maupun regional. Pada kurun ini, lahir majalah Percik yang terbit tiga bulanan dengan fokus mewartakan informasi bagi para pelaku AMPL di Indonesia.

Periode ini merupakan periode ekstensifikasi Pokja AMPL, melalui media yang dimilikinya berusaha men-jangkau semua stakeholder pemba -ngunan AMPL. Patut dicatat sebagai capaian penting, selain hasil tersebut di atas adalah newsletter AMPL, Percik Yunior, publikasi elektronik berupa CD/DVD, dan terbentuknya Jejaring AMPL. Jejaring ini meru-pakan sebuah wadah bagi para pelaku yang peduli AMPL di Indonesia, terdiri dari lembaga dan individu, yang sepa-kat untuk bahu-membahu bersinergi dalam mengusung keberlanjutan pem-bangunan AMPL di Indonesia.

Ketiga orang di atas merupakan figur kunci dalam proses reformasi pembangunan AMPL khususnya yang berbasis masyarakat. Tetapi hasil yang dicapai bukan semata-mata jerih payah mereka, karena anggota kelom-pok kerja lain yang berasal dari departemen terkait juga sangat berpe -ran. Beberapa nama perlu dicatat disi-ni, dari Departemen Pekerjaan Umum, antara lain Handi B. Legowo, Bambang Purwanto, Joko Mursito, Andreas Suhono, Purnama, Endang Setia -ningrum, Essy Assiah, Savitri Rus -dyan ti, Rina Agustin, Nina Indrasari, Muria Istamtiah, Tamin MZ Amin, dan Susmono. Dari Departemen Kesehatan antara lain Abdullah Munthalib, Hening Darpito, Hartoyo, Suprapto, Sutjipto, Djoko Wartono, Ismail Malik, Zainal Nampira, Upi Pimanih, Atje

L

A P O R A N

U

T A M A

09

Percik

Juni 2009

(12)

Hayati, dan Wan Alkadri. Dari Departemen Dalam Negeri antara lain Djohan Susmono, Ivan Rangkuti, Pipip Rip'ah, Rewang Budiyana, Veronica Dwi Utari, Frida Ariyanti, Togap Siagian, Rheidha Pambudhi, Helda Nusi, dan Indar Parawansa. Dari KLH diantaranya Wiryono, Chairudin, Ratna Kartikasari. Dari Bappenas dicatat antara lain Sujana Rohyat, Arum Atmawikarta, Utin Kiswanti, Pungkas AB, Virgiyanti, Salusra Widya, Maraita Listyasari, dan Nugroho Tri Utomo.

Orang-orang tersebut di atas meru-pakan pengawal kegiatan reformasi kebijakan. Mereka adalah orang-orang yang ditugaskan untuk meluangkan waktu, tenaga, dan sumber dayanya untuk mengawal kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan proses refor-masi kebijakan pembangunan AMPL di Indonesia.

Dukungan orang-orang kunci pada tahap awal merupakan kunci keber-hasilan adopsi kebijakan pada tingkat nasional. Melalui proses konsultasi, para anggota kelompok kerja mem-berikan masukan kepada Komite Pengarah Pusat (CPC=Central Project Committe) terdiri dari Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri terdiri dari Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah dan Direktorat Jenderal Pengembangan Masyarakat dan Desa, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, dan Kementrian Lingkungan Hidup, yang dipimpin oleh Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas.

Komite pengarah tersebut memberi arahan dalam rapat yang diseleng-garakan tiap semester kepada kelom-pok kerja antar departemen yang ter-diri dari pejabat eselon 2 ke bawah. Kelompok kerja yang dipimpin oleh Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas inilah yang sehari-hari

terli-bat secara aktif dalam berbagai kegiatan yang dilakukan dengan difasilitasi oleh satu sekretariat proyek yang dinamai WASPOLA.

Ekstensifikasi Pokja dalam Implementasi Kebijakan AMPL

Ketika proyek WASPOLA mulai digulirkan, kegiatan yang dilakukan terbatas pada hal-hal yang sifatnya introduksi pada pentingnya reformasi kebijakan. Beberapa aktifitas dilakukan dengan frekuensi yang tidak tinggi. Rapat kelompok kerja, seminar, lokakarya dilakukan dengan jadwal yang relatif jarang.

Inisiatif kegiatan lebih cenderung dilakukan oleh WSP-EAP melalui sekretariat WASPOLA. Baru pada tahun 2003 menjelang peralihan ke WASPOLA 2, kegiatan lebih intensif dilakukan, khususnya dalam kegiatan

peningkatan kapasitas Pokja AMPL Daerah. Seiring dengan itu, eksistensi Pokja AMPL Nasional semakin ber -kibar, dan sekretariat WASPOLA lebih memposisikan diri sebagai pendukung dari kegiatan Pokja.

Setelah sukses dengan ujicoba di empat kabupaten di 4 provinsi pada tahun 2002/2003, implementasi kebi-jakan dikembangkan ke 7 provinsi di 7 kabupaten/kota pada tahun 2004, kemudian dikembangkan lagi menjadi 9 provinsi di 49 kabupaten/kota pada tahun 2006. Tahun 2005 tidak ada penambahan provinsi, namun kabu-paten/kota bertambah menjadi 24. Tidak berhenti disini, daerah lain pun disasar melalui kemitraan dengan proyek AMPL yang sedang maupun akan berjalan, misalnya WSLIC-2, ProAir, CWSHP, WES UNICEF, dan PAMSIMAS.

L

A P O R A N

U

T A M A

10

Percik

Juni 2009

W

ASPOLA 2 merupakan kelanjutan dari Proyek WASPOLA--yang kemudian disebut WASPOLA 1-yang telah berhasil dilaksanakan pada kurun waktu 1998-2003. WASPOLA 1 fokus pada dukungan teknis dalam penyusunan kebijakan untuk mengantisi-pasi masalah rendahnya akses dan tingkat pelayanan, yang menyebabkan buruknya kondisi kesehatan lingkungan, terutama untuk masyarakat miskin di Indonesia. WASPOLA 1 fokus pada pengelolaan air minum dan penye-hatan lingkungan (AMPL) berbasis masyarakat inovasi pendekatan dan metodologi penerapan pendekatan tanggap kebutuhan dan partisipatif. Durasi proyek WASPOLA 2 mulai 2004 sampai 2009.

Tujuan Umum

Untuk meningkatkan akses masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin ter-hadap pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang layak.

Tujuan Khusus

Untuk meningkatkan kapasitas pemerintah Indonesia dalam melaksanakan kebijakan dan meneruskan proses reformasi kebijakan sektor AMPL, dan mendorong penerapan pendekatan tanggap kebutuhan dan partisipasi.

Komponen Kegiatan

Penerapan Kebijakan

Penerapan kebijakan meliputi kegiatan dalam operasionalisasi kebijakan yang telah dikembangkan pada WASPOLA 1. Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat perlu diadopsi dan diimplementasikan oleh para pe-ngelola pembangunan AMPL.

Reformasi Kebijakan

Komponen ini merupakan jawaban ter-hadap kebutuhan yang lebih luas dan proses per-baikan yang menerus, sebagai tanggapan ter-hadap pengalaman periode sebelumnya dan perubahan dalam berbagai aspek. Fokus kompo-nen ini adalah perbaikan aspek penyehatan lingkungan, baik pada kebijakan berbasis masyarakat maupun berbasis lembaga, serta kebijakan air minum berbasis lembaga.

Manajemen Pengetahuan

Komponen ini menjawab kebutuhan dalam hal mendapatkan dan menyebarkan informasi untuk memfasilitasi perencanaan dan peman-tauan sektor AMPL, serta untuk mendukung pengembangan kapasitas yang berkelanjutan. Kegiatan yang tercakup dalam komponen ini antara lain keterkaitan dengan stakeholderlain termasuk proyek lain, donor, LSM, swasta, dan perguruan tinggi yang berpotensi dalam per-tukaran pembelajaran. Studi, penerapan pen-dekatan yang inovatif, dan pelatihan-pelatihan terkait juga tercakup dalam komponen ini.

(13)

L

A P O R A N

U

T A M A

11

Percik

Juni 2009

Ada kesepakatan pada tingkat pengambil keputusan nasional, bahwa daerah harus memiliki kemampuan dalam pengelolaan AMPL, khususnya yang berbasis masyarakat, karena diyakini akan meningkatkan kinerja pembangunan, khususnya keberlan -jutan sarana yang dibangun. Sampai saat ini, daerah-daerah baik mitra langsung maupun melalui proyek lain, telah diperkenalkan kepada substansi Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat.

Sebagian besar telah mengikuti pelatihan-pelatihan dalam materi-materi yang dibutuhkan untuk menjadi pengelola AMPL berbasis masyarakat. Pelatihan-pelatihan yang telah diberikan, diantaranya pembentukan kelompok kerja, metodologi partisi-patif, dasar fasilitasi, teknik penyusunan rencana strategis, komu-nikasi dan CLTS. Hasil dari pelatihan tersebut adalah terbentuknya Pokja AMPL Daerah, tersusunnya rencana strategis AMPL daerah dan berlang-sungnya fasilitasi kebijakan pada tingkat daerah.

Sejalan dengan upaya perluasan wilayah dampingan, di tingkat pusat pun kegiatan Pokja AMPL Nasional semakin luas. Kegiatan pengembangan Jejaring AMPL adalah salah satu kegiatan yang mendapat sambutan luas dari stakeholderAMPL nasional. Dalam konteks ini, WASPOLA menem-patkan diri sebagai bagian dari jejaring ini, sekaligus menjadi back up bagi Pokja AMPL nasional dalam melaku -kan kegiatannya.

Jalan Masih Panjang

Luas wilayah menjadi tantangan

Mengingat jumlah kabupaten dan provinsi di Indonesia yang demikian besar, sekitar 500 kabupaten/kota dan 33 provinsi, maka yang dilakukan oleh kelompok kerja dan sekretariat WASPOLA baru mencapai 11 persen kabupaten dan 20% provinsi.

Diperlukan upaya-upaya terobosan

yang dapat meningkatkan akselerasi adopsi dan implementasi kebijakan, supaya pencapaian daerah dapat menyeluruh di Indonesia. Walaupun secara nasional seluruh stakeholder

telah mengadopsi dan mengimplemen-tasikan kebijakan, ini karena mereka terlibat langsung dalam proses pe -nyusunan, tetapi pada tingkat daerah hal tersebut memerlukan pengujian.

Secara teori, apabila logika kebi-jakan dapat diterima oleh sebagian besar daerah, baik daerah yang sudah mengenal kebijakan cukup lama maupun daerah yang baru, maka pe-luang penerapan kebijakan secara luas cukup tinggi.

Permasalahan kritis berikutnya adalah masalah efisiensi fasilitasi kebi-jakan dalam rangka meningkatkan keberhasilan adopsi dan implementasi kebijakan. Apakah model fasilitasi yang selama ini berlangsung dapat diteruskan setelah proyek WASPOLA berakhir? Apakah sumber daya yang ada dapat mendukung kegiatan seru-pa? Atau perlu dicari model lain yang lebih efisien dari segi biaya tanpa me -ngurangi kualitas hasil yang diperoleh?

Persoalan klasik: dana tidak pernah mencukupi.

Pemerintah juga memiliki komit-men untuk komit-mencapai target milenium (MDGs) yang harus dipenuhi pada tahun 2015, yaitu melayani separuh penduduk yang belum memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi. Berdasarkan national action plan

bidang air minum dan sanitasi Departemen Pekerjaan Umum 2004, untuk sub sektor air minum diperlukan peningkatan pelayanan sampai dengan 88% dari 74% pada tahun 2015.

Sedangkan untuk sub sektor sani-tasi (air limbah) harus mencapai 75% dari 54% pada tahun 2015. Adapun perkiraan dana yang diperlukan untuk memenuhi target tersebut adalah Rp 42 triliun untuk air minum dan sekitar Rp 43 triliun untuk sanitasi. Artinya diperlukan dana investasi sekitar Rp

8,5 triliun pertahunnya sampai dengan tahun 2015.

Kesenjangan pendanaan ini dapat dipenuhi melalui berbagai skema pen-danaan, seperti pinjaman luar negeri, investasi swasta, dan penggalian potensi masyarakat. Banyak program telah dirancang oleh pemerintah, baik melalui dana sektoral maupun pin -jaman. Namun demikian, investasi baru ini perlu optimalisasi dengan lebih memperhatikan aspek keberlan-jutan sarana yang dibangun. Tanpa itu, investasi baru tidak akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan akses yang berkelanjutan karena investasi yang lama sudah rusak atau tidak dipergunakan.

Perhatian terhadap sektor masih perlu dipacu

Besaran belanja pemerintah untuk sektor AMPL merupakan bagian dari komponen perumahan dan fasilitas umum sebesar Rp 2,3 triliun. Ini meru-pakan proporsi yang sangat kecil dari belanja pemerintah pusat, yaitu 0,3% dari Rp 266 triliun. Bila dibandingkan dengan sektor jalan sebesar Rp 10,8 triliun, maka sektor air minum dan air limbah sangat kecil dalam jumlah yang menunjukkan juga kecilnya prioritas sektor ini.

Rendahnya prioritas pembangunan AMPL ini bukan saja pada tingkat pemerintah pusat, tetapi juga pada tingkat pemerintah daerah. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh proyek WASPOLA tahun 2005, tentang Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Pasca Desentralisasi yang dilakukan di 10 kabupaten (Musi Banyuasin, Solok, Subang, Sumba Timur, Lamongan, Bandung, Takalar, Kuningan, Lumajang, dan Sikka), alokasi dana sektor air minum dan sanitasi di sepu-luh daerah studi sepanjang tahun 2003-2005 berkisar antara 0.01% sam-pai 1.37% dari total belanja APBD.

(14)

L

A P O R A N

U

T A M A

12

Percik

Juni 2009

tor AMPL di daerah WASPOLA yang dilakukan oleh WSP-EAP World Bank, yang menyimpulkan bahwa anggaran pemerintah untuk sektor AMPL

ren-dah sekali, seperti ditampilkan pada tabel di bawah ini. Michel Camdesus dalam catatannya pada World Panel on Financing Water Infrastructure(2003)

melihat bahwa penempatan prioritas yang rendah oleh pemerintah terhadap pendanaan sektor air minum dan sani-tasi merupakan isu yang utama. Di samping itu, sektor AMPL masih menghadapi isu internal yang masih belum terselesaikan, seperti kebi -ngungan masalah sosial, lingkungan, komersial, masalah politis, kelemahan manajemen dan ketidakjelasan tujuan pengelolaan, ketidakcukupan kerangka kebijakan, kurangnya transparansi, ketiadaan badan regulasi, dan resisten-si terhadap prinresisten-sip cost recovery.

*National Project Coordinator

Lokakarya Sinergi Rencana Pelaksanaan

Program Waspola

Facility

(Waspofa) dan Serah

Terima Waspola 2

P

rogram Water Supply and Sanitation Formulation and Action Planning (Waspola) 2 berakhir Juni 2009. Program yang diinisiasi Pemerintah Indonesia, didanai AusAID dan difasilitasi WSP Bank Dunia telah berlangsung sejak 1998 dengan fokus penyusunan Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat.

Kegiatan ini berakhir pada tahun 2003 dan disebut sebagai Waspola 1. Kemudian dilanjutkan dengan Waspola 2 hingga tahun 2009 dengan fokus pada implementasi kebijakan dan pe-ningkatan kapasitas.

Waspola merupakan kerja terpadu yang melibatkan Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan, Departemen dalam Negeri, Kemeterian Lingkungan Hidup, Departemen Keuangan dibawah koor-dinasi Bappenas. Keterpaduan

diwadahi melalui Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) yang kemudian dengan fasilitasi Waspola diaplikasi di kabu-paten/kota dan provinsi.

Sampai saat ini telah terbentuk 63 Pokja AMPL kabupaten/kota dan 13 Pokja AMPL provinsi. Untuk itulah,

berbagai pihak mempunyai harapan besar program Waspola setelah berakhirnya Waspola 2 terus berlanjut untuk melanjutkan daerah-daerah yang belum mendapatkan akses air minum dan sanitasi secara baik.

Menandai keberlanjutan program Waspola, pada Kamis, 25 Juni 2009

(15)

L

A P O R A N

U

T A M A

13

Percik

Juni 2009

diselenggarakan Lokakarya Sinergi Rencana Pelaksanaan Program Waspola Facility (Waspofa) dan Serah Terima Waspola 2, di Jakarta.

Lokakarya diselenggarakan sebagai upaya mendapatkan masukan bagi penyusunan desain Waspofa atau Waspola 3 yang merupakan kelanjutan Waspola 2. Lokakarya kemudian dilan-jutkan dengan penyerahan simbolis hasil Waspola 2 kepada pemerintah Indonesia yang diwakili Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas Dedy Supriadi Priatna.

Lokakarya sehari tersebut dihadiri wakil dari Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri dan difasili-tasi sekretariat Waspola.

Lokakarya menyepakati beberapa hal tetapi yang terpenting adalah pe-ngelolaan Waspofa dilaksanakan melalui mekanisme on budget, tetapi dengan dua tipe pelaksanaan yaitu Bank Dunia sebagai pelaksana dan pemerintah sebagai pelaksana.

Seperti halnya pada pelaksanaan program Waspola sebelumnya, pelak-sanaan Waspofa diperlukan komite

pengarah (steering committee) yang terdiri dari tiga pihak yaitu Pemerintah, AusAID, dan Bank Dunia. Sementara kegiatan persiapan yang akan dilakukan adalah penyelesaian persetu-juan antara Pemerintah dengan AusAID, penyelesaian persetujuan hibah antara Bank Dunia dengan Pemerintah Indonesia, dan kesepa-katan mekanisme penganggaran.

Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas Dedy Supriadi Priatna dalam sambutannya mengatakan Waspola adalah suatu program yang bagus dan penting untuk dilanjutkan pada Waspola 4 dan seterusnya. ”Ke depan harus lebih ditingkatkan koordinasi dan sinkronisasi antardepartemen,” tuturnya.

Waspola Facility

Hasil lokakarya adalah berupa kelanjutan Waspola 2 dengan nama Waspola 3 atau Waspofa. Besaran dana dari AusAID sebesar 10 juta dolar Australia dan pengelolaan Waspofa dilakukan melalui dua mekanisme Bank Dunia dan Bappenas.

Pada kesempatan serah terima Waspola 2, Direktur Perumahan dan

Permukiman Bappenas Budi Hidayat memaparkan bagaimana program Waspola Facility sebagai kelanjutan Waspola 2. Waspofa, paparnya, mem-punyai tujuan umum adalah meningkatkan akses masyarakat Indonesia khususnya masyarakat miskin terhadap layanan AMPL yang cukup berkelanjutan.

”Sementara tujuan khususnya, memperkuat kapasitas pemerintah dalam pengelolaan AMPL melalui fasi-litas yang fleksibel yang dapat men-dukung kebutuhan terkait dengan pengembangan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan sektor AMPL,” ungkap Budi.

Budi Hidayat melanjutkan, lokakarya ini mengamanatkan, perlu-nya memelihara momentum kegiatan agar tidak terjadi stagnasi yang terlalu lama. Perlu disiapkan rencana kerja 6 bulan pertama, diantaranya terpenting adalah persiapan administrasi, penilai-an kebutuhpenilai-an, dpenilai-an penyiappenilai-an Rencpenilai-ana Kerja tahun pertama. ”Amanat lain adalah secepatnya disediakan kantor untuk kegiatan Waspofa dan segera merekrut tim inti untuk menyelesaikan proses persiapan proyek,” tuturnya.

Pada lokakarya itu, peserta ber-kesempatan mendengarkan tanggapan dan masukan dari lembaga donor dan departemen terkait. Pelaksana tugas regional Team LeaderWSP-EAP Isabel Blackett memberikan apresiasi yang baik kepada Waspola. ”Waspola benar-benar memprakarsai perubahan yang berkelanjutan. Ada proyek-proyek WES terkait yang berkembang dari pe-ngaruhnya,” terangnya.

(16)

L

A P O R A N

U

T A M A

14

Percik

Juni 2009

S

ektor air minum dan sanitasi dasar, secara pelan tetapi pasti telah bergulir menjadi sektor yang mendapat perhatian dalam pem-bangunan di negeri ini. Senyatanyalah sektor ini "seksi", sehingga dilakukan oleh banyak departemen, antara lain Departemen Pekerjaan Umum sebagai pemegang mandat utama dalam penye-diaan infrastruktur, Departemen Kesehatan sebagai pe megang mandat utama dalam pening katan status kese-hatan masyarakat melalui penyediaan layanan air minum dan sanitasi dasar. D e p a r t e m e n D a l a m N e g e r i , Departemen Sosial, Badan Geologi, Departemen Transmigrasi semuanya juga bersinggungan dengan program pembangunan fasilitas air minum dan sanitasi. Berbeda departemen, berbeda pula kebijakannya dan berbeda pula pendekatan yang diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan air minum dan sanitasi.

Paradigma tempo dulu bahwa "pemerintah memenuhi layanan air minum dan sanitasi" diterjemahkan dengan "pemerintah berkewajiban membangun sarana". Sarana yang telah dibangun selanjutnya diserahkan kepa-da masyarakat dengan harapan masyarakat mengoperasikan, memeli-hara dan memanfaatkannya.

Kegiatan pembangunan sarana air minum dan sanitasi oleh pemerintah pusat pada saat itu selalu diberi judul "proyek". Istilah proyek oleh masyarakat diidentikkan dengan

kegiatan pemerintah karena yang "punya gawe" pemerintah sementara masyarakat diposisikan sebagai peneri-ma peneri-manfaat proyek, terlebih pelaksana dan tenaga yang bekerja untuk proyek tersebut adalah orang dari luar masyarakat desa itu sendiri, karena ter-gantung pada siapa pemenang tender.

Istilah partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah bergulir sejak jaman orde baru dan dijadikan

platform pembangunan, namun demikian rentang pengertian partisi-pasi dalam aplikasinya sangat berva-riasi. Masyarakat dikumpulkan bersama perangkat desa, diberi penyu-luhan tentang rencana proyek air minum dan sanitasi sudah disebut par-tisipasi. Masyarakat dilibatkan sebagai tenaga kerja yang dibayar untuk jenis pekerjaan tertentu juga disebut partisi-pasi, masyarakat diwajibkan menyiap-kan kontribusi inkindjuga disebut par-tisipasi, masyarakat dilibatkan dalam pengambilan keputusan juga partisi-pasi, masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan dan mereka bertanggung jawab dalam pengorgan-isasian dan pengelolaan paska proyek juga disebut partisipasi.

Perbedaan pandang mengenai par-tisipasi dengan berbagai alasan dan cara pandang terhadap masyarakat berimplikasi terhadap penerapan kon-sep partisipasi. Setidaknya ada dua pandangan yang berseberangan

terhadap masyarakat waktu itu, pandang -an pertama pemb-angun-an air minum dan sanitasi sarat dengan teknis, masyarakat tidak mampu dan kalau dipaksakan taruhannya adalah kualitas tidak sesuai yang diharapkan dan memakan waktu lama, di sisi lain proyek dibatasi oleh waktu tahun anggaran oleh karenanya proyek harus dipihak ketigakan karena mereka adalah ahlinya.

Pandangan kedua, masyarakat itu punya potensi, mereka akan mampu kalau diberi kesempatan dan dimam-pukan melalui penguatan kapasitas, mereka memiliki kepentingan dengan kebutuhannya, kunci keberlanjutan adalah ditangan masyarakat sendiri karena pemerintah tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk me-ngawal paska proyek, oleh karenanya proyek harus didesain berbasis masyarakat.

Pandangan di atas tidak hanya ter-jadi di kalangan pemerintah saja, di lingkungan LSM pun juga demikian. Bahkan LSM dengan platform charity

waktu itu memiliki pandangan bahwa masyarakat yang dibantu adalah masyarakat miskin, mereka tidak ber-daya, mereka harus ditolong, untuk ikut pertemuan dan bekerja berarti mereka kehilangan pendapatan oleh karenanya mereka harus dibayar.

LSM dengan platform community development berpandangan lain ter-hadap masyarakat yang dibantu, bahwa mereka adalah masyarakat yang

memi-WASPOLA

10 Tahun Membangun Paradigma

Pembangunan Berkelanjutan

di Bidang AMPL

(17)

liki potensi, potensi itu akan berkem-bang apabila mereka diberdayakan, biarkan mereka mengambil keputus-annya sesuai dengan latar belakang dan kemampuannya, jangan biarkan mereka berketergantungan, oleh kare-nanya meskipun mereka mengelu-arkan waktu untuk pembangunan tidak harus dibayar, kalau toh harus dibayar hanya untuk jenis pekerjaan tertentu dan diputuskan oleh mereka sendiri karena pada dasarnya segala bentuk bantuan adalah untuk mem-bantu mereka dalam menyelesaikan permasalahannya sendiri, walaupun prosesnya cukup panjang yang penting keberlanjutan terjadi.

Kedua madzhab pembangunan air minum dan sanitasi di atas terlaksana di Indonesia dengan dua macam hasil, yaitu sarana tidak berkelanjutan dan jadi monumen dari hasil madzhab per-tama, sedang hasil madzhab yang kedua sarana berkelanjutan dan tetap dinikmati masyarakat walaupun proyek tersebut telah berakhir puluhan tahun.

Kesadaran Kritis

Ternyata kita telah banyak berbuat dan berinvestasi untuk pembangunan air minum dan sanitasi. Ternyata banyak sarana yang tidak berfungsi dan hanya menjadi monumen. Ternyata peningkatan jumlah hutang untuk pembangunan air minum dan sanitasi dengan pendekatan proyek berbanding lurus dengan meningkat-nya jumlah monumen hasil pemba-ngunan yang tidak berkelanjutan, karena jumlah tersebut terakumulasi dengan proyek sebelumnya. Demikian pula di kalangan LSM dengan platform charitysemakin besar jumlah bantuan juga berbanding lurus dengan monu-men plusketergantungannya.

Water and Sanitation Policy Formulation and Action Planning

(WASPOLA), sebuah kerjasama Pemerintah Indonesia dengan

Pemerintah Australia yang difasilitasi oleh WSP-World Bank merupakan proyek dalam rangka reformasi kebi-jakan sektor air minum dan sanitasi dalam rangka menanggapi berbagai persoalan ketidakberlanjutan pemba -ngunan air minum dan sanitasi.

Serangkaian kajian, studi dan pem-belajaran proyek-proyek air minum dan sanitasi dari berbagai sumber pembiayaan di Indonesia dan penga-laman dari negara lain dilakukan untuk menemukenali persoalan men-dasar dan merunut ulang tahapan demi tahapan yang dilaksanakan sela-ma ini untuk mengambil pembelajaran dan yang terpenting apa yang harus kita lakukan serta kebijakan mana yang harus direformasi.

WASPOLA merupakan komitmen Pemerintah Indonesia untuk meng-hasilkan pembangunan sektor air minum dan sanitasi yang efisien dan berkelanjutan. WASPOLA merupakan kerja terpadu yang melibatkan Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan, Departemen D a l a m N e g e r i , K e m e n t e r i a n

Lingkungan Hidup, Departemen Keuangan di bawah koordinasi Bappenas.

Rute Panjang Menuju Kesamaan Pandang

Serangkaian lokakarya, puluhan pertemuan koordinasi dan bahkan ratusan kali, dengan melibatkan berba-gai pemangku kepentingan telah dilak-sanakan untuk mencari bentuk, menyamakan persepsi, membedah pengalaman gagal dan pengalaman sukses dalam pembangunan air minum dan sanitasi serta memetakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlan-jutan proyek.

Serangkaian kegiatan tersebut pada akhirnya mengerucut pada kesepa-katan perlunya melakukan reformasi kebijakan pembangunan bidang air minum dan sanitasi. Berdasarkan intensitas permasalahannya disepakati pentingnya melakukan reformasi kebi-jakan untuk pembangunan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat ter-lebih dahulu dan segera ditindaklan-juti reformasi kebijakan pembangunan

L

A P O R A N

U

T A M A

15

Percik

Juni 2009

(18)

air minum dan sanitasi berbasis lem-baga.

Perjalanan panjang selama lima tahun dari tahun 1998-2002 pada akhirnya telah menghasilkan draf kebi-jakan dengan nama Kebikebi-jakan Nasional Pembangunan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat, sementara kebijakan berbasis lembaga masih dalam peng-godogan lebih lanjut. Lamanya waktu yang dilalui menunjukkan betapa pen-tingnya sektor ini sekaligus betapa banyaknya persoalan yang harus dirunut dan ditata, serta disepakati ke dalam satu paradigma sampai meng-hasilkan rumusan kebijakan.

Langkah strategis untuk meningkatkan leverage kinerja tim pemerintah dalam penanganan WASPOLA akhirnya sepakat untuk membentuk kelembagaan Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) yang selan-jutnya menjadi garda depan dalam upaya operasionalisasi kebijakan dalam skala luas. Kelembagaan terdiri dari tim pengarah dengan anggota pejabat eselon 2 dari semua departe-men tekait dan tim teknis dari pejabat eselon 3 masing-masing.

Perdebatan penggunaan istilah "air bersih" atau "air minum" merupakan salah satu rute yang harus dilewati oleh pemangku kepentingan yang ter-gabung dalam Pokja AMPL. Salah satu kesamaan pandang yang disepakati adalah "air minum" yang menjadi mandat dalam rangka pemenuhan layanan dasar air minum. Fakta bahwa kualitas air yang dihasilkan masih dalam taraf air bersih memang dipahami, namun tidak mengurangi keinginan ter-hadap upaya meningkatkannya menjadi berkualitas air minum.

Pada tahun 2003 draf kebijakan dengan tajuk Kebijakan Nasional Pembangunan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat telah diubah secara final m e n j a d i K e b i j a k a n N a s i o n a l

Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat dan sampai sekarang telah populer dengan sebutan Kebijakan Nasional AMPL-BM.

Untuk memastikan kebijakan ini dapat dipahami dan dapat diopera-sionalkan di daerah, maka pada November 2002-April 2003 dilakukan uji coba fasilitasi di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Solok, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumba Timur. Uji coba ini telah menghasilkan beberapa masukan penting sebelum kebijakan difinalkan, salah satunya adalah di-tambahnya satu butir kebijakan yang sebelumnya tidak ada yaitu pemba-ngunan AMPL yang "berorientasi pada pemulihan biaya".

Pekerjaan Besar Baru Dimulai Perjalanan panjang selama lima tahun dengan hasil tersusunnya Kebijakan Nasional AMPL-BM, ketika kebijakan ini telah disepakati untuk dioperasionalkan di daerah justru pekerjaan yang sebenarnya baru dimu-lai dan memerlukan upaya besar untuk memastikan kebijakan ini diterima oleh daerah, diadopsi dan dioperasio-nalkan ke dalam mekanisme dan pelaksanaan pembangunan di daerah.

Sikap sinis, pesimis dan keraguan dari pejabat daerah ketika kebijakan

ini diperkenalkan oleh fasilitator men-jadi tantangan pertama yang harus dilalui. Apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam fasilitasi pelaksanaan kebijakan merupakan advokasi untuk membongkar paham bahwa pembangunan dengan mengedepankan peran masyarakat dan berorientasi pada proses jauh lebih terjamin keberlanjutannya dibanding dengan pembangunan yang berorien-tasi target. Bermacam ragam peneri-maan daerah pada awal perkenalan kebijakan dari negatif sampai positif dan ragu-ragu.

Salah Persepsi

Berapa besar dana yang dialokasikan pusat?

Siapa yang akan melaksanakan proyek nanti, pusat atau daerah? Kalau hanya kebijakan saja kami tidak membutuhkan, yang kami butuhkan proyek.

Biasanya pemerintah pusat kalau sosialisasi kebijakan selalu diikuti proyek.

Ini kan kebijakan pusat, kami yang harus melakukan tentu ada dananya kan, mana dananya? Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan pertanyaan klasik yang harus dijawab dengan arif oleh fasilita-tor sambil meyakinkan kembali bahwa program ini bukan proyek fisik,

L

A P O R A N

U

T A M A

16

Percik

Juni 2009

(19)

kegiatan ini terbatas pada bantuan tek-nis. Bahkan ada beberapa pemerintah daerah setelah mengikuti diseminasi kebijakan, walaupun telah dijelaskan program ini merupakan bantuan tek-nis, dalam melayangkan surat per-mintaan untuk difasilitasi mengajukan syarat dimana pemerintah daerah mau menyiapkan alokasi dana operasional dengan catatan pemerintah pusat menyiapkan alokasi dana miliaran rupiah untuk proyek. Kendala ini memberikan pembelajaran bahwa untuk pelaksanaan kebijakan nasional AMPL-BM di daerah, yang pertama harus dilakukan adalah menata mind-set pejabat dan staf teknis mengenai konsep kebijakan dan pembangunan AMPL yang berkelanjutan.

"Bagaimana mungkin masyarakat harus kontribusi tunai untuk pemba-ngunan, untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup. Nanti dulu, ini bukan Jawa, disini kondisi orang miskin beda dengan miskin di Jawa".

Sikap penolakan seperti ini juga dihadapi oleh fasilitator dan tidak tanggung-tanggung ini disampaikan oleh pimpinan daerah. Bahkan ada salah seorang anggota DPRD yang mendapat undangan dari Bappeda untuk acara lokakarya mengenai kebi-jakan AMPL-BM menanyakan kepada fasilitator, "Besok ada uang honornya (uang duduk) tidak?". Setelah dije-laskan oleh fasilitator bahwa kegiatan ini tidak menyiapkan uang honor, mereka mengatakan besok tidak datang kalau tidak ada uang duduknya walaupun acara tersebut dilakukan di ruang rapat DPRD.

Pelan tapi Pasti

Keinginan pada setiap pelaksanaan kegiatan lokakarya di daerah adalah untuk meyakinkan dan melalui proses partisipatif, bahwa "ini milik Anda, bukan milik saya atau milik pemerin-tah pusat" artinya manfaat atau keluar-an ykeluar-ang dihasilkkeluar-an setiap lokakarya yang akan memiliki kepentingan adalah daerah sendiri. Senantiasa

d i t e k a n k a n b a h w a p e m b a -ngunan/layanan air minum dan sani-tasi dasar adalah merupakan urusan wajib yang harus dilakukan oleh dae-rah sebagaimana amanat undang-undang otonomi daerah.

Lambat laun akhirnya mulai dipa-hami oleh sebagian pemangku ke -pentingan daerah dan mereka mulai merasakan manfaat dari acara loka -karya yang mengurai kondisi layanan air minum dan sanitasi dasar dengan segala permasalahannya. Mereka mulai melihat dari sisi manfaatnya, bahwa dengan peta masalah yang dite-mukan menjadi dasar alat justifikasi untuk usulan kegiatan dan program dari dinasnya.

"Lalu, apa nanti peran pusat untuk mengatasi permasalahan sarana tidak berfungsi? Mestinya pemerintah harus bertanggung jawab karena proyek-proyek yang tidak berfungsi itu seba-gian besar proyek yang datangnya dari pusat".

Masih harus tetap diyakinkan, bahwa di era otonomi peran pusat batas, pemerintah pusat hanya ter-batas memberikan bantuan teknis, arahan dan pedoman untuk dijadikan dasar pijak pembangunan di daerah, kalau toh masih ada dukungan pro-gram air minum dan sanitasi hal terse-but bersifat terbatas, porsi besar harus menjadi tanggung jawab daerah.

Fasilitasi pelaksanaan kebijakan pada langkah awal dimaksudkan agar: Pemerintah daerah menemu-kenali isu dan permasalahan pem-bangunan dan layanan AMPL di daerahnya.

Memiliki kepedulian untuk melakukan upaya pemecahan masalahnya.

Memahami dan menerima kebi-jakan nasional AMPL berbasis masyarakat sebagai konsep pen-dekatan.

Menyusun rencana kerja konkrit dalam rangka mengatasi per-masalahan keberlanjutan AMPL.

Melangkah ke Pemikiran Stra te -gik

Hasil pelaksanaan kebijakan pada tahap awal agak sulit untuk diukur dan dipastikan apakah setelah fasilitasi berakhir daerah masih tetap konsisten menindak lanjuti? Inilah pertanyaan keraguan WASPOLA, terlebih laju mutasi pejabat ke dinas lain yang tidak terkait dengan AMPL sangat tinggi. Ada tiga hal penting yang menjadi per-timbangan dalam hal ini, yaitu output

yang mengindikasikan keberlanjutan pasca pendampingan, pendekatan pen-dampingan yang mengindikasikan alih peran dan pilihan kegiatan penguatan kapasitas yang menjawab isu konteks-tual.

Renstra AMPL

Mulai tahun 2005 fasilitasi pelak-sanaan kebijakan menetapkan ter-susunnya rencana strategis pemba-ngunan AMPL (Renstra AMPL) daerah menjadi salah satu keluaran utama dari serangkaian penguatan kapasitas. Renstra AMPL dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengarahkan peren-canaan AMPL dapat tertuang dalam RPJMD. Pokok-pokok kebijakan dan program selanjutnya dijadikan acuan m a s i n g - m a s i n g S K P D d a l a m penyusunan rencana kerja.

Bagi daerah yang telah menyusun Renstra SKPD terkait AMPL, Renstra AMPL dijadikan acuan dalam melakukan review terhadap Renstra SKPD. WASPOLA mengenalkan pen-dekatan penyusunan renstra dengan proses partisipatif yang melibatkan seluruh elemen sejak lokakarya identi-fikasi isu dan permasalahan AMPL, kajian keberhasilan dan kegagalan proyek AMPL, proses penyiapan/draf renstra, lokakarya finalisasi renstra, dialog publik sampai dengan kerangka regulasinya.

Pendekatan Fasilitasi

Dari tahun 2004 sampai dengan berakhirnya WASPOLA-2 tahun 2009, pendekatan fasilitasi mengalami

L

A P O R A N

U

T A M A

17

Percik

(20)

pergeseran strategi dari penanganan langsung di tingkat kabupaten berubah berbasis provinsi dan pada akhirnya pendekatan fasilitasi provinsi berbasis

demand. Cara ini ditempuh dengan pertimbangan strategik bahwa jumlah kabupaten di Indonesia banyak dan tidak sebanding dengan tenaga fasilita-tor dari pusat.

Tesis yang digunakan adalah bahwa provinsi pada dasarnya meru-pakan kepanjangan pusat, dengan memperkuat provinsi maka provinsi akan dapat menggantikan peran pusat.

B e r d a s a r k e m a n d i r i a n d a n prakarsanya mereka melakukan pengembangan daerah dalam pelak-sanaan kebijakan di daerahnya.

Tesis ini terbukti berjalan, setidak-t i d a k n y a m e n j e l a n g W A S P O L A berakhir justru provinsi mulai mengembangkan sayapnya dengan menambah daerah layanan fasilitasi kebijakan di kabupaten lain di wilayah-nya, demikian pula demand untuk penguatan kapasitas tematik juga meningkat.

Penguatan Kapasitas

Tema penguatan kapasitas untuk peningkatan pemahaman kebijakan dan pengetahuan metodologi pelak-sanaan pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat, dan pendampingan penyusunan rencana kerja mulai diarusutamakan untuk memastikan AMPL berada dalam salah satu priori-tas. Kerangka strategis penguatan ka-pasitas ini digambarkan pada bagan di samping.

Bagaikan Bongkar Pasang Puzzle Tidak segampang teori dan ucapan, tantangan dan kendala yang menjadi Pekerjaan Rumah WASPOLA dan harus disikapi secara arif antara lain:

Pergantian pimpinan daerah dan pejabat teknis di lingkungan dinas teknis di daerah

Iklim politik sangat dinamis di daerah, suksesi pimpinan daerah juga mempengaruhi tingkat intensitas per-hatian terhadap kegiatan pelaksanaan kebijakan. Tidak jarang ditemui sela-ma proses fasilitasi para Kepala Bappeda mengalami pergantian lebih tiga kali, bahkan di provinsi Sulawesi Tenggara mengalami pergantian sebanyak 4 kali, artinya upaya untuk memperkenalkan kembali kebijakan nasional dan pelaksanaan kebijakan harus dilakukan sebanyak 4 kali oleh Pokja AMPL dan WASPOLA. Dampak nyata dari pergantian ini adalah fluk-tuasi ketersediaan alokasi dana opera-sional Pokja AMPL daerah.

Pergantian anggota kelompok kerja AMPL akibat pindah tugas kare-na mutasi jabatan

Mutasi jabatan merupakan isu nasional dan fenomena nyata, hal ini diluar jangkauan WASPOLA. Namun demikian kondisi ini sangat mempe-ngaruhi kinerja Pokja AMPL. Sebagian besar anggota pokja AMPL yang telah mendapatkan pelatihan mengenai pelaksanaan kebijakan telah pindah tugas. Pengganti yang mengisi posisi

L

A P O R A N

U

T A M A

18

Percik

Gambar

tabel di bawah ini. Michel Camdesus

Referensi

Dokumen terkait

Kepala TK yang melakukan semua perencanaan ini harus sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan serta memiliki kesepakatan dan kerjasama dengan yayasan, agar bisa

[r]

Sebagian perempuan bahkan tak menyadari betapa terikatnya atau betapa cintanya sampai2 mrk merasakan sentakan saat pasangannya tidak ada. Kita terbiasa menganggap kerinduan

In case of the problematic students, negative emotions often affect students’ thoughts. Negative emotions can stimulate students’ cognitive ability. For example, when a

[r]

Kanak­kanak  lebih  mudah  mempelajari  bahasa  asing  berbanding  mereka  yang

Berdasarkan hasil penelitian pada peserta didik kelas IIIA Sekolah Dasar Negeri 29 Pontianak Kota dengan materi menulis karangan yang diajarkan dengan dengan

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) 2 telah dilaksanakan praktikan di SMK Masehi PSAK Ambarawa yang terletak di Jalan Pemuda No. Banyak kegiatan yang telah dilakukan