• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAUM MUDA DAN KARYA MUSIK DEWASA INI

H. Isi Evangelisasi Baru

Pertama-tama yang perlu ditegaskan bahwa evangelisasi selalu berpusat pada Kristus, memberitakan keselamatan dan pembebasan hingga dapat membawa kepada sikap pertobatan (EN 31, 34). Ditegaskan kembali oleh Paus Paulus VI “Bagi Gereja, evangelisasi berarti membawa Kabar Gembira ke dalam semua lapisan umat manusia, dan melalui pengaruhnya mengubah umat manusia dari dalam dan memperbaharuinya...” (EN 18). Evangelisasi baru memiliki hubungan erat juga dengan sendi kehidupan dan hubungan antar umat beriman dalam masyarakat. Oleh karena inilah maka evangelisasi tidak cukup hanya berbicara akan suatu hal yang ilahi saja namun aspek dalam kehidupan nyata umat manusia harus diikut-sertakan, dan berkaitan dengan ini ada beberapa unsur pokok yang menjadi isi dalam evangelisasi sebagai berikut:

o Kesaksian langsung yang dapat dilihat dalam praktek evangelisasi ialah dalam pewartaan Injil. Memberikan kesaksian bahwa dalam sabdaNya yang menjadi daging, Allah telah menciptakan semua hal dan telah memanggil umat manusia ke

dalam hidup kekal (EN 26). Allah sebagai Bapa mengasihi semua orang. Allah adalah Cinta Kasih yang memelihara semua orang, menghendaki agar mereka semua merupakan satu keluarga dan saling menghadapi dalam sikap persaudaraan (GS 2, 24). Evangelisasi mewartakan tentang kasih persaudaraan terhadap semua orang terhadap tentang kemampuan untuk memberikan dan mengampuni dan tanda-tanda yang menghadirkan Kristus sebagai Sakramen (EN 28). Ditegaskan lagi oleh Mgr. Suharyo, Pr, bahwa “Evangelisasi baru dapat berkembang kalau orang-orang beriman baik secara pribadi maupun bersama dalam Gereja secara keseluruhan mampu memberi kesaksian tentang pengalaman akan Allah yang membuahkan kegembiraan dan keselamatan umat manusia” (Komkat KWI, 1995: 62).

o Evangelisasi berpusat pada pewartaan Kerajaan Allah atau dengan kata lain pusat pewartaan dalam evangelisasi adalah Yesus Kristus dengan segala wujud pengalaman kemanusiaanNya di dunia. Gereja berperan, dan perannya yaitu membantu ziarah pertobatan umat manusia menuju rencana Allah melalui kesaksian, mengusahakan kemajuan manusia, warta pembebasan dan perdamaian sebagai komitmen demi realitas-realitas transenden untuk keselamatan eskatologis (RN 20). Evangelisasi memperhitungkan interaksi yang terus menerus antara Injil dan Hidup manusia yang konkret, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial (EN 29). Ditegaskan lagi oleh Heryatno (1994: 22-32) bahwa “Gereja sungguh mewartakan Injil bila evangelisasi yang dilakukan berpusat pada kebutuhan penyempurnaan manusia lebih-lebih mereka yang tertindas dan miskin, sehingga dialog hidup dengan kondisi aktual yang dihadapi orang-orang miskin dan tertindas menjadi medan komunikasi iman dan komunikasi perjuangan

hidup”. Oleh sebab inilah maka evangelisasi merangkum warta yang menyerukan nilai-nilai cinta kasih dan menjunjung kemajuan, martabat kehidupan manusia, sebagai warta pembebasan. Pembebasan tersebut tidak hanya sebatas dimensi yang bersifat ekonomis, politis, sosial dan budaya melainkan mencakup seluruh manusia dalam segala segi, selaras dan mencakup keterbukaan terhadap Yang Mutlak, bahkan terhadap yang Ilahi (EN 33 ).

o Evangelisasi dewasa ini juga memuat dimensi dialog dengan agama-agama lain, karena evangelisasi tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan dialog itu sediri. Dialog dengan agama lain merupakan sebuah karya kesaksian untuk menghadirkan kasih keselamatan Kristus kepada semua orang (RN 55). Begitu juga evangelisasi baru dapat mendorong kepada kegiatan ekumene yang mendasar tentang kesaksian yang harmonis tentang Kristus, dengan itu maka dipupuk kerukunan dalam keberagaman antar anggota Gereja dan komunitas Gereja (RN 50). Dalam hal ini Gereja dituntut pula untuk menhadiran kesaksian mengenai keterbukaan dengan agama-agama lain. Dimensi dialog juga menghadirkan suasana evangelisasi dalam persaudaraan di tengah pluraritas yang ada. Seperti yang diungkapkan Adisusanto, (2000: 31) bahwa “evangelisasi harus membawa Gereja keluar dari dirinya sendiri, sejauh mengabdi kemanusiaan dan membawa orang serta segala sesuatu ke warta keselamatan. Evangelisasi bukan usaha memperbaiki nama baik Gereja yang mungkin telah tercemar dan juga bukan propaganda untuk memperoleh anggota baru”. Memang dalam hal ini evangelisasi terlebih dahulu harus mencari essensi iman Kristiani dan pengungkapannya sehingga mampu menyapa setiap orang dalam masing-masing latar belakang kebudayaan yang ada zaman sekarang.

I. Metode Evangelisasi Baru

Sinode Para Uskup tahun 1974 telah menghasilkan warna baru dalam evangelisasi. Dalam jangka waktu yang cukup lama, evangelisasi hanya dianggap sebagai tugas Gereja di tanah-tanah misi, namun sekarang dinyatakan sebagai tugas perutusan Gereja (Adisusanto, 2000: 28), dengan kata lain, setiap umat beriman Kristiani telah mendapat warisan perutusan dalam evangelisasi. Kemudian ditegaskan lagi oleh Paus Paulus VI dalam kutipan pada EN 14:

Sungguh menggembirakan dan membawa penghiburan, bahwa pada akhir sidang yang besar di tahun 1974 itu kita mendengar kata-kata yang gemilang ini; “kami ingin menegaskan sekali lagi bahwa tugas mewartakan Injil kepada segala bangsa merupakan tugas hakiki Gereja”. Tugas dan misi ini makin mendesak dalam masyarakat yang dewasa ini mengalami perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam. Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat serta panggilan yang sebenarnya, identitas Gereja yang paling mendalam.

Perlu diakui dan seharusnya menjadi semangat umat beriman Kristiani bahwa “mewartakan Injil merupakan identitas Gereja yang paling mendalam”. Bukan tidak mungkin lagi bagi setiap orang untuk mampu mewujudkan identitas tersebut serta menjadikannya kebanggaan tersendiri.

Berawal dengan terlebih dahulu menjadikan evangelisasi sebagai identitas diri (identitas Gereja) maka dari sinilah beranjak sebuah kreativitas dalam mewujudkan Kabar Gembira di tengah umat beriman bahkan kepada semua orang-orang. Evangelisasi baru yang telah diutarakan sebelumnya juga memuat berbagai kebaharuan, yaitu kebaharuan semangat, ungkapan dan terutama metodenya. Pembaharuan tersebut terletak dimana wajah Injil mampu menyapa setiap orang zaman sekarang dari dalam dan memperbaharuinya baik melalui semangat Injil, ungkapan maupun metode yang digunakan untuk mewartakan Injil tersebut. Bagi Gereja sarana untuk mewartakan Injil adalah kesaksian hidup Kristen yang otentik

(EN 41). Sebuah kesaksian hidup yang otentik mengartikan sebuah pengalaman asli yang dimiliki umat Kristen yang dimaknai dalam terang injili, karena “Tidak seorang pun dapat mencapai seluruh kebenaran melulu bersadasarkan suatu pengalaman perorangan yang sederhana, maksudnya: tanpa penjelasan yang memadai tentang amanat Kristus, ‘jalan, dan kebenaran, dan kehidupan’ (Yoh 14:6).

Melalui kesaksian hidup yang otentik ini pula Gereja menghadirkan hidupnya bersama Kristus untuk memperbaharui dalam diri manusia. Metode evangelisasi yang ditawarkan akhirnya selalu berkaitan dengan kesaksian hidup dimana hubungan baik langsung maupun tidak langsung akan memberi warna tersendiri di dalamnya. Kesaksian merupakan kegiatan yang memuat unsur komunikasi. Di dalam komunikasi ada dua jenis, yaitu komunikasi obyektif dan komunikasi eksistensial. Komunikasi obyektif berarti proses manusia berdialog dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat secara keseluruhan dengan pribadinya. Sedangkan komunikasi eksistensial adalah proses berdialog dari pribadi manusia dengan sebuah kebenaran personal yang bersifat trasendental.

Hal itu dapat dapat dikatakan bahwa kesaksian hidup dari evangelisasi baru ini haruslah pula mengantar manusia pada komunikasi eksistensial, dimana orang tersapa hatinya untuk sampai pada pertobatan hati akan makna kerahiman Allah.

Dunia saat ini adalah dunia yang semakin mengarah pada peradaban semu, sebab dimana-mana identitas asli manusia yaitu komunikasi lewat kata-kata sedikit banyak telah tergantikan dengan peradaban simbol atau lambang (Iswarahadi, 2007). Tidak menutup kemungkinan bahwa zaman simbol dan lambang ini dapat membawa dampak negatif dan positif bagi siapa saja. Misalnya saja hal negatif yang

ditimbulkan karena ini ialah semakin berkurangnya budaya komunikasi antarpersonal secara langung dan lebih-lebih dalam keseharian bahasa pengungkapan setiap negara dan daerah-daerah. Ketika berbicara mengenai evangelisasi, peradaban simbol atau lambang lebih-lebih dilihat dari segi positif. Namun dengan tegas Paus Paulus VI menyampaikan, “hal tersebut haruslah mendorong evangelisasi menuju kepada kebaharuan untuk mempergunakan sarana-sarana modern, yang telah dihasilkan oleh peradaban sekarang ini untuk menyampaikan Injil (EN 42). Dalam peradaban yang lebih memainkan peran lambang atau simbol ini sangat mendukung model-model atau metode dalam cara penyampaian atau penyajian evangelisasi baru dan juga dalam katekese, karena dalam hal ini, proses katekese pun lebih banyak menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang. Tidak perlu melihat terlalu jauh mengenai katekese dan evangelisasi. Menurut faham Gereja zaman sekarang dan sesuai dengan Ajakan Apostolik Evangelii Nuntiandi ( EN 18), evangelisasi meliputi seluruh pewartaan dan kesaksian Gereja tentang Kabar Gembira, dan dalam arti ini katekese merupakan salah satu bentuk evangelisasi (Adisusanto, 2000: 33).