• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karya musik daerah sebagai usaha pengembangan evangelisasi baru bagi kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Karya musik daerah sebagai usaha pengembangan evangelisasi baru bagi kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak - USD Repository"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

EVANGELISASI BARU BAGI KAUM MUDA DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Disusun oleh:

John Ariyo Putra NIM: 041124015

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada

orang yang sangat aku cintai, kedua orang tuaku dan adik-adikku: Ayah dan Ibu, Eriya, Wiro serta Adhe Panudi

dari mereka aku belajar mencintai dan dicintai, dari mereka aku belajar tentang kerasnya hidup, dari mereka aku belajar pantang menyerah dalam hidup,

(5)

v MOTTO

“Untuk terus maju, kadang-kadang cahaya terbaik bagi perjalanan itu mungkin saja berupa hasil dari pengurungan niat”.

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “KARYA MUSIK DAERAH SEBAGAI USAHA PENGEMBANGAN EVANGELISASI BARU BAGI KAUM MUDA DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK”. Penulis memilih judul ini didasari oleh suatu keinginan untuk menyumbangkan metode evangelisasi baru melalui karya musik daerah kepada Keuskupan Agung Pontianak. Selain itu penulis juga merasa sudah waktunya kaum muda bergerak berangkat dari tradisi kebudayaan dan kesenian daerah menuju kematangan iman di tengah kemajuan zaman yang semakin modern. Bertitik tolak pada alasan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para pewarta untuk mewartakan Kabar Baik sekaligus usaha pendekatan terhadap kaum muda.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana evangelisasi baru dapat terjadi terhadap kaum muda melalui karya musik daerah. Dalam pengkajian masalah ini diperlukan data yang berkaitan langsung dengan judul sebagai sumber bahasan utama dan penulis menggunakan metode analisis interpretatif dan studi pustaka. Di samping itu wawancara juga digunakan dalam usaha mendapatkan data yang berkaitan dengan kaum muda, karya musik daerah dan evangelisasi serta tradisi kesenian yang ada di Keuskupan Agung Pontianak agar memperoreh gagasan yang penting dalam tulisan ini. Data yang telah didapatkan ini akan dipergunakan sebagai acuan sekaligus melihat peluang untuk dilaksanakannya pewartaan melalui karya musik daerah atau musik inkuturasi.

(9)

ix ABSTRACT

The title of this thesis is “TRADITIONAL MUSIC AS AN CONTRIBUTION FOR DEVELOPMENT OF NEW EVANGELIZATION FOR THE YOUTH IN ARCHDIOCESE OF PONTIANAK”. The writer chose the title based on a concern to contribute an evangelization method by means of traditional music for the Archdiocese of Pontianak. Beside this, the writer also felt that it is high time for youth to enrich the maturity of faith based on the tradition of the native culture and art in the midst of modern world. Therefore, the thesis is meant to help catechists in proclaiming the Good News as well as their approach to the youth.

The main problem of the thesis concerns about how the new evangelization can be implemented into the youth by means of traditional music. In examining the problem, the writer used the methods of interpretative analysis and bibliographical study. The writer also used the interview method to gather some data implementation youth, about traditional music and evangelization, as well as about traditional art that is present in the Archdiocese of Pontianak in order to gain some important ideas for this writing. The data are used as reference of this thesis and at once to see the chances upon evangelization by means of traditional and inculturated music.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Dengan segenap hormat dan kerendahan hati, penulis menghaturkan segala puji dan syukur yang tiada terkira kepada Yesus Kristus, Sang Cinta yang memberi cintaNya tanpa henti karena rahmat dan kasih-Nya telah memampukan penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul KARYA MUSIK DAERAH SEBAGAI USAHA PENGEMBANGAN EVANGELISASI BARU BAGI KAUM MUDA DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK.

Penulis mengakui ketika awal menulis skripsi ini banyak hal suka duka yang dilalui. Kesulitan yang sangat terasa ketika penulis mengumpulkan sumber-sumber data, namun karena kecintaan terhadap musik serta ide-ide dan usulan-usulan cemerlang dari berbagai pihak terutama Dosen Pembimbing Skripsi, akhirnya kesulitan itu tidak berarti apa-apa. Memang tidak banyak seluk-beluk yang penulis ketahui tentang musik, namun karena cinta dan perjuangan keras sedikit demi sedikit penulis juga tahu mengenai musik. Namun di balik semua itu penulis sangat menyadari bahwa nuansa studi kateketik yang penulis jalani selama empat tahun setengah ini pun sungguh merasuk ke dalam pribadi penulis. Penulis merasa studi kateketik ini merupakan dasar untuk mengembangkan ilmu-ilmu lainnya termasuk ilmu-ilmu yang tidak terumuskan dalam kurikulum.

(11)

xi

daerah tersebut berguna bagi kaum muda Gereja, selain sebagai barang komersial. Langkah awal penulis untuk menanggapi keprihatinan tersebut yaitu dengan menulis skripsi tentang karya musik daerah. Pusat Musik Liturgi Yogyakarta (PML) telah memulai memanfaatkan peluang terhadap adanya media pewartaan dalam budaya setempat yaitu karya musik, mengapa tidak penulis maupun siapa saja yang dapat melanjutkan karya tersebut dengan caranya masing-masing.

Pergulatan penulis selama kurang lebih lima tahun studi di kampus IPPAK tercinta ini telah memampukan penulis untuk melihat dunia secara lebih luas lagi. Dari sisi ilmu, tak terbilang ilmu yang penulis peroleh, tak terbilang cinta dan perhatian yang penulis alami baik selama studi maupun saat penyusunan skripsi. Penulis merasa dengan menulis skripsi ini berarti inilah equilibrium dari semua ilmu yang didapat baik formal maupun non formal dan sekaligus awal untuk menapaki lembar-lembar kosong yang harus penulis isi dalam lembaran hidup ini. Sebagai ungkapan yang tiada berarti apa-apa dibandingkan cinta yang telah penulis dapatkan, izinkanlah penulis haturkan rasa syukur dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mengembangkan penulis:

1. Romo Karl-Edmund Prier, S.J., Lic.Phil., selaku dosen pembimbing utama yang senantiasa memberikan perhatian, semangat, menyediakan waktu khusus, mengusulkan ide-ide dan saran-saran serta membimbing penulis selama proses pengerjaan skripsi ini hingga selesai.

(12)

xii

3. Bapak P. Banyu Dewa HS., S.Ag., M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak perhatian dan pendampingan bagi penulis selama proses studi yang penulis jalani di kampus ini maupun saat penulis menyusun skripsi.

4. Romo Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J., selaku Kaprodi IPPAK yang selalu memberi dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Namun lebih daripada itu, terima kasih karena telah menjadi sosok yang demikian dekat dan berarti, layaknya orang tua bagi penulis. Terima kasih untuk semua kesempatan, bimbingan, perhatian, serta kepercayaan yang Romo berikan sehingga penulis dapat menjadi seperti sekarang ini.

5. Segenap staf dosen, sekretariat dan perpustakaan, karyawan piket dan parkir Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah begitu melimpahi penulis dengan ilmu, perhatian, dukungan, bimbingan serta senyuman yang selalu menguatkan penulis menjalani proses studi di kampus ini.

6. Sahabat-sahabat mahasiswa, terkhusus angkatan 2004. Kita telah melalui pahit getir selama studi di IPPAK, bersama jatuh dan bersama bernyanyi, bersama tertawa dan bersama terluka. Jadikan ini sebagai kenangan terindah yang takkan pernah terlupakan sampai kita tua nanti hingga kita terlahir kembali di suatu saat. Terima kasih atas warna-warni indah yang kalian berikan dalam hidup penulis. Selamanya akan penulis simpan sebagai kenangan terindah yang menghiasi taman hati penulis. Sampai jumpa di lain kesempatan.

(13)

xiii

mengingatkan bahwa terdapat satu masa di mana kita bernyanyi bersama melantunkan ungkapan syukur yang melimpah kepada-Nya.

8. Teman-teman kos V’Men yang pernah penulis kenal. Terima kasih untuk semua kebersamaan yang telah dilalui bersama, penulis tidak akan mampu menjalani semuanya tanpa bantuan dan kehadiran teman-teman kos V’Men. Segenap canda dan tawa, suka dan duka sangat menguatkan bagi penulis. Semoga hidup mempertemukan kita lagi dalam satu kesempatan.

9. Yasinta yang selalu memberi dorongan serta semangat untuk menyelesaikan skripsi ini secepatnya, menjadi editor penulis secara langsung. Penulis mengakui peranannya sangat besar dalam proses penulisan skripsi ini karena tanpa dia dan tanpa semangatnya kemungkinan besar penulis akan selalu bermalas-malasan di kos. 10.Keluarga penulis yang sangat penulis cintai, andai terdapat kata yang mampu melukiskan betapa kalian sungguh berarti dalam hidup penulis, karena dari kalian semuanya berawal dan kepada kalianlah penulis akan selalu terinspirasi.

11.Seluruh staf Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan not angka dalam bentuk komputerisasi.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini telah menjadi bagian berarti dalam hidup penulis serta memampukan penulis menyelesaikan studi ini.

(14)
(15)

xv DAFTAR ISI

JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………. iv

MOTTO ………... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……… vii

ABSTRAK ……….. viii

ABSTRACT ……… ix

KATA PENGANTAR ……… x

DAFTAR ISI ………... xv

DAFTAR SINGKATAN ……… xix

BAB I. PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Rumusan Masalah ……… 11

C. Tujuan Penulisan ………. 11

D. Manfaat Penulisan………... 11

E. Metode Penulisan ………... 12

F. Sistematika Penulisan ………... 12

BAB II. KAUM MUDA DAN KARYA MUSIK DEWASA INI ... 14

A. Kesadaran Diri Gereja sebagai Umat Allah dalam Dokumen Lumen Gentium ………... 14

B. Gambaran Umum Kaum Muda ……… 18

1. Ciri-ciri kaum muda ………... 20

a. Segi biologis ………. 21

b. Segi psikologis ………... 22

(16)

xvi Evangelii Nuntiandi ………. 48

K. Kebudayaan dan Iman Memiliki Pengaruh Terhadap Evangelisasi: Sebuah Tinjauan Kritis John Mansford Prior …… 51

BAB III. EVANGELISASI BARU MELALUI KARYA MUSIK DAERAH ………... 56

A. Evangelisasi dalam Karya Musik Daerah Merupakan Sebuah Usaha Dialog ………... 56

B. Evangelisasi Baru Dilakukan Di Keuskupan Agung Pontianak dan Tantangan yang Dihadapi ………... 61

1. Motivator yang memberdayakan ………... 61

2. Pintu masuk evangelisasi melalui kebudayaan ……….. 63

(17)

xvii

C. Karya Musik Daerah Sebagai Pintu Masuk Dalam Evangelisasi 67

1. Peluang evangelisasi ……….. 67

2. Realitas dan harapan dalam evangelisasi ………... 69

D. Contoh Karya Musik Dan Analisisnya ……… 72

1. Aspek-aspek lagu yang akan dianalisis ………. 73

a. Musik ………... 73

b. Syair ………... 74

c. Musik sebagai evangelisasi …………... 75

2. Analisis Karya Musik ………... 78

a. Musik asli ……… 78

1) Penjelasan judul lagu ………... 81

2) Musik ………. 81

3) Syair ………... 82

4) Musik sebagai evangelisasi ………... 84

b. Musik pop ……… 84

1) Penjelasan judul lagu ………. 86

2) Musik ………. 87

3) Syair ………... 88

4) Musik sebagai evangelisasi ………... 89

c. Musik Inkulturasi Gerejani ………... 90

1) Penjelasan judul lagu ………. 91

2) Musik ………. 92

3) Syair ………... 93

4) Musik sebagai evangelisasi ………... 94

E. Contoh Katekese Melalui Karya Musik Daerah ……… 95

1. Contoh katekese ………. 95

2. Identitas ………. 95

3. Pemikiran dasar ………. 97

4. Pengembangan langkah-langkah ……… 98

(18)

xviii

BAB IV. PENUTUP ……… 109

A. Kesimpulan ………... 110

B. Saran/ Usulan ... 112

DAFTAR PUSTAKA ………... 115

LAMPIRAN Lampiran 1: Hasil Wawancara 1 ... (1)

Lampiran 2: Hasil Wawancara 2 ... (2)

Lampiran 3: Hasil Wawancara 3 ... (3)

Lampiran 4: Surat Permohonan Data Kaum Muda ... (4)

Lampiran 5: Lampiran Surat Permohonan ... (5)

Lampiran 6: Hasil Wawancara 4 ... (6)

Lampiran 7: Hasil Wawancara 5 ... (7)

Lampiran 8: Hasil Wawancara 6 ... (8)

Lampiran 9: Hasil Wawancara 7 ... (9)

Lampiran 10: Hasil Wawancara 8 ... (10)

(19)

xix

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/ 1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7 Desember 1965.

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi, 18 November 1965.

EN : Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik Paus Paulus VI tentang Evangelisasi dalam Dunia Modern, 8 Desember 1975.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam dunia Modern, 7 Desember 1965.

(20)

xx

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964.

RN : Rerum Novarum, Ensiklik Paus Leo XIII mengenai kondisi kelas kerja, Mei 1891.

SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1963.

C. Singkatan Lain

Bdk : Bandingkan

CU : Credit Union

Dkk : Dan kawan-kawan

GD-F : Generasi Dayak Foundation, komunitas yang bergerak di bidang pengumpulan dan penyaluran bantuan terhadap anak-anak miskin di Ketapang, Kalimantan Barat.

GKE : Gereja Kristen Evangeli

GNOTA : Gerakan Nasional Orang Tua Asuh

IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Pendidikan Agama Katolik

KAP : Keuskupan Agung Pontianak Komkat : Komisi Kateketik

Komkep : Komisi Kepemudaan Komsos : Komisi Sosial

(21)

xxi

MM : Maelzel Metronome, alat pengukur kecepatan (tempo) OMK : Orang Muda Katolik

PIA : Pembinaan Iman Anak PIOD : Pembinaan Iman Orang Dewasa PIR : Pembinaan Iman Remaja

PKPKM : Pedoman Karya Patoral Kaum Muda PML : Pusat Musik Liturgi

SAV : Studio Audio Visual

SCP : Shared Christian Praxis, metode dalam berketekese STFT : Sekolah Tinggi Filsafat Teologi

STKAT : Sekolah Tinggi Kateketik UGM : Universitas Gajah Mada UNY : Universitas Negeri Yogyakarta USD : Universitas Sanata Dharma

(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjelang abad-21 perkembangan dunia bergerak sangat cepat, baik di

bidang teknologi, ilmu pengetahuan, struktur masyarakat dunia, kebudayaan maupun

paradigma-paradigma baru dalam memandang dunia. Perubahan-perubahan inilah

yang lama-kelamaan memicu munculnya tema-tema dalam kehidupan seputar

masalah keadilan, hak asasi manusia, kemerdekaan, demokrasi, emansipasi,

solidaritas, lingkungan dan pluralitas. Hal ini merupakan sebuah tanda bahwa adanya

hubungan timbal balik antara manusia dengan manusia dan manusia dengan

lingkungannya. Di sisi lain manusia sadar bahwa selain adanya hubungan dirinya

dengan sesamanya dan makhluk hidup beserta lingkungan sekitarnya, ada hubungan

manusia dengan Yang Ilahi. Dalam hubungan yang satu ini terkadang kurang

disadarinya karena terkalahkan oleh permasalahan di seputar kehidupan manusia.

Sejak zaman para nabi, zaman Yesus Kristus dan diteruskan hingga sekarang telah

diusahakan dalam pewartaan yaitu membuka jalan pada manusia dalam hubungannya

dengan Sang Pencipta.

Beranjak lebih jauh lagi bahwa pewartaan bukanlah seperti yang

dimaksudkan demikian: pewartaan selalu berhubungan dengan yang rohani, berbicara

tentang masalah surga, semua perkataan yang selalu berhubungan dengan yang ilahi,

pewartaan lebih-lebih merupakan pengungkapan iman secara konkret dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini karya Roh lebih diutamakan dibandingkan

dengan karya manusia itu sendiri. Apa itu karya Roh dan apa itu karya manusia?

(23)

harus dimiliki dan diwujudkan bersama sedangkan karya manusia berupa suatu

tindakan untuk mewujudkan karya Roh. Tidak mungkin karya manusia terjadi tanpa

karya Roh namun karya Roh dapat terwujud dalam diri manusia yang berkehendak

baik serta menyerahkan diri seutuhnya kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu

penerangan dan dorongan Roh Kudus dibutuhkan baik dalam si pewarta maupun

dalam orang yang mendengarkan Injil (Gal 1:9). Berpangkal dari 2 Kor 4:5, St.

Paulus menyebutkan “Bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus

sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus”. Segala

perhatian diarahkan kepada Kristus, khususnya kepada tindakan penyelamatan Allah

dalam Kristus. Berbicara dalam konteks ini, mewartakan berarti membawakan orang

kehadapan peristiwa keselamatan Allah sendiri. Artinya orang-orang yang mau dan

tergerak untuk ‘dibawa’ dalam keselamatan Allah dengan sendirinya akan mengalami

suka cita yang menjadi cita-cita dalam jemaat bersama sejak jemaat perdana

terbentuk yaitu damai sejahtera hadir dan menyelimuti orang-orang yang percaya.

“Paulus memiliki keyakinan bahwa manusia diselamatkan hanya karena iman kepada

Yesus Kristus” (Gal 2:6).

1. Evangelisasi

Evangelisasi tidak dapat dimengerti dengan hanya menyebut satu kata:

evangelisasi berarti pewartaan. Evangelisasi dimengerti dengan beranjak dari

kenyataan bahwa karya-karya dari evangelisasi haruslah nampak terlebih dahulu dan

setelah itu dapat dinamakan evangelisasi (Jacobs, 1992: 108). Memang dapat

dimengerti juga bahwa evangelisasi berarti pewartaan, namun pewartaan yang

(24)

Evangelisasi merupakan suatu upaya bersama sebagai orang beriman

untuk menyalurkan pengalaman imannya kepada masyarakat di sekitarnya dalam

terang Roh Kudus. Oleh karena itu evangelisasi merupakan suatu bentuk kesaksian

hidup. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa kesaksian merupakan tugas perutusan

Kristiani. Kesaksian ini mengisyaratkan integrasi dari berbagai aspek kehidupan,

keluarga, dan persekutuan umat Gereja (EN 41). Kesaksian hidup merupakan aspek

evangelisasi yang paling mendasar dan dari sinilah pergerakan karya evangelisasi

dapat terwujud nyata dalam kehidupan sehari-hari umat beriman. Kesaksian hidup

menuntut pribadi untuk berani keluar dalam dirinya sendiri dan ikut memberikan

kesaksian hidup bagi yang lainnya setelah dirinya menerima suatu kesaksian akan

keselamatan dari Allah.

Jika ditelaah sedikit ke dalam, dalam praxisnya, evangelisasi menuntut

beberapa hal yang bukan hanya berkaitan dengan akibat positif namun akibat negatif

juga dapat terjadi. Akibat negatif bisa saja ditimbulkan karena minimnya atau

sempitnya pengertian/ pemahaman akan evangelisasi tersebut. Misalnya saja ketika

evangelisasi hanya dipahami sebagai misi. Begitu sempitnya sehingga dengan

pemahaman seperti ini segala kegiatan dan tindakan dilakukan juga hanya sebatas

untuk mencapai tujuan tertentu saja yaitu lebih mementingkan kuantitas (Suharso &

Retnoningsih, 2005: 116). Menurut Suharyo, 1995: 58, ada tiga tahap inisiasi ke

dalam iman yang berkaitan dengan evangelisasi yaitu, pra-evangelisasi: usaha

menumbuhkan minat terhadap masalah-masalah hidup dan iman sebagai persiapan

untuk mendengarkan warta kristiani, evangelisasi: merupakan pewartaan iman

kristiani yang dasar, katekese: pengajaran mengenai pokok-pokok iman.

Evangelisasi memang menuntut pengetahuan baik dari sisi pewarta

(25)

memberikan diri masuk lebih dalam lagi dalam evangelisasi; Sakramen Inisiasi

(Pembaptisan, Krisma dan Ekaristi) menawarkan sebuah gerbang indah untuk

memulai hidup baru berdasarkan sabda-sabda dan pengetahuan yang diterima dari

buah-buah evangelisasi. Perlu disadari juga kajian mengenai Umat Allah oleh Konsili

Vatikan II yang dinyatakan, “Umat Allah sangat dipentingkan, khususnya untuk

menekankan bahwa Gereja pertama-tama bukanlah sebuah oraganisasi manusiawi

melainkan perwujudan karya Allah yang konkret” (LG 9 bdk. KWI, 1996: 333).

Kekhususan Umat Allah dalam menanggapi sebuah evangelisasi justru terlihat dari

bagaimana cara memahami sebuah warta keselamatan dengan caranya

masing-masing dan di sini pula letak kekhasannya sebagai Umat Allah yang selalu dihidupi

oleh sabda kehidupan atau sabda keselamatan. Dengan caranya masing-masing dapat

terlihat misalnya dalam kehidupan berkeluarga (bagi yang telah berkeluarga), dalam

kehidupan pertemanan (bagi yang belum berkeluarga), dalam kehidupan biara (bagi

para religius), dan dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya.

2. Kaum muda

Dalam tulisan ini yang menjadi sasaran utama adalah kaum muda di

Keuskupan Agung Pontianak. Mengapa kaum muda? Mengapa kaum muda di

Keuskupan Agung Pontianak? Penulis mengatakan bahwa kaum muda identik dengan

generasi fresh. Dalam kotbahnya pada hari Minggu tanggal 21 November 2006 saat

misa Ekaristi Kaum Muda di gereja St. Antonius Kotabaru, Romo Gandhi, SJ

mengatakan, “Kaum muda adalah tonggak awal bergeraknya Gereja menuju

kedewasaan. Kaum muda diharapkan mampu yang pertama ialah menggerakkan

dirinya sendiri untuk membangun situasi diri sendiri kemudian berani keluar dari

(26)

dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Romo Gandhi tadi dapat dikatakan bahwa

kaum muda benar-benar memiliki andil yang lebih besar terhadap situasi luar yang

melingkupi gerak kaum muda itu sendiri. Berbagai cara yang dilakukan dalam

pendekatan dengan situasi kaum muda dewasa ini misalnya dengan cara camping

rohani, out bond, rekoleksi kaum muda dan sebagainya.

Realitas yang terjadi bahwa kaum muda sendiri yang menggerakan dirinya

dapat terlihat di sebuah desa kecil Taize, di Pegunungan Burgundi beberapa mil dari

garis demarkasi yang membelah Prancis menjadi dua. Kaum muda berdatangan dari

berbagai negara baik perorangan maupun kelompok dengan satu tujuan yaitu ingin

mendapatkan keheningan dan pengalaman baru bersama saudara-saudara dari negara

yang berbeda (Olivier, 2003:107). Kaum muda memiliki harapan untuk memperoleh

sesuatu dengan apa yang dilakukannya dan dengan apa yang diusahakan dengan

sekuat kemampuannya. Sebuah keinginan yang terpendam pasti menuntut sebuah

penyelesaian bahwa harus segera mencapai sesuatu. Keinginan keras inilah yang

mendorong kaum muda dalam usahanya untuk segera melakukan sesuatu dan

memenuhi keinginannya tersebut. Inilah sifat asli kaum muda, yaitu keinginan untuk

terus memandang keluar untuk melihat sebuah kebahagiaan.

Sebuah pertanyaan yang cukup kritis yang dilontarkan oleh Oliver

Clement (2003: 10) dalam bukunya yang berjudul Taize, Mencari Makna Hidup yaitu

“Mengapa setiap tahun beribu-ribu orang muda dari kelima benua terus saja datang

ke Taize, tak kunjung henti mengadakan ziarah, minggu demi minggu”? Dibutuhkan

tanggapan serius untuk menanggapi pertanyaan tersebut. Kaum muda adalah sebuah

sosok ketika dalam masanya selalu memiliki pengharapan dimana pengharapan

(27)

dilakukan oleh kaum muda dan salah satu warna cerah yang terus dihidupi ialah

ketika harus sampai di sebuah desa kecil Taize, Prancis.

Orang-orang muda sangat haus akan yang mutlak. Dan tidak dapat

diragukan, dewasa ini banyak orang muda/ kaum muda mengunjungi biara-biara

walau hanya sekedar ingin tahu kehidupan di dalamnya. Namun dari maksudnya yang

terdalam mungkin ada pertanyaan yang sedikit mengganjal, mengapa? Karena

mereka sedang mencari Allah? Yang mereka temukan di biara-biara terlebih-lebih

adalah rasa misteri, kedamaian, dan kedalaman – segala sesuatu yang tidak terdapat

dalam masyarakat-masyarakat tempat kita hidup (Oliver, 2003: 28). Keinginan kaum

muda dalam masanya memang masih berupa pencarian hidup. Banyak hal yang

ditawarkan baik yang berifat khas duniawi dan fantastis maupun dalam beberapa

yang berurusan dengan kekudusan. Tidak heran apa saja yang dapat dicoba senantiasa

terus dilakukan, dan sekali lagi ini demi memberi warna di masa mudanya serta

dalam pencariannya. Dengan alasan seperti ini jugalah maka penulis memilih kaum

muda sebagai fokus dalam tulisan ini.

3. Musik

Salah satu yang paling dekat dengan kaum muda dan tidak mungkin tidak

ada dari salah satu kaum muda yang mengenalnya yaitu musik. Melalui musik, apa

saja dapat diungkapkan. Berbagai macam perasaan contohnya saja sedih, senang,

marah, benci, sayang, cemburu, bosan, terharu dan sebagainya. Seperti yang

diungkapkan dalam istilah seni pada umumnya bahwa suatu karya seni paling baik

dinilai menurut ukuran atau pertimbangan estetis, yaitu bersifat ekspresif atau tidak

ekspresif, dapat atau tidak dapat menimbulkan emosi estetis para pemirsa (Gie, 1996:

(28)

sisi penghargaan maupun sebuah prestasi hanya merupakan sebuah pendukung sebab

dalam unsur estetis ini mementingkan sebuah ekspresi yang mendalam dari sebuah

estetika sehingga menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetis dan pada akhirnya

sebuah perasaan estetis yang merupakan sebuah emosi dari si penanggap timbul

sebagai sebuah bentuk respon penting untuk memberi penilaian suatu karya seni.

Musik merupakan salah satu unsur yang terdapat pada karya seni. Hampir

semua panca indera memainkan peranan penting di dalamnya. Musik menuntut

tanggapan dari masing-masing bagian panca indera, misalnya dalam penglihatan.

Musik menampilkan seni tentang ruang dimana terdapat cahaya, warna, gerak dan

tarikan garis-garis sebagai mediumnya. Panca indera yang lainnya ialah pendengaran.

Pendengaran ini berkaitan langsung dengan melodi dan syair. Musik menampilkan

suara yang dihasilkan langsung oleh alat-alat yang keberadaan musik tersebut. Dalam

pendengaran ini musik tidak lupa menampilkan kata atau syair. Kata merupakan

bentuk ekspresif langsung dari sebuah nada. Ungkapan berupa kata ini dapat

menunjukan sekaligus mendukung nada dalam menunjukan berbagai karakter

manusia atau situasional berbagai macam peristiwa hidup. Masih dalam lingkup ini

pula, musik memberikan paduan antara penglihatan dan pendengaran. Terciptanya

nada dan gerak merupakan sebuah unsur seni paduan yang memberikan warna baru

untuk sebuah esensi seni yang ekspresif (Gie, 1996: 54-57).

Melihat begitu banyaknya peran musik dalam hidup dengan memberikan

ruang khusus pada diri personal, ada kemungkinan bahwa warna-warni hidup

terbangun karenanya. Kaum muda yang ekspresif akan selalu menghiasi hidupnya

dengan musik. Namun dengan mengatakan seperti ini bukan berarti musik digemari

oleh semua orang terkhusus kaum muda, tidak. Tidak semua dari kaum muda

(29)

menggemari musik untuk bertindak mengambil langkah agar menghindari musik.

Ibarat pepatah para penikmat musik kebanyakan, “hidup tanpa musik adalah hampa”.

Sekedar mengenal ‘kulit luarnya’ saja sudah cukup bagi orang-orang yang tidak

gemar akan musik, apalagi untuk mereka yang menjadikan musik sebagai bagian

hidupnya.

4. Evangelisasi dalam karya musik

Evangelisasi bagi kaum muda melalui musik sebagai pintu masuknya

sangat memungkinkan bahwa Kabar Gembira akan cepat dan mudah ditangkap atau

dipahami. Kaum muda umumnya telah mengenal musik dengan berbagai jenisnya.

Memang perlu diakui bahwa dunia musik telah merambah dimana-dimana hingga ke

pelosok daerah bahkan musik merupakan salah satu adat-istiadat/ kebiasaan

masyarakat setempat dengan peralatan musiknya masing-masing. Contohnya saja di

Kalimantan Barat. Berbagai karya musik telah dihasilkan. Beranjak dari gaya musik

daerah di Kalimantan, para komposer menciptakan lagu-lagu yang kurang lebih

memiliki gaya khas Kalimantan.

Dewasa ini blantika musik daerah telah diwarnai dengan berbagai hasil

ciptaan lagu-lagu yang cukup digemari oleh masyarakat setempat. Inspirasi lirik dari

lagu-lagu daerah tidak jauh dari seputar masalah dan kejadian dalam kehidupan

sehari-hari dan tidak sedikit pula lagu-lagu hasil ciptaan mengangkat adat istiadat

daerah setempat. Oleh karena inilah karya musik daerah merupakan salah satu karya

musik yang digemari. Evangelisasi melalui lagu-lagu daerah merupakan salah satu

cara yang digunakan dalam pendekatan terhadap kaum muda dengan maksud utama

(30)

Evangelisasi dalam pengertian alkitabiah khususnya Perjanjian Baru

dimengerti sebagai Kabar Gembira yang didasarkan pada apa yang dimaksud Paulus

dalam pewartaan tentang Kristus dan rencana keselamatan Allah. Kabar Gembira

dalam Perjanjian Baru erat kaitannya dengan istilah kesaksian, dalam bahasa Yunani

kuno martyria. Dikatakan oleh Jacobs (1992: 108) bahwa kesaksian selalu berarti

pengakuan, dengan itu maka “saksi” mempunyai arti yang khas misioner.

Komposer asal Kalimantan Barat yang telah berkarya kurang lebih sepuluh

tahun, Alpino telah memberikan sebuah kesaksian hidup dalam beberapa karyanya

(mis. Ka’ Patamuan, Ka’ Radio, dan Baru’ Tumalam). Dia juga telah membagikan pengalaman dan pergulatan batinnya dalam menghadapi tantangan dalam dirinya

sendiri maupun tantangan dalam kehidupan bermasyarakat dan selain itu ungkapan

syukur serta permohonan tidak luput dari tema lirik beberapa lagu-lagunya. Misalnya

berikut ini kutipan refren dari salah satu judul lagu yang memiliki tema tentang

penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan dengan judul Jubata:

Ka’ Kita’ Jubata kami bapadah Ka’ Kita Jubata kami bapinta’

Uba’atn barat niti maraga nang manyak rintangan

(PadaMu Tuhan kami mengadu PadaMu Tuhan kami memohon

Memikul beban berat di sepanjang jalan yang banyak rintangan)

Karya musik memang tidak jauh dari pengungkapan oleh apa yang sedang

dirasakan dan ada yang menjadi acuan norma dalam kehidupan sehari-hari, misalnya

pengungkapan rasa bersalah di hadapan Tuhan dan merasa telah berdosa karena

melalaikan kepentingan bersama dan hanya mementingkan kepentingan sendiri dan

(31)

kepada kekasihnya. Kemudian dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sebuah

prosesi kegiatan di ladang dilukiskan dengan sebuah lantunan lagu.

Sebuah kesaksian hidup sangat berarti dan memiliki nilai seni ketika

diungkapkan melalui sebuah lagu. Kesaksian hidup yang memiliki nilai seni

merupakan wujud daya kreativitas manusia yang tidak hanya memandang dari sisi

luar/ harafiahnya saja namun mencoba menggali sejauh mana sebuah kesaksian hidup

dapat terungkapkan dengan memperhatikan nilai-nilai seni yang ada.

Kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak mendapat tempat khusus

dalam tulisan ini. Sebagai salah satu dari kaum muda di Keuskupan Agung

Pontianak, penulis merasa ada suatu hal yang harus dilakukan untuk menyemangati

serta mengembangkan sisi hidup rohaninya. Penulis merasa ini perlu dilakukan

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ialah karena faktor ekonomi, sosial, dan

agama.

Faktor ekonomi menuntut setiap keluarga yang berkekurangan bekerja

keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tingkat pendidikan di Sekolah Dasar

bagi anak-anak terpaksa digantikan dengan kerja keras di ladang/ sawah atau mencari

kerja di luar daerah. Begitu juga yang terjadi pada kaum mudanya. Dalam hal ini

yang terpenting adalah uang dan kebutuhan keluarga, sisi hidup rohani menjadi

terabaikan. Faktor sosial dalam masyarakat mempengaruhi pola hidup orang-orang

tertentu dan menjadi sebuah kebiasaan. Misalnya, pagi hari noreh (mengumpulkan

lateks dari pohon karet), siang hari menjual hasil olahan pada penadah. Pada sore

hingga malam hari hasil dari penjualan karet ini dipergunakan untuk

mabuk-mabukan, sisanya untuk membeli kebutuhan keluarga. Lain hal dengan faktor agama;

disebabkan kekurangan tenaga, Gereja Katolik sering kehilangan anggotanya yang

(32)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kaum muda Keuskupan Agung Pontianak menanggapi karya

musik dewasa ini?

2. Sejauh mana karya musik daerah mengembangkan evangelisasi baru bagi

kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak?

3. Apa relevansi dan peran karya musik daerah terhadap perkembangan

evangelisasi baru dalam Gereja zaman sekarang?

C. Tujuan Penulisan

1. Memberikan gambaran mengenai tanggapan kaum muda secara umum dan

secara khusus kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak tentang karya

musik dewasa ini.

2. Karya musik daerah mengembangkan evangelisasi di Kalimantan Barat sejauh

ada dukungan dari pihak Gereja setempat serta adanya kemauan dan usaha

para pewarta dalam mendukung perkembangan evangelisasi baru.

3. Memaparkan relevansi dan peran karya musik daerah terhadap perkembangan

evangelisasi baru dalam Gereja zaman sekarang.

D. Manfaat Penulisan

1. Menumbuhkan kesadaran baru bagi kaum muda bahwa sebuah karya musik

dapat membantu dalam menumbuh-kembangkan iman kepada Yesus Kristus.

2. Memberikan sumbangan gagasan dan pemikiran serta motivasi bagi para

katekis, hierarki dan para pemimpin umat akan pentingnya sebuah

(33)

3. Bagi penulis sendiri, membangun kesadaran dan paradigma baru mengenai

arti sebuah evangelisasi beserta cara yang dapat digunakan dalam evagelisasi

tersebut.

E. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analitis

interpretatif, serta studi pustaka. Artinya penulis mendasarkan tulisannya pada studi

kepustakaan atau literer, baik melalui tulisan-tulisan ilmiah, berupa buku, majalah

buletin, maupun ajaran-ajaran Gereja serta Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru. Dengan kata lain, penulis mengumpulkan mengolah dan menganalisa, serta

menginterpretasi masalah-masalah sehubungan dengan tema dalam pembahasan

skripsi ini berdasarkan tulisan-tulisan dan teori-teori yang relevan. Selain itu, penulis

juga menggunakan metode wawancara untuk memperoleh data.

F. Sistematika Penulisan

Bab I berisikan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sitematika penulisan.

Bab II berisikan kaum muda dan karya musik dewasa ini, diuraikan dalam

beberapa pokok diantaranya adalah kesadaran diri Gereja sebagai umat Allah dalam

dokumen Lumen Gentium, gambaran umum kaum muda, kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak, karya musik dewasa ini, musik bagi kaum muda, karya musik

daerah Kalimantan Barat; pengertian evangelisasi baru; pengertian umum, pengertian

berdasarkan Kitab Suci, pengertian berdasarkan dokumen Gereja, isi evangelisasi

(34)

Nuntiandi, kebudayaan dan iman memiliki pengaruh terhadap evangelisasi: sebuah tinjauan kritis John Mansford Prior.

Bab III terdapat beberapa pokok penting yang diuraikan dalam bab ini,

yaitu: evangelisasi dalam karya musik daerah merupakan sebuah usaha dialog,

evangelisasi baru dilakukan di Keuskupan Agung Pontianak dan tantangan yang

dihadapi, karya musik daerah sebagai pintu masuk dalam evangelisasi, contoh karya

musik dan analisisnya: aspek-aspek lagu yang dianalisis; analisis karya musik.,

contoh katekese melalui melalui karya musik daerah.

Bab IV merupakan bagian terakhir dalam tulisan ini, penulis akan

memberikan kesimpulan dan saran kepada para katekis dan staf komisi di Keuskupan

Agung Pontianak, sanggar-sanggar seni di Keuskupan Agung Pontianak, dan kaum

(35)

BAB II

KAUM MUDA DAN KARYA MUSIK DEWASA INI

A. Kesadaran Diri Gereja sebagai Umat Allah dalam Dokumen Lumen Gentium Dewasa ini Gereja telah memandang dirinya sebagai sebuah tanda

keselamatan dan sarana untuk mempertemukan umat manusia dengan Allah. Gereja

tidak lagi memandang, jika adanya keselamatan hanya ada di dalamnya namun

Gereja lebih terbuka bahwa keselamatan terjadi jika adanya sebuah pertobatan dan

perubahan cara hidup. Gereja disebut suatu “misteri dan sakramen untuk menandai

kesatuan unsur lahiriah dan rohani, unsur manusiawi dan ilahi, sehingga dapat

menjadi tanda dan sarana untuk mempertemukan manusia dengan Allah dan

mempersatukan umat manusia” (Heuken, 2004: 202).

Hadirnya Gereja dalam sejarah umat manusia tidak lepas dari peran aktif

Yesus Kristus yang ikut menyejarah bersama perkembangan iman dan umat manusia

itu sendiri. Ketika Kristus hadir di dunia dan ikut menyejarah bersama umat manusia,

Dia membangun Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang Ia bangun inilah yang

merupakan pondasi awal berdirinya Gereja. Gereja muncul dan berkembang dengan

disemangati Kerajaan Allah dimana Kristus sendirilah sebagai pribadi hadir di

dalamnya dan Roh Kudus menyatukan serta membimbing perjalanan Gereja menuju

keselamatan umat manusia. Walaupun demikian, keselamatan bukan hanya terjadi

dalam Gereja saja namun keselamatan tetap terjadi sekalipun di luar organisasi

hierarkis Gereja itu sendiri atau dengan kata lain, unsur-unsur pengudusan dan

kebenaran serta keselamatan tetap terjadi dimanapun selain dalam “Gereja Kristus”

(36)

Berbicara mengenai Gereja berarti ikut juga memberikan definisi apa yang

dimaksud dengan “Gereja”. Berikut arti Gereja ditinjau dari sisi asal katanya:

Kata “Gereja” yang berasal dari kata igreja dibawa ke Indonesia oleh para misionaris Portugis. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk kata Latin ecclesia, yang ternyata berasal dari bahasa Yunani, ekklesia. Kata Yunani tersebut sebetulnya berarti ‘kumpulan’ atau ‘pertemuan’ atau ‘rapat’. Namun Gereja atau ekklesia bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Untuk menonjolkan kekhususan itu dipakailah kata asing itu. Kadang-kadang dipakai “jemaat” atau “umat”. Itu tepat juga. Perlu diingat bahwa jemaat ini sangat istimewa. Maka barangkali lebih baik memakai kata “Gereja” saja, yakni ekklesia. Kata Yunani itu berasal dari kata yang berarti ‘memanggil’. Gereja adalah umat yang dipanggil Tuhan. Itulah arti sesungguhnya kata “Gereja” (KWI, 1996: 332).

Dari asal kata inilah dapat diartikan bahwa Gereja merupakan jemaat atau

umat yang terpanggil; terpanggil dalam hal apa? Tentunya dalam karya penyelamatan

yang telah dimulai oleh Yesus Kristus sendiri terhadap umat manusia. Ketika

berbicara mengenai peran, maka dapat dikatakan bahwa “umat-lah” yang memiliki

peran lebih banyak dalam Gereja. Dalam Konsili Vatikan II (LG 9) menyebutkan

bahwa “Umat Allah” sangat dipentingkan, khususnya untuk menekankan bahwa

Gereja bukanlah pertama-tama suatu organisasi manusiawi melainkan perwujudan

karya Allah yang konkret. Inilah bukti bahwa Allah benar-benar mengasihi dan

memanggil umatNya. Memang Gereja dikatakan dengan kata “umat Allah” sedikit

“kabur”, tetapi kata ini dipakai agar Gereja tidak dilihat secara yuridis dan

organisatoris melulu karena Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan

yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham.

Sebuah kalimat, “umat Allah” digunakan untuk melihat bahwa Gereja

tidak hanya dipandang secara yuridis dan organisatoris melulu melainkan Gereja

dipandang sebagai bagian terpenting dari “umat” yang diselamatkan oleh Allah,

(37)

Spes (GS) berkaitan dengan hal ini, Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Dengan demikian

Konsili juga mau menekankan bahwa Gereja “mengalami dirinya sungguh erat

berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (GS 1). Sekaligus jelas pula

ditegaskan lagi bahwa Gereja itu sebenarnya majemuk: “Dari bangsa Yahudi

maupun kaum kafir Allah memanggil suatu bangsa, yang bersatu-padu bukan

menurut daging, melainkan dalam Roh” (LG 9). Konsili Vatikan II melihat Gereja

dalam rangka sejarah keselamatan, tetapi tidaklah berarti bahwa Gereja hanyalah

lanjutan bangsa Israel saja. Ketangan Kristus memberikan arti yang baru kepada umat

Allah.

Seperti yang ditegaskan dalam LG 9 tadi bahwa Gereja itu adalah

majemuk. Tidak memandang dan membedakan bangsa, suku, ras, golongan, bahasa

dan sebagainya. Gereja menyatukan seluruh umatNya dalam suasana “Kegembiraan

dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang sekarang, terutama kaum miskin dan

siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan

kecemasan para murid kristus juga” (GS 1). Inilah yang disebut dengan pergulatan

hidup manusia, dimana manusia mencoba berjuang untuk terus dapat memberi arti

yang lebih baik dalam hidupnya sehingga apa yang diterimanya sejak awal mula

hidup yaitu suatu hidup yang penuh arti haruslah dengan usaha dan kerja keras

berusaha memberi ruang kepada hidup itu agar tetap bermakna.

Manusia dari dulu hingga saat ini terus bergulat dengan hidupnya untuk

menemukan nilai yang sesuai dengan arah hidupnya. Terkadang manusia ingin agar

hidup itu seimbang dengan lingkungan dimana ia berada namun kadang-kadang

lingkungan itu sendiri yang karena kejahilan manusia lainnya akhirnya tidak

(38)

terjadilah suatu hal yang tidak diinginkan; misalnya saja terjadi bencana alam.

Memang, dalam hal ini rahasia batinnya sendiri coba ia selami namun apabila telah

menemukannya terkadang ia menjadi ragu dan kemudia tidak tahu kemana

seharusnya ia harus mengarahkannya. Dalam semua pergulatan inilah sebenarnya

umat Allah itu sendiri sadar akan keberadaannya sebagai makhluk yang universal.

Dimana yang seharusnya menjadi tindakan makhluk universal itu ialah mampu

membentuk tata kenegaraannya, kemasyarakatan dan ekonomi, yang semakin baik

mengabdi manusia, dan membantu masing-masing perorangan maupun setiap

kelompok, untuk menegaskan serta mengembangkan martabatnya sendiri.

Kesadaran diri Gereja sebagai umat Allah dalam hal ini memiliki arti yang

luas dimana Gereja bukanlah lagi menyangkut perorangan namun ketika berbicara

mengenai Gereja berarti melibatkan juga dalam berbicara mengenai dunia, karena

Gereja ada dalam dunia dan Gereja pula bagian dari dunia. Inilah sifat universal

dalam Gereja. Gereja menerima apa yang diberikan oleh dunia padanya dan Gereja

memiliki hak untuk menolak segala bentuk tindak kejahatan yang disebabkan oleh

umat manusia dalam dunia itu sendiri dan Gereja memiliki hak untuk memperbaiki

sisi negatif dalam dunia tersebut.

Gereja sebagai umat Allah yang terpanggil serta terdorong oleh iman

berusaha untuk mengenali setiap peristiwa dalam hidupnya dan tuntutan-tuntutan

serta aspirasi-aspirasi yang dirasakan bersama pada zaman sekarang ini. Mencoba

mengenai isyarat-isyarat sejati kehadiran atau rencana Allah (GS 11). Sedikit demi

sedikit Gereja menyelami arti kehadirannya di tengah-tengah dunia dan zaman

sehingga apa yang dikatakan mengenai Gereja sadar akan kehadirannya di tengah

dunia memiliki peran aktif semakin nyatalah bahwa umat Allah dan bangsa manusia

(39)

Gereja sebagai misi yang bersifat religius dan justru karena itu juga Gereja memiliki

sifat manusiawi.

Sifat manusiawi yang tergambarkan dalam diri Gereja telah muncul sejak

dahulu yaitu katika Yesus mengawali karyaNya dengan mewartakan kabar bahagia,

yakni kedatangan Kerajaan Allah yang sudah berabad-abad lamanya dijanjikan dalam

Alkitab: “Waktunya telah genap, dan Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk 1:15).

Dengan ini pulalah maka Gereja berusaha menampakkan misteri keselamatan yang

ada di dalamnya. Kabar Bahagia inilah yang disebut sebagai wujud dari kehadiran

Kristus bagi umat manusia, maka sangat diharapkan adanya tanggapan dari umat itu

sendiri (LG 5).

B. Gambaran Umum Kaum Muda

Sebutan terhadap kaum muda sebenarnya bukan hanya mengandung arti

bahwa seseorang dalam hitungan umur yang dianggap belum dewasa. Dengan

pengertian seperti ini hanya ketidakjelasan yang memberikan gambaran tentang kaum

muda. Kaum muda disebut sebagai “kaum muda” dalam pengertian berdasarkan umur

yaitu dengan umur yang terbentang dari 15-24 tahun, dalam tahap pertumbuhan fisik

dan perkembangan mental, emosional, sosial, moral serta religius (Shelton, 2000: 57).

Berdasarkan perkembangannya dalam tahap ini, sisi perkembangan yang paling

menonjol ialah diri kaum muda itu sendiri. Ia akan berusaha menunjukan siapa

dirinya dan komunitasnya beserta kemampuan/ keterampilan yang dimiliki.

Seorang penulis yang giat dalam pembinaan kaum muda, Tangdilintin

(2008: 5) dalam pendapatnya, ia menyebutkan istilah kaum muda dengan

(40)

Muda mudi dimaksudkan kelompok umur sexennium ketiga dan keempat dalam hidup manusia (kurang lebih 12-24 tahun). Bagi yang bersekolah, usia ini sesuai dengan usia Sekolah Lanjutan dan Perguruan Tinggi. Ditinjau dari segi sosiologis, seringkali patokan usia di atas perlu dikoreksi dengan unsur status sosial seseorang dalam masyarakat tertentu (sama dengan kedewasaan psikologis). Status sosial yang dimaksudkan ialah hak dan tugas orang dewasa yang diberikan kepada seseorang yang sesuai dengan tata kebiasaan masyarakat tertentu. Status sosial ini sering sejalan dengan status berdikari di bidang nafkah/ dan atau status berkeluarga. Unsur usianya masih dalam jangkauan usia muda-mudi, bisa dianggap sudah dewasa dan sebaliknya orang yang sudah melampaui usia masih dianggap muda-mudi.

Status kaum muda yang diberikan kepada kaum muda itu sendiri tidaklah

sesuai apabila dalam usianya yang masih muda ia hanya berpangku tangan atau

menurut pepatah: ibarat katak yang terus berbunyi menunggu hujan turun dari langit.

Sebaliknya, dalam batasan umur untuk ukuran orang dewasa bahkan tua namun

apabila dalam memandang hidup penuh dengan optimis dan bersemangat serta mau

bekerja keras inilah yang pantas dikatakan sebagai kaum muda, generasi fresh. Romo

Gandhi, S.J. (pendamping kaum muda di Paroki St. Antonius Kotabaru 2005-2006)

selalu mengharapkan bahwa kaum muda benar-benar memiliki andil yang lebih besar

terhadap situasi luar yang melingkupi gerak kaum muda itu sendiri. Berbagai cara

yang dilakukan dalam pendekatan dengan situasi kaum muda dewasa ini misalnya

dengan cara camping rohani, out bond, rekoleksi kaum muda dan sebagainya.

Realitas yang terjadi bahwa kaum muda sendiri yang menggerakan dirinya

dapat terlihat di sebuah desa kecil Taize, di Pegunungan Burgundi beberapa mil dari

garis demarkasi yang membelah Prancis menjadi dua. Kaum muda berdatangan dari

berbagai negara baik perorangan maupun kelompok dengan satu tujuan yaitu ingin

mendapatkan keheningan dan pengalaman baru bersama saudara-saudara dari negara

yang berbeda (Olivier, 2003:107). Kaum muda memiliki harapan untuk memperoleh

(41)

sekuat kemampuannya. Sebuah keinginan yang terpendam pasti menuntut sebuah

penyelesaian bahwa harus segera mencapai tujuan. Keinginan keras inilah yang

mendorong kaum muda dalam usahanya untuk segera melakukan sebuah usaha dan

memenuhi keinginannya. Inilah sifat asli kaum muda, yaitu keinginan untuk terus

memandang keluar untuk melihat sebuah kebahagiaan.

1. Ciri-ciri kaum muda

Ciri-ciri kaum muda tidak lepas dari pengaruh lingkungan di sekitarnya.

Mulai dari pola hidup, cara-cara dalam pergaulan, keterlibatan dalam masyarakat,

hingga yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang menjadi ciri khusus

yang menandakan dirinya adalah kaum muda. Kaum muda berkembang setaraf

dengan pola pikir dan kesadaran mereka akan kebutuhan serta peran yang akan selalu

disandangnya ketika dalam lingkungan orang dewasa dan akan disesuaikannya ketika

berada dalam lingkungannya sendiri (Shelton, 1988: 34).

Beberapa tahun yang lalu Komisi Kepemudaan KWI mengadakan

pertemuan dengan para penanggungjawab kaum muda di Syantikara Yogyakarta

tahun 1997. Dalam pertemuan tersebut Komisi Kepemudaan KWI (1999: 4)

mengungkapkan bahwa kaum muda dengan batasan-batasan umurnya yaitu:

Kaum muda adalah mereka yang berusia 13 sampai 35 tahun dan belum menikah, sambil tetap memperhatikan situasi dan kebiasaan masing-masing daerah. Kaum muda tersebut mencakup jenjang usia remaja, taruna dan pemuda.

Dengan melihat begitu banyaknya batasan-batasan usia yang diberikan

dan semuanya menunjukan tidak ada kesamaan untuk batasan ini maka baiklah,

batasan yang diberikan oleh Komisi Kepemudaan KWI ini menjadi patokan dasar

(42)

sosiologisnya, biologisnya. Pada usia ini secara umum kaum muda sedang memasuki

masa pancaroba dan ada yang mulai memasuki masa dewasa dan pada usia ini, kaum

muda mengalami perkembangan kemampuan kognitif, afektif serta kemampuan

beraktivitas yang pesat. Di sinilah tempat dan saatnya untuk membangun dan

mengembangkan watak dan kepribadian serta termasuk eksplorasi seluruh bakat yang

ada.

Dikatakan bahwa masa muda adalah masa yang menentukan, baik itu

masa depan, kehidupannya, keluarganya, dalam masyarakat dan bahkan bangsa dan

negara dapat ditentukan olehnya. Pada masa muda ini pula segala tanggungjawab

mulai lebih memberikan sebuah makna tersendiri. Arah hidup harus mereka tentukan

sendiri. Terdapat masa-masa yang menentukan kaum muda dalam kehidupannya

sehari-hari yang dipengaruhi oleh segi-segi baik itu segi biologis, psikologis, maupun

segi sosiologisnya. Penjelasan selanjutnya akan dipaparkan berikut ini:

a. Segi biologis

Perkembangan kaum muda dilihat dari segi biologis ini adalah

perkembangan yang dapat diamati secara langsung atau dengan kata lain dalam

perkembangan dari segi biologis ini pula lebih menunjukan perkembangan jasmani.

Namun sejauh ini perkembangan fisik dan segi biologis Perkembangan fisik kaum

muda dapat dilihat pada tungkai dan tangan, otot-otot tubuh berkembang pesat, tetapi

pada kepalanya masih mirip dengan anak-anak. Sedangkan perkembangan hormon di

dalam tubuhnya membuat mereka lebih menyadari diri sebagai pria atau wanita.

Mereka merasakan daya tarik jenis lain. Mereka mulai mengalami perasaan jatuh

(43)

Hal terpenting di sini untuk menunjukan ciri-ciri lebih mengarah pada

kaum muda adalah bagaimana terlihat dalam pertumbuhan/ perubahan pada setiap

anggota tubuhnya seperti yang dipaparkan di atas.

b. Segi psikologis

Segi psikologis lebih-lebih mengedepankan bagaimana perkembangan

kaum muda misalnya dilihat dari sisi perkembangan emosional dan sosial. Kaum

muda akan menunjukan sifat-sifat yang mengarah pada kepedulian terhadap sesama

dan lingkungan. Telah dijelaskan diatas tadi bahwa pada tahap ini kaum muda mulai

mencari-cari berbagai makna daam kehidupannya termasuk arti cinta, sinta ekslusif

maupun cinta universal. Mereka mulai memahami perasaan lawan jenisnya dan dapat

merasakan jatuh cinta beserta mencoba menemukan romantiknya saat-saat

berpacaran.

Seorang ahli psikologi, Hurlock (1990: 272) mengemukakan pendapatnya

tentang masa dewasa sebagai berikut:

Masa dewasa, yaitu periode yang paling panjang dalam masa kehidupan, umumnya dibagi atas tiga periode yaitu: masa dewasa dini, dari umur 18 sampai 35 tahun, masa dewasa pertengahan atau “setengah umur”, dari 35 tahun sampai 60 tahun dan masa dewasa akhir atau usia lanjut dari usia 60 tahun hingga mati. Masa dewasa dini adalah masa pencarian kemantapan dan masa produktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan-perubahan nilai-nilai, kreativititas dan penyesuaian pada pola hidup baru.

Pada masa dewasa dini, orang muda mulai menemukan dan mengambil

tanggungjawab pribadi untuk mengarahkan hidup mereka sendiri. Perkembangan

(44)

dengan lingkungan dimana kesehariannya maupun untuk membina perasaan agar

mampu percaya diri.

Masa muda merupakan masa genting bagi perkembangan kognitif

(Shelton 1988: 66-67). Refleksi kognitif memungkinkan orang muda untuk

menyimak sejarah hidup mereka sendiri secara lebih langsung. Orang muda harus

mencari, menghadapi masalah-masalah, dan menyusun pemikiran mereka dalam

suatu sistem berpikir yang lebih utuh untuk memberi arti pribadi. Oleh karena inilah

orang muda biasanya seringkali mengambil jarak terhadap dirinya sendiri.

Melihat situasi seperti di atas dapat dikatakan kaum muda adalah manusia

yang sedang berada dalam fase belajar untuk menjadi pribadi manusia yang dewasa.

Dengan kata lain setiap orang muda harus mampu menangkap situasi hidup dengan

cara yang khas dan berprinsip.

c. Segi sosial

Kaum muda akan terlihat sangat kontras dengan masa kecil yang telah

dilaluinya atau dengan masa dewasa yang belum dilalui karena dilihat dari segi sosial,

kaum muda adalah manusia yang penuh dengan ketegangan dan pergolakan demi

mencari identitas dirinya, mencari dukungan dan menunjukan identitasnya.

Timbulnya dorongan untuk berdiri sendiri, menentukan pilihannya sendiri,

mengambil sikap dalam keputusannya sendiri, menjadikannya sebagai pribadi yang

ingin otonomi sambil memperluas jangkauan pergaulannya sehari-hari. Mereka mulai

sadar bahwa lingkungan pergaulannya dalam keluarga dirasa sudah terlalu sempit.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kaum muda merupakan sosok pribadi yang

selalu berkobar-kobar, penuh dinamika, penuh gairah. Seringkali bagi kebanyakan

(45)

petualang hidup terus dihidupi untuk mencari dan membentuk pribadi serta

identitasnya. Kaum muda selalu terbuka akan segala hal, termasuk

tantangan-tantangan dalam hidupnya. Dan satu hal lagi sifat kaum muda yang paling menonjol

yaitu ingin selalu mendapat pengakuan dari lingkungan sekitarnya dan ingin

membuktikan bahwa dirinya “bisa”. Mereka kurang bisa menerima segala sesuatu

ditentukan oleh orang lain.

2. Perkembangan Iman Kaum Muda

Berbicara mengenai iman sudah barang tentu memberikan porsi besar

untuk siapa yang diimani tersebut dan dalam hal ini tidak lain adalah Yesus Kristus.

Iman adalah proses aktif dan dinamis yang memainkan peranan sentral dalam

membentuk tanggapan yang diambil dalam menanggapi kehidupan. Artinya iman

adalah cara seseorang untuk melihat dirinya sendiri dalam hubungan dengan orang

lain berdasarkan arti dan maksud yang dimengerti bersama. Maka iman adalah

keterlibatan yang manusia buat bagi orang lain, kelompok dan jemaat. Di dalam

keterlibatan itu ada kepercayaan yang dalam untuk berbagi dalam nilai-nilai bersama.

Nilai-nilai itu adalah cita-cita yang secara dalam merasuki harapan, pandangan dan

rasa manusia untuk mencapai tujuan.

Shelton (1988: 55-56) mengemukakan pendapat Fowler dalam teorinya

bahwa “untuk mencapai iman yang benar-benar mantap seseorang harus melewati

tahap-tahap yang tidak sangat mudah bahkan dibutuhkan sebuah perjuangan untuk

melewati proses sulit dan tidak jarang menemui derita. Orang muda tampak sedang

berusaha meninggalkan tahap ketiga dan memasuki tahap keempat (lihat di bawah,

pada butir c-d), suatu proses yang biasanya diliputi keraguan dan penderitaan”. Ada

(46)

a. Tahap I: proyektif intuitif (usia 4-8 tahun)

Dalam usia ini anak-anak mengalami kesulitan dalam menentukan sebab

akibat, melepaskan kenyataan dari khayalan dan memahami urutan berbagai

peristiwa. Oleh karena itu tantangan yang muncul pada tahap ini ialah untuk

mengembangkan pemusatan perhatian yang lebih sadar mengenai masa depan.

b. Tahap II: mistis literal (usia 6-7 tahun hingga 11-12 tahun)

Di usia seperti ini, argumentasi secara sederhana dan mengembangkan

kategori-kategori untuk mengklasifikasikan berbagai penglaman. Lingkungan mulai

dikuasai secara konkret karena mereka belum memiliki kemampuan abstraksi dan

refleksi. Tuhan dilihat sebagai sesuatu yang setia dan tidak dipersoalkan. Tetapi dunia

tetap saja tidak pasti dan dalam berbagi cara, mereka tidak berdaya. Dalam

kepercayaan dan keagamaan mereka dapat menemukan rasa aman.

c. Tahap III: sistem konvensional (usia 12 tahun hingga dewasa)

Kaum muda memandang dunia dari sudut interpersonal. Gagasan-gagasan,

harapan-harapan dan pandangan orang lain diinternalisasi untuk mendukung identitas

mereka yang sedang tumbuh. Pandangan orang lain sangat penting untuk

pembentukan sistem nilai mereka sendiri. Di sinilah simbol memiliki arti tersediri

bagi mereka. Simbol dimengerti sebagai sesuatu yang lebih daripada sekedar

penampilan benda fisiknya, atau nama yang digunakannya seperti misalnya “Tuhan”.

Di sini, kualitas pribadi simbol sangat diperhatikan. Jadi Yesus Kristus dapat menjadi

sahabat dan teman yang dapat mereka hubungi. Inilah yang mengakibatkan hubungan

(47)

d. Tahap IV: refleksi individuatif (usia 17-18 tahun hingga 20-22 tahun)

Selain usia yang telah ditentukan tersebut di atas, pada tahap ini dapat juga

terjadi pada usia 30-an atau 40-an tahun. Di usia ini seseorang mulai memandang

iman yang semakin “menjadi milik sendiri”. Iman bukan hanya personal namun lebih

konstan dan koheren. Mereka tidak hanya merasa hanya merasa butuh memperdalam

refleksi imannya, tetapi juga butuh keterbukaan pada pengalaman masa kini dan

mendatang. Mereka harus mulai menganggap serius beban pertanggungawaban atas

keterlibatan, gaya hidup, iman dan juga tingkah laku mereka.

e. Tahap V: iman yang konjungtif (usia 30-an)

Tahap ini muncul dari pengalaman hidup yang semakin mendalam yang

mencakup penderitaan, kehilangan dan ketidakadilan. Dalam tahap ini pula seseorang

menyadari pentingnya persahabatan dan loyalitas serta bermasyarakat yang semakin

luas; masyarakat tempat mereka menemukan arti. Namun mereka juga menyadari

pentingnya keterbukaan terhadap masa depan yang tidak menentu. Oleh kerena itu

mereka juga terlibat dalam masalah-masalah politik dan etika yang semakin dalam,

tahap ini merupakan hasil renungan seseorang dalam interaksi mereka dengan orang

lain dan dengan kondisi hidup mereka sendiri.

Berbagai gambaran tentang kaum muda telah terungkapkan yang meliputi

aspek-aspek: biologis, psikologis, sosiologis dan perkembangan imannya. Tidak ada

sesuatu hal yang diungkapkan di sini merupakan sesuatu yang mutlak terjadi pada

kaum muda. Gambaran tadi sekiranya menjadi pegangan bagi para pembimbing kaum

muda ketika berhadapan dengan komunitas orang muda dan sekali lagi dikatakan

gambaran tersebut bukanlah sesuatu yang tidak berubah. Setiap saat pasti mengalami

(48)

lebih memadai antara tujuan pembinaan dan kebutuhan, baik yang dirasakan maupun

kebutuhan yang sesungguhnya.

f. iman yang diuniversalkan

Sebuah keinginan dari dalam yaitu ingin melayani orang lain terjadi dalam

tahap ini. Semangat keterlibatan untuk memburu cinta dan keadilan. Dengan iman

seseorang berusaha menjelaskan “yang transenden” serta membantu menerangkan

kodrat mereka dalam hubungannya dengan rahmat istimewa. Terdapat “rahmat luar

biasa” yang merupakan manifestasi tak terduga dan tak terselami dari keprihatinan

Allah dan umat-Nya akan cinta dan semangat mereka. Pribadi-pribadi yang telah

berhasil mencapai tahap ini misalnya Ibu Theresa dan Martin Luther King. Mereka

telah memperlihatkan semangat besar dan keterlibatan untuk tuntutan cinta dan

keadilan.

C. Kaum Muda di Keuskupan Agung Pontianak

Kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak tidak berbeda jauh dengan

gambaran umum kaum muda seperti yang telah diutarakan di atas. Namun sebagai

fokus utama dalam tulisan ini, kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak tentu

memiliki sesuatu atau ciri-ciri tertentu yang dapat dikatakan kaum muda di

Keuskupan Agung Pontianak sedikit “berbeda” dengan kaum muda secara umum

atau kaum muda yang ada di beberapa tempat misalnya di Keuskupan Agung

Semarang, kaum muda di Paroki St. Antonius Kotabaru Yogyakarta atau kaum muda

di Lingkungan Yohanes Paulus Tukangan. Dalam tulisan ini akan dilihat bagaimana

kaum muda di Keuskupan Agung Pontianak secara umum dan ciri khas kaum muda

(49)

Seorang Pastor Paroki Menjalin, di Keuskupan Agung Pontianak, P.

Iosefus Erwin, OFM.Cap [Lampiran 6: (6)]. Beberapa pokok acuan untuk pertanyaan

dalam wawancara ini sebagai berikut:

o Keadaan Paroki sekarang dan kaum mudanya

o Program Paroki yang berkaitan dengan kaum muda dan tanggapan kaum muda

terhadap program tersebut

o Keterlibatan kaum muda (di Lingkungan, Stasi dan Paroki)

Dalam wawancara ini beliau mengatakan bahwa untuk sekarang Paroki

mengalami peningkatan, terutama dalam keterlibatan kaum muda dalam kegiatan

menggereja dan sebut saja kegiatan-kegiatan tersebut ialah pendalaman iman di setiap

lingkungan yang kebanyakan dipimpin oleh kaum muda, dialog berbagai masalah

yang diangkat seputar kaum muda, dan beberapa petugas pastoral dari paroki diambil

dari kaum muda demi kelancaran urusan pastoral yang ada di paroki.

Program-program dari paroki yang diharapkan mampu memberdayakan kaum muda adalah

rekoleksi Orang Muda Katolik (OMK), rekoleksi pada Pendamping Iman Anak (PIA)

tiap lingkungan, sarasehan, turne. Berkaitan dengan keterlibatan kaum muda, beliau

mengatakan bahwa kaum muda di Parokinya memiliki potensi-potensi yang dapat

diandalkan dan potensi-potensi tersebut nampak ketika dalam beberapa kegiatan yang

diselenggarakan. Di sebagaian besar dalam lingkungan kaum muda menjadi promotor

untuk beberapa kegiatan misalnya PIA (Pendampingan Iman Anak), lomba-lomba

ketika bertepatan hari raya Natal dan Tahun Baru, Paskah dan beberapa acara-acara

yang bersifat insidental.

Memang perlu diakui tidak ada yang tidak mungkin juga hal ini terjadi

pada Paroki-paroki atau tempat-tempat lain yang ada di Keuskupan Agung Pontianak.

(50)

kaum muda di Keuskupan ini, sebuah gambaran masa depan yang cerah. Namun

masih banyak yang harus dibenahi berkaitan dengan masa depan kaum mudanya.

Sebut saja hal-hal negatif yang sampai sekarang menjadi kebiasaan adalah kebiasaan

minum-minuman keras. Beberapa kejadian yang akhirnya menimbulkan perkelahian

sering terjadi. Kebanyakan hal-hal negatif ini terjadi pada orang muda Dayak.

Dalam Odop (2006: 11) mengutip pendapat P. Zacharias Lintas Pr,

seorang Pastor Paroki di Ketapang, Kalimantan Barat bahwa perubahan memang

sudah banyak terjadi dari macam-macam segi di tanah Kalimantan Barat ini, terutama

pada penduduk asli. Masyarakat Dayak sebenarnya sadar akan perubahan yang

sedang terjadi namun perubahan yang bagaimana? Dalam arti tertentu mereka juga

merasakan bahwa perubahan membawa suatu perkembangan baru dalam kehidupan.

Tetapi ada sebuah keyakinan bahwa mereka belum bisa mengatakan perubahan

macam apa yang sedang terjadi, mereka juga tidak bisa mengatakan apakah dampak

positif atau negatifnya terhadap kehidupan mereka.

D. Karya Musik Dewasa Ini

Dewasa ini musik tidak asing lagi di telinga masyarakat dunia pada

umumnya. Berbagai bentuk karya musik menjadi santapan sehari-hari bagi para

penggemarnya, sebut saja berikut ini aliran-aliran musik pop, rock, underground,

klasik, reggae, jazz, keroncong, folksong, campur sari dan masih banyak lagi yang

lainnya. Karya-karya musik ini menawarkan berbagai macam situasi yang mungkin

sesuai dengan situasi penikmatnya sehingga dapat menarik perhatian kemudian

dikonsumsi. Memang perlu diakui bahwa musik dapat masuk di mana saja dalam

setiap sendi-sendi kehidupan manusia serta dalam seluruh alam pikiran manusia.

(51)

manusia sehari-harinya seperti bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Inggris dan

lainnya. Seperti yang ditegaskan oleh Karl Edmund Prier (2004: 3) berkaitan dengan

hal ini yaitu “Bahasa musik melampaui batas bahasa, kebudayaan, bahkan agama”.

Dengan demikian musik dapat juga dikatakan sebagai bahasa universal setiap umat

manusia. Melampaui batas bahasa manusia karena musik dengan berani memberikan

warna-warni kehidupan yang belum tentu mampu terungkapkan dengan bahasa yang

telah baku digunakan oleh manusia.

Sekelompok musikus ternama berasal dari Irlandia yaitu Westlife dengan

bangga menyebutkan motto mereka dalam bermusik “Music will be a part in my

life”. Dalam setiap album yang dikeluarkan, motto ini selalu menghiasi cover. Berbeda dengan Armand Maulana sang vokalis kelompok band Gigi, dalam

kesempatan yang sama mengatakan “Musik tidak akan berakhir selagi raga masih

merasakannya”. Ungkapan-ungkapan seperti inilah yang mampu membuktikan bahwa sebuah karya musik dapat melampaui bahasa, kebudayaan bahkan agama.

Sebuah contoh yang dapat diberikan penulis mengenai musik mampu melampaui

agama. Perlu diakui bahwa ajaran agama sedikit sekali yang berani

mengumandangkan tentang perdamaian namun dengan musik, perdamaian dengan

bebas dikumandangkan bahkan bukan hanya dari kalangan agama saja yang

mendengar ungkapan tersebut namun dari aliran sosial – politik, dan budaya ikut

mendengar. Dengan demikian selain ungkapan: musik dapat malampaui bahasa

manusia, musik juga merupakan ungkapan kebebasan manusia untuk berkspresi serta

menunjukan siapa dirinya dan lingkungannya berkaitan dengan situasi yang sedang

(52)

E. Musik Bagi Kaum Muda

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ketika berbicara tentang musik, dalam

definisinya kiranya nanti dapat sedikit banyak memberi pemahaman tentang apa yang

dimaksud dengan musik. Berikut arti musik itu sendiri dalam beberapa bahasa,

bahasa Jerman: musik; bahasa Belanda: muziek; bahasa Inggris: music; bahasa

Prancis: musique; dan dalam bahasa Italia: musica. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,

musik diartikan sebagai sebuah seni susun nada atau seni suara atau seni tata suara

(Heru Kasida, 1991:188). Selain itu musik juga didefinisikan sebagai cabang seni

yang membahas dan menetapkan berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat

dimengerti dan dipahami manusia. Musik itu sendiri berasal dari kata muse, yaitu

salah satu dewa dalam mitologi Yunani kuno bagi cabang seni dan ilmu pengetahuan

(Banoe, 2003: 288).

Musik adalah bahasa internasional, bahasa dunia. Hampir semua orang

mampu menikmati musik tanpa harus mengerti arti kata-kata sebuah lagu. Sebuah

pertanyaan yang tidak mungkin tidak dapat dijawab oleh semua orang, apakah kaum

muda gemar musik? Hampir di seluruh dunia ini tidak seorang pun yang tidak

mengenal ‘musik’. Mengenai apa musik itu secara lebih dalam lagi mungkin tidak

semuanya tahu namun yang pasti sebagian besar masyarakat di seluruh dunia ini tidak

ada yang tidak mengenal musik.

Hobi dan bakat musik akan tumbuh dan terus berkembang jika selalu

diatih dan diminati. Orang yang berbakat dalam musik sudah barang tentu hobi

dengan musik namun orang yang hobi dalam musik belum tentu memiliki bakat

dalam musik. Namun darimana asal sebuah hobi dan bakat musik tersebut? Sesuatu

yang kedengarannya menarik belum tentu dapat dikatakan dengan musik namun

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Koordinasi gerakan gaya punggung adalah latihan yang terpadu dari semua teknik dasar renang gaya punggung dengan seksama, sehingga terwujud suatu gaya punggung yang sempurna..

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan bentonit sebagai katalis dalam proses dekomposisi sampah plastik sebagai bahan cair serta mengetahui

Dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan di bab 4, maka dihasilkan simpulan sebagai berikut: (1) word of mouth berhubungan secara signifikan dan sangat kuat dengan persepsi

Pada Tabel 2 menunjukkan data penggunaan energi selama proses serta kandungan energi bahan umpan dan produk, yang merupakan hasil pengukuran dengan menggunakan reaktor

Pada sistem LTE- Advanced dengan relay , terdapat beberapa tahapan yang dilakukan yang merupakan pengembangan dari sistem tanpa relay, dapat dilihat pada Gambar 2.

No 1 mengacu pada time series tanggal 3 januari ke 4 januari yang membentuk hubungan fuzzy logic relationship U7 ke U7 yang berarti harga penutupan saham pada