• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Islam dan Perbankan

Aspek aqidah (iman), syari'ah (Islam), dan akhlak (ihsan) merupakan tiga prinsip dasar dari nilai-nilai ajaran Islam. Namun dalam melihat sifat dari masing-masing aspek, aqidah (rukun iman) tidak akan pernah mengalami perubahan sampai kapanpun. Kemudian dalam aspek syari'ah ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (rukun Islam) juga akan tetap sama kapanpun dan dimanapun. Serta dalam masalah akhlak merupakan hasil dari aspek aqidah dan syari'at itu sendiri. Namun dengan melihat sifat dari aspek syari'ah mu'amalah yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dimana masalah yang dihadapi manusia dari zaman ke zaman akan terus mengalami perubahan dikarenakan perkembangan yang terus terjadi, baik dalam masalah sosial, ekonomi, teknologi, politik, dan sebagainya.

Melihat dari sejarahnya, masalah ekonomi pada zaman Rasulullah dengan masalah ekonomi modern saat sekarang ini jelas berbeda. Walaupun pada zaman Rasul sudah ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat perbankan, namun pada masa itu kegiatan tersebut belum disebut dengan kegiatan perbankan.

Masalah ekonomi terutama perbankan, merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sesama manusia, dengan perubahan yang terus terjadi, baik dari perkembangan manusia yang terus melakukan inovasi, yang mengahasilkan perkembangan dari perbankan itu sendiri. Dengan demikian masalah yang dihadapi dalam perbankan jelas akan memiliki perbedaan dari zaman ke zaman. 2.4.1 Nilai-Nilai Islam dan Perbankan Syari'ah

Kegiatan ekonomi khususnya perbankan merupakan kegiatan yang dilakukan antara sesama manusia. Salah satu aspek nilai Islam yang mengatur hubungan antara sesama manusia ialah aspek syari'ah mu'amalah. Dengan demikian masalah ekonomi/perbankan ini termasuk dalam bab mu'amalah yang pedomannya berasal dari fiqh mu'amalah.

Perbankan syari'ah merupakan perbankan yang dijalankan berdasarkan Al-Qur'an dan hadits. Namun dalam Al-Al-Qur'an dan Hadits hanya memberikan prinsip dasar dan tidak memberikan aturan-aturan yang terperinci dalam masalah perbankan ini. Dalam hukum mu'amalah segalanya boleh dilakukan kecuali ada larangan dalam Al-Qur'an dan hadits. Oleh sebab itu yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang oleh Islam, selain itu semuanya diperbolehkan untuk melakukan inovasi dan kreativitas sebanyak mungkin.

Perbankan merupakan kegiatan ekonomi yang didalamnya terdapat berbagai transaksi ekonomi yang dilakukan. Dalam bidang mu'amalah, semua transaksi diperbolehkan kecuali yang diharamkan. Penyebab terlarangnya sebuah transaksi disebabkan beberapa faktor sebagai berikut (Karim, 2004:30) :

a. Haram zatnya, dimana objek yang ditransaksikan merupakan barang yang haram dalam ajaran Islam seperti minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya.

b. Haram selain zatnya, ialah dimana pada transaksi tersebut terdapat kegiatan haram yang mengandung unsur yang dapat merugikan pihak-pihak yang bertransaksi, seperti :

1. Tadlis (Penipuan). Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara pihak-pihak yang bertransaksi. Dimana kedua belah pihak sama-sama memiliki informasi yang lengkap dari transaksi, sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu) karena keadaan dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain. Tadlis dalam transaksi dapat terjadi dalam empat hal yaitu kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan.

2. Gharar, ialah situasi dimana mengubah sesuatu dalam transaksi yang bersifat pasti menjadi tidak pasti. Ketidakpastian yang dimaksud ialah dimana kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahannya belum bisa dipastikan namun sudah ditransaksikan. Dengan demikian, transaksi dapat dilakukan ketika salah satu

pihak sudah mempunyai kualitas, kuantitas, harga, dan waktu penyerahan dari barang/jasa yang akan ditransaksikan.

3. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), ialah situasi dalam transaksi dimana seorang produsen mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply produknya agar harga produk tersebut naik. Ikhtikar biasa dilakukan produsen dengan cara menimbun stock produknya sehingga menghambat produsen lain untuk masuk ke pasar, sehingga terjadi kelangkaan barang dan produsen penimbun bisa menaikkan harga dari produk tersebut lebih tinggi dari harga produk sebelum adanya kelangkaan barang.

4. Bai' Najasy (rekayasa pasar dalam demand), ialah situasi dimana seseorang (biasanya produsen ataupun utusannya) yang ingin mendapatkan keuntungan besar dari naiknya harga suatu produk dengan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan dari produk tersebut, agar memancing konsumen lain untuk ramai-ramai membeli produk tersebut sehingga permintaan akan benar-benar meningkat dan harga produk tersebut juga akan naik.

5. Riba, merupakan kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan salah satu pihak dalam sebuah transaksi. Dalam fiqh mu'amalah, jenis dari riba terbagi tiga yaitu :

a. Riba Fadhl, yaitu riba yang timbul dari transaksi barang yang sejenis namun tidak memiliki kualitas, dan kuantitas yang sama. Sehingga pihak yang dirugikan adalah pihak yang menerima barang yang kualitas dan kuantitasnya lebih rendah.

b. Riba Nasi'ah, yaitu riba yang timbul dari utang piutang, dimana pemberi utang mendapat keuntungan lebih tanpa ada usaha, biaya, dan resiko dikarenakan kewajiban menanggung beban bagi si penerima utang. Syarat pengembalian utang yang melebihi dari jumlah pinjaman yang menjadikan beban bagi penerima utang, namun menjadi keuntungan bagi pemeberi utang.

c. Riba Jahiliyah, merupakan turunan dari riba nasi'ah, namun tetap memiliki perbedaan. Riba jahiliyah merupakan riba yang berhubungan dengan berjalannya waktu dari utang piutang, dimana utang yang dibayar melebihi melebihi dari pokok pinjaman dikarenakan si peminjam tidak mampu mengembalikan utang pada waktu jatuh tempo yang telah disyaratkan.

6. Maysir (perjudian), ialah situasi dimana sebuah transasksi mengandung ketidakpastian dalam hal syarat, ketentuan, dan hasil dari transaksi tersebut, seakan-akan membuat transaksi hanya

sebagai permainan yang keuntungannya menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban dari pihak lain.

7. Risywah (suap-menyuap), ialah kondisi dimana salah satu pihak memberikan sesuatu (hadiah) kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Dengan demikian, pihak yang melakukan risywah ialah pihak yang mengambil keuntungan yang merupakan hak pihak lain tanpa pengetahuan dan rasa sukarela dari pihak tersebut dengan memberikan sesuatu (hadiah) kepada pihak ketiga yang dapat melancarkan jalannya untuk mengambil keuntungan orang lain tersebut.

c. Tidak sah/lengkap akadnya, ialah transaksi yang mengandung salah satu (atau lebih) dari faktor-faktor sebagai berikut :

1. Rukun tidak terpenuhi. Rukun ialah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi, yaitu pelaku (penjual dan pembeli), objek (barang/jasa yang ditransaksikan), serta ijab-kabul (kesepakatan kedua belah pihak).

2. Syarat tidak terpenuhi. Syarat merupakan sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Dimana dari setiap rukun masing-masing harus terpenuhi segala syarat-syarat dalam ajaran Islam untuk sebuah transaksi. Seperti dalam rukun pelaku (penjual/pembeli) harus merupakan seseorang yang cakap hukum, tidak gila, bukan anak-anak dan sebagainya. Sedangkan syarat untuk objek, tidak diperbolehkan barang yang ditransaksikan

merupakan barang yang haram dalam Islam. Untuk ijab-kabul akan sah syaratnya apabila kedua belah pihak sudah menyatakan kesepakatan beri-terima dalam transaksi.

3. Terjadi ta'alluq. Ta'alluq terjadi dimana dalam sebuah transaksi mengandung dua akad yang saling dikaitkan, sehingga akad yang satu tergantung dengan akad yang satunya. Dalam situasi ini transaksi tidak akan selesai dikarenakan akad pertama akan efektif apabila akad kedua dilaksanakan.

4. Terjadi dua akad dalam satu transaksi. Sebuah transaksi akan dikatakan haram apabila transaksi tersebut mengandung dua akad sekaligus dengan pelaku yang sama serta objek dan waktu yang sama pula, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan (berlaku).

Dari identifikasi transaksi yang diharamkan oleh Islam inilah yang kemudian diterapkan kedalam pelayanan dari perbankan syari'ah, dimana praktek-praktek transaksi yang dilarang tersebut masih dijalankan oleh perbankan konvensional. Salah satu yang paling menonjol adalah permasalahan riba yang menjadi perbedaan mendasar antara perbankan syari'ah dan perbankan konvensional.

Sebagaimana riba fadl, yang dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, kemudian riba nasi'ah yang dapat ditemui dalam transaksi bunga kredit dan bunga tabungan/deposito/giro, serta riba

jahiliyah yang dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tagihannya tidak dibayar penuh. (Karim, 2004:41)

Dokumen terkait