Isolasi mikroba dari alam merupakan tahap awal dalam penapisan metabolit mikroba seperti antibiotik. Biasanya tidak diketahui jenis dan jumlah mikroba dalam sampel tersebut. Pada prinsipnya tujuan isolasi mikroba yaitu untuk mendapatkan mikroba yang dikehendaki sebanyak-banyaknya (Morrelo 2002). Untuk maksud tersebut dapat digunakan teknik medium diperkaya dan sistem pengenceran. Misalnya sampel tanah atau air diencerkan sedemikian rupa, sehingga diharapkan pertumbuhan koloni tidak lebih 200 koloni per cawan petri. Suspensi tersebut dengan metode taburan spread plate diinokulasikan pada cawan petri yang mengandung medium diperkaya. Setelah diinkubasi, akan terlihat koloni-koloni pada cawan tersebut dan siap untuk diisolasi (Hogg 2005). Namun dalam praktek cara tersebut kurang efisien karena harus mengisolasi banyak mikroba yang potensinya belum jelas, sehingga para peneliti sudah membatasi jenis mikroba yang akan diisolasi. Biasanya tidak diinginkan isolasi semua mikroba yang ada dalam sampel, karena akan menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu. Pra-perlakuan sampel dilakukan untuk mengeliminasi mikroba yang tak diinginkan. Ada beberapa contoh yang sering dilakukan oleh para peneliti, misalnya sampel tanah dikeringkan di udara pada suhu kamar selama 3 - 10 hari
tergantung dari kandungan airnya untuk mengurangi populasi bakteri (Hayakawa dan Hideo 1987). Untuk memperbesar kemungkinan isolasi aktinomisetes dari sampel air, misalnya Rhodococcus dan Micromonospora dapat dilakukan pemanasan sampel 55 °C selama beberapa menit (Goodfellow et al. 1988).
Untuk mendapatkan Streptomyces telah digunakan medium khusus yaitu Medium International Streptomyces Project (ISP) (Horan 1999). Fungi dapat dihilangkan dengan menambahkan antifungi seperti nistatin atau sikloheksimid ke dalam medium, dan bakteri dapat dieliminasi dengan menambahkan beberapa antibiotik ke dalam medium. Selain itu parameter kondisi lingkungan juga harus diperhatikan seperti pH, suhu dan sebagainya. Sebagian besar bakteri lebih peka terhadap pH asam, sedangkan fungi lebih tahan terhadap rentang pH yang lebih lebar. Suhu inkubasi dapat meningkatkan isolasi mikroba yang dikehendaki, misalnya isolasi Thermoactinomyces dapat ditingkatkan dengan inkubasi 50-55 °C, Nocardia pada 25 °C, Streptosporangium pada 40 °C dan sebagainya. Isolasi anggota aktinomisetes pada umumnya menggunakan suhu inkubasi 28 – 30 °C.
Aktinomisetes merupakan mikroba yang paling efektif dalam menggunakan substrat. Sebagai organisme heterotrop, aktinomisetes memerlukan bahan organik sebagai sumber karbon bagi kelangsungan hidupnya dan beberapa jenis diantaranya mampu mendegradasi inulin dan chitin. Bahkan Nocardia sp mampu memecah molekul organik yang tak lazim di alam seperti parafin, fenol, steroid dan pirimidin. Micromonospora mampu mendekomposisi pati, chitin, selulosa, glukosida, pentosan dan mungkin lignin. Atas dasar kemampuannya yang jarang dijumpai pada mikroba lain, maka para ahli telah mengembangkan medium isolasi yang hanya menguntungkan pertumbuhan aktinomisetes daripada mikroba yang lain. Medium tersebut seperti Arginine-Glycerol salt, Benedict, Collodial Chitin, Starch-Casein dan sebagainya (Cross 1982). Menurut Pisano et al. (1989) medium campuran pati dengan kasein sangat cocok digunakan untuk isolasi aktinomisetes. Aktinomisetes mudah tumbuh dalam medium campuran pati dan kasein, namun demikian mikroba lain tumbuh lebih lama dibandingkan dengan aktinomisetes.
Beberapa teknik perlakuan pendahuluan sampel juga telah digunakan peneliti untuk mendapatkan isolat aktinomisetes yang diinginkan. Sebagai contoh
teknik rehidrasi diterapkan pada sampel pada habitat air tawar yang akan menghasilkan banyak actinoplanete dan genus baru Cupolomyces. Spora aktinomisetes biasanya tahan terhadap proses pengeringan baik proses pengeringan kering atau basah. Pemanasan sampel pada suhu hangat mampu menekan pertumbuhan bakteri gram negatif yang sering mengganggu proses isolasi aktinomisetes (Pisano 1986). Cara lain untuk menekan perumbuhan bakteri gram negatif adalah dengan mengurangi water activity pada medium isolasi. Kelembaban pada permukaan agar dapat mendorong tumbuh dan menyebarnya bakteri Gram-negatif yang secara signifikan dapat menekan proses germinasi dan pertumbuhan aktinomisetes. Oleh karena itu cawan isolasi dan permukaan agar harus dalam kondisi kering pada saat menyebarkan sampel isolasi (Seong 2001). Beberapa spesies aktinomisetes lebih menyukai permukaan medium kering untuk proses germinasi dan pertumbuhan. Proses pemanasan dan pengeringan dengan kombinasi medium selektif akan mampu menghasilkan koloni aktinomisetes yang relatif banyak. Sentrifugasi diferensial juga dapat digunakan dalam proses pra-perlakuan sampel (Araujo 2008).
Spora aktinomisetes juga tahan terhadap pemanasan kering sampai suhu 120 °C, sifat ini dimanfaatkan untuk perlakuan pendahuluan yang dapat menghilangkan sejumlah bakteri kontaminan (Takashi 2003). Spora aktinomisetes lebih sentisitif terhadap pemanasan basah, yaitu sampel tersuspensi dalam pelarut yang dipanaskan. Pemanasan sampel pada suhu 45-50 °C dapat digunakan untuk isolasi Streptomyces, pada suhu pemanasan 55 °C dapat digunakan untuk mengisolasi Rhodococcus, dan spesies yang lebih tahan pada pemanasan yang lebih tinggi lagi adalah Micromonospora yang dapat bertahan pada pemanasan 60-70 °C selama 30 menit. Perlakuan pendahuluan sampel secara kimia juga banyak dilakukan untuk mengisolasi aktinomisetes, misalnya penggunaan fenol, klor atau amonium kuartener. Metode pra-perlakuan ini biasanya juga mengurangi sejumlah aktinomisetes yang akan diisolasi (Goodfellow et al. 1988).
Seong et al. (2001) telah melakukan modifikasi pra-perlakuan sampel untuk isolasi aktinomisetes dari tanah. Isolasi dilakukan dengan medium HHVA (Hair Hydrolysate Vitamin Agar) dan pra-perlakuan sampel dengan menggunakan 4 metode, yaitu dengan penambahan antibiotik, pemanasan kering (1 jam pada
suhu 100 °C), pemanasan basah (70 °C) selama 15 menit, dan udara kering selama 24 jam. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa hasil isolasi aktinomisetes dengan beberapa metode pra-perlakuan sampel tersebut menunjukkan hasil yang sangat bervariatif.
Penggunaan senyawa antibakteri dan antifungi juga menentukan hasil isolasi aktinomisetes. Penggunakan senyawa antibakteri dapat memberikan efek mengurangi jumlah aktinomisetes yang akan diisolasi. Namun demikian cara ini dipandang sangat membantu menekan sejumlah bakteri dan kapang kontaminan, sehingga mempermudah proses isolasi dan pemurnian aktinomisetes. Kombinasi benzyl penicillin (5-10 μg mL-1) dengan asam nalidiksat (15 μg mL-1
) dapat digunakan untuk mendapatkan Saccharothrix, novobiocin (25 μg mL-1
) dan streptomycin (15 μg mL-1
) dapat digunakan untuk mendapatkan isolat dari genus Glycomyces, dan dengan menambahkan vancomycin dapat digunakan untuk mendapatkan Amylocolatopsis. Hanka (1985) dapat menaikkan perolehan koloni Streptoverticillium dengan menggunakan medium agar yang mengandung oxytetracycline dengan metode filter membran yang dapat menghilangkan koloni bakteri nonmiselia.
Salah satu faktor yang penting dalam proses isolasi dan fermentasi aktinomisetes adalah suhu inkubasi. Secara umum aktinomisetes tumbuh baik pada suhu 25 sampai dengan 30 °C. Namun demikian ada beberapa aktinomisetes yang tumbuh baik pada suhu 45 °C (Goodfellow et al. 1988). Isolasi aktinomisetes termofilik akan lebih mudah diisolasi dan dimurnikan dari bakteri kontaminan dibandingkan jenis mesofilik. Namun pada proses produksinya aktinomisetes termofilik akan membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk tetap menjaga panas yang lebih tinggi.
Waktu inkubasi proses isolasi aktinomisetes pada cawan agar sampai dapat dilihat koloninya dengan mata telanjang kurang lebih selama 7 sampai dengan 14 hari. Masa inkubasi yang semakin lama biasanya dihindari oleh peneliti. Hal ini disebabkan pertumbuhan aktinomisetes yang lambat akan meningkatkan biaya produksi pada saat masuk dalam proses fermentasi. Namun demikian pertumbuhan aktinomisetes dapat dimodifikasi melalui medium pertumbuhan dan kondisi lingkungan yang digunakan (Cross 1982).