• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tas’ir Jabbariy

Dalam dokumen MUAMALAH KONTEMPORER. IAIN Batusangkar (Halaman 133-139)

IAIN Batusangkarsharf yakni secara tunai dan besar uang yang diberi

F. DISTRIBUSI TERLARANG DALAM ISLAM 1. Siyasah Ighraq (Dumping)

3. Tas’ir Jabbariy

a. Definisi Penetapan Harga

Secara etimologi “at-tas’ir” berarti penetapan harga, sedangkan “al-jabari” berarti paksa. Dalam fikih, terdapat dua istilah dalam har ga, yaitu ats-tsaman dan as-si’r. Ats-tsaman adalah patokan har­ ga satuan barang, atau harga kesepakatan antara penjual de ngan pembeli. As-si’r adalah harga yang berlaku secara aktual di pasar (harga pasar) (Haroen, Fiqh Muamalah, 2000: 139):

IAIN Batusangkar

Para ulama fikih membagi as-si’r menjadi dua macam: Naroen,

Fiqh Muamalah, 2000: 139):

1. Harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan ulah pedagang. Pedagang bebas menjual dagangannya sesuai dengan harga yang wajar. Dalam penentuan harga yang ber­ laku secara alami ini pemerintah tidak boleh ikut campur ta­ ngan.

2. Harga suatu komoditi ditetapkan pemerintah setelah mem­ pertimbangkan modal dan keuntungan bagi pedagang dan ke­ adaan ekonomi masyarakat. Penetapan harga dari peme rintah dinamakan at-ts’ir al-jabari.

Para ulama mendefinisikan at-tas’i al-jabari sebagai berikut: 1. Ulama Hanabilah mendefinisikan:

“Upaya pemerintah dalam menetapakan harga suatu komoditi, serta memberlakukannya dalam transaksi jual beli warganya.”

2. Imam asy­Syaukani (1759­1834 M) mendefinisikan:

“Instruksi pihak penguasa kepada para pedagang agar mereka tidak menjual barang dagangannya, kecuali sesuai dengan ketentuan harga yang telah ditetapkan pemerintah degan tujuan kemaslahatan bersama.”

3. Ad­Duraini memperluas cakupan tas’ir al-jabari sesuai dengan perkembangan keperluan manusia. Menurutnya, ketetapan pe merintah tidak hanya terhadap komoditi yang digunakan, tetapi terhadap manfaat dan jasa pekerja yang diperlukan ma­ sya rakat. Seperti harga sewa rumah naik dengan tiba­tiba dari harga biasa (Naroen, Fiqh Muamalah, 2000: 139­140).

b. Dalil dan Hukum Penetapan Harga

Hadis yang diriwayat dari Anas Ibn Malik sebagai berikut:

“Pada zaman Rasulullah saw. terjadi pelonjakan harga di pasar, lalu sekelompok orang menghadap Rasulullah saw. mereka berkata ‘Ya Ra sulullah harga-harga di pasar melonjak tinggi, tolonglah tetapkan harga itu. Rasulullah menjawab: ‘Sesungguhnya Allah-lah yang berhak me netapkan harga, menahannya, melapangkan dan memberikan rezeki. Saya berharap akan bertemu dengan Allah dan janganlah seseorang di antara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta dan

IAIN Batusangkar

125 BAB 5 — DISTRIBUSI

nyawa’” (H.R. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tarmizi, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hibban).

Hadis di atas menjelaskan terjadinya kenaikan harga bukan karena ulah pedagang, namun karena persediaan barang sedikit. Di sini muncul cikal bakal hukum ekonomi: bila barang sedikit me nyebabkan harga naik, dan bila barang banyak harga menjadi murah. Bisa saja persediaan sedikit disebabkan oleh faktor alam tidak mendukung, contoh: musim kemarau menyebabkan hasil ta­ naman berkurang, atau karena hama penyakit tanaman se hing­ ga buahnya kecil­kecil bahkan sulit untuk berbuah, atau karena musibah seperti banjir sehingga tanaman hanyut dan menyatu de ngan lumpur. Akibatnya, guna memenuhi kebutuhan masya ra­ kat, barang­barang didatangkan dari luar daerah dengan konse­ kuensi biaya angkutan yang terlalu mahal dan disertai biaya­biaya pungutan pengangkutan barang.

Jika kenaikan harga terjadi dengan sendirinya, maka peme­ rintah dilarang untuk ikut campur menetapkan harga, karena di­ khawatirkan akan merugikan (menzalimi) penjual yang modalnya sudah tinggi. Kenaikan harga tersebut dibiarkan saja tanpa ada cam pur tangan, dengan keyakinan Allah Swt. yang melapangkan dan menahan rezeki. Pemerintah baru dapat ikut campur masalah har ga bila harga naik disebabkan oleh orang/penjual tertentu.

c. Pendapat Ulama tentang Penetapan Harga

Bila kenaikan harga disebabkan oleh praktik ihtikar, maka para ulama berbeda pandangan terhadap hukum campur tangan pemerintah dalam menetapkan harga, perbedaan tersebut (Naro en,

Fiqh Muamalah, 2000: 142­145):

1) Ulama Zhahiriyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ula­ ma Syafi’iyah, sebagian ulama Hanabilah, dan Imam asy­ Syau kani berpendapat bahwa: dalam situasi dan kondisi apa pun penetapan harga itu tidak dapat dibenarkan, dan jika dilakukan maka hukumnya haram. Menurut mereka, baik ke naikan harga itu disebabkan ulah pedagang, maupun dise­

IAIN Batusangkar

bab kan hukum alam, maka segala campur tangan dalam pe­ ne tapan harga tidak boleh, sebagaimana firman­Nya QS.

an-Nisaa’ [4]: 29 berbunyi sebagai berikut;

َُّث اًعيَِجَ ِضْرلأا ِفِ اَم ْمُكَل َقَلَخ يِذَّلا َوُه

ِءاَمَّسلا َلَِإ ىَوَ تْسا

ٍءْيَش ِِّلُكِب َوُهَو ٍتاَواََسَ َعْبَس َّنُهاَّوَسَف

ميِلَع

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu ...

Berdasarkan ayat ini ada unsur kerelaan antara penjual dan pembeli, maka bila harga diatur oleh pemerintah maka hilang­ lah unsur kerelaan dari penjual.

2) Ulama Hanafiyah, sebagian besar ulama Hanabilah, dan ma­ yoritas ulama Malikiyah. Ulama Hanafiyah membolehkan pe­ merintah bertindak mene tapkan harga yang adil (mempertim­ bangkan pedagang dan pembeli) ketika terjadi fluktuasi harga disebabkan ulah pe dagang, karena pemerintah dalam syari­ at Islam berperan dan berwenang untuk mengatur kehidup­ an masyarakat demi tercapainya kemaslahatan masyarakat. Imam Abu Yusuf ( 731­798 M) mengatakan bahwa “segala ke­ bijakan penguasa harus mengacu pada kemaslahatan warga.” Sebab itu pemerintah boleh turun tangan untuk mengatur dan melakukan penetapan harga komoditi yang naik.

3) Ibn Qudamah, Ibn Taimiyah, dan Ibn Qayyim al­Jauziyyah membagi bentuk penetapan harga menjadi dua macam, yaitu penetapan harga yang bersifat zalim, dan penetapan har ga yang bersifat adil. Penetapan harga yang bersifat zalim ada­ lah penetapan harga yang ditetapkan pemerintah tidak se suai dengan keadaan pasar dan tanpa mempertimbangkan ke ma­ slahatan pedagang. Menurut mereka, bila harga naik di se bab­ kan terbatasnya barang dan banyaknya permintaan, maka pemerintah tidak boleh campur tangan dalam masalah harga, apabila pemerintah ikut melakukan penetapan harga ber arti

IAIN Batusangkar

127 BAB 5 — DISTRIBUSI

pemerintah melakukan kezaliman sebagaimana yang tertuang pada Hadis dari Anas Ibn Malik.

Penetapan harga yang wajib dilakukan adalah ketika terjadi lonjakan harga disebabkan ulah pedagang, dengan pertim­ bangan mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pedagang. Sikap pemerintah dalam menetapkan harga harus adil dengan memperhatikan modal, biaya trans­ portasi dan keuntungan pedagang.

4) Imam al­Gazali (1085­1111 M) meng­qiyas­kan kebolehan pe ne tapan harga dari pihak pemerintah kepada kebolehan pe me rintah untuk mengambil harta orang­orang kaya untuk me menuhi keperluan angkatan bersenjata yang berfungsi pen­ ting dalam pengamanan negara dan warganya. Logika ini da­ lam usul fiqh disebut qiyas aulawi:

Menurut ulama fikih, syarat­syarat at-tas’ir al-jabari, yaitu: (Na roen, Fiqh Muamalah, 2000: 145):

1) Komoditi atau jasa sangat dibutuhkan masyarakat banyak. 2) Terbukti bahwa para pedagang melakukan perbuatan se­ wenang­wenang dalam menentukan harga komoditi da­ gangan mereka.

3) Pemerintah yang menjabat adalah pemerintah yang adil. 4) Pemerintah harus melakukan studi kelayakan pasar de­

ngan menunjuk para pakar ekonomi.

5) Penetapan harga dilakukan dengan terlebih dulu memper­ timbangkan modal dan keuntungan para pedagang. 6) Ada pengawasan yang berkesinambungan dari pihak pe­

ngu asa terhadap pasar menyangkut harga maupun stok barang, sehingga tidak terjadi penimbunan stok barang.

G. RINGKASAN

Distribusi adalah proses penyaluran barang dan jasa dari pi­ hak produsen kepada konsumen, dengan aturan bahwa barang yang didistribusikan tidak tertimbun oleh pihak tertentu sehingga terjadi kelangkaan bagi konsumen. Di dalam Islam, faktor­faktor

IAIN Batusangkar

yang menyebabkan terjadinya kelangkaan adalah pelaku-pelaku yang selalu menimbun barang, yang hanya ia jual ketika harga barang sudah naik pesat. Praktik ini terlarang dalam Islam karena Islam tidak menganjurkan untuk menumpuk harta pada satu go-longan saja, akan tetapi menyebar ke dalam semua lapisan ma sya-rakat. Adapun bentuk distribusi harta di dalam Islam yaitu za kat, wakaf, sedekah, dan warisan.

H. LATIHAN SOAL

1. Jelaskan pengertian distribusi dan sirkulasi? 2. Jelaskan prinsip-prinsip distribusi?

3. Jelaskan tujuan distribusi?

4. Jelaskan tentang distribusi terlarang? 5. Jelaskan nilai-nilai distribusi?

IAIN Batusangkar

6

KONSUMSI

A. PETA KONSEP

Pemanfaatan hasil produksi yang halal dalam memenuhi kebutuhan manusia

Memenuhi kebutuhan dasar manusia, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier

a. Larangan mubazir b. Menjauhi sifat kikir c. Sikap berhemat

a. Mengandung riba, gharar, dan mayru b. Barang yang bersifat

memabukkan c. Mengandung Najis d. Memberikan mudarat

bagi penggunanya

Definisi Tujuan Nilai-nilai konsumsi Konsumsi Terlarang Konsumsi

Dalam dokumen MUAMALAH KONTEMPORER. IAIN Batusangkar (Halaman 133-139)