• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI KONSUMSI 1. Prinsip Konsumsi

Dalam dokumen MUAMALAH KONTEMPORER. IAIN Batusangkar (Halaman 154-164)

IAIN Batusangkarsuatu yang haram dan menghalalkan sesuatu yang halal, apakah aku

D. NILAI-NILAI KONSUMSI 1. Prinsip Konsumsi

Menurut M. Abdul Manan, perintah Islam mengenai konsumsi ditekankan dengan prinsip­prinsip seperti: prinsip keadilan, prin­ sip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, dan prinsip moralitas (M. Abdul Manan, 1997: 45­50).

IAIN Batusangkar

145 BAB 6 — KONSUMSI

a. Prinsip Keadilan

Dalam Islam makna prinsip keadilan adalah mengenai men­ cari rezeki yang halal dan tidak dilarang oleh syariat Islam. Oleh se bab itu, dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa tidak boleh menimbulkan kezaliman, taat aturan, dan menjunjung tinggi nilai kepantasan. Keadilan dalam berkonsumsi adalah mengonsumsi sesuatu yang halal, tidak haram dan baik, dan tidak membahayakan tubuh.

Adapun menurut Adiwarman A. Karim, manusia yang ditun­ juk oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi dituntut untuk me­ negakkan hukum Allah. Untuk menunjang peran manusia sebagai

khalifah, Allah menganugerahkan sumber daya alam yang diman­

faatkan untuk kesejahteraan manusia Karenanya, manusia harus memanfaatkannya secara adil dan baik, artinya adalah tidak men ­ zalimi dan tidak dizalimi (Adiwarman A. Karim, 2003: 18). Maka, semua transaksi yang menyebabkan kezaliman hukumnya ha ram, seperti riba, najasy, dan al-Ghisysy (menyembunyikan ca cat ba­ rang). Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 275:

َنِم ُناَطْيَّشلا ُهُطَّبَخَتَـي يِذَّلا ُموُقَـي اَمَك لاِإ َنوُموُقَـي لا اَبِّرلا َنوُلُكْأَي َنيِذَّلا

ْنَمَف اَبِّرلا َمَّرَحَو َعْيَـبْلا ُهَّللا َّلَحَأَو اَبِّرلا ُلْثِم ُعْيَـبْلا اََّنِإ اوُلاَق ْمُهَّـنَأِب َكِلَذ ِّسَمْلا

َكِئَلوُأَف َداَع ْنَمَو ِهَّللا َلىِإ ُهُرْمَأَو َفَلَس اَم ُهَلَـف ىَهَـتْـناَف ِهِّبَر ْنِم ٌةَظِعْوَم ُهَءاَج

َنوُدِلاَخ اَهيِف ْمُه ِراَّنلا ُباَحْصَأ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri me-lainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (te-kanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah di-sebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya la-rangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (me ngambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (QS. al-Baqarah [2]: 275).

IAIN Batusangkar

Selain riba, transaksi ekonomi yang mengandung gharār,

al-Ghisysy, najasy, dan tadlis juga dikategorikan sebagai zalim. Allah

melarang transaksi di atas sebagaimana firman­Nya, dalam QS.

al-Nisā’ [4]: 29:

ًةَراَِت َنوُكَت ْنَأ لاِإ ِلِطاَبْلاِب ْمُكَنْـيَـب ْمُكَلاَوْمَأ اوُلُكْأَت لا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّـيَأ اَي

اًميِحَر ْمُكِب َناَك َهَّللا َّنِإ ْمُكَسُفْـنَأ اوُلُـتْقَـت لاَو ْمُكْنِم ٍضاَرَـت ْنَع

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS. al-Nisaa [4]: 29).

b. Prinsip Kebersihan

Pemahaman bersih dalam konsumsi adalah seseorang harus memakan yang halal dan tayyib. Hal ini ditekankan oleh Allah di dalam QS. al-Nahl [16]: 114:

اًبِّميَط لالاَح َُّللَّا ُمُكَقَزَر اَّممِ اوُلُكَف

ُهَّيَّمإ ْمُتْ نُك ْنمإ مَّللَّا َةَمْعمن اوُرُكْشاَو

َنوُدُبْعَ ت

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah (QS. al-Nahl [16]: 114).

Menurut Bablilī, 1990: 66), kata halal dan tayyib dalam firman Allah di atas adalah sebuah tuntutan yang diberikan oleh Allah kepada hamba­Nya untuk menjauhi segala sesuatu—baik ma kanan dan minuman—yang diindikasikan mengandung unsur haram, atau menggunakannya untuk menghasilkan produk yang haram.

Berkenaan dengan konsep halal dan haram, Allah secara te­ gas menjabarkan dalam berbagai bentuk firman­Nya, misalnya la­ rangan transaksi yang mengandung unsur riba dan manghalalkan transaksi jual beli. Oleh sebab itu, segala bentuk transaksi dan pe me rolehan harta dihukum dengan dua ketentuan ini. Pengha­

IAIN Batusangkar

147 BAB 6 — KONSUMSI

raman riba dalam berbagai bentuk transaksi dikarenakan mengan­ dung unsur kezaliman yang dapat mencederai nilai­nilai keadilan. (Mannan, 1995: 164). Oleh sebab itu semua bentuk transaksi dalam bentuk kejahatan dilarang oleh Islam. Semua larangan ini ber dasarkan prinsip “jangan ada rasa ketidakadilan, dan tidak ada ruang penipuan dalam bentuk transaksi apa pun dan oleh siapa pun” (Muhammad, 2008: 228).

Dan di dalam Islam, hal­hal yang berhubungan dengan peme­ rolehan harta semua harus halal, baik dalam bentuk niat, proses, dan sarana yang digunakan (Muhammad, 2008: 228). Apa bila sa lah satu indikator tidak memenuhi nilai­nilai kehalalan, ma ka harta yang dihasilkan juga tidak halal, apalagi seseorang yang me­ miliki niat yang buruk ketika ia berusaha, maka harta yang ia per­ oleh tidak memenuhi aspek kehalalan dan jauh dari ke ber kahan. Penyucian hati diperoleh dengan cara beribadah, de ngan menyu­ cikan niat dan segala hal yang berhubungan dengan nya agar ke­ halalan dan keberhakan harta dapat diperoleh (Mu ham mad, 2008: 228).

Dalam konteks bisnis, seorang Muslim harus menjadikan Rasu lullah sebagai figur pebisnis andalan yang tidak hanya me­ men tingkan aspek untung dan rugi, tetapi juga menekankan nilai­ nilai keadilan ekonomi Islam. Di samping itu, Rasulullah selalu menekankan pentingnya kehalalan dalam mencari nafkah. Rasu­ lul lah menganalogikannya sebagai suatu kewajiban yang dituntut untuk dilakukan oleh setiap Muslim (Muhammad, 2008: 228). Ka­ rena itu, para pebisnis Muslim diperintahkan untuk meng in ves­ tasikan modalnya pada usaha­usaha yang halal, agar yang diper­ oleh bukan hanya keuntungan saja, akan tetapi juga men da patkan keberkahan.

Konsep ini berbanding terbalik dengan sistem kapitalisme yang hanya menekankan keuntungan saja dan mengindahkan as pek­aspek moralitas, dan mereka menjauhi nilai­nilai spiritual de mi mengeruk keruntungan sebesarnya­besarnya. Mereka mene­ rap kan sistem riba yang secara nyata mengesampingkan nilai­nilai ke adilan. Aspek moralitas dikesampingkan demi mendapatkan un­

IAIN Batusangkar

tung sebanyak­banyaknya. Aspek utama berbisnis menurut mere­ ka adalah profit tanpa memedulikan proses yang dilakukan sesuai atau tidak dengan nilai­nilai etika. Akan tetapi, di Islam aspek mo­ ralitas dan etika sangat dipentingkan, karena aspek moralitas me­ rupakan faktor utama dalam mendatangkan keberkahan.

Di dalam Islam, keberkahan adalah tujuan akhir dari sebuah transaksi. Apabila seseorang memperolehnya, maka ia tidak hanya mendapatkan falah di dunia saja, tetapi juga mendapatkannya di akhirat kelak. Seseorang yang mampu menjaga tindak­tanduknya selama melakukan transaksi diharapkan memperoleh keberkahan dalam bisnisnya. Konsep berkah ini diberikan oleh Allah tergantung pada perilaku para pebisnis itu sendiri, hanya jika seorang pebisnis memiliki karakter Qur’ani.

Fazlur rahman (dalam Muhammad, 2008: 228.), berpen da pat bahwa ada hubungan kuat antara kesejahteraan dengan morali­ tas. Masyarakat akan berakhir bahagia dan sejahtera jika mereka mam pu menghadirkan nilai­nilai moral dalam kehidup annya, dan se baliknya kebahagiaan akan sirna apabila akhlak dan moral para penduduknya sudah terangkat. Sebab itu menurutnya para pebis­ nis Muslim seyogyanya merasa terdorong untuk ber ak h lak mulia, karena mengharap ridha Allah untuk mencapai keba hagiaan sejati dan hakiki.

c. Prinsip Kesederhanaan

Prinsip ini mengatur manusia sebagai hamba Allah untuk bersikap tidak berlebih­lebihan. Sikab berlebih­lebihan mengacu pada sikap seseorang yang mengonsumsi melewati batas kewa jar­ annya. Prinsip berlebih­lebihan adalah seseorang yang membe­ lanjakan hartanya sesuai dengan apa yang diinginkannya bukan karena dibutuhkannya, berbanding terbalik dengan sikap kikir yang dapat membahayakan diri sendiri. Sikap sederhana berada pada posisi di antara sikap mubazir yang menghambur­hamburkan harta dan kikir yang mencekal harta.

Menurut Monzer Kahf, sikap berlebih­lebihan terutama dalam bidang konsumsi merupakan gambaran seseorang yang meng gu­

IAIN Batusangkar

149 BAB 6 — KONSUMSI

nakan hartanya dengan cara yang salah, seperti gratifikasi, pe­ nyuap an, dan tindakan lainnya yang mengacu pada tindak pidana eko nomi yang berlaku di berbagai negara. Pemborosan harta juga dimaknai dengan pemakaian harta secara berlebih­lebihan yang mengacu pada bentuk tindakan yang melanggar hukum, seperti makanan, pakaian, bahkan sedekah sekalipun. Ini tergambar da­ lam firman Allah dalam QS. al-Isrā’ [17]: 26­27:

﴾٦٢﴿ اًريِذْبَـت ْرِّذَبُـت لاَو ِليِبَّسلا َنْباَو َيِكْسِمْلاَو ُهَّقَح َبْرُقْلا اَذ ِتآَو

﴾۷۲﴿ اًروُفَك ِهِّبَرِل ُناَطْيَّشلا َناَكَو ِيِطاَيَّشلا َناَوْخِإ اوُناَك َنيِرِّذَبُمْلا َّنِإ

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan ja ngan-lah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. “Sesung-guhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. al-Isra’ [17]: 26-27).

Berdasarkan firman Allah di atas dijelaskan bahwa pelaku yang suka menghambur­hamburkan harta secara boros dilarang oleh Allah. Allah menyamakan para pelakunya sebagai saudara setan. Allah melarang pelaku yang suka memboroskan hartanya. Ini tidak hanya berlaku pada konsumsi saja, tetapi juga berlaku bagi orang yang bersedekah. Islam menghendaki umatnya untuk selalu bersikap sederhana, dan selalu menggunakan hartanya da­ lam batas kewajaran. Ini dimaksudkan karena penggunaan harta dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Dalam Al­Qur’an Allah berfirman dalam QS. al-Takātsur [102]: 8:

ِميِعَّنلا ِنَع ٍذِئَمْوَـي َّنُلَأْسُتَل َُّث

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (QS. al-Takatsur [102]: 8).

d. Prinsip Kemurahan Hati

IAIN Batusangkar

ke murahan hati mengandung dua makna yakni kemurahan Allah kepada manusia yang telah memberikan rahmat­Nya dan nikmat­ Nya melalui sifat Rahman dan Rahim­Nya, dan sikap pemu rah ma nusia yang selalu memberikan dan menafkahkan harta nya ke pada orang lain (Idri, 2015: 121). Adapun menurut M. Abdul Manan prinsip kemurahan hati adalah manusia dibolehkan untuk me ngonsumsi makanan dan minuman yang telah diha lalkan oleh Allah yang berguna untuk kelangsungan hidup manusia dan untuk men jaga kesehatannya untuk menegakan perintah Allah (M. Abdul Manan, 1997: 47) Allah berfirman dalam QS. al-Māidah [5]: 96:

ِّرَـبْلا ُدْيَص ْمُكْيَلَع َمِّرُحَو ِةَراَّيَّسلِلَو ْمُكَل اًعاَتَم ُهُماَعَطَو ِرْحَبْلا ُدْيَص ْمُكَل َّلِحُأ

َنوُرَشُْت ِهْيَلِإ يِذَّلا َهَّللا اوُقَّـتاَو اًمُرُح ْمُتْمُد اَم

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) bi-na tang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah ke pada Allah yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan (QS. al-Maidah [5]: 96).

Di antara sifat Rahman dan Rahim dalam diri manusia yang telah dititipkan oleh Allah dan ditekankan oleh Allah adalah ke­ wa jiban menyisihkan sebagian harta untuk membantu serta me­ ringankan beban sesamanya dalam bentuk kekayaan berupa zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, pinjaman, hadiah, dan dalam bentuk solidaritas sosial lainnya. Hal ini ditekankan Allah dalam firman­ Nya dalam QS. al-Tāubah [9]: 103.

َكَتلاَص َّنِإ ْمِهْيَلَع ِّلَصَو اَهِب ْمِهيِّكَزُـتَو ْمُهُرِّهَطُت ًةَقَدَص ْمِهِلاَوْمَأ ْنِم ْذُخ

ٌميِلَع ٌعيِمَس ُهَّللاَو ْمُهَل ٌنَكَس

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Se sungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. al-Taubah [9]: 103).

IAIN Batusangkar

151 BAB 6 — KONSUMSI

untuk memberikan sebagian hartanya kepada sesama yang mem­ bu tuhkan dan untuk kepentingan umum. Dalam Islam sarana un­ tuk mendistribusikan harta dikenal dengan zakat, sedekah, infak dan wakaf (Suhardi K. Lubis, 1999: 25­27). Hal ini juga di te kan­ kan oleh Yusuf al­Qardhawi, bahwa Islam membolehkan umat nya untuk mengonsumsi barang­barang yang baik, berman faat, dan berhak memilikinya. Akan tetapi kepemilikan atas barang ter sebut bukanlah tujuan dari hidup ini melainkan merupakan sa rana me­ nikmati karunia Allah dan sarana untuk mewujud kan ke mash lat ­ an umum (Yusuf al­Qaradhawi, 1991: 138). Sebagai ma na firman Allah dalam QS. al­hadīd [57]: 7:

ْمُكْنِم اوُنَمآ َنيِذَّلاَف ِهيِف َيِفَلْخَتْسُم ْمُكَلَعَج اَِّم اوُقِفْنَأَو ِهِلوُسَرَو ِهَّللاِب اوُنِمآ

ٌيرِبَك ٌرْجَأ ْمَُله اوُقَفْـنَأَو

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasai-nya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar (QS. al-Hadid [57]: 7)

e. Prinsip Moralitas

Dalam Islam, konsumsi tidak hanya berkenaan dengan pemuas­ an kebutuhan jasmani, tetapi juga berkenaan dengan tujuan akhir konsumsi yakni penerapan nilai­nilai moral dan spiritual dalam kehidupan masyarakat. Seperti contoh, dengan mengucapkan bas­ malah ketika hendak makan serta mengucapkan hamdalah sete­ lah makan, ini menunjukan bahwa seorang Muslim merasakan ke­ hadiran Allah dalam setiap kegiatannya. Ini sangat penting bagi umat Islam karena Islam menghendaki adanya perpaduan antara as pek spiritual dan material agar terwujudnya kehidupan yang

fa-lah dunia dan akhirat (Eko Suprianto, 2005: 95).

Konsepsi moral dalam mengonsumsi barang dan jasa di dalam Islam tidak hanya menekankan aspek kepuasan tetapi juga me­ nerapkan nilai­nilai moral yang erat kaitannya dengan etika kon­ sumsi. Karena dalam Islam aspek kepuasan tidak hanya berkaitan

IAIN Batusangkar

dengan pemenuhan kebutuhan­kebutuhan jasmani saja, tetapi juga mencakup terpenuhinya kebutuhan rohani. Kebutuhan jasmani terpenuhi apabila segala sesuatu yang kita butuhkan terpenuhi, se dangkan kebutuhan rohani terpenuhi apabila memasukkan ni­ lai­nilai moral, etika, akhlak, serta norma­norma spiritual dalam rang ka memuaskan apa yang kita butuhkan. Dalam mengonsumsi ba rang atau jasa, Rasulullah selalu mengingatkan pentingnya ber­ etika, seperti misalnya menggunakan tangan kanan. Seperti dalam sabdanya:

اَنَرَـبْخَأ ٍحْمُر ُنْب ُدَّمَُم اَنَـثَّدَح و ح ٌثْيَل اَنَـثَّدَح ٍديِعَس ُنْب ُةَبْيَـتُـق اَنَـثَّدَح

َلا َلاَق َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ِهَّللا ِلوُسَر ْنَع ٍرِباَج ْنَع ِْيرَـبُّزلا ِبَأ ْنَع ُثْيَّللا

)ملسم هاور( ِلاَمِّشلاِب ُلُكْأَي َناَطْيَّشلا َّنِإَف ِلاَمِّشلاِب اوُلُكْأَت

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id: Telah mence-ritakan kepada kami Laits; demikian juga telah diriwayatkan dari jalur yang lain; dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh; telah mengabarkan kepada kami Al-Laits dari Abu Zubair dari Jabir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ‘Janganlah kalian makan dengan tangan kiri, karena setan makan dengan tangan kiri’” (H.R. Muslim).

Adapun norma lainnya ketika mengonsumsi barang yaitu du­ duk ketika makan dan minum, karena secara adat istiadat ma kan dan minum berdiri dianggap kurang sopan. Ini ditekankan dalam Hadis Nabi:

ِّيِراَوْسُْلأا ىَسيِع ِبَأ ْنَع ُةَداَتَـق اَنَـثَّدَح ٌماََّه اَنَـثَّدَح ٍدِلاَخ ُنْب ُباَّدَه اَنَـثَّدَح

ِبْرُّشلا ْنَع َرَجَز َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص َِّبَّنلا َّنَأ ِّيِرْدُْلا ٍديِعَس ِبَأ ْنَع

)ملسم هاور( اًمِئاَق

“Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid: telah mencerita-kan kepada kami Hammam; telah menceritamencerita-kan kepada kami Qatadah dari Abu ‘Isa Al-Uswari dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang minum sambil berdiri’” (H.R. Muslim).

IAIN Batusangkar

153 BAB 6 — KONSUMSI

2. Nilai Konsumsi

Dalam ekonomi konvensional, permintaan (demand) terhadap konsumsi adalah keinginan (want), kebutuhan (need), atau has rat untuk suatu produksi yang ditunjang dengan uang untuk mene­ busnya (Chistoper Pass, 1998: 138). Kebutuhan atau keinginan manusia sebagai konsumen akan dianggap terpenuhi jika orang tersebut merasa puas dengan konsumsi yang dilakukannya.

Dalam tatanan ekonomi Islam, dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia ada perbedaan antara I want (keinginan) dengan I

Need (kebutuhan). Want didefinisikan sebagai kemauan manusia,

sedangkan need adalah segala keperluan dasar manusia. Dalam ap­ likasinya, penggunaan want dengan need dapat diilustrasikan se ­ perti seseorang yang haus, apabila ia mengonsumsi air mineral bia sa, maka itu dikategorikan sebagai need, dan apabila ia me mi­ num segelas Fanta/soft drink, maka dikategorikan sebagai want. Perbuatan pemenuhan keinginan (want) menghasilkan perilaku kon sumen yang konsumtif dan berlebih­lebihan. Akibatnya ter­ cip ta perilaku konsumen yang selalu menyalurkan keinginannya un tuk membeli suatu produk tanpa memikirkan konsekuensi dari sikap tersebut, apakah barang yang dibeli benar­benar dibutuhkan atau hanya sekadar diinginkan. Indikator kepuasan dalam tatanan konsumsi Islam tidak hanya terbatas pada benda­benda konkret/ materi semata, tetapi juga terlihat pada benda­benda abstrak se­ perti amal saleh yang ia perbuat.

Dalam tatanan ekonomi Islam, sikap konsumtif membentuk perilaku boros dan menghamburkan harta. Pelakunya disamakan oleh Allah dengan seseorang yang melampui batas, yakni sauda­ ranya setan yang selalu ingkar kepada Allah. Hal ini tergambar dalam QS. al-Isra [17]: 26­27:

﴾٦٢﴿ اًريِذْبَـت ْرِّذَبُـت لاَو ِليِبَّسلا َنْباَو َيِكْسِمْلاَو ُهَّقَح َبْرُقْلا اَذ ِتآَو

﴾۷۲﴿ اًروُفَك ِهِّبَرِل ُناَطْيَّشلا َناَكَو ِيِطاَيَّشلا َناَوْخِإ اوُناَك َنيِرِّذَبُمْلا َّنِإ

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan ja ngan lah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. “Se sung

guh-IAIN Batusangkar

Dalam dokumen MUAMALAH KONTEMPORER. IAIN Batusangkar (Halaman 154-164)