MENAMPIK RAYUAN, MEMBANGUN CITRA PENYELENGGARA
JAMAL RAHMAN 20
agi saya, tujuan utama KPU adalah menciptakan Pemilu berintegritas. Karenanya dibutuhkan penyelenggara, peserta, pemilih dan bahkan seluruh stakeholder Pemilu yang berintegritas. Untuk mewujudkannya kemudian dirumuskan prinsip-prinsip penyelenggara Pemilu: Mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, akuntabilitas, profesional, proporsional, efektif, efisien, dan seterusnya.
Apakah sebagai penyelenggara kita mampu berpegang teguh pada prinsip-prinsip itu? Baik di sepanjang proses tahapan, atau di sepanjang mengemban tugas sebagai penyelenggara, bahkan ketika
20 Ketua KPU Kabupaten Bolaang Mongondow Timur,
B
kita sudah purna tugas dan kembali sebagai masyarakat pemilih?
Tentu ujiannya tidak mudah.
Ujian terhadap prinsip jujur dan adil misalnya, tidak hanya terkait dengan daya tahan kita menghadapi tekanan serta rayuan atau ajakan kompromi dari peserta Pemilu. Tetapi di saat kita menjalankan tahapan, sering ada kealpaan sebagai sifat-sifat manusiawi. Misalnya pada situasi fisik sudah kelelahan, sementara proses logistik Pemilu berlangsung dan harus diselesaikan dengan penuh ketelitian, di situ juga integritas diuji. Bagaimana membangun dan mempertahankan semangat kerja tim. Contohnya pada saat krusial harus melakukan pelipatan surat suara, pengesetan perlengkapan dan pengepakkan kotak suara hingga larut malam bahkan tidak tidur berhari-hari. Jelas saja fisik terkuras dan psikis otomatis tertekan.
Sederhananya visi KPU mungkin bisa kita pahami sebagai sebuah lembaga yang berupaya menciptakan penyelenggaraan Pemilu yang baik. Namun ketika mencoba merefleksikan pengalaman empiris menjadi ketua KPU Boltim, sungguh saya merasa telah menjalani sebuah pengalaman batin yang sangat berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya. Tidak diragukan lagi.
Bahwa memimpin sebuah lembaga dengan berpegang pada prinsip-prinsip penyelenggara mandiri, jujur, adil, proporsional, profesional, dan seterusnya, bukanlah hal sederhana. Apalagi secara teknis, sebelumnya dalam konteks kePemiluan saya adalah bagian dari masyarakat umum yang asing dengan detail-detail proses dan tahapan Pemilu. Bahkan sama sekali belum punya pengalaman menjadi penyelenggara, baik sebagai Pantarlih, KPPS, PPS, atau PPK. (*)
Terpanggil Menjadi Penyelenggara Pemilu
Ada banyak hal yang mungkin bisa saya ceritakan, namun dalam esai singkat ini saya ingin berbagi beberapa bagian cerita yang masih lekat dalam ingatan, terutama seputar tahapan Pemilu Legislatif dan pemilihan presiden 2019, serta Pilkada 2020 yang luar biasa hebat tantangannya.
MENAMPIK RAYUAN, MEMBANGUN CITRA PENYELENGGARA
JAMAL RAHMAN20
agi saya, tujuan utama KPU adalah menciptakan Pemilu berintegritas. Karenanya dibutuhkan penyelenggara, peserta, pemilih dan bahkan seluruh stakeholder Pemilu yang berintegritas. Untuk mewujudkannya kemudian dirumuskan prinsip-prinsip penyelenggara Pemilu: Mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, akuntabilitas, profesional, proporsional, efektif, efisien, dan seterusnya.
Apakah sebagai penyelenggara kita mampu berpegang teguh pada prinsip-prinsip itu? Baik di sepanjang proses tahapan, atau di sepanjang mengemban tugas sebagai penyelenggara, bahkan ketika
20 Ketua KPU Kabupaten Bolaang Mongondow Timur,
B
kita sudah purna tugas dan kembali sebagai masyarakat pemilih?
Tentu ujiannya tidak mudah.
Ujian terhadap prinsip jujur dan adil misalnya, tidak hanya terkait dengan daya tahan kita menghadapi tekanan serta rayuan atau ajakan kompromi dari peserta Pemilu. Tetapi di saat kita menjalankan tahapan, sering ada kealpaan sebagai sifat-sifat manusiawi. Misalnya pada situasi fisik sudah kelelahan, sementara proses logistik Pemilu berlangsung dan harus diselesaikan dengan penuh ketelitian, di situ juga integritas diuji. Bagaimana membangun dan mempertahankan semangat kerja tim. Contohnya pada saat krusial harus melakukan pelipatan surat suara, pengesetan perlengkapan dan pengepakkan kotak suara hingga larut malam bahkan tidak tidur berhari-hari. Jelas saja fisik terkuras dan psikis otomatis tertekan.
Sederhananya visi KPU mungkin bisa kita pahami sebagai sebuah lembaga yang berupaya menciptakan penyelenggaraan Pemilu yang baik. Namun ketika mencoba merefleksikan pengalaman empiris menjadi ketua KPU Boltim, sungguh saya merasa telah menjalani sebuah pengalaman batin yang sangat berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya. Tidak diragukan lagi.
Bahwa memimpin sebuah lembaga dengan berpegang pada prinsip-prinsip penyelenggara mandiri, jujur, adil, proporsional, profesional, dan seterusnya, bukanlah hal sederhana. Apalagi secara teknis, sebelumnya dalam konteks kePemiluan saya adalah bagian dari masyarakat umum yang asing dengan detail-detail proses dan tahapan Pemilu. Bahkan sama sekali belum punya pengalaman menjadi penyelenggara, baik sebagai Pantarlih, KPPS, PPS, atau PPK. (*)
Terpanggil Menjadi Penyelenggara Pemilu
Ada banyak hal yang mungkin bisa saya ceritakan, namun dalam esai singkat ini saya ingin berbagi beberapa bagian cerita yang masih lekat dalam ingatan, terutama seputar tahapan Pemilu Legislatif dan pemilihan presiden 2019, serta Pilkada 2020 yang luar biasa hebat tantangannya.
Saya ingin memulainya dengan dinamika proses mengikuti seleksi penyelenggara. Ada penggalan momen menarik ketika sesi wawancara. Salah satu panelis yang tergabung dalam tim seleksi menanyakan apa alasan saya ingin menjadi penyelenggara Pemilu.
Padahal saat itu sesuai dengan apa yang saya tulis dalam makalah, bahwa saya sedang membangun "Rumah Sastra Boltim" sebuah wadah kesenian dan kebudayaan.
Saya menangkap pertanyaan ini sebagai respon spontan ketika panelis tersebut membaca makalah, dan beliau ingin menggali lebih jauh terkait konsistensi saya. Artinya kenapa upaya membangun kesenian dan kebudayaan yang begitu luhur itu ingin saya tinggalkan demi menjadi penyelenggara Pemilu. Panelis lain bertanya tentang motivasi bekerja di KPU, apakah saya tergiur dengan honor atau istilah uang kehormatan juga fasilitas lain yang bisa didapatkan ketika dilantik sebagai komisioner.
Saat menjawab, saya tidak langsung menampik kesan-kesan miring tersebut. Bahkan saya menyatakan sisi manusiawi tentu akan bertolakbelakang jika saya memberikan jawaban ideal bahwa "tidak mengharapkan honor dan fasilitas yang akan didapatkan bila saya terpilih".
Sebab sejak awal dalam eksistensi sebagai jurnalis, penyair, dan seniman, semangat saya adalah membangun sisi kemanusiaan dengan sumber daya yang saya miliki. Perspektif saya bahwa kehidupan sosial dan peradaban manusia saat ini sulit dipisahkan dengan persoalan politik. Bahkan menelisik kehidupan bermasyarakat di beberapa desa dan dusun yang jauh dari akses ibu kota kabupaten, kita tetap akan mendapati bahwa kehidupan mereka diatur oleh sistem demokrasi. Faktanya, dalam praktik berdemokrasi di desa-desa, masih terdapat ketimpangan, yang membutuhkan upaya serius, bagaimana menerapkan sistem berbarengan dengan upaya membangun kesadaran akan hak dan kewajiban bernegara.
Namun di sisi lain saya termasuk yang percaya pada niat luhur demokrasi. Yakni mengatur kehidupan sosial bermasyarakat agar terwujud keadilan dan kemerdekaan. Inilah salah satu alasan saya untuk terjun sebagai penyelenggara Pemilu. Bila kelak memiliki
kesempatan, kewenangan untuk berkontribusi dalam kehidupan berdemokrasi, maka saya akan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Dan tentu dengan akses dan fasilitas yang tersedia harus dimaksimalkan dengan kemampuan dan keterampilan. (*)
Menampik Rayuan, Membangun Citra Penyelenggara
Pengalaman lain yang ingin saya ceritakan; bagaimana mengakselerasi pengetahuan dan kemampuan saya agar bisa memimpin KPU Boltim dengan penuh integritas. Tentu makna integritas bagi saya adalah totalitas dari dalam pikiran, jiwa dan raga.
Bagaimana usaha memahami regulasi yang dulunya ketika berposisi sebagai jurnalis, itu sekadar menjadi bahan informasi. Namun saat ini bagi saya situasinya berbeda. Prinsip-prisnsip penyelenggara Pemilu tidak cukup untuk dibaca saja, namun harus dijadikan panduan dalam bersikap dan mengambil keputusan. Situasi dilematis harus dihadapi dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, agar kita tidak terseret pada dinamika yang timbul dari pertarungan para peserta Pemilu dalam sebuah kontestasi. Godaan (rayuan) bahkan ancaman (tekanan politik) haruslah dihadapi.
Di sebuah waktu, masih lekat dalam ingatan saya ketika selesai tahapan pemungutan, perhitungan dan rekapitulasi suara pada Pemilu 2019 lalu. Ada beberapa Caleg yang datang menyampaikan terimakasih kepada kami, karena menurut mereka KPU Boltim telah melaksanakan tahapan Pemilu dengan baik. Ucapan terimakasihnya beragam. Ada yang lugas secara verbal, ada yang beretorika khas politisi. Tapi ada pula yang ingin berterimakasih dalam bentuk amplop dan segenap isinya. Hehehe.
Di ruangan saya, selalu dibiasakan bila ada tamu, terutama para politisi atau perwakilan peserta Pemilu, kami terima di ruangan dengan pintu tetap terbuka, dan saya selalu mengajak teman-teman komisioner yang lain atau staf untuk mendampingi dan mendokumentasikan. Hal itu saya lakukan untuk dua maksud. Pertama untuk menghargai tamu yang secara formal saya anggap untuk konsultasi mengenai tahapan ataupun datang mencari informasi terkait kepemiluan. Meskipun
Saya ingin memulainya dengan dinamika proses mengikuti seleksi penyelenggara. Ada penggalan momen menarik ketika sesi wawancara. Salah satu panelis yang tergabung dalam tim seleksi menanyakan apa alasan saya ingin menjadi penyelenggara Pemilu.
Padahal saat itu sesuai dengan apa yang saya tulis dalam makalah, bahwa saya sedang membangun "Rumah Sastra Boltim" sebuah wadah kesenian dan kebudayaan.
Saya menangkap pertanyaan ini sebagai respon spontan ketika panelis tersebut membaca makalah, dan beliau ingin menggali lebih jauh terkait konsistensi saya. Artinya kenapa upaya membangun kesenian dan kebudayaan yang begitu luhur itu ingin saya tinggalkan demi menjadi penyelenggara Pemilu. Panelis lain bertanya tentang motivasi bekerja di KPU, apakah saya tergiur dengan honor atau istilah uang kehormatan juga fasilitas lain yang bisa didapatkan ketika dilantik sebagai komisioner.
Saat menjawab, saya tidak langsung menampik kesan-kesan miring tersebut. Bahkan saya menyatakan sisi manusiawi tentu akan bertolakbelakang jika saya memberikan jawaban ideal bahwa "tidak mengharapkan honor dan fasilitas yang akan didapatkan bila saya terpilih".
Sebab sejak awal dalam eksistensi sebagai jurnalis, penyair, dan seniman, semangat saya adalah membangun sisi kemanusiaan dengan sumber daya yang saya miliki. Perspektif saya bahwa kehidupan sosial dan peradaban manusia saat ini sulit dipisahkan dengan persoalan politik. Bahkan menelisik kehidupan bermasyarakat di beberapa desa dan dusun yang jauh dari akses ibu kota kabupaten, kita tetap akan mendapati bahwa kehidupan mereka diatur oleh sistem demokrasi. Faktanya, dalam praktik berdemokrasi di desa-desa, masih terdapat ketimpangan, yang membutuhkan upaya serius, bagaimana menerapkan sistem berbarengan dengan upaya membangun kesadaran akan hak dan kewajiban bernegara.
Namun di sisi lain saya termasuk yang percaya pada niat luhur demokrasi. Yakni mengatur kehidupan sosial bermasyarakat agar terwujud keadilan dan kemerdekaan. Inilah salah satu alasan saya untuk terjun sebagai penyelenggara Pemilu. Bila kelak memiliki
kesempatan, kewenangan untuk berkontribusi dalam kehidupan berdemokrasi, maka saya akan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Dan tentu dengan akses dan fasilitas yang tersedia harus dimaksimalkan dengan kemampuan dan keterampilan. (*)
Menampik Rayuan, Membangun Citra Penyelenggara
Pengalaman lain yang ingin saya ceritakan; bagaimana mengakselerasi pengetahuan dan kemampuan saya agar bisa memimpin KPU Boltim dengan penuh integritas. Tentu makna integritas bagi saya adalah totalitas dari dalam pikiran, jiwa dan raga.
Bagaimana usaha memahami regulasi yang dulunya ketika berposisi sebagai jurnalis, itu sekadar menjadi bahan informasi. Namun saat ini bagi saya situasinya berbeda. Prinsip-prisnsip penyelenggara Pemilu tidak cukup untuk dibaca saja, namun harus dijadikan panduan dalam bersikap dan mengambil keputusan. Situasi dilematis harus dihadapi dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, agar kita tidak terseret pada dinamika yang timbul dari pertarungan para peserta Pemilu dalam sebuah kontestasi. Godaan (rayuan) bahkan ancaman (tekanan politik) haruslah dihadapi.
Di sebuah waktu, masih lekat dalam ingatan saya ketika selesai tahapan pemungutan, perhitungan dan rekapitulasi suara pada Pemilu 2019 lalu. Ada beberapa Caleg yang datang menyampaikan terimakasih kepada kami, karena menurut mereka KPU Boltim telah melaksanakan tahapan Pemilu dengan baik. Ucapan terimakasihnya beragam. Ada yang lugas secara verbal, ada yang beretorika khas politisi. Tapi ada pula yang ingin berterimakasih dalam bentuk amplop dan segenap isinya. Hehehe.
Di ruangan saya, selalu dibiasakan bila ada tamu, terutama para politisi atau perwakilan peserta Pemilu, kami terima di ruangan dengan pintu tetap terbuka, dan saya selalu mengajak teman-teman komisioner yang lain atau staf untuk mendampingi dan mendokumentasikan. Hal itu saya lakukan untuk dua maksud. Pertama untuk menghargai tamu yang secara formal saya anggap untuk konsultasi mengenai tahapan ataupun datang mencari informasi terkait kepemiluan. Meskipun
kadang ada tamu dengan alasan sekadar ingin bertemu, berkenalan, dan bersilaturahmi, ada juga para sales obat-obatan, perlengkapan rumah tangga, dll, hehehe. Untuk segala bentuk ucapan terimakasih tersebut, tentu saya tanggapi dengan santun dan santai. Terutama untuk bentuk terimakasih yang terakhir itu. Respon saya simple:
Berterimakasihlah pada rakyat yang telah memilihmu, sebab penyelenggara memang bekerja untuk menyukseskan Pemilu.
Cukuplah bagi kami dengan kesempatan dan fasilitas yang sudah diberikan negara untuk kami menjalankan tugas.
Jadi menarik ketika kisah ini saya ceritakan kepada beberapa teman. Ada yang berkelakar, kenapa tidak dilihat dulu isi amplopnya.
Hehehehe…, Kan tahapan rekapitulasi sudah selesai. Sudah ketahuan si Caleg itu akan dapat kursi karena suara terbanyak. Saya juga tidak meminta. Yang bersangkutan saja yang ingin memberi. Artinya jika 'amplop terimakasih' itu saya terima dan ketika nanti dipersoalkan, atau yang bersangkutan menceritakan hal ini ke publik, akan sulit untuk menjerat saya secara hukum.
Namun substansinya inilah yang saya sebut salah satu sisi dilematis. Artinya lembaga penyelenggara, tempat saya mengabdi saat ini, tidak lepas dari stigma negatif terkait dengan isu suap dan tindak koruptif lainnya. Di sisi lain rayuan, godaan dan tekanan, juga selalu muncul dengan beragam bentuk dan sifatnya. Namun sisi dilematis ini bisa kita jawab dengan niat dan upaya kita secara individu untuk terus mempertahankan integritas. Prinsip jujur, adil, profesional, tidak hanya untuk menjalankan tahapan Pemilu, tetapi harus benar-benar ditanamkan dalam jiwa. Tentu saja dibutuhkan konsistensi dan keteguhan hati untuk menjaga niat dan tujuan menjadi penyelenggara.
Sambil belajar untuk menata kemampuan komunikasi publik, dengan memedomani arahan dan petunjuk teknis dari pimpinan di KPU Provinsi dan KPU RI. (*)
Harus Teliti, Harus Hati-Hati
Ingin saya ceritakan juga bagaimana kami menjaga tim agar bekerja dengan faktor ketelitian dan kehati-hatian dalam proses verifikasi berkas pencalonan DPRD. Pada tahapan ini kami harus memastikan terkait dokumen persyaratan calon dan persyaratan pencalonan oleh Parpol. Untuk persyaratan Calon, dokumen yang harus kami teliti cukup banyak. Antara lain syarat usia, ijazah, pekerjaan, serta keanggotaan dalam Parpol. Pada Pemilu 2019, di Boltim terdapat dokumen salah satu Caleg terdaftar di dua Parpol.
Yang kemudian Caleg tersebut kami klarifikasi dan meminta yang bersangkutan menentukan untuk mencalonkan diri hanya dari satu Parpol.
Dokumen syarat pencalonan dari Parpol juga bukan sesuatu yang sederhana untuk diteliti. Antara lain SK Kepengurusan serta kelengkapan AD/ART Parpol yang harus dilegalisir oleh Pengurus atau Pimpinan Pusat. Pengalaman menarik ketika proses pendaftaran Caleg ini. Beberapa Parpol membawa SK yang berbeda dengan yang terakhir tercatat di KPU. Ada juga yang membawa AD/ART yang tidak dilegalisir. Tentu secara formal kami menerima dokumen-dokumen itu, kemudian kami nyatakan belum lengkap, dan Parpol harus melengkapinya dalam batas waktu yang sudah ditentukan. (*)
Menghadapi Gugatan
Di sini saya tidak akan menulis laporan hasil persidangan ataupun detail kronologi proses sengketa di Bawaslu Kabupaten, Bawaslu Provinsi, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang kami hadapi. Tapi ada beberapa bagian yang berkesan dan ingin saya bagikan kepada pembaca.
Pertama, menghadapi sengketa dan mengikuti sidang sebagai pihak terlapor adalah pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Secara empirik perasaan berkecamuk; antara kaget, cemas, dan takut. Tapi tak ada pilihan untuk menghindar apalagi lari.
Kedua, pengetahuan dan kemampuan saya dalam hal advokasi hukum sangat terbatas. Dan ketiga rasa campur aduk, karena merasa sudah
kadang ada tamu dengan alasan sekadar ingin bertemu, berkenalan, dan bersilaturahmi, ada juga para sales obat-obatan, perlengkapan rumah tangga, dll, hehehe. Untuk segala bentuk ucapan terimakasih tersebut, tentu saya tanggapi dengan santun dan santai. Terutama untuk bentuk terimakasih yang terakhir itu. Respon saya simple:
Berterimakasihlah pada rakyat yang telah memilihmu, sebab penyelenggara memang bekerja untuk menyukseskan Pemilu.
Cukuplah bagi kami dengan kesempatan dan fasilitas yang sudah diberikan negara untuk kami menjalankan tugas.
Jadi menarik ketika kisah ini saya ceritakan kepada beberapa teman. Ada yang berkelakar, kenapa tidak dilihat dulu isi amplopnya.
Hehehehe…, Kan tahapan rekapitulasi sudah selesai. Sudah ketahuan si Caleg itu akan dapat kursi karena suara terbanyak. Saya juga tidak meminta. Yang bersangkutan saja yang ingin memberi. Artinya jika 'amplop terimakasih' itu saya terima dan ketika nanti dipersoalkan, atau yang bersangkutan menceritakan hal ini ke publik, akan sulit untuk menjerat saya secara hukum.
Namun substansinya inilah yang saya sebut salah satu sisi dilematis. Artinya lembaga penyelenggara, tempat saya mengabdi saat ini, tidak lepas dari stigma negatif terkait dengan isu suap dan tindak koruptif lainnya. Di sisi lain rayuan, godaan dan tekanan, juga selalu muncul dengan beragam bentuk dan sifatnya. Namun sisi dilematis ini bisa kita jawab dengan niat dan upaya kita secara individu untuk terus mempertahankan integritas. Prinsip jujur, adil, profesional, tidak hanya untuk menjalankan tahapan Pemilu, tetapi harus benar-benar ditanamkan dalam jiwa. Tentu saja dibutuhkan konsistensi dan keteguhan hati untuk menjaga niat dan tujuan menjadi penyelenggara.
Sambil belajar untuk menata kemampuan komunikasi publik, dengan memedomani arahan dan petunjuk teknis dari pimpinan di KPU Provinsi dan KPU RI. (*)
Harus Teliti, Harus Hati-Hati
Ingin saya ceritakan juga bagaimana kami menjaga tim agar bekerja dengan faktor ketelitian dan kehati-hatian dalam proses verifikasi berkas pencalonan DPRD. Pada tahapan ini kami harus memastikan terkait dokumen persyaratan calon dan persyaratan pencalonan oleh Parpol. Untuk persyaratan Calon, dokumen yang harus kami teliti cukup banyak. Antara lain syarat usia, ijazah, pekerjaan, serta keanggotaan dalam Parpol. Pada Pemilu 2019, di Boltim terdapat dokumen salah satu Caleg terdaftar di dua Parpol.
Yang kemudian Caleg tersebut kami klarifikasi dan meminta yang bersangkutan menentukan untuk mencalonkan diri hanya dari satu Parpol.
Dokumen syarat pencalonan dari Parpol juga bukan sesuatu yang sederhana untuk diteliti. Antara lain SK Kepengurusan serta kelengkapan AD/ART Parpol yang harus dilegalisir oleh Pengurus atau Pimpinan Pusat. Pengalaman menarik ketika proses pendaftaran Caleg ini. Beberapa Parpol membawa SK yang berbeda dengan yang terakhir tercatat di KPU. Ada juga yang membawa AD/ART yang tidak dilegalisir. Tentu secara formal kami menerima dokumen-dokumen itu, kemudian kami nyatakan belum lengkap, dan Parpol harus melengkapinya dalam batas waktu yang sudah ditentukan. (*)
Menghadapi Gugatan
Di sini saya tidak akan menulis laporan hasil persidangan ataupun detail kronologi proses sengketa di Bawaslu Kabupaten, Bawaslu Provinsi, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang kami hadapi. Tapi ada beberapa bagian yang berkesan dan ingin saya bagikan kepada pembaca.
Pertama, menghadapi sengketa dan mengikuti sidang sebagai pihak terlapor adalah pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Secara empirik perasaan berkecamuk; antara kaget, cemas, dan takut. Tapi tak ada pilihan untuk menghindar apalagi lari.
Kedua, pengetahuan dan kemampuan saya dalam hal advokasi hukum sangat terbatas. Dan ketiga rasa campur aduk, karena merasa sudah
menjalankan tahapan dengan jujur, mengikuti semua regulasi serta berjalan sesuai petunjuk secara hirarkis. Sudah pula melakukan konsultasi berjenjang ke level pimpinan yang lebih tinggi, namun tetap digugat. Tapi begitulah ‘takdir’ penyelenggara. Apapun langkah hukum peserta Pemilu, itu hak konstitusional mereka. Harus dihormati.
Persidangan pertama kami jalani hadapi di Bawaslu Boltim.
Sengketa proses tahapan Pencalonan Anggota DPRD Kabupaten. Ada parpol mennggugat karena salah satu Caleg-nya kami nyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) pada tahapan penetapan Daftar Calon Sementara (DCS). Persoalannya Caleg tersebut awalnya mendaftar melalui Parpol lain, namun masih belum lengkap berkas atau dokumen pencalegannya. Artinya berkas Caleg tersebut ada di dua Parpol.
Sesuai regulasi, tepatnya Peraturan KPU nomor 20 tahun 2018, serta petunjuk teknis yang menyertainya, yang bersangkutan harus diberi label tidak memenuhi syarat.
Persidangan kedua terkait laporan salah satu Caleg yang sudah mengundurkan diri di internal partainya, namun namanya tetap tercantum dalam DCS dan bahkan masuk juga dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Situasi ini terjadi karena Parpolnya tidak pernah menyodorkan Caleg pengganti selama tahapan pencalonan berlangsung. Makanya di kasus ini tidak hanya KPU Boltim yang dilaporkan. Parpol yang mengusungnya juga ikut diseret sebagai terlapor. Seru memang.
Persidangan ketiga terkait proses pemungutan, penghitungan, dan
Persidangan ketiga terkait proses pemungutan, penghitungan, dan