• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jean-Paul Sartre (1905-1981)

Dalam dokumen BAB I PENGERTIAN FILSAFAT (Halaman 59-62)

FILSAFAT EKSISTENSIALISME DAN FENOMENOLOGI

5. Jean-Paul Sartre (1905-1981)

Jean-Paul Sartre dilahirkan di Paris, Perancis dan juga belajar di kota tersebut. Ia terkenal melalui novel-novelnya, drama-drama tulisannya dan cerita-cerita pendeknya. Karyanya dalam filsafat yang pokok adalah Being and Nothingness, suatu karya besar yang membicarakan tentang alam, bentuk-bentuk eksistensinya, atau ‗being’; dan Existensialism and Humanism, suatu buku kecil tentang manusia. Buku-bukua yang lain adalah Nausea; No Exit, dan The Files, dan sebuah cerita pendek yang memuat tentang psikologi kematian, The Wall. Sartre merupakan pendukung gerakan yang berhaluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Ia mengatakan ‗manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengandalkan pada kekuatan di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan dirinya sendiri‘ (Titus, dkk., 1984: 395).

Eksistensialisme dalam bentuknya yang sekarang telah muncul di Paris setelah Perang Dunia II. Sartre menyatakan ‗karena eksistensialisme telah

menjadi model, maka orang banyak mengatakan dengan senang hati bahwa ahli musik atau pelukis ini adalah eksistensialis‘. Berkaitan dengan eksistensialisme, ia menegaskan ‗eksistensialisme adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektivitas manusia‘ (Titus, dkk., 1984: 396).

Sartre, sebagaimana Nietzsche, mengingkari adanyaTuhan. Menu-rutnya, manusia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan wataknya. Selanjutnya dinyatakan ‗tidak ada watak manusia, oleh karena itu tidak ada Tuhan yang memiliki konsep tentang manusia‘. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekadar apa yang ia konsepsikan setelah ada --seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi. Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia, manusian harus bersandar kepada sumber-sumber sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya.

Bagi Sartre, manusia memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya dengan kemauan dan tindakannya. Situasi manusia mungkin tak mengandung arti, tak masuk akal dan tragis, tetapi ia masih dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi dan keberanian, dan ia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Baginya, qadla dan qadar manusia itu ditangannya sendiri, maka harapannya adalah untuk mengadakan pilihan dan tindakan supaya dapat hidup.

Dalam beberpa hal, Sartre menekankan pada watak manusia yang menyedihkan. Manusia dalam keadaan sendirian mengalami kekhawatiran dan duka cita, ia takut kepada ‗ketiadaan‘ dan ‗kematian‘ yang menunggunya. Orang lain adalah manusia yang tidak mempedulikannya atau musuh yang ingin memiliki dan menguasainya. Dinyatakan Sartre selanjutnya, bahwa kebanyakan orang menipu diri sendiri. Mereka berusaha untuk mengalihkan tangung jawab mereka sendiri kepada faktor-faktor warisan dan lingkungan yang menentukan, kepada kemauan ketaatan yang lebih tinggi, kepada massa atau sekelompok orang di mana rasa tanggung jawab pribadi akan hilang. Meskipun demikian, manusia tetap bebas dan oleh karena itu bertanggung jawab tentang dirinya. Kebebasan tersebut, menurut Sartre, memberikan rasa kehormatan kepada dirinya dan menyelamatkan dari „sekedar menjadi obyek‟ (Titus, dkk., 1984: 396).

B. Fenomenologi

Dalam konteks apapun ketika memakai kata fenomenologi, akan diingatkan kepada pembedaan yang dibawakan oleh Kant antara phenomenon atau penampakan realitas kepada kesadaran, dan noumenon atau wujud dari

realitas itu sendiri. Problema untuk “mengompromikan realitas dengan pikiran tentang realitas” merupakan problema yang sama tuanya dengan filsafat sendiri. Problema itu menjadi lebih sulit karena kita tak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran kita, dan kita tak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas.

Seorang filosof itu mengabdikan diri untuk menembus rahasia; filsafat fenomenologis berusaha untuk memecahkan dualisme itu. Ia memulai tugasnya dengan mengatakan: Jika memang ada pemecahan soal, maka pemecahan tersebut berbunyi: hanya feomenologi yang tersajikan kepada kita dan oleh karena itu kita harus melihatnya. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Maurice Merleau-Ponty, 'fenomenologi adalah daftar kesadaran-kesadaran sebagai tempatnya alam'. Jika kita ingin mengetahui sesuatu benda itu apa, dan persoalan seperti ini adalah tugas para fenomenologis, kita harus menyelidiki kesadaran kita terhadap benda itu. Kalau hal tersebut tidak dapat memberi jawaban, maka tak adalah sesuatu yang dapat memberinya.

Sebagai suatu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi masyhur di Jerman pada seperempat abad yang pertama dari abad ke-20, kemudian menjalar ke Prancis dan Amerika Serikat. Pencetus aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938); pada usua 54 tahun, ia baru dapat menyajikan permulaan penyelidikan-penyelidikannya, yaitu deskripsi pertama yang telah diolah baik tentang fenomenologi sebagai metoda yang keras untuk menganalisa kesadaran.

Kemudian ia diikuti oleh Max Scheler (1874-1928) yang mempunyai keyakinan bahwa filsafat itu, pada pokoknya, membicarakan tentang situasi historis manusia. Kemudian Scheler tertutup oleh pengaruh Martin Heidegger (1899-1976) dan Maurice Merleau Ponty (1908-1961). Biasanya pandangan Heidegger dikelompokkan dalam 'eksistensialisme', akan tetapi walaupun ia telah menanamkan pengaruhnya, namun ia menjelaskan bahwa ia tidak mau disamakan dengan gerakan Sartre.

Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi perlu diingat bahwa ada arti yang sempit dari fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda. Bagi fenomenologis, berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu untuk melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha yang jelas adalah sangat perlu bagi deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan hati-hati terhadap struktur yang pokok dari benda, tepat seperti yang tampak. Fenomenologis memperhatikan benda-benda yang kongkrit, bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran kita, karena kesadaran kita adalah ukuran dari pengalaman (Titus, dkk., 1984: 381-399).

Dalam dokumen BAB I PENGERTIAN FILSAFAT (Halaman 59-62)