• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM DI WONOSOBO

B. Jejaring Ulama Wonosobo

Setelah Islam berkembang secara pesat hingga memasuki awal abad ke-20, Wonosobo kemudian dikenal sebagai wilayah pengembangan Islamnya yang beragam.Ini ditandai dengan beragamnya saluran pengembangan Islam pasca Sayyid Hasyim Baabud (abad-18) yang berhasil mengislamkan Wonosobo dengan metode tasawufnya (tarekat). Demikian juga dengan Sayyid Ibrahim Baabud yang disisi lain juga mempunyai peran penting dalam upayanya melanjutkan misi dakwah yang dipelopori oleh Sayyid Hasyim Baabud. dalam periode ini, dakwah Islam oleh kaum tarekat menggunakan beberapa jalur interaksi sosial sebagai berikut :

1. Pedagang, yaitu mempergunakan sarana pelayaran sehingga kehadiran para pedagang ini di beberapa pelabuhan pada tahap awal setidaknya telah memperkenalkan kepada penduduk setempat tentang tata cara pelaksanaan ibadah.

26

25

2. Dakwah, yaitu dilakukan oleh mubaligh pesisir yang datang ke Wonosobo bersama para pedagang. Para mubaligh tersebut bisa jadi juga para kaum sufi pengembara.

3. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan. Hal ini mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan masyarakat muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang Muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanannya. Apalagi jika suatu saat dari keturunannya dapat menduduki birokrasi pemerintahan tentu akan mempermudah bagi dakwah Islam yang sedang dikembangkan oleh para saudagar.

4. Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di Bandar-bandar seperti Batang dan Pekalongan. Pusat-pusat perekonomian tersebut berkembang menjadi pusat-pusat pendidikan dan penyebaran Islam hingga ke pedalaman (Wonosobo). Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar.

5. Tasawuf dan tarekat, bersama dengan datangnya pedagang, datang pula ulama dan para sufi. Ada yang kemudian diangkat menjadi penasehat dan pejabat agama di suatu kerajaan. Seperti halnya para Walisongo.

Di samping itu pada tahap berikutnya, ketika mulai diperkenalkan systempendidikan pesantren, peranan ulama dengan pesantrennya semakin meluas ke pedalaman dengan membuka pesantren-pesantren baru,

pemukiman-26

pemukiman baru dan Islamisasi lebih lanjut. Di samping itu, mereka juga mengirimkan murid-murid atau putra-putranya ke Timur Tengah untuk memperdalam keagamaannya, sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Sayyid Ibrahim Baabud yang belajar kepada Sayyid Zaini Dahlan di Mekkah. Dan ketika mereka pulang kemudian mereka menjadi ulama-ulama muda yang membawa pemikiran-pemikiran baru untuk reformasi dan kosmopolitanisme Islam.27

Tentang penyebaran dan pengajaran Islam serta pelembagaannya dalam proses Islamisasi di daerah Wonosobo abad-19 sampai awal abad ke-20, terdapat beberapa catatan:

Pertama, pengajaran Fiqh sebagai pelajaran dasar dalam memahami syariat Islam serta tertuang dalam ribuan kitab kuning yang ditulis oleh para ulama mulai diajarkan para mubaligh. Misalnya pelajaran Fiqh yang tertuang dalam bentuk kitab kuning yang berjudul Fatchul Mu‟in karya dari ulama besar

Al-Syeikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Malibari dalam nemtuk tulisan tangan telah diajarkan oleh KH. R Abdul Fatah pendiri dan pengasuh pondok pesantren di daerah Sigedong, Baturono, Kepil, Wonosobo sekitar tahun 1830 M.28 kitab Fiqh yang tergolong sebagai kitab standar pengajaran di berbagai pesantren ini, didalamnya berisi antara lain tentang masalah Ubudiyah,

Mu‟amalah, Hudud dan masalah lainnya.

27

Slamet Mulyana. 2008. Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, cet I (Jogjakarta: LkiS), Hal 44.

28

Elis Suyono DKK. 2007. Biografi KH Muntaha Al-Hafidz Ulama Multidimensi, (Wonosobo: Kerjasama Unsiq dan PP. Al Asy‟ariah), Hal 20.

27

Kedua, pendidikan Al-Qur‟an membaca dan menghafal Al-Qur‟an

(Tahfidzul Qur‟an) telah diajarkan di pesantren Kalibeber, Wonosobo oleh KH Abdurrahman (kakek dari KH Muntaha Al-Hafidz) sebagai penerus dari ayahandanya R. Hadiwijaya yang menggunakan nama samara KH Muntaha bin Nida Muhammad pengasuh sekaligus pendiri Pondok pesantren Al-Asy‟ariyah,

Kalibeber pada tahun 1870-an M.29 beliau mempunyai tulisan Al-Quran yang beliau tulis sendiri ketika dalam perjalanannya ke Mekkah. Mengingat keberadaan Pondok pesantren semenjak dulu mempunyai peran sebagai Lembaga Tafaqquh Fi al din. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa Kutubul Mukaromah (kitab-kitab rujukan) yang disebut dengan (kitab-kitab kuning juga diajarkan.

Ketiga, mengenai Tauhid dan Tasawuf (Akhlak) yang menjadi landasan kehidupan dunia dan akhirat nampaknya menjadi prioritas utama bagi para mubaligh.Hal itu dibuktikan dengan adanya silsilah atau sanad Tarekat Allawiyah dan Shatoriyah dalam bentuk tulisan tangan yang berisi tentang ajaran Tauhid serta beberapa Wirid dan Dzikir.Jika diurut, maka tasawuf ini telah diajarkan semenjak pertama keluarga Baabud masuk ke Wonosobo abad-18 M.30

Disamping pengajaran dalam bentuk naskah dan tulisan terdapat juga pengajaran yang dilakukan secara lisan dengan menterjemahkan kedalam bahasa daerah. Seperti pengajaran tentang rukun Islam yang hingga sekarang masih dihafal secara turun temurun seperti :

Asyhadu an-la ilaaha-illa-allah

29

Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp) 30

28

Nekseni Ingsun ing dalem ati ingsun

Kelawan I‟tiqod ingkang kukuh,

Setuhune kelakuwan iku ora ono dzat kang senembah,

Kelawan sak benere, anging Alloh t‟aala dewe

Ingkang wajib wujude ingkang mukhal ngadame Kang kagungan sifat-sifat semporna ora ono weksane …31

(Saya bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah) (Saya bersaksi dalam hati dengan sepenuh keyakinan, sesungguhnya tidak ada

sesuatu yang wajib disembah dengan sebenar-benarnya, kecuali Allah ta‟ala

sendiri,

Yang wajib adanya dan mustahil tidak adanya,

Yang mempunyai sifat-sifat sempurna dan tidak ada bandingannya)

Dari syair di atas dalam bentuk karya Islam klasik menunjukkan bahwa para mubaligh mengenal betul karya-karya Islam, namun menuangkannya dalam bentuk bahasa Jawa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Karya Islam klasik tersebut mencerminkan kondisi masyarakat muslim di daerah ini yang bercorak legalistik telah mendapatkan pengajaran Islam secara menyeluruh (tidak dalam satu aspek, Tasawuf saja misalnya). Namun juga Fiqh yang berisi aturan tentang hubungan sesama manusia dan hubungan hamba dengan Allah SWT dalam praktek ibadah, serta Al-Qur‟an yang berarti didalamnya terdapat Ulumul Qur‟an

(Tafsir dan sejenisnya). Dalam naskah yang diajarkan oleh KH. R Abdul Fatah di

Kepil, Wonosobo sebagai pengajar pertama kitab Fathul Mu‟in karya dari Syekh

Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari salah seorang pemuka dalam madzhab

31

Penelitian lapangan di beberapa daerah di Wonosobo seperti Dieng, Kertek, Kalikajar.Syair ini, biasanya dibaca di beberapa daerah di Wonosobo, sebagai pengantar pengajian selapanan atau setelah menyelesaikan solat tarawih dan diajarkan secara turun-temurun hingga sekarang.

29

Syafi‟I, maka dapat disimpulkan bahwa Islam yang berkembang di daerah

Wonosobo adalah bermadzhab Syafi‟i.32 tidak jauh dengan madzhab Syafi‟I,

naskah tulisan tentang Silsilah Tarekat Allawiyah dan Shatoriyah mengindikasikan bahwa penyebaran Islam dilakukan juga oleh para Ulama Tarekat.33 Tentang ajaran ketauhidan dalam pemaklnaan kalimah syahadad dengan menyebutkan sifat-sifat Allah SWT di atas menunjukkan bahwa faham

yang dikembangkan di Wonosobo adalah faham Ahlussunah Wal Jama‟ah.

Upaya-upaya transformasi Islam ke dalam masyarakat Wonosobo, pada perjalanannya lambat laun memunculkan lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa lalu merupakan proto tipe dari pendidikan pesantren dan madrasah yang ada sekarang. Lembaga pendidikan itu terus berkembang sesuai degan perubahan zaman dan alur fikir masyarakat sehingga berkembang menjadi pesantren dan sekolah dengan beraneka corak yang berkembang sekarang.34

C. Tarekat Alawiya dan Shatoriyah sebaga Media Pengembangan Islam di Wonosobo

Telah diketahui bahwa Islam yang berkembang di Wonosobo pada abad ke-19 merupakan Islam yang bercorak tarekat, dalam hal ini adalah tarekat alawiyah dan shatoriyah.Tonggak perkembangan tarekat Alawiyah dimulai pada

32

Historiografi Islam di Wonosobo Abad XVII-XIX, Hal 28. 33

Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp).

34DiasporaIslam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Berdirinya Masjid Al-Mansyur Wonosobo, Hal 118-119.

30

masa Muhammad Ali, atau dikenal dengan sebutan Al-Faqih Al-Muqaddam (seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Dalam periodenya, Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami punyak kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, diantaranya soal Fiqh dan Tawawuf. Disamping itu, ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hinggake maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah (legalitas kesufian).

Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan tarekat Alawiyah kemudian dikembangkan oleh para Syekh. Diantaranya ada 4 Syekh yang cukup terkenal, yaitu Syekh Abd Rahman Saqqaf (739 H), Syekh Umar Al-Muhdar bin Abd Al-Rahman Al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah Al-Aidarus bin Abu Bakar Al-Sakran (821 H). Sedangkan yang lainnya adalah Habib Husain bin Sholeh Al Bahr, Habib Umar As Segaf, Habib Husain Al-Haddad.35

Bagi Sayyid Ibrahim Baabud sebagai penganut sekaligus penyebar tarekat Alawiyah di daerah pedalaman Jawa (Wonosobo), hirarki kesanadan tarekatnya sebagai ciri utama tarekat tetap terpelihara hingga generasi sekarang. Ciri utama dari pengamal tarekat ini antara lain, tergambar dalam banyaknya masyarakat yang membaca ratib dalam segala macamnya dan yang banyak dibaca adalah ratib Al-Haddad dan ratib Al-Attos.

35

31

Selama masa para Syeikh ini, dalam sejarah Alawi, dikemudian hari ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu sendiri.Dan secara umum, hal itu bisa dilihat dari cirri-ciri melalui para tokoh maupun berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa Syeikh di Hadhramaut.

Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Wasiy, atau keterkaitan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk wasiat dari Rasulullah SAW untuk Imam Ali sebagai pengganti nabi Muhammad SAW. Kedua, adanya sifat elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan Khawwas (elit), sepeti Al-Jam‟u, Al -Farq, Al-Fana‟ bahkan Al-Wahdah, seperti halnya yang dialami Muhammad bin Ali (Al-Faqih Al-Muqaddam) dan Syekh Abd Al-Rahman as Saqqaf.Keempat, dalam Tarekat Alawiyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam mengembalikan tradisi Tarekat sebagai Thariqah (suatu madzab kesufian yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga mampu meghilangkan formalitas yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi. Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan Al-Basri dengan zuhud-nya, Rabiah Al-adawiyah dengan Mahabbah dan Al-Isyq al-ilahi-nya, Abu Yazid Al-Bustami dengan fana nya, al-Hallaj dengan Wahdah al-wujudnya, maka para tokoh tarekat Alawiyah, selain memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan al-faqru-nya.

Al-32

Khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya‟ dan „ujub, yang

merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara vertikal penempatan diri seorang hamba di hadapan Allah sebagai dzat yang Ghani (maha kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu membutuhkan nikmatnya. Secara horizontal, sikap tersebut difahami dalam pengertian komunal bahwa rahmat tuhan akan diberikan bila seseorang mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin. Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadikan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas

bawah maupun kaum tertindas (mustadl‟afin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri Muhammad bin Ali terkenal dengan ummul fuqara-nya.

Sebagai tarekat yang diajarkan oleh nenek moyangnya, maka tidak mengherankan jika proses Islamisasi di pedalaman Jawa, para Sayyid juga mengajarkan tarekat alawiyah. Tidak terkecuali Sayyid Ibrahim Baabud yang menggunakan pendekatan ini dalam dakwah.Di samping itu para generasi penerus beliau juga menyebarkan tarekat di samping alawiyah juga tarekat shatoriyah yang didapat dari guru-gurunya sewaktu dalam menuntut ilmu.36

Pengembangan mistik tarekat shatoriyah ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan tuhan (Allah SWT) dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana‟.Penganut tarekat Shatoriyah percaya bahwa jalan menuju Allah SWT itu sejauh gerak nafas makhluk.Tetapi jalan yang

36

DiasporaIslam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Berdirinya Masjid Al-Mansyur Wonosobo, Hal 138-140.

33

paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh klaum Akhyar, Abrar, dan Syattar.Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia dzikir. Untuk itu ada 10 aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud,

tawakkal, qana‟ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah,

sebagaimana halnyatarekat-tarekat lain. Tarekat Shatoriyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut diatas, masing-masing memiliki metode berdzikr dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan., penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar menjalaninya dengan melakukan shalat dan puasa, membaca Al-Qur‟an, melaksanakan haji, dan

berjihad.Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati.Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali.Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah yang merupakan jalan tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.

Di dalam tarekat Shatoriyah dikenal tujuh macam dzikir muqadimah, sebagai tangga untuk masuk ke tarekat Shatoriyah.Ketujuh macam dzikir ini agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah SWT dapat selamat. Ketujuh macam dzikir adalah sebagai berikut :

a. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan llaa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik

34

kemudian mengucapkan illallah yang dipukulkan kedalam hati yang letaknya kira-kira 2 jari di bawah susu kiri.

b. Dzikir naïf itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara, yang diucapkan seperti memasukkan suara kedalam asma Allah SWT.

c. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan illallah, illallah, illallah, yang dihujamkan ke dalam hati.

d. Zikir ismu dzat, dzikir denga Allah, Allah, Allah tang dihujamkan ke tengah-tengah dada.

e. Dzikir taraqqi, yaitu dzikir Allah-hu, Allah-hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan hu dimasukkan ke dalam fikiran. Dzikir ini dimaksudkan agar fikiran selalu tersinari oleh cahaya illahi.

f. Dzikir tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari dalam fikiran, dan dzikir Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insane cahaya illahi.

g. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat di tengah-tengah dada menuju arah kedalaman rasa.37

Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan pada firman Allah dalam

Al-Qur‟an surat Al-mu‟minun ayat 17 : “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan

37

35

di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan kami sama sekali tidak akan lengah

terhadap kami (terhadap adanya 7 buah jalan tersebut)”.

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma‟ al-husna), tarekat Shatoriyah membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok, yaitu :

a) Menyebut nama-nama Allah yang berhubungan dengan keagungannya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutaqabbir, dan lain-lain.

b) Menyebut nama Allah yang berhubungan dengan keindahannya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-Alim, dan lain-lain.

c) Menyebut nama-nama Allah yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu‟min, al-Muhaimin, dan lain-lain.

Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan sesuai urutan yang disebutkan di atas.Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang.Sebagaimana juga seperti tarekat-tarekat lainnya, dzikir dalam tarekat Alawiyah dan Shatoriyah hanya dapat dikuasai melaluu bimbingan dari seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Di dalam tarekat ini, seorang guru berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat yang tidak putus dari Nabi Muhammad lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya.38

38

DiasporaIslam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Berdirinya Masjid Al-Mansyur Wonosobo, Hal 146-150.

36 BAB III

Dokumen terkait