• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlawanan Sayyid Ibrahim Baabud Terhadap Pemerintah Jepang Jepang

SAYYID IBRAHIM BAABUD DALAM PERJUANGAN AGAMA DAN POLITIK DI WONOSOBO ABAD KE-20

B. Sayyid Brahim Baabud Dalam Perjuangan Politik 1.Perjuangan Politik Melalui NU 1.Perjuangan Politik Melalui NU

2. Perlawanan Sayyid Ibrahim Baabud Terhadap Pemerintah Jepang Jepang

Awal mula masuknya Jepang ke wilayah Hindia Belanda dimulai saat terjadi peristiwa penyerangan terhadap pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbour (Hawai) pada tanggal 7 Desember 1941. Hal ini membuat tentara sekutu marah terhadap Jepang. Kemudian di keesokan harinya yaitu tangal 8 Desember 1941 Amerika Serikat yang tergabung dalam pasukan sekutu mengumumkan perang kepada Jepang sehingga menimbulkan meletusnya perang Asia Pasifik. Jepang mulai menampakkan kedigdayaannya di Asia ketika berhasil menyerbu Cina (1937) dan Indocina dengan taktik dan gerak cepat melanjutkan serangan ke target selanjutnya yaitu Burma, Semenanjung Malaya hingga sampai ke Hindia Belanda. Kemudian pada tahun 1942 Jepang berhasil menguasai sebagian wilayah Hindia Belanda dan menempatkan meletakkan serdadu-serdadunya di tiga slot di Jawa. Yaitu di Teluk Banten, Eretan Wetan (Jawa Barat), dan Kranggan, Rembang (Jawa Tengah). Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya suhu politik di Hindia Belanda.Keadaan ini memaksa gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang yang dipimpin

71

Wawancara dengan Ahmad Muzan (SejarawanWonosobo) padaTanggal 29 Juli 2017 di Wonosobo.

64

oleh Letnan Jenderal Hitosi Imamura dalam sebuah pertemuan di Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Pertemuan ini mengakhiri kekuasaan Kolonial Belanda dan menempatkan Jepang sebagai penguasa baru atas Hindia Belanda. Hak-hak kekuasaan ini memungkinkan Jepang membagi wilayah Hindia Belanda dalam tiga komando yaitu di Pulau Jawa dan Madura yang berpusat di Batavia, Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, dan Kalimantan, Bali, NusaTenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua yang berpusat di Makassar. Hal ini akhirnya memutus mata rantai Kolonialisme Belanda yang telah 3,5 Abad menguasai Hindia Belanda. Jepang sebagai penguasa baru Hindia Belanda sesegera mungkin menempatkan diri sebagai penguasa baru di Hindia Belanda.72

Pimpinan Letnan Jendral Hitoshi Imamura diberikan mandat untuk memegang kekuasaan di Jawa. Pada umumnya Jawa khususnya Jawa Tengah dianggap sebagai daerah yang secara politik paling maju, namun secara ekonomi kurang begitu dominan.Sumber dayanya yang utama adalah manusia.Hal ini dibutuhkan oleh Jepang mengingat niat awal mereka untuk menduduki wilayah Asia Tenggara ialah membangun persemakmuran bersama Asia Raya.

Dalam perkembangannya pasukan Jepang berhasil memasuki wilayah Wonosobo dari pasukan yang dipimpin oleh Laksamana Madya Takasyhi. Mereka berhasil mendarat di Kranggan, Rembang. Pada masa

72

MC Ricklef. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, cet I, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), Hal 421-437.

65

penjajahan Jepang, dibentuklah badan-badan perwakilan yang disebut Ken Sangi Kai. Namun badan perwakilan ini hanya berfungsi sebagaimana mestinya. Badan perwakilan hanya dimanfaatkan semata-mata untuk mendukung pemerintahan Jepang. Selama masa pendudukan Jepang di Wonosobo, keadaan perekonomian masyarakat tidak stabil.Untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi kehidupan sehari-hari saja amat sulit karena persediaannya dibatasi oleh Jepang. Bahan pakaian juga sangat terbatas, begitupun dengan peralatan kesehatan dan obat-obatan yang hampir tidak tersedia. Sementara itu, pihak Jepang terus menerus mengumpulkan bahan-bahan makanan untuk diangkut secara rahasia keluar Wonosobo.73hal ini yang menjadikan para ulama di Wonosobo yang telah disatukan dalam organisasi NU mempunyai inisiatif untuk melawan pemerintah Jepang. Namun karena kurangnya ketersediaan seperti bahan-bahan senjata, Sayyid Ibrahim Baabud sebagai pemimpin organisasi NU memilih jalan diplomasi secara kooperatif untuk mengatasi permasalahan tersebut.74

Disisi lain, perkembangan NU di Wonosobo pada pertengahan abad-20 juga tidaklah berjalan mulus. Hal itu ditandai dengan invansi Jepang yang berhasil memasuki wilayah Wonosobo. Pada tahun 1943 pasukan Jepang masuk ke wilayah Wonosobo sebagai bagian dari invansi mereka ke Hindia Belanda. Pada mulanya kedatangan pasukan Jepang disambut hangat oleh rakyat pribumi termasuk elemen-elemen Islam di

73

Ibid, Hal 437-438.

74

66

Wonosobo. Akan tetapi kemudian Jepang mendapat perlawanan dari umat Islam di Wonosobo yang menolak upacara saikerei (membungkuk 90 derajat seperti rukuk pada waktu solat ke arah tokyo). Akibatnya sejumlah kyai ditahan oleh jepang. Namun demikian Sayyid Ibrahim Baabud luput dari penahanan tersebut karena beliau tidak secara frontal menolak saikerei. Hal ini sebenarnya sebagai strategi belaka agar beliau tidak ditahan oleh Jepang karena jika Sayyid Ibrahim Baabud ditahan maka organisasi NU di Wonosobo akan hancur berantakan. Akan tetapi pada prinsipnya Sayyid Ibrahim Baabud tetap menolak saikerei, atau dengan kata lain saikerei itu hanya dilakukan sebatas gerakan lahir tanpa disertai keyakinan di dalam hati. Ini sejalan dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang memandang bahwa seorang Muslim tidak bisa serta merta dianggap musyrik meskipun melakukan perbuatan yang secara lahiriyah

terlihat syirik selama perbuatan itu tidak disertai i‟tiqad (keyakinan) di dalam hati. Selama periode Jepang secara garis besar Sayyid Ibrahim Baabud memfokuskan aktivitasnya untuk menjaga eksistensi Nahdlatul Ulama di Wonosobo dengan menghindari konflik terbuka dengan pemerintah militer Jepang.75 Akhirnya setelah pasukan Jepang menyerah kepada sekutu dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus maka berakhirlah masa pendudukan Jepang di

75

67

Indonesia. Saat itu juga para anggota pasukan Jepang beserta para pemimpinnya berangsur-angsur meninggalkan Wonosobo.76

76

68 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Islam yang masuk ke daerah pedalaman Jawa (Wonosobo) pada sekitar abad ke 17 hingga abad ke 19 M adalah Islam tarekat yang di bawa oleh keturunan Hadramaut. Mereka yang datang ke daerah pegunungan ini telah membawa ajaran tarekat yang mempunyai hirarki guru serta ajaran yang terkumpul dalam dzikir-dzikir yang sesuai dengan pengajaran gurunya. Tarekat yang telah terorganisir ini menyandingi dakwah Islam yang dibawa oleh kaum Alawiyyin dan Shatoriyah. Sayyid Ibrahim Baabud mengembangkan Islam dengan tarekat sebagai alat untuk mengadaptasikan Islam dengan budaya lokal.

Proses pengembangan Islam di Wonosobo yang di pelopori oleh Sayyid Ibrahim Baabud menggunakan saluran tasawuf (tarekat) dinilai sangatlah tepat. Saluran ini danggap efektif karena sebagian besar masyarakat Wonosobo masih menjunjung tinggi tradisi lokal yang diturunkan oleh para pendahulunya serta memiliki kesamaan nilai dengan ajaran tarekat (allawiyah dan shatoriyah), sehingga ajaran tarekat lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya tarekat allawiyah dan sathoriyah di kolaborasikan dengan organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari proses pengembangan Islam di Wonosobo pada awal abad ke-20 M.

Sayyid Ibrahim Baabud sendiri merupakan putra dari Sayyid Ali Baabud dan cucu dari Sayyid Hasyim Baabud yang merupakan peletak dasar penyebaran

69

Islam melalui pendekatan tarekat. Namun peran Sayyid Ali disini tidak berlangsung lama karena Sayyid ali meninggal di usia muda atau dua puluhan tahunan, kemudian Pengembangan Islam dilanjutkan oleh Sayyid Ibrahim Baabud. Sayyid Ibrahim Baabud sendiri selain memperoleh Ilmu tarekat dari ayah dan kakeknya juga belajar di Mekkah dan bertemu dengan Sayyid Zaini Dahlan serta memperoleh sanad tarekat dari Sayyid Zaini Dahlan. Selain itu beliau juga belajar ilmu fikih di pondok pesantren Tremas Pacitan dan mendapatkan sanad tarekat Shatoriyah. Setelah pulang dari mekkah, beliau menikah dengan putri kyai yang ada di Wonosobo. Selama hidupnya Sayyid Ibrahim Baabud menikah sebanyak 4 kali. Akan tetapi pernikahan sebanyak 4 kali itu tidak dilangsungkan sekaligus melainkan setelah istri pertamanya wafat beliau menikah lagi dan begitu seterusnya hingga istri yang ke 4. Dari keempat pernikahan tersebut Sayyid Ibrahim Baabud dikaruniai 15 orang anak.

Pada permulaan abad ke 20 pengaruh kolonial telah sampai di Wonosobo dimana masyarakat Wonosobo kala itu masih menganut tradisi lokal yang cenderung fanatik terhadap budaya lokalnya. Atas dasar tersebut Sayyid Ibrahim Baabud hadir sebagai tokoh yang berusaha mejadikan masyarakat Wonosobo tidak terpaku dengan ajaran Islam yang telah berkembang sebelumnya. Sayyid Ibrahim Baabud merusaha mengarahkan masyarakat kepada perlakuan yang lebih toleran dengan tidak membeda-bedakan faham maupun ajaran Islam satu sama lain, bahkan dengan yang tidak seiman sekalipun. Kemudian Sayyid Ibrahim Baabud mengkolaborasikan tarekat dengan organisasi sosial yang saat itu sedang berkembang yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Pengembangan Islam melalui NU

70

dirasa tepat karena NU yang berfaham Ahlussunnah Wal Jamaah sendiri mempunyai beberapa aspek kehidupan masyarakat yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Ini sejalan dengan apa yang dicita-citakan Sayyid Ibrahim Baabud. Akhirnya Sayyid Ibrahim Baabud berhasil mempelopori berdirinya NU di Wonosobo dan NU di Wonosobo terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Kemudian Sayyid Ibrahim Baabud memfokuskan kiprahnya di NU hingga akhir hayatnya. Melalui masa-masa sulit seperti halnya fasis Jepang, Sayyid Ibrahim Baabud dan Nahdlatul Ulama Wonosobo lambat laun berhasil mencapai tujuannya dan memberi warna tersendiri bagi masyarakat Wonosobo terutama dalam bidang agama seiring dengan dinamika masyarakat.77

B. Saran

Setelah Penulis melakukan survey di lapangan, akhirnya Penulis banyak menemui kesulitan-kesulitan yang dikarenakan kurangnya perhatian terhadap peninggalan-peninggalan Sejarah dari Sayyid Ibrahim Baabud. Sebagai saran untuk yayasan dan juga keluarga, untuk lebih memperhatikan kesejarahan-kesejarahan tentang para leluhurnya.Karena menurut Imam Ghazali Man „arofa nafsahu faqod „arofa Rabbahu, yang berarti “Barang siapa yang mengetahui

tentang dirinya serta tentang sejarah Leluhurnya atau lebih dikenal dengan

Nasabnya, maka dia akan khusyu‟ dalam beribadah sampai dengan tingkatan

tertinggi, yaitu mengetahui Tuhannya.”

71

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Metode Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, cet I Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991.

Badawi. Abdulrahman, Ensiklopedia Tokoh Orientalis, cet II,Yogyakarta: LKis, 2003.

Fadlullah, Mahdi. Titik Temu Agama dan Politik (analisa pemikiran Sayyid Qutub), cet I, Surakarta: Ramadhani, 1991

Haeri, Fadhlalalla. Jenjang-jenjang Sufisme, Cet I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Ibrahim, Umar. Thariqah „Allawiyah, cet I, Bandung: Mizan,2001.

Mulder, Niels, Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia, cet III, Yogyakarta: LKiS,2009

Mulyana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, cet I Jogjakarta: LkiS, 2008.

Muzan, Ahmad. Diaspora Islam Damai, cet I, Wonosobo : Yayasan Masjid Al-Mansyur. 2011.

Muzan, Ahmad,Historiografi Islam di Wonosobo Abad XVII-XIX, Wonosobo: Pustaka Alfa, 2009.

Muzan, Ahmad. Nahdlatul Ulama dari masa ke masa (Sejarah dan Wacana Keislaman), cet I, Wonosobo:

NU Cabang Wonosobo, 2003.

Nasution, Harun. Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah, Bandung: IAILM, 1998.

Nur, Syam. Madzhab-Madzzhab Antropologi, Cet I Yogyakarta: LKiS, 2007.

Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Puslitbang Balai Arkeologi Provinsi Jawa Tengah, Sejarah Wonosobo, cet I, Wonosobo: Pemerintah Kabupaten Wonosobo, 2008.

Ricklef, MC. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, cet I, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008

72

Shihab, Alwi. Islam Sufistik: ”Islam Pertama” dan pengaruhnya Hingga Kini di

Indonesia,Bandung:

Mizan, 2001.

Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Ombak, 2012.

Suyono, Elis. Biografi KH Muntaha Al-Hafidz Ulama Multidimensi, Wonosobo: Kerjasama Unsiq dan PP. Al Asy‟ariah, 2007.

Usman, Hasan. Metodologi Penelitian Sejarah,cet I, Jakarta:

Proyek pembinaan sarana dan prasarana perguruan tinggi agama/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal pembinaan kelembagaan agama Islam departemen agama RI, 1986

Naskah:

Dokumen tulisan tangan Sayyid Ibrahim Baabud tentang Sanad Tarekat Alawiyah. tt.

Dokumen tulisan tangan Sayyid Ibrahim Baabud tentang Kitab Minhajul Mubin. Dokumen contoh Kartu Tanda NU atas nama Muhammad Sa‟idun dari Desa Kreo

Kecamatan Kejajar dengan Rosyidul Udhwiyah (nomor anggota) 1526.

Wawancara dan Diskusi:

Wawancara dan diskusi dengan Ahmad Muzan (sejarawan lokal Wonosobo), tanggal 17 Juli2017 dan tanggal 29 Juli 2017, Wonosobo. 15.30 WIB.

Wawancara dengan KH Alim (anggota senior NU Wonosobo), tanggal 29 Juli2017,Wonosobo. 14.15 WIB.

Wawancara dengan Habib Aqil Baabud (cucu Sayyid Ibrahim Baabud), tanggal 17 Juli2017,Wonosobo. 13.50 WIB.

Skripsi.

Skripsi mengenai Kiprah KH Muntaha dalam perpolitikan di Wonosobo

(1956-2004) yang ditulis oleh Fathul Wachid mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Skripsi yang berjudul Strategi dakwah KH Muntaha dalam mengembangkan Islam di Indonesia yang ditulis oleh Miftahul Haris sarjana Fakultas Dakwah Universitas Sains Al-Qur‟an Wonosobo tahun 2004.

Lampiran-lampiran Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3

Lampiran 4

Lampiran 5

Lampiran 6

Lampiran 7

Lampiran 8

Lampiran 9

Dokumen terkait