• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAYYID IBRAHIM BAABUD DAN PERJUANGANNYA DI WONOSOBO 1864-1943 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SAYYID IBRAHIM BAABUD DAN PERJUANGANNYA DI WONOSOBO 1864-1943 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

SAYYID IBRAHIM BAABUD DAN

PERJUANGANNYA DI WONOSOBO 1864-1943

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Humaniora

Oleh :

Reno Saputra Siregar 216-14-002

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv MOTTO

Bercengkrama dengan Budaya, Bersahabat dengan Tradisi, Berterimaksih dengan

Sejarah. Konsepnya sederhana, Bersikap, bertingkah, berusaha sealakadarnya

(6)

v ABSTRAK

Wonosobo pada akhir abad ke 19 merupakan wilayah yang dihuni oleh masyarakat yang masih menganut tradisi lokal. Hal ini mengindikasikan eksistensi para tokoh-tokoh (ulama) dalam menyebarkan Islam di Wonosobo dengan menggunakan pendekatan tasawuf (tarekat). Hal ini sesuai dengan kesamaan nilai-nilai yang ada di dalam tarekat dengan tradisi lokal yang di anut oleh masyarakat. Sayyid Hasyim Baabud merupakan tokoh yang meyebarkan Islam di Wonosobo menggunakan pendekatan tarekat Alawiyah dan Shatoriyah. Sayyid Hasyim Baabud mengajarkan amalan-amalan tarekat seperti dzikir dan wirid yang kemudian dierima dan diamalkan oleh masyarakat Wonosobo. Setelah Sayyid Hasyim Baabud wafat kemudian pengembangan Islam melalui tarekat dilanjutkan oleh cucunya yaitu Sayyid Ibrahim Baabud. Sayyid Ibrahim Baabud melakukan perluasan dakwah hingga ke daerah pedalaman Wonosobo dan berhasil membawa pengaruh besar di dalam masyarakat. Hingga awal abad ke 20 Wonosobo merupakan daerah dengan basis tarekatnya yang kuat dimana sebelumnya masyarakat masih menganut tradisi lokal (kejawen). Kemudian Sayyid ibrahim Baabud kembali hadir sebagai pembeda pada tahun 1920-an. Ini ditandai dengan masuknya pengaruh modernisme dari bangsa kolonial dimana sayyid Ibrahim baabud memperbaharui model dakwahnya dengan mengkolaborasikan tarekat dengan organisasi Nahdlatul Ulama yang lebih toleran.

Dalam hal ini penulis menelusuri sumber kepada Habib Aqil yang merupakan cucu Sayyid Ibrahim Baabud. Habib Aqil menceritakan tentang kondisi Islam akhir abad 19 hingga awal abad ke 20 di Wonosobo, biografi Sayyid Ibrahim Baabud, serta dakwah Sayyid Ibrahim Baabud hingga akhir dari peran Sayyid ibrahim Baabud itu sendiri. Kemudian Habib Aqil menunjukkan Sanad Tarekat Alawiyah serta kitab Minhajul Mubin tulisan tangan Sayyid Ibrahim baabud yang di simpan oleh Ahmad Muzan (Sejarawan lokal wonosobo). Naskah tersebut menjelaskan tentang model dakwah yang dilakukan Sayyid Ibrahim Baabud dengan mengajarkan dzikir, wirid dan fikih. Disamping itu juga ditemukan dokumen Kartu Tanda NU atas nama Muhammad Saiddun dengan nomor anggota 1526 yang di tandatangani oleh Sayyid Ibrahim Baabud. Ini mengindikasikan bahwa pada saat itu anggota NU sudah berjumlah ribuan anggota.

(7)

vi ABSTRACT

Wonosobo at the last 19th century is a region who lived by society who still believed local tradition. This way indicated existence of figures (ulama) about spread Islam in Wonosobo with using Sufism approach (tarekat). This way had values similarity about tarekat and local tradition who believed by Wonosobo society. Sayyid Hasyim Baabud is a figure that spread islam in Wonosobo using approach Alawiyah and Shatoriyah tarekat. Sayyid Hasyim Ibrahim teach tarekat deeds like dzikir and wirid which then accepted and practiced by Wonosobo society. After Sayyid Hasyim Baabud was die then Islam development using tarekat continued by his grandchild that is Sayyin Ibrahim Baabud. Sayyid Ibrahim Baabud did extension religion missionary until outlying place area in Wonosobo and succeed make big influence in society. Until fist 20th century Wonosobo is the strongest area with tarekat basis which is before being a society who believed about local tradition (kejawen). Then Sayyid Ibrahim Baabud came back to distinguishment in 1920. This marked by come in modernism influence from colonialism people which Sayyid Ibrahim Baabud reorganize his religion missionary method with collaborated tarekat with Nahdlatul Ulama organization that more tolerate.

In this case, writer did a research source by Habib Aqil that is Sayyid Ibrahim Baabud grandchild. Habib Aqil told about Islma condition at last 19th century until first 20th century in Wonosobo. Sayyid Ibrahim Baabud biography,

and also religion missionary‟s Sayyid Ibrahim Baabud until end of the role Sayyid

Ibrahim Baabud itself. Then Habib Aqil showed Sanad Tarekat Alawiyah and Minhajul Mubin holy book who was hand written by Sayyid Ibrahim Baabud that saved by Ahmad Muzan (Local Historian Wonosobo). That manuscript explained about religion missionary method of Sayyid Ibrahim Baabud was did with teach

about dzikir, wirid, and fiqh. In addition that is founded Card Document NU‟s

mark too on behalf of the Muhammad Saiddun with number of member 1526 who signed by Sayyid Ibrahim Baabud. That indicated in that time, NU member is until thousand members.

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat, karunia, dan kehendaknya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sholawat dan salam senantiasa penulis panjatkan pada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, yang telah menyampakan hidayah kepada kita semua yang

senantiasa kita nantikan syafaatnya di yaumil kiyamah amin.

Skripsi ini ditulis untuk memperoleh gelar sarjana Humaniora dari jurusan

Sejarah Peradaban Islam Fakultas Ushulludin, Adab dan Humaniora IAIN

Salatiga. Proses penyusunannya telah melibatkan banyak pihak, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis

mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Pertama-tama rasa terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Benny

Ridwan, M.Hum selaku Dekan Fakultas Ushulludin, Adab dan Humaniora, Bapak

Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam

dan selaku pembimbing utama yang telah memberikan banyak masukan kepada

penulis, Bapak Dr. Sidqon Maesur, Lc., MA. Selaku pembimbing Skripsi yang

(9)

viii

membuat skripsi ini menjadi lebih baik, serta seluruh staf pengajar Jurusan

Sejarah Peradaban Islam yang telah memberi ilmu pengetahuan selama kuliah,

walaupun namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas semua

ilmu yang didapat.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak

Raja Luat Siregar dan Ibu Sariyati Siregar yang tanpa lelah telah mendidik dan

membimbing selama bertahun-tahun, dan terus memberi motivasi kepada penulis

serta selalu sabar menanti keberhasilan penulis. Tak lupa kepada keluarga besar

Bani Jaswandi yang selalu memberikan dukungan dari awal penulis aktif

bersekolah hingga berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berterima kasih kepada Habib Aqil Baabud, KH Alim, Bapak

Ahmad Muzan, yang telah memberikan banyak informasi sehingga penelitian ini

dapat terselesaikan dengan baik.

penulis berterimakasih pula kepada semua teman-teman Jurusan Sejarah

Peradaban Islam, teman-teman Keluarga Mahasiswa Wonosobo (KMW) Salatiga,

teman-teman seperjuangan alumni MAN Wonosobo yang telah memberikan

semangatnya untuk penulis dalam menyusun laporan penelitian skripsi ini. Serta

semua pihak yang bersangkutan yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu

yang telah membantu dari segi moril materil demi kelancaran penyelesaian

(10)

ix

Semoga mereka terbalaskan semua jasa-jasanya dengan balasan yang lebih

baik lagi. Jazakumullah khoirunahsanajaza. Penulis berharap semoga skripsi ini

bermanfaat khususnya bagi saya selaku penulis serta penyusun, dan umumnya

(11)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ………... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... ii A. Gambaran umum Masyarakat Wonosobo sampai abad ke-19 ..……….. 22

B. Jenjaring Ulama di Wonosobo ...………... 24

C. Tarekat Alawiyah dan Shatoriyah sebagai media pengembangan Islam di Wonosobo ... 30

BAB III: BIOGRAFI SAYYID IBRAHIM BAABUD A. Latar Keluarga ……….…... 37

B. Riwayat Pendidikan ………... 42

C. Geneologi Keilmuan ……….…...………... 45

D. Pemikiran Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang Politik dan Dakwah Islam ... 46

BAB IV : SAYYID IBRAHIM BAABUD DALAM PERJUANGAN AGAMA DAN POLITIK DI WONOSOBO A. Perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang Sosial Keagamaan di Wonosobo... 50

(12)

xi

2. Perjuangan Sosial keagamaan Sayyid Ibrahim baabud

melalui NU ... 53

B. Sayyid brahim Baabud dalam perjuangan politik... 60

1. Perjuangan Politik melalui NU ... 60

2. Perlawanan Sayyid Ibrahim Baabud terhadap pemerintah Jepang ... 55

C. Sayyid Ibrahim Baabud dan perlawanan Jepang di Wonosobo ... 64

BAB V : PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ………....…....……….... 73

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

NO Lampiran Foto

1 LAMPIRAN 1 Makam keluarga Sayyid Ibrahim Baabud

Longkrang Wonosobo

2 LAMPIRAN 2 Makam Sayyid Ibrahim Baabud Longkrang

Wonosobo

3 LAMPIRAN 3 Sayyid Ibrahim Baabud beserta keluarga

4 LAMPIRAN 4 Foto Sayyid Ibrahim Baabud

5 LAMPIRAN 5 Lukisan Sayyid Zaini Dahlan

6 LAMPIRAN 6 Sanad Tarekat Allawiyah

7 LAMPIRAN 7 Kitab Minhajul Mubin

8 LAMPIRAN 8 Kantor NU Cabang Wonosobo

9 LAMPIRAN 9 Kartu tanda NU atas nama Muhammad Sa‟iddun

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ulama merupakan sosok penting yang mewarnai perkembangan sosial

keagamaan di Indonesia. Mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam

penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Peran sentral dari para ulama ini

mempengaruhi corak penyebaran Islam di wilayah negara dengan mayoritas

muslim terbesar di dunia. Hal tersebut dapat di lihat dari beragamnya saluran

penyebaran Islam yang dilakukan oleh para ulama seperti perdagangan,

perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.1 Dari beragamnya saluran penyebaran yang dilakukan oleh para ulama, tasawuf merupakan salah satu

saluran penyebaran Islam yang cukup dominan. Pengajar-pengajar tasawuf, atau

para sufi mengajarkan teosofi bercampur dengan ajaran Islam yang sudah dikenal

luas oleh masyarakat. Dengan tasawuf, ”bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam fikiran mereka yang

sebelumnya menganut ajaran yang diwarnai Hindu, sehingga ajaran baru mudah

dimengerti dan diterima.2

Wonosobo merupakan sebuah daerah di pedalaman Jawa Tengah yang

terletak di pegunungan Dieng. Wonosobo dan umumnya pegunungan Dieng

1

Mahdi Fadlullah. 1991. Titik temu Agama dan Politik (Analisa Pemikiran Sayyid Qutub), cet I(Surakarta:Ramadhani) Hal 7.

2

(15)

2

merupakan bagian pedalaman Jawa yang pada masa lalu mayoritas masyarakatnya

beragama Hindu dan Buddha. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan

Hindu Budha seperti candi dan beberapa situs peninggalan agama Hindu Budha

lainnya. Di samping peninggalan fisik, beberapa ajarannya sebagian kini masih

dianut oleh pemeluknya, dan juga dalam praktek kehidupan sosial masih terdapat

tradisi peninggalan Hindu-Buddha yang kemudian diisi dengan ajaran-ajaran

keislaman.3

Petunjuk yang paling dapat dipercaya mengenai pengembangan Islam di

Wonosobo adalah temuan Islam kuno yang memiliki prasasti di komplek

pemakaman desa Ketinggring, kecamatan Wonosobo. Sejumlah makam

berprasasti telah menunjukkan nama para ulama (penyebar agama Islam) yang

pernah tinggal dan melakukan kegiatan keagamaan di Wonosobo. Menurut babad

yang ditulis pada masa Mataram Islam daerah yang sekarang menjadi Wonosobo

dulu disebut daerah Ledok yang termasuk daerah bawahan Majapahit. Bersamaan

dengan runtuhnya Majapahit daerah ini kemungkinan sudah menjadi area

Islamisasi oleh para wali pada abad ke-16 M. Menurut tradisi lisan masyarakat

Wonosobo sendiri, awal mula berdirinya Wonosobo berhubungan erat dengan tiga

orang Kyai penyebar Islam yaitu Kyai Walik, Kyai Kolodete dan Kyai Karim.4 Pada awal abad ke-18 M Islam sudah berkembang di Ledok (Wonosobo).

Kemudian kesultanan Mataram Islam mengutus Kyai Asmoro Sufi dan Kyai

Asmoro Gati untuk mengembangkan Islam di Wonosobo. Kyai Asmoro Sufi

3Di antaranya adalah tradisi cukur rambut anak-anak yang berambut gimbal di daerah pegunungan Dieng.

4

(16)

3

meminta izin kepada para bupati-bupati untuk mengembangkan Islam di

Wonosobo. Setelah mendapat izin akhirnya Kyai Asmoro Sufi aktif

mengembangkan Islam di Wonosobo bahkan sampai dinikahkan dengan putri dari

Tumenggung Wiroduto, yang tinggal di Kali Lusi. Beliau menjadi ulama terkenal,

mengajarkan Islam dan mendirikan masjid di Bendosari, Sapuran Wonosobo. Dari

Kyai Asmoro Sufi pengembangan Islam dilanjutkan oleh putranya yang dikenal

debagai Kyai Ali Markamah sampai tahun 1750 M. Setelah Kyai Ali Markamah

wafat kemudian dlanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Syukur Saleh

sampai tahun 1775 M. Keduanya masih menetap di Bendosari, Sapuran,

Wonosobo. Pada tahun 1800-an M atau awal abad ke-19 M ada beberapa ulama

pengembang Islam di Wonosobo yaitu Kyai Mansyur (di sekitar Wonosobo),

Kyai Haji Abdul Fatah (di Segedong), dan Kyai Ahmad Ansor (di Leksono). Para

Kyai tersebut selain mendirikan masjid juga mendirikan pondok pesantren di

daerah tempat tinggalnya. Para Kyai tersebut merupakan keturunan dari Kyai

Markamah yang kemudian saling menjalin hubungan pernikahan dengan putra

dan putri para Kyai lainnya. Kemudian mereka mendirikan pondok pesantren

sendiri dan mengembangkan Islam di tempat tinggalnya masing-masing. Daerah

ini (Wonosobo) hingga awal abad ke-19 masih menjadi objek penyebaran Islam

melalui saluran tarekat.5 Pengaruh tarekat dalam proses pengembangan Islam di Wonosobo begitu dominan, Dengan masyarakat yang semula beragama Hindu

dan Budha, pada perkembangannya kemudian Wonosobo menjadi daerah

5

(17)

4

mayoritas Muslim dengan tradisi Islam yang kuat.6 Hal ini tidak lepas dari peran para sayyid Hadhramaut, di antaranya Sayyid Ibrahim Ba'bud.7

Penyebaran Islam melalui jalur tasawuf, salah satunya ditandai dengan

ditemukannya makam Sayyid Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba‟abud di Wonosobo. Sebenarnya siapakah Sayyid Hasyim? Tokoh yang berasal dari

Hadramaut tersebut merupakan kawan baik keluarga Bin Yahya.8 Mereka datang ke Nusantarapada abad ke-17 dengan tujuan menyebarkan agama Islam.

Keduanya tiba di Batang, kemudian menyebarkan agama di setiap tempat yang

disinggahi. Dari Batang, lantas dilanjutkan ke daerah selatan pegunungan Dieng

yang waktu itu merupakan pemukiman masyarakat Hindu Budha.Kemudian turun

ke wilayah selatan yang sekarang disebut Wonosobo. Wilayah ini dijadikan

sebagai tempat tinggal sekaligus pusat penyebaran agama Islam. Mereka

membangun langgar sebagai cikal bakal masjid9 yang nantinya menjadi tempat pengajaran agama Islam di Wonosobo. “Dalam dakwahnya, Sayyid Hasyim menggunakan prinsip yang sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dengan ilmu,

tutur kata dan perilaku yang baik, sehingga memikat hati masyarakat untuk

mengikuti ajarannya,”ungkap Habib Aqil yang masih keturunan Sayyid Hasyim”.

Sayyid Hasyim memiliki 3 anak yaitu Ali, Syeh dan Hamzah. Ketiganya

6

Pada awal abad Islam, sufisme atau tarekat belum diketahui dan bukan gerakan terorganisir di sekolah-sekolah tertentu. Namun berabad-abad kemudian, ajaran sufi dan contoh kehidupan pribadi mulai menarik perhatian banyak orang di masyarakat. Sebagai sebuah gerakan, tarekat dengan berbagai organisasinya memasuki Wonosobo membawa kedamaian tersendiri kepada komunitas Hindu dan Budha sebagai objek dakwah Islam.

7

Wawancara dengan Ahmad Muzan (Sejarawan Wonosobo) pada tanggal 17 Juli 2017 di Wonosobo.

8

Keluarga Bin Yahya merupakan kalangan ulama yang berasal dari Hadramaut (Yaman).Keluarga Bin Yahya menetap dan menyebarkan Islam melalui jalur tasawuf di kawasan pantai utara Jawa (Batang, Pekalongan, dan Kendal).

9

(18)

5

menyebar ke berbagai daerah di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Ali menurunkan 3

anak yakni, Ibrahim, Umar dan Muhamad. Ibrahim inilah yang kelak memberikan

pengaruh besar dalam pengembangan Islam di Wonosobo. Ibrahim bin Ali

Baabud dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama di Wonosobo.10

Pada permulaan abad ke-20, masyarakat Wonosobo merupakan penganut

ajaran Islam yang sinkretis. Artinya dominasi adat istiadat serta budaya masih

sangat kental dalam kehidupan sosial keagamaan di Wonosobo. Sebagian dari

mereka masih menganut warisan leluhur dari kepercayaan animisme yang telah

lama berkembang di Wonosobo. Bukan hanya itu, unsur kejawen11 juga masih dominan dalam aktifitas keagamaan masyarakat Wonosobo pada umumnya.

Dalam praktiknya, aktifitas ini dilakukan dengan cara membakar kemenyan,

menyerahkan sesaji terhadap benda-benda yang diangggap sakral, seperti pohon,

makam, dan lain sebagainya.12

Semenjak kecil Sayyid Ibrahim Baabud sudah mulai dikenalkan dengan

Ilmu keislaman, termasuk ilmu Tasawuf (thoriqoh). Disamping mendapatkan ilmu

agama dari orangtua serta para ulama Wonosobo, beliau juga berguru kepada

sahabatnya yaitu Habib Ahmad bin Abdullah Bin Thalib Alattas

Pekalongan.Beliau pergi ke daerah Pekalongan bersama KH Hasbullah dengan

berjalan menaiki kuda sambil menuntun kambing atau sapi yang hendak

Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang dianut di pulauJawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaannya itu ada sejak orang Jawa itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya.

12

(19)

6

dihadiahkan kepada guru sekaligus sahabatnya tersebut. Di Pekalongan beliau

juga berguru kepada Habib Hasyim bin Yahya, kakek dari Rais Aam Jam'iyyah

Ahlu ath-Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah Habib Luthfi bin Yahya. Selain

itu beliau juga memperdalam ilmunya dengan belajar fikih kepada Syekh Kholil

Bangkalan yang merupakan ulama terkemuka pada awal abad ke-20. tidak jauh

Satoriyah)13 yang kemudian digunakan dalam pengembangan Islam di

Wonosobo.Kecintaanya kepada ilmu dan Ulama Ahlussunah Wal Jama‟ah beliau

tunjukan melalui perjumpaannya dengan Sayid Zaini Dahlan di Makkah.Sayyid

Zaini Dahlan sendiri adalah Maha guru yang berfaham Ahlussunah wal Jama‟ah dari para ulama Islam, dan khususnya Nusantara pada zamannya. Dari Sayyid

Zaini Dahlan ini, antara lain beliau mendapatkan sanad thariqoh

Alawiyah. Berbekal ilmu yang telah didapatkan dari para gurunya, Sayyid

Ibrahim Baabud kemudian mengajarkannya dari satu tempat ke tempat yang lain

khususnya di wilayah Wonosobo dan pegunngan Dieng. Disamping itu beliau

juga merupakan seorang saudagar yang sangat terkenal dan mempunyai banyak

sawah dan tanah yang kemudian dijadikannya tempat mendirikan masjid dan

pendidikan.Kesempatan berdagang itu pula digunakannya untuk menyampaikan

13

(20)

7

dakwah Islamiyah dan mengenalkan NU lewat jalur thariqah yang didapatkan dari

ayahnya, Thariqah Alawiyyah. Beliau mengajarkan Islam dari satu tempat ke

tempat yang lain. Aktifitas beliau khususnya di daerah pegunungan Dieng tak jauh

berbeda dengan aktivitas dakwahnya di Wonosobo. Sayyid Ibrahim Baabud yang

sering bepergian antara Wonosobo dan Pekalongan sudah tak asing lagi dengan

daerah Dieng, karena Dieng merupakan jalur yang menghubungkan antara kedua

daerah itu, dan masyarakatnya juga mempunyai corak budaya yang hampir sama

dengan wonosobo. Masyarakat pegunungan Dieng yang masih menjunjung tinggi

tradisi lokalnya dengan mudah menerima dakwah Sayyid Ibrahim Baabud yang

menggunakan pendekatan tasawuf dalam pengembangan Islam di wilayah

Pegunungan Dieng. Dalam dakwahnya, Sayyid Ibrahim Baabud juga banyak

mendirikan masjid-masjid di daerah Serang, Kreo, Kejajar, dan Dieng.

Kesempatan serta keahlian berdagang yang dimiliki Sayyid Ibrahim Baabud

kemudian digunakannya untuk menyampaikan dakwah Islamiyah dan

mengenalkan Nahdlatul Ulama melalu jalur Thoriqoh.14

Sayyid Ibrahim Baabud mendeklarasikan berdirinya NU di Wonosobo

pada tahun 1931 M pasca Muktamar NU ke 6 di Cirebon. Beliau mengambil dua

langkah setrategis sebagai bentuk konsolidasi „Ulama Ahlussunnah wal Jama‟ah. Pertama adalah mensosialisasikan Jam‟iyah NU di seluruh penjuru Wonosobo.

Dalam upayanya, langkah yang diambil Sayid Ibrahim adalah melalui jalur

Thariqoh. Upaya ini dipandang efektif dan terbukti di tahun 1936 NU Wonosobo

telah memiliki ribuan anggota. Hal ini dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota

14

(21)

8

(KTA) NU atas nama Muhammad Sa‟idun dari Desa Kreo Kecamatan Kejajar

dengan Rosyidul „Udhwiyah (nomor anggota) 1526. Wilayah ini menjadi awal mula basis penyebaran NU di Wonosobo, sebab daerah Kreo pada masa itu

mayoritas masyarakatnya merupakan pengikut thariqoh Sathoriyah dengan

mursidnya Sayyid Ibrahim Baabud.15

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam skripsi ini penulis membatasi dengan batasan Spasial yaitu

mengenai peran Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang politik dan agama serta

pengembangan Islam melalui pendekatan tarekat alawiyah dan shatoriyah sampai

abad ke-19 kemudian dilanjutkan dakwah Islamiyah menggunakan pedekatan

organisasi (Nahdlatul Ulama) di awal abad ke-20. Kemudian penulis membatasi

dalam batasan temporal yaitu antara tahun 1864 yang merupakan tahun kelahiran

Sayyid Ibrahim Baabud selaku tokoh pembaharu Islam di awal abad ke 20 sampai

tahun 1943 yang merupakan tahun wafatnya Sayyid Ibrahim Baabud serta

menandai akhir kiprah Sayyid Ibrahim Baabud.

Selanjutnya setelah dijelaskan ruang lingkup persoalan yang termasuk

dalam penelitian, maka ditetapkan pokok masalah yang menjadi fokus kajian

dalam penelitian ini. Sehingga fokus permasalahan akan menjadi lebih jelas dan

akan lebih mudah merumuskannya.

1. Bagaimana kondisi Islam di Wonosobo sampai abad ke-19?

15

(22)

9

2. Bagaimana riwayat hidup Sayyid Ibrahim Baabud?

3. Bagaiman perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang

politik dan dakwah Islam?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini yaitu melingkupi beberapa hal, sebagai berikut :

1. Memahami bagaimana kondisi keagamaan yang ada di Wonosobo pada

akhir abad ke-19.

2. Mencermati serta memahami bagaimana riwayat hidup Sayyid Ibrahim

Baabud.

3. Memahami bagaimana perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang

politik dan dakwah Islam di Wonosobo.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan salah satu cara untuk memperoleh sumber

yang sudah ada, karena sumber ataupun data merupakan hal yang paling penting

di dalam ilmu pengetahuan, yaitu menyimpulkan fakta-fakta, mengisi

gejala-gejala baru yang sudah ada atau sudah terjadi. Pada dasarnya, penelitian

ilmiahtidak mampu berjalan tanpa adanya penelitian-penelitian sebelumnya yang

sesuai dengan apa yang akan dikaji.16

16

(23)

10

Penelitian L.W.C Van Den Berg yang berjudul Hadramaut dan Koloni

Arab di Nusantara yang di terbitkan oleh inis Jakarta pada tahun 1989. Dalam

bukunya ini Berg menjelaskan tentang orang-orang Arab di Nusantara pada abad

ke 19 serta awal abad ke-20. beberapa penekanan berg dalam bukunya ini adalah

tentang pengaruh para Sayyid keturunan Arab terhadap penduduk pribumi yaitu

dalam bidang ekonomi, sosial, dan agama. Sayyid Ibrahim Baabud sendiri

merupakan salah satu tokoh keturunan Arab yang memiliki pengaruh khususnya

dalam bidang sosial agama dalam pengembangan Islam di Wonosobo.

Penelitian M.C Ricklefs yang diterbitkan pada tahun 2012 berjudul

Mengislamkan Jawa menjelaskan tentang Islamisasi di Jawa pada sekitar tahun

1930-an. Dalam hal ini Ricklefs menjelaskan tentang sintesis mistik serta

polarisasi masyarakat Jawa. Selain itu juga di jelaskan mengenai masyarakat Jawa

di bawah pemerintah kolonial dan Islam. pada awal abad ke-20 masyarakat

Wonosobo merupakan penganut Islam yang sangat kental oleh tradisi lokalnya

sehingga Sayyid Ibrahim Baabud muncul sebagai agen perubahan dalam

pengembangan Islam yang lebih modern.

Penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Wonosobo yang

bekerja sama dengan Puslitbang Arkeologi Nasional pada tahun 2008 salah

satunya menjelaskan tentang pengembangan Islam di Wonosobo yang dilakukan

oleh para ulama antara lain Kyai Asmoro Sufi, Kyai Asmoro Gati, Kyai Mansyur,

Kyai Madukoro, Sayyid Hasyim Baabud dan lain sebagainya. Sayyid Ibrahim

(24)

11

Penelitian skripsi mengenai Kiprah KH Muntaha dalam perpolitikan di

Wonosobo (1956-2004) yang ditulis oleh Fathul Wachid mahasiswa Sejarah

Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menjelaskan mengenai

kiprah politik KH Muntaha di wonosobo serta menekankan aspek politik dalam

perjuangan KH Muntaha.Penelitian ini juga menelaskan mengenai eksistensi

politik di Wonosobo periode awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial

politik. Penelitian mengenai Sayyid Ibrahim Baabud dan perjuangannya di

Wonosobo (1884-1958) juga sedikit disinggung mengenai peran politik pada

konteks perkembangan Nahdlatul Ulama. Dimana penelitian mengenai Kiprah

politik KH Muntaha yang menekankan aspek politik merupakan cikal bakal

perpolitikan yang dipengaruhi oleh periode awal pendirian Nahdlatul Ulama di

Wonosobo.

Strategi dakwah KH Muntaha dalam mengembangkan Islam di Indonesia

yang ditulis oleh Miftahul Haris sarjana Fakultas Dakwah Universitas Sains

Al-Qur‟an Wonosobo tahun 2004. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai strategi

-strategi dakwah KH Muntaha dalam mensyiarkan agama Islam ke penjuru

Indonesia. Pada dasarnya cara-cara para ulama pendahulu yang ada di Wonosobo

menjadi rujukan KH Muntaha dalam menyebarkan misi dakwahnya, termasuk

Metode dakwah yang dilakukan oleh Sayyid Ibrahim Baabud dengan

(25)

12 E. Kerangka Konseptual

Alwi Shihab dalam teorinya tentang peranan ulama tasawuf (tarekat)

dalam proses Islamisasi di Nusantara mengatakan bahwa : penyebaran Islam yang

berkembang secara spektakuler di Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi

tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas

sejarawan dan peneliti. Hal ini disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi

yang lebih kompromis dan penuh kedamaian. Tasawuf memang memiliki

kecenderungan manusia yang terbuka dan berorientasi kosmopolitan.17

Teori tersebut dalam kenyataannya dapat ditemukan bahwa penyebaran

Islam di Jawa khususnya dilakukan dengan cara damai, dan lembut. Ini berbeda

dengan penyebaran Islam di Timur Tengah ataupun Eropa yang dalam beberapa

kasus disertai dengan pendudukan wilayah militer Muslim. Islam di Jawa dalam

batas tertentu di sebarkan oleh para pedagang, kemudian oleh para guru agama

(ulama) dan para pengembara sufi. Begitupun dengan pengembangan Islam di

Wonosobo yang di merupakan wilayah pedalaman Jawa yang mendapatkan

pengaruh Islam dengan jalan damai melalui para ulama tasawuf, salah satunya

adalah Sayyid Ibrahim Baabud.

Senada dengan teori yang dikemukakan oleh Alwi Shihab, Martin Van

Bruineinssen mengatakan: dalam proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Nusantara,

tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting walaupun dalam proses itu,

ajaran tasawuf kadang-kadang diubah. Ajaran kosmologi versi Ibn Al-Arabi dan

17

(26)

13

Al-Jili misalnya, diterapkan sebagai legitimasi tatanan masyarakat. Amalan

tarekat seperti Dzikir, wirid, ratib dan sebagainya juga diterapkan dengan tujuan

di luar tasawuf. Orang-orang Jawa masa dulu sangat menaruh perhatian kepada

kemampuan supranatural-kesaktian, kekebalan, kedigdayaan, kanuragan dan

segala ilmu gaib lainnya. Dapat dimengerti jika pada awalnya mereka

menganggap amalan tarekat sebagai salah satu cara baru untuk mengembangkan

kemampuan supranatural itu. Sehingga terkadang sulit membedakan antara

tasawuf dan magic. Sampai sekarang banyak aliran silat menggunakan amalan

yang berasal dari tarekat-tarekat guna mengembangkan ”tenaga dalam”, tujuan yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan agama lagi. Permainan

debus, yang dulu terkait dengan persilatan, nampak berasal dari amalan tarekat

Rifa‟iyah dan Qadiriyah. Dalam dunia perdukunan juga dapat ditemukan

bacaan-bacaan dan cara meditasi (mujahadah, muraqabah, dan sebagainya) yang berasal

dari amalan tareka, walaupun penerapannya tidak jarang dikritik oleh kalangan

tarekat masa kini.18

Masyarakat pedalaman Jawa pada khususnya masih menganut tradisi lokal

sebagai bagian dari proses pelestarian nilai budaya terhadap leluhur mereka. Ini di

tandai dengan praktik-praktik adat yang masih dilakukan oleh sebagian besar

masyarakat. Namun dengan seiring berjalannya waktu hingga permulaan abad

ke-20 bersamaan dengan era kolonialisme, nilai-nilai tradisi lokal pun perlahan pudar

dengan datangnya pengaruh modernisme yang dibawa oleh bangsa kolonial.

Sayyid Ibrahim Baabud salah satu tokoh pengembang Islam di pedalaman Jawa

18

(27)

14

(Wonosobo) hadir membawa perbedaan melalui pengaruh modernisme dalam

bentuk organisasi sosial keagamaan (NU) dengan tidak meninggalkan tradisi yang

telah lama ada di tengah-tengah masyarakat.

F. Metode Penelitian

Untuk mengkaji suatu penelitian seorang tokoh yang begitu berpengaruh

baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional membutuhkan analisis yang

mendalam terkait seberapa besar pengaruhnya dalam masyarakat dan juga seperti

apakah pengaruhnya dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, penulis menggunakan

metode penelitian sejarah untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan kiprah

Sayyid Ibrahim Baabud dalam menyebarkan Islam di Wonosobo. Metodologi

penelitian sejarah merupakan suatu periodesasi atau tahapan-tahapan yang

dtempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat

mencapai hakekat sejarah.19 Dari pengertian tersebut dapat diuraikan bahwa metodologi penelitian sejarah adalah sebuah tahapan yang harus ditempuh oleh

seorang sejarawan dalam menulis karyanya. Hal tersebut merupakan sebuah

syarat untuk keabsahan sebuah tulisan sejarah yang ilmiah sehingga dapat

dipertanggungjawabkan.

Agar mampu menghasilkan sebuah karya yang dapat

dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan standar penulisan pada umumnya,

19

(28)

15

maka penulis berusaha menggunakan metode penelitian sejarah yang telah ada.

Adapun metode penelitian sejarah yang digunakan oleh penulis adalah sebagai

berikut :

1. Heuristik

Setelah menentukan judul, tahapan selanjutnya yaitu mengumpulkan

sumber (heurustik). Sumber-sumber yang dikumpulkan berupa sumber primer.

Adapun Sumber tersebut dapat diperoleh baik dari sumber tulisan berupa arsip

atau dokumen-dokumen yang berkaitan secara langsung dan tidak langsung,

sumber lainnya adalah berupa sumber lisan yang dalam penelitian ini masih dapat

dijangkau. Hal ini dikarenakan tokoh yang akan dikaji merupakan tokoh pada

abad ke-20 sehingga tokoh-tokoh yang hidup sezaman dengan Sayyid Ibrahim

Baabud masih ada walaupun Sayyid Ibrahim Baabud telah lama wafat. Adapun

beberapa Sumber-sumber primer yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut:

a. Sumber Tulisan :

1. Sanad tarekat Allawiyah yang merupakan tulisan tangan Sayyid

Ibrahim Baabud. Sanad tarekat ini didapatkan dari Ahmad Muzan

seorang sejarawan lokal Wonosobo yang aktif menulis mengenai

sejarah tokoh-tokoh serta isu politik,sosial maupun budaya di

Wonosobo serta aktif mengelola yayasan pendidikan yang ia

dirikan di Wonosobo.

2. Kitab Minhajul Mubin, merupakan kitab fikih tulisan tangan

(29)

16

Dahlan di Mekkah. Kitab ini penulis dapatkan dari Habib Aqil

Baabud yang merupakan cucu dari Sayyid Ibrahim Baabud.

3. Kartu tanda NU atas nama Muhammad Saidun yang berasal dari

Desa Kreo, Kecaamatan Kejajar, kabupaten Wonosobo, yang

dikeluarkan pada tanggal 23 Dzulqo‟dah 1353 H, sudah bernomor

1526. Bukti ini mengindikasikan bahwa pada awal pendirian NU

sudah memiliki ribuan anggota. Sumber ini didapat dari kantor

cabang NU Wonosobo.

b. Sumber Lisan

1. Wawancara dengan Habib Aqil Baabud yang lahir pada tahun 1940

dan merupakan cucu dari Sayyid Ibrahim Baabud. Beliau

mengetahui persis mengenai kiprah Sayyid Ibrahim Baabud.

Meskipun tidak diceritakan langsung oleh Sayyid Ibrahim Baabud,

namun beliau mengetahuinya dari orang tuanya.

2. Wawancara dengan KH Alim Bumen, Wonosobo. KH Alim

Sendiri merupakan tokoh yang hidup sezaman dengan Sayyid

Ibrahim Baabud. Beliau lahir pada tahun 1920-an masehi dan

merupakan salah satu anggota NU pada awal periode kepengurusan

NU di Wonosobo.

Sementara itu sumber-sumber sekunder diperoleh dari buku, artikel serta

kajian serupa. Buku-buku serta artikel yang dimaksud sebagian besar ditulis oleh

sejarawan asal wonosobo yaitu Ahmad Muzan, yang berjudul Diaspora Islam

(30)

17

Islam Wonosobo. Sementara sumber sekunder lainya yaitu berupa buku-buku

hasil penelitian dari pemerintah kabupaten Wonosobo yang bekerja sama dengan

puslitbang arkeologi nasional tahun 2008 yang berjudul sejarah Wonosobo.

Adapun sumber sekunder lainnya adalah buku hasil penelitian dari Van Den Berg

yang berjudul Hadhramaut dan Koloni Arab di Indonesia. penelitian ini

menelaskan tentang orang-orang Arab yang ada di Nusantara (Jawa). Sayyid

Ibrahim Baabud sendiri merupakan salah seorang tokoh keturunan Arab

Hadhramaut yang aktif mengembangkan Islam di Wonosobo pada awal abad

ke-20. Sumber sekunder lainnya adalah buku Mengislamkan Jawa karya Ricklef

yang menjelaskan tentang Islamisasi yang lebih dalam pada awal abad ke-20.

Islamisasi yang juga dilakukan oleh Sayyid Ibrahim Baabud dalam

mengkolaborasikan antara Islam mistik dengan Islam modern.

2. Kritik Sumber

Setelah dilakukan pengumpulan data selanjutnya penulis berusaha

menverivikasi sumber-sumber tersebut agar diperoleh sumber yang benar-benar

dapat dipertanggungjawabkan. Kritik terdiri atas kritik ektern dan kritik intern.

Kritik ektern digunakan untuk meneliti otentisitas keaslian sumber. Sedangkan

kritik intern digunakan untuk meneliti kredibilitas sumber. Dalam penelitian ini

kritik ektern digunakan untuk mengetahui kredibilitas dari seorang narasumber.

Narasumber yaitu keluarga Sayyid Ibrahim yang menetap di Kauman, Wonosobo,

yaitu Habib Aqil Baabud. Perlu diketahui bahwa penelitian yang menggunakan

wawancara adalah salah satu cara untuk mengumpulkan sumber harus lebih teliti

(31)

18

narasumber sedikit banyak mempengaruhi informasi yang ia sampaikan.

Selanjutnya kritik intern pada penelitian ini akan penulis bandingkan informasi

yang disampaikan dengan fakta-fakta yang ada.

3. Interpretasi

Tahapan yang ketiga adalah interpretasi. Interpretasi merupakan tahapan

menafsirkan fakta-fakta serta serta menetapkan makna yang saling berhubungan

daripada fakta yang diperoleh. Terdapat dua macam interpretasi, yaitu analisis

yang berarti menguraikan serta sintesis yang berarti menyatukan. Analisis yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah menguraikan pernyataan-pernyataan dan

juga bahan lain berupa foto-foto dan dokumen yang lainnya untuk diuraikan agar

lebih mudah difahami. Dokumen-dokumen serta foto-foto yang dimaksud adalah

beberapa sumber-sumber primer yang telah penulis uraikan di tahapan heuristik di

atas. Selanjutnya sintesis dalam penelitian ini adalah menyatukan bahan-bahan

yang didapat dari hasil wawancara dari beberapa narasumber seperti Habib Aqil

dan KH Alim, sehingga menghasilkan fakta bahwa kiprah Sayyid Ibrahim Baabud

dalam menyebarkan Islam di Wonosobo benar-benar ada.

4. Historiografi

Tahapan yang terakhir adalah historiografi. Historiografi merupakan

rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh

dengan menempuh proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan

peninggalan masa lampau. Dalam melakukan penulisan sejarah, terdapat beberapa

hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, penyeleksian atas fakta-fakta,

(32)

19

peristiwa dan kelayakannya dan imajinasi yang dilakukan untuk merangkai

fakta-fakta yang dimaksud untuk merumuskan suatu hipotesis.

Dalam penelitian yang difokuskan terhadap kiprah serta peran Sayyid

Ibrahim Baabud dalam menyebarkan Islam di Wonosobo ini setidaknya dengan

menggunakan metode, yaitu pemilihan tema, pengumpulan data, verivikasi,

interpretasi dan juga penulisan sejarah. Penulis berharap agar penulisan yang

diperoleh nantinya dapat menghasilkan tulisan yang lebih mudah difahami dan

dapat dipertanggungawabkan.20

G. Sistematika Penulisan

Agar mudah difahami serta mendapatkan pemaparan yang jelas, terkait

pembahasan pada tulisan ini, maka penulisan ini dibagi menjadi lima bab.

Bab I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, Tujuan

serta ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metode

penelitian, dan sistematika penulisan. Bab I menerangkan alasan terkait dan

selanjutnya memaparkan tektik dan prosedur lpenulisan.

Bab II membahas deskripsi mengenai Biografi Sayyid Ibrahim Baabud

mencakup latar belakang dari tokoh tersebut. Seperti halnya latar belang keluarga,

riwayat pendidikan, geneologi keilmuan, pemikiran dalam bidang dakwah

Islamnya, serta karya-karya yang dhasilkannya. Bab II ini menarik untuk dikaji

20

(33)

20

karena peran besar dari apa yang telah beliau hasilkan bermula dari apa yang telah

beliau dapatkan di lingkungan keluarga, masyarakat serta pendidikannya.

Bab III membahas tentang bagaimana kondisi sosial keagamaan

masyarakat Wonosobo pada akhir abad ke-19. Dalam hal ini akan di jelaskan

secara sistematis mengenai gambaran umum masyarakat Wonosobo. Setelah

mengetahui tentang bagaimana gambaran umum masyarakat Wonosobo, penulis

akan membahas mengenai metode penyebaran Islam yang sesuai dengan kondisi

masyarakat Wonosobo pada waktu itu. Karena dengan metode tasawuf dinilai

sesuai dengan keadaan Wonosobo pada waktu itu, maka penulis kemudian

mendeskripsikan tentang tarekat Allawiyyah dan Sathoriyah sebagai media

pengembangan Islam.

Bab IV membahas tentang Sayyid Ibrahim Baabud dan perkembangan

Islam di Wonosobo pada abad ke-20. Pada bab ini akan disinggung bagaimana

peran Sayyid Ibrahim Baabud dalam tarekat Allawiyyah dan Sathoriyah kemudian

dijelaskan juga mengenai Nahdlatul Ulama sebagai media perjuangan Sosial

Keagamaan Sayyid Ibrahim Baabud yang akan dibagi menjadi beberapa kajian,

yaitu berdirinya cabang Nahdlatul Ulama di Wonosobo, dakwah Islamiyah

Nahdlatul Ulama di Wonosobo, perjuangan politik Nahdlatul Ulama di

Wonosobo, dan Nahdlatul Ulama sebagai media pemersatu umat, kemudian pada

bagian terakhir akan dijelaskan mengenai orientasi perjuangan Sayyid Ibrahim

(34)

21

Bab V atau bab terakhir merupakan kesimpulan dari pembahasan bab

sebelumnya, yaitu dari bab I sampai bab IV. Berupa jawaban atas permasalahan

(35)

22 BAB II

ISLAM DI WONOSOBO

A. Gambaran Umum Masyarakat Wonosobo Sampai Abad-19

Pada bagian ini akan ditelusuri mengenai gambaran umum masyarakat

Wonosobo abad 19 yang masih kental dengan tradisi lokalnya walaupun telah

mendapat pegaruh Islam dari para ulama putihan. Dalam hal ini adalah Habib atau

Keturunan Arab (Sayyid Ibrahim Baabud).21 Masyarakat Wonosobo adalah bagian dari masyarakat Jawa pedalaman.Jawa sendiri merupakan kelompok etnik

terbesar di Nusantara.Kelompok tersebut digolongkan menjadi dua bagian, yaitu

kelompok sholat dan kelompok tidak solat.22 Kelompok sholat maksudnya adalah mereka yang melakukan sholat wajib, biasanya disebut kelompok putihan atau

santri, dan yang kedua adalah sebaliknya atau cenderung disebut dengan

kejawen.23

Disisi lain, terdapat pandangan bahwa masyarakat Wonosobo sangat

dipengaruhi oleh budaya animisme, dinamisme, Hindhu dan Budha. Penafsiran ini

cenderung menjustifikasikan Jawa sebagai kebudayaan yang final. Clifford Geertz

dalam bukunya yang berjudul Religion Of Java mengklasifikasikan Masyarakat

Jawa kedalam tiga kategori yaitu Santri, Abangan, dan Priyayi. Setiap kategori

21

Ahmad Muzan. 2001. Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam penyebaran Islam di Wonosobo serta Sejarah berdirinya Masjid Al-Mansyur Wonosobo, cet I (Wonosobo: Yayasan Masjid Al-Mansyur Wonosobo), Hal 82-83.

22

Niels Mulder. 2009. Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia, cet III (Yogyakarta: LKiS), Hal 9-10.

23Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam penyebaran Islam di Wonosobo

(36)

23

tersebut merepresentasikan peran agama secara benar berdasarkan tatanan

syariah.Sementara kelompok Priyayi merepresentasikan tradisi mistik yang lebih

diyakini sebagai warisan dari keagamaan Hindhu dan Buddha sebelum Islam.

Kelompok abangan adalah kelompok yang dapat disebut sebagai kelompok yang

secara konsisten mempertahankan kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah

menjadi tradisi sejak nenek moyang masyarakat Jawa-animisme. Ketiga kategori

diatas identik dengan apa yang ada di lingkungan masyarakat Wonosobo periode

akhir abad ke-19. Sebagai masyarakat yang animis dan dinamis, tentu masyarakat

Wonosobo kental dengan budaya Nyekar, pemujaan terhadap tempat-tempat

keramat, slametan dengan berbagai macam variasi bentuk, hitungan (numerologi),

dan konsep ruang dimana slametan tersebut diselenggarakan.24 Istilah slametan dan kenduren merepresentasikan sistem makna tertentu. Praktek-praktek tersebut

yang menjadi tradisi masyarakat Wonosobo pada akhir abad ke-19 hingga awal

abad ke-20, terutama di daerah pegunungan (pedalaman) Wonosobo yang hingga

kini masih terlihat.25

Dalam perkembangannya, masyarakat Wonosobo merupakan pemeluk

Islam yang kreatif dalam menghubungkan kebudayaan dan struktur sosial

terdahulunya dengan Islam sebagai unsur yang „baru‟ dalam sebuah struktur

kebudayaan. Tradisi intelektual dan spiritual Islam Jawa merupakan tradisi kreatif

yang mejadi tolak ukur mereka. Akibatnya terdapat kewajaran mengapa Islam

Jawa sangat berbeda dengan keislaman Timur Tengah atau Jazirah Arab, letak

24

Syam Nur. 2007. Madzhab-Madzzhab Antropologi, Cet I (Yogyakarta: LKiS), Hal 98.

(37)

24

geografis yang sangat menyulitkan komunikasi dan interaksi antar keduanya

menyebabkan Islam di Wonosobo berkembang dengan model dan coraknya

sendiri tanpa harus menjadikan Arab sebagai patokan dominan. Masyarakat

Wonosobo juga mempunyai suatu prinsip yang biasa disebut prinsip harmoni.

Prinsip harmoni adalah prinsip yang dikedepankan oleh masyarakat Jawa dimana

setiap perbedaan akan diarahkan pada pencapaian harmoni yang lebih tinggi, yaitu

harmoni masyarakat.26

B. Jejaring Ulama Wonosobo

Setelah Islam berkembang secara pesat hingga memasuki awal abad ke-20,

Wonosobo kemudian dikenal sebagai wilayah pengembangan Islamnya yang

beragam.Ini ditandai dengan beragamnya saluran pengembangan Islam pasca

Sayyid Hasyim Baabud (abad-18) yang berhasil mengislamkan Wonosobo dengan

metode tasawufnya (tarekat). Demikian juga dengan Sayyid Ibrahim Baabud yang

disisi lain juga mempunyai peran penting dalam upayanya melanjutkan misi

dakwah yang dipelopori oleh Sayyid Hasyim Baabud. dalam periode ini, dakwah

Islam oleh kaum tarekat menggunakan beberapa jalur interaksi sosial sebagai

berikut :

1. Pedagang, yaitu mempergunakan sarana pelayaran sehingga kehadiran

para pedagang ini di beberapa pelabuhan pada tahap awal setidaknya telah

memperkenalkan kepada penduduk setempat tentang tata cara pelaksanaan

ibadah.

26

(38)

25

2. Dakwah, yaitu dilakukan oleh mubaligh pesisir yang datang ke Wonosobo

bersama para pedagang. Para mubaligh tersebut bisa jadi juga para kaum

sufi pengembara.

3. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan

anak bangsawan. Hal ini mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu

keluarga Muslim dan masyarakat muslim. Dengan perkawinan itu secara

tidak langsung orang Muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan

sifat kharisma kebangsawanannya. Apalagi jika suatu saat dari

keturunannya dapat menduduki birokrasi pemerintahan tentu akan

mempermudah bagi dakwah Islam yang sedang dikembangkan oleh para

saudagar.

4. Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai

kekuatan ekonomi di Bandar-bandar seperti Batang dan Pekalongan.

Pusat-pusat perekonomian tersebut berkembang menjadi pusat-pusat

pendidikan dan penyebaran Islam hingga ke pedalaman (Wonosobo).

Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam berperan sebagai pusat dakwah

pertama yang didatangi pelajar.

5. Tasawuf dan tarekat, bersama dengan datangnya pedagang, datang pula

ulama dan para sufi. Ada yang kemudian diangkat menjadi penasehat dan

pejabat agama di suatu kerajaan. Seperti halnya para Walisongo.

Di samping itu pada tahap berikutnya, ketika mulai diperkenalkan

systempendidikan pesantren, peranan ulama dengan pesantrennya semakin meluas

(39)

pemukiman-26

pemukiman baru dan Islamisasi lebih lanjut. Di samping itu, mereka juga

mengirimkan murid-murid atau putra-putranya ke Timur Tengah untuk

memperdalam keagamaannya, sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh

Sayyid Ibrahim Baabud yang belajar kepada Sayyid Zaini Dahlan di Mekkah. Dan

ketika mereka pulang kemudian mereka menjadi ulama-ulama muda yang

membawa pemikiran-pemikiran baru untuk reformasi dan kosmopolitanisme

Islam.27

Tentang penyebaran dan pengajaran Islam serta pelembagaannya dalam

proses Islamisasi di daerah Wonosobo abad-19 sampai awal abad ke-20, terdapat

beberapa catatan:

Pertama, pengajaran Fiqh sebagai pelajaran dasar dalam memahami

syariat Islam serta tertuang dalam ribuan kitab kuning yang ditulis oleh para

ulama mulai diajarkan para mubaligh. Misalnya pelajaran Fiqh yang tertuang

dalam bentuk kitab kuning yang berjudul Fatchul Mu‟in karya dari ulama besar Al-Syeikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Malibari dalam nemtuk tulisan

tangan telah diajarkan oleh KH. R Abdul Fatah pendiri dan pengasuh pondok

pesantren di daerah Sigedong, Baturono, Kepil, Wonosobo sekitar tahun 1830

M.28 kitab Fiqh yang tergolong sebagai kitab standar pengajaran di berbagai pesantren ini, didalamnya berisi antara lain tentang masalah Ubudiyah,

Mu‟amalah, Hudud dan masalah lainnya.

27

Slamet Mulyana. 2008. Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, cet I (Jogjakarta: LkiS), Hal 44.

28

(40)

27

Kedua, pendidikan Al-Qur‟an membaca dan menghafal Al-Qur‟an (Tahfidzul Qur‟an) telah diajarkan di pesantren Kalibeber, Wonosobo oleh KH

Abdurrahman (kakek dari KH Muntaha Al-Hafidz) sebagai penerus dari

ayahandanya R. Hadiwijaya yang menggunakan nama samara KH Muntaha bin

Nida Muhammad pengasuh sekaligus pendiri Pondok pesantren Al-Asy‟ariyah, Kalibeber pada tahun 1870-an M.29 beliau mempunyai tulisan Al-Quran yang beliau tulis sendiri ketika dalam perjalanannya ke Mekkah. Mengingat keberadaan

Pondok pesantren semenjak dulu mempunyai peran sebagai Lembaga Tafaqquh

Fi al din. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa Kutubul Mukaromah

(kitab-kitab rujukan) yang disebut dengan (kitab-kitab kuning juga diajarkan.

Ketiga, mengenai Tauhid dan Tasawuf (Akhlak) yang menjadi landasan

kehidupan dunia dan akhirat nampaknya menjadi prioritas utama bagi para

mubaligh.Hal itu dibuktikan dengan adanya silsilah atau sanad Tarekat Allawiyah

dan Shatoriyah dalam bentuk tulisan tangan yang berisi tentang ajaran Tauhid

serta beberapa Wirid dan Dzikir.Jika diurut, maka tasawuf ini telah diajarkan

semenjak pertama keluarga Baabud masuk ke Wonosobo abad-18 M.30

Disamping pengajaran dalam bentuk naskah dan tulisan terdapat juga

pengajaran yang dilakukan secara lisan dengan menterjemahkan kedalam bahasa

daerah. Seperti pengajaran tentang rukun Islam yang hingga sekarang masih

(41)

28

Nekseni Ingsun ing dalem ati ingsun

Kelawan I‟tiqod ingkang kukuh,

Setuhune kelakuwan iku ora ono dzat kang senembah,

Kelawan sak benere, anging Alloh t‟aala dewe

Ingkang wajib wujude ingkang mukhal ngadame

Kang kagungan sifat-sifat semporna ora ono weksane …31

(Saya bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah)

(Saya bersaksi dalam hati dengan sepenuh keyakinan, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang wajib disembah dengan sebenar-benarnya, kecuali Allah ta‟ala

sendiri,

Yang wajib adanya dan mustahil tidak adanya,

Yang mempunyai sifat-sifat sempurna dan tidak ada bandingannya)

Dari syair di atas dalam bentuk karya Islam klasik menunjukkan bahwa

para mubaligh mengenal betul karya-karya Islam, namun menuangkannya dalam

bentuk bahasa Jawa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Karya Islam klasik

tersebut mencerminkan kondisi masyarakat muslim di daerah ini yang bercorak

legalistik telah mendapatkan pengajaran Islam secara menyeluruh (tidak dalam

satu aspek, Tasawuf saja misalnya). Namun juga Fiqh yang berisi aturan tentang

hubungan sesama manusia dan hubungan hamba dengan Allah SWT dalam

praktek ibadah, serta Al-Qur‟an yang berarti didalamnya terdapat Ulumul Qur‟an (Tafsir dan sejenisnya). Dalam naskah yang diajarkan oleh KH. R Abdul Fatah di

Kepil, Wonosobo sebagai pengajar pertama kitab Fathul Mu‟in karya dari Syekh

Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari salah seorang pemuka dalam madzhab

31

(42)

29

Syafi‟I, maka dapat disimpulkan bahwa Islam yang berkembang di daerah

Wonosobo adalah bermadzhab Syafi‟i.32 tidak jauh dengan madzhab Syafi‟I,

naskah tulisan tentang Silsilah Tarekat Allawiyah dan Shatoriyah

mengindikasikan bahwa penyebaran Islam dilakukan juga oleh para Ulama

Tarekat.33 Tentang ajaran ketauhidan dalam pemaklnaan kalimah syahadad dengan menyebutkan sifat-sifat Allah SWT di atas menunjukkan bahwa faham

yang dikembangkan di Wonosobo adalah faham Ahlussunah Wal Jama‟ah.

Upaya-upaya transformasi Islam ke dalam masyarakat Wonosobo, pada

perjalanannya lambat laun memunculkan lembaga-lembaga pendidikan.

Lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa lalu merupakan proto tipe dari

pendidikan pesantren dan madrasah yang ada sekarang. Lembaga pendidikan itu

terus berkembang sesuai degan perubahan zaman dan alur fikir masyarakat

sehingga berkembang menjadi pesantren dan sekolah dengan beraneka corak yang

berkembang sekarang.34

C. Tarekat Alawiya dan Shatoriyah sebaga Media Pengembangan Islam

di Wonosobo

Telah diketahui bahwa Islam yang berkembang di Wonosobo pada abad

ke-19 merupakan Islam yang bercorak tarekat, dalam hal ini adalah tarekat

alawiyah dan shatoriyah.Tonggak perkembangan tarekat Alawiyah dimulai pada

32

Historiografi Islam di Wonosobo Abad XVII-XIX, Hal 28. 33

Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp).

(43)

30

masa Muhammad Ali, atau dikenal dengan sebutan Al-Faqih Al-Muqaddam

(seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Dalam

periodenya, Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami punyak

kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki

kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, diantaranya soal Fiqh dan

Tawawuf. Disamping itu, ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hinggake

maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah

(legalitas kesufian).

Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan tarekat Alawiyah

kemudian dikembangkan oleh para Syekh. Diantaranya ada 4 Syekh yang cukup

terkenal, yaitu Syekh Abd Rahman Saqqaf (739 H), Syekh Umar

Al-Muhdar bin Abd Al-Rahman Al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah Al-Aidarus bin

Abu Bakar Al-Sakran (821 H). Sedangkan yang lainnya adalah Habib Husain bin

Sholeh Al Bahr, Habib Umar As Segaf, Habib Husain Al-Haddad.35

Bagi Sayyid Ibrahim Baabud sebagai penganut sekaligus penyebar tarekat

Alawiyah di daerah pedalaman Jawa (Wonosobo), hirarki kesanadan tarekatnya

sebagai ciri utama tarekat tetap terpelihara hingga generasi sekarang. Ciri utama

dari pengamal tarekat ini antara lain, tergambar dalam banyaknya masyarakat

yang membaca ratib dalam segala macamnya dan yang banyak dibaca adalah ratib

Al-Haddad dan ratib Al-Attos.

35

(44)

31

Selama masa para Syeikh ini, dalam sejarah Alawi, dikemudian hari

ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu sendiri.Dan

secara umum, hal itu bisa dilihat dari cirri-ciri melalui para tokoh maupun

berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa Syeikh di Hadhramaut.

Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap

mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi,

seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Wasiy, atau

keterkaitan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk wasiat dari Rasulullah

SAW untuk Imam Ali sebagai pengganti nabi Muhammad SAW. Kedua, adanya

sifat elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok

ini untuk membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang

terhormat hingga mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.Ketiga,

berkembangnya tradisi para sufi kalangan Khawwas (elit), sepeti Al-Jam‟u, Al

-Farq, Al-Fana‟ bahkan Al-Wahdah, seperti halnya yang dialami Muhammad bin

Ali (Al-Faqih Al-Muqaddam) dan Syekh Abd Al-Rahman as Saqqaf.Keempat,

dalam Tarekat Alawiyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam

mengembalikan tradisi Tarekat sebagai Thariqah (suatu madzab kesufian yang

dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga mampu meghilangkan formalitas yang

kaku dalam tradisi tokoh para sufi. Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti

Hasan Al-Basri dengan zuhud-nya, Rabiah Al-adawiyah dengan Mahabbah dan

Al-Isyq al-ilahi-nya, Abu Yazid Al-Bustami dengan fana nya, al-Hallaj dengan

Wahdah al-wujudnya, maka para tokoh tarekat Alawiyah, selain memiliki

(45)

Al-32

Khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya‟ dan „ujub, yang merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara

vertikal penempatan diri seorang hamba di hadapan Allah sebagai dzat yang

Ghani (maha kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu

membutuhkan nikmatnya. Secara horizontal, sikap tersebut difahami dalam

pengertian komunal bahwa rahmat tuhan akan diberikan bila seseorang

mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin. Penghayatan ajaran tauhid

seperti ini menjadikan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas

bawah maupun kaum tertindas (mustadl‟afin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf

misalnya, selama itu dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri

Muhammad bin Ali terkenal dengan ummul fuqara-nya.

Sebagai tarekat yang diajarkan oleh nenek moyangnya, maka tidak

mengherankan jika proses Islamisasi di pedalaman Jawa, para Sayyid juga

mengajarkan tarekat alawiyah. Tidak terkecuali Sayyid Ibrahim Baabud yang

menggunakan pendekatan ini dalam dakwah.Di samping itu para generasi penerus

beliau juga menyebarkan tarekat di samping alawiyah juga tarekat shatoriyah

yang didapat dari guru-gurunya sewaktu dalam menuntut ilmu.36

Pengembangan mistik tarekat shatoriyah ditujukan untuk mengembangkan

suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan tuhan (Allah SWT) dalam

hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana‟.Penganut tarekat Shatoriyah percaya

bahwa jalan menuju Allah SWT itu sejauh gerak nafas makhluk.Tetapi jalan yang

36

(46)

33

paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh klaum Akhyar,

Abrar, dan Syattar.Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan syattar, terlebih

dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih)

dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia dzikir. Untuk itu ada 10

aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud,

tawakkal, qana‟ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah,

sebagaimana halnyatarekat-tarekat lain. Tarekat Shatoriyah menonjolkan aspek

dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut diatas, masing-masing

memiliki metode berdzikr dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan.,

penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar menjalaninya

dengan melakukan shalat dan puasa, membaca Al-Qur‟an, melaksanakan haji, dan berjihad.Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan atau

zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan

berusaha selalu mensucikan hati.Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan

bimbingan langsung dari arwah para wali.Menurut para tokohnya, dzikir kaum

Syattar inilah yang merupakan jalan tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.

Di dalam tarekat Shatoriyah dikenal tujuh macam dzikir muqadimah,

sebagai tangga untuk masuk ke tarekat Shatoriyah.Ketujuh macam dzikir ini agar

cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah SWT dapat selamat. Ketujuh

macam dzikir adalah sebagai berikut :

a. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari

bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan llaa ilaha

(47)

34

kemudian mengucapkan illallah yang dipukulkan kedalam hati

yang letaknya kira-kira 2 jari di bawah susu kiri.

b. Dzikir naïf itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan

lebih mengeraskan suara, yang diucapkan seperti memasukkan

suara kedalam asma Allah SWT.

c. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan illallah, illallah, illallah,

yang dihujamkan ke dalam hati.

d. Zikir ismu dzat, dzikir denga Allah, Allah, Allah tang dihujamkan

ke tengah-tengah dada.

e. Dzikir taraqqi, yaitu dzikir Allah-hu, Allah-hu. Dzikir Allah

diambil dari dalam dada dan hu dimasukkan ke dalam fikiran.

Dzikir ini dimaksudkan agar fikiran selalu tersinari oleh cahaya

illahi.

f. Dzikir tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil

dari dalam fikiran, dan dzikir Allah dimasukkan ke dalam dada.

Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki

kesadaran yang tinggi sebagai insane cahaya illahi.

g. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata

dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat di

tengah-tengah dada menuju arah kedalaman rasa.37

Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan pada firman Allah dalam

Al-Qur‟an surat Al-mu‟minun ayat 17 : “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan

37

(48)

35

di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan kami sama sekali tidak akan lengah

terhadap kami (terhadap adanya 7 buah jalan tersebut)”.

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma‟ al-husna), tarekat Shatoriyah membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok, yaitu :

a) Menyebut nama-nama Allah yang berhubungan dengan

keagungannya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutaqabbir, dan

lain-lain.

b) Menyebut nama Allah yang berhubungan dengan keindahannya

seperti, al-Malik, al-Quddus, al-Alim, dan lain-lain.

c) Menyebut nama-nama Allah yang merupakan gabungan dari

kedua sifat tersebut, seperti al-Mu‟min, al-Muhaimin, dan

lain-lain.

Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan sesuai urutan

yang disebutkan di atas.Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan

berulang-ulang.Sebagaimana juga seperti tarekat-tarekat lainnya, dzikir dalam tarekat

Alawiyah dan Shatoriyah hanya dapat dikuasai melaluu bimbingan dari seorang

pembimbing spiritual, guru atau syekh. Di dalam tarekat ini, seorang guru berhak

dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat yang tidak putus dari

Nabi Muhammad lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya.38

38

(49)

36 BAB III

BIOGRAFI SAYYID IBRAHIM BAABUD

A. Latar Keluarga

Secara geneologi Sayyid Ibrahim Baabud adalah cucu dari Sayyid

Hasyim Baabud yang merupakan tokoh peletak dasar Islamisasi di Wonosobo

menggunakan pendekatan tasawuf (tarekat). Sayyid Hasyim Baabud sendiri

merupakan keturunan dari Muhammad bin Al-Muhadjir (ulama Hadramaut) yang

bermarga Baabud. Sebagai tradisi bagi keturunan Arab bahwa setiap keturunan

kemudian dinisbahkan kepada kakek mereka yang mempunyai daerah dakwah

tersendiri atau spesialisasi dari keilmuan yang dimiliki.Mengenai Baabud ini

dijelaskan bahwa mereka masih keturunan Kharbasani.39 Mengenai silsilah dari Sayyid Ibrahim Baabud secara geneologis dari jalur leluhurnya dijelaskan bahwa

Sayyid Ibrahim Baabud merupakan keturunan dari keluarga yang mengikuti

tarekat Alawiyah. Dalam silsilah Alawiyah terdapat tiga keluarga yang

menyandang atau memakai gelar Baabud. Mengenai silsilah dari Sayyid Ibrahim

Baabud secara geneologis dari jalur leluhurnya lebih lengkap dijelaskan:

Ketika keluarga Baabud ini berasal dari cabang yang berbeda, namun

menyandang gelar yang sama. Yang pertamakali menyandang gelar

Baabud ini adalah As-Syeh Al-Iman Abdullah Baabud (wafat di Tarim

834 H) bin Ali (wafat 775 H) bin As Syech Al-Iman Muhammad

Mauladawillah (wafat di Tarim 765 H). As Syech Al-Imam Baabud

39

(50)

37

mempunyai putra Al-Imam Abdulrahman, Al-Imam Abdulrahman

mempunyai putra Al-Imam Abubakar. Al-Imam Abubakar inilah yang

pertama kali masuk ke Kharbasani sehingga keturunannya menyandang

gelar Baabud Kharbasani. Pada generasi Al-Habib Muchsin bin Abdullah

bin Abubakar Baabud Kharbasani bin Abdurrahman bin Abdullah Baabud,

mempunyai empat orang putra yaitu :

a) Al-Habib Ahmad bin Muchsin Baabud Kharbasani. Al-Habib

Ahmad datang dari Hadramaut pada awal abad ke 9 M. beliau

tiba di pekalongan di wilayah desa Wiradesa. Beliau menikah

dengan putrid Bupati Wirasesa Raden Jayaningrat I. beliau

mempunya dua orang putra yaitu : Husin yang wafat di

Wiradesa dan mempunyai 4 orang anak yaitu: Ahmad (Raden

Suryodiputro), wafat di Wiradesa. Muchsin (Raden

Suroatdmojo) menjadi Patih Brebes, dan keturunannya sudah

sangat membaur dan memakai nama-nama Jawa atau Indonesia

dan keturunannya ada di Wiradesa Pekalongan. Ali (wafat 1334

H), keturunannya juga ada di Wiradesa Pekalongan. Umar wafat

di Wiradesa dan mempunyai 3 putra yaitu: Alwi, Abdurrahman

keturunannya ada di pekalongan, Banjarmasin, dan Balikpapan.

b) Al-Habib Abdullah bin Muchsin Baabud Kharbasani. Al-Habib

Abdullah ini mempunyai anak Alwi dan menikah degan janda

Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I. Al Habib

Referensi

Dokumen terkait

Tekanan yang diberikan terlalu besar membuat seorang pemain sepak bola tidak bisa mengeluarkan kemampuannya sepenuhnya dalam sebuah pertandingan, sedang semangat membantu

Dalam kondisi apapun, Allah Swt memerintahkan kepada umat Islam untuk senantiasa berakhlak yang baik, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Namun,

Permasalahan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia sudah menjadi polemik yang cukup menarik sejak dahulu, maka dari itu penelitian ini difokuskan untuk meneliti

Pada pendekatan Activity Based Costing dihasilkan perhitungan total beban pokok produksi sebesar Rp 403.588.413 dengan perhitungan markup laba yaitu Rp 29.839.639 Perbedaan ini

Amin menjelaskan dakwah adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar dalam rangka menyampaikan pesan agama Islam kepada orang lain agar mereka menerima

22 Faktor diskresi POLRI adalah suatu perbuatan untuk melakukan tindakan berdasarkan kekuasaan dan kewenangan yang dinilai benar oleh seorang yang mempunyai kekuasaan

Keseluruhan kesimpulan hasil wawancara penulis terhadap tokoh masyarakat Kelurahan tanjungpinang Kota, memilki perbedaan yang beragam memandang perilaku tidak

belajar siswa Ilmu pengetahuan Sosial pada siswa kelas v di MI Ma’arif Karangasem kec. Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Sekolah Tinggi Agama Islam