• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIHIR SASTRA: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX. SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Humaniora Program Studi Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIHIR SASTRA: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX. SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Humaniora Program Studi Sejarah"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SIHIR SASTRA:

Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Humaniora

Program Studi Sejarah

Oleh

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar

NIM 144314009

PROGRAM STUDI SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

SIHIR SASTRA:

Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Humaniora

Program Studi Sejarah

Oleh

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar

NIM 144314009

PROGRAM STUDI SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

“From each according to his ability, to each according to his need!”

(6)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.

Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau bagian dari karya orang lain, kecuali untuk bagian-bagian tertentu yang dijadikan rujukan.

Yogyakarta, Mei 2021 Penulis

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar

(7)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama

: Achmad Fatkhur Hidayat Fajar

Nomor Mahasiswa

: 144314009

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Sihir Sastra: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,

mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media

lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun

mem-berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Atas kemajuan teknologi informasi, saya tidak berkeberatan jika nama, tanda

tan-gan, gambar atau image yang ada di dalam karya ilmiah saya terindeks oleh mesin

pencari (search engine), misalnya google.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 29 Juli 2021

Yang menyatakan

(8)

vi

ABSTRAK

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar, Sihir Sastra: Narasi Rangga Lawe dalam

Historiografi Tradisional Abad XV-XX. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu

Sejarah, Fakultas Sastra, Uiversitas Sanata Dharma, 2021.

Ada dua hal yang hendak dijawab oleh penelitian ini terkait narasi tokoh sejarah Rangga Lawe dalam historiografi tradisional dan atau karya sastra. Pertama, penelitian ini berusaha untuk mengudar perbedaan dan perubahan narasi tentang Rangga Lawe di tiap historiografi tradisional dan karya sastra. Kedua, penelitian ini mencoba memahami motif sebenarnya dari penulisan historiografi tradisional dan karya sastra yang memuat tokoh Rangga Lawe.

Berdasarkan jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian sejarah. Sumber utama penelitian ini ialah historiografi tradisional dan atau karya sastra yang memuat Rangga Lawe dalam narasinya.

Penelitian ini menemukan bahwa karya sastra mempengaruhi perspektif masyarakat terhadap Rangga Lawe. Pengaruh tersebut mengubah status Rangga Lawe yang dalam historiografi tradisional tertua (pada masa akhir sampai keruntuhan Kerajaan Majapahit) menempatkannya sebagai pemberontak menjadi seorang pahlawan. Perubahan itu berlangsung berabad-abad dengan menempatkan pengaruh pujangga-pujangga dan zaman yang berbeda. Perubahan juga dipengaruhi oleh proses kognitif yang merupakan formula imajinasi dalam karya sastra. Terakhir, terkait dengan aspek sosial, budaya, dan politik pada periode penulisan naskah.

Hasil dari pengaruh karya sastra itu dapat ditemukan bahkan pada masa sekarang. Misalnya, masyarakat Tuban yang menganggap Rangga Lawe sebagai pahlawan. Juga, pertalian masyarakat antar daerah berdasarkan pada kisah masa lampau—pada masa awal pendirian Majapahit.

Kata kunci: Rangga Lawe, historiografi tradisional, karya sastra, Kerajaan

(9)

vii

ABSTRACT

Achmad Fatkhur Hidayat Fajar, The Magic of Literature: Rangga Lawe’s

Narration in Traditional Historiography at XV-XX Century. Undergraduated

Thesis. Yogyakarta: Study Program of History, Faculty of Literature, University of Sanata Dharma, 2021.

This research aims to answer two things regarding the narrative of the historical figure, Rangga Lawe, in traditional historiography and or literatures. First, this study aims to analyze the differences and transformations in the narration of Rangga Lawe in each traditional historiographies and or literatures. Second, this study tries to understand the true motive of traditional historiographies and or literatures writing which contains the story of Rangga Lawe.

Based on the type, this research is a qualitative research. This study uses the historical research method. The main source of this study are traditional historiographies and/or literatures which contains Rangga Lawe in its narrations.

This study found that literatures influence people’s perspectives on Rangga Lawe. The transformation changed the status of Rangga Lawe, which in the oldest traditional historiographies (in the late period until the collapse of the Majapahit) place him as a rebel into a hero. The transformation took place over centuries with the influence of different poets and different periods. The transformation is also influenced by cognitive processes which are the imagination formula in literature. Finally, it also related to social, culture, and political aspect of the writing period.

The result of the influence of this literatures can be found even today. For example, the Tuban people consider Rangga Lawe as a hero. Also, community relations between regions are based on stories from the past—during the early of Majapahit establishment.

Keywords: Rangga Lawe, traditional historiography, literatures, Majapahit

(10)

viii

KATA PENGANTAR

Inilah akhir dari segala perjuangan dan susah payah selama pengerjaan skripsi berjudul “Sihir Sastra: Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX”. Selama pengerjaannya telah menguras banyak enerji dan waktu demi mencapai kata “optimal”, meski kemudian disadari oleh penulis masih banyak bagian yang perlu dibenahi atau disempurnakan.

Pada kesempatan ini penulis hendak mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang-orang yang telah mendukung selama ini.

1. Kepada mendiang Ibu yang selama hidupnya selalu memberikan dukungan terbaik. Semoga dilapangkan jalannya menuju muasal. Kepada Ayah dan Adik yang selama ini menaruh kepercayaan yang besar kepada penulis. 2. Kepada mendiang Lucia Juningsih dan Hb. Hery Santosa yang selama hidupnya memberikan panduan kepada mahasiswanya, terutama terkait integritas dan optimalisasi kerja akademis. Hormat dan doa untuk mereka berdua. Semoga dilapangkan jalan keduanya menuju muasal.

3. Kepada Manu Jayaatmaja Widyaseputra yang telah menginisiasi dan mendorong penulis untuk mengulas kajian tentang Rangga Lawe.

4. Kepada Rechardus Deaz Prabowo yang senantiasa membuka cakrawala penulis kepada rujukan-rujukan baru. Kepada teman Martinus “Bolang” Danang yang (kadang) menjadi tempat bertanya.

5. Kepada kawan-kawan Toko Buku Oenta yang telah menjadi tempat terbaik untuk memahami semangat kerja kolektif.

6. Kepada kawan-kawan di Kontrakan Ngaglik, Andri, Niron, dan Koko yang berkenan menampung penulis selama pengerjaan skripsi.

7. Kepada Kaprodi Sejarah USD, Silverio R. L. Aji Sampurno, yang memberikan bantuan besar dan selalu sedia mendukung usaha penulis. Kepada dosen-dosen Sejarah USD yang menjadi tempat bertanya penulis. 8. Kepada orang-orang yang tidak bisa disebut namanya satu-persatu dalam karya yang jauh dari kata sempurna ini.

Yogyakarta, Mei 2021 Penulis

(11)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MOTO ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Batasan Masalah... 6 C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

E. Kajian Pustaka ... 8 F. Landasan Teori ... 11 G. Metode Penelitian... 16 H. Sistematika Penulisan ... 17 BAB II ... 19 FONDASI NARASI ... 19 A. Pendahuluan ... 19

B. Genre Kidung dan Bahasa Jawa Kuna ... 20

C. Kidung Rangga Lawe ... 23

1. Kemunculan dan Perangai Rangga Lawe ... 24

2. Peran Rangga Lawe dalam Kidung Rangga Lawe ... 27

3. Awal dan Sebab Pemberontakan ... 32

4. Drama Keluarga ... 35

(12)

x

6. Rangga Lawe Gugur ... 38

D. Sekilas tentang Pararaton ... 42

E. Narasi Rangga Lawe dalam Pararaton ... 47

F. Ulasan Kisah Rangga Lawe ... 49

1. Kemunculan dan Peran Rangga Lawe dalam Pendirian Majapahit ... 50

2. Pemberontakan Rangga Lawe ... 54

G. Simpulan ... 55

1. Kidung Rangga Lawe ... 55

BAB III ... 66

TRANSISI DALAM NARASI YANG LAIN ... 66

A. Pendahuluan ... 66

B. Latar Belakang dan Peran Rangga Lawe ... 69

C. Perang Melawan Daha dan Pasukan Tatar ... 71

D. Simpulan ... 74

BAB IV ... 77

SASTRA JAWA BARU: NARASI YANG BELAKANGAN ... 77

A. Pendahuluan: Pembuka Perspektif Baru ... 77

B. Kisah Damarwulan ... 78

1. Ringkasan Serat Damarwulan ... 80

2. Ringkasan Langendriya Pejahipun Ranggalawe ... 81

C. Ringkasan Serat Babad Tuban ... 84

D. Simpulan ... 88

BAB V ... 95

PENUTUP ... 95

A. Simpulan ... 95

B. Tulisan dari Budaya Lisan ... 99

C. Saran ... 101

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ada perbedaan mendasar terkait persepsi terhadap sastra dan sejarah antara masyarakat yang meyakini kebenaran sastra tradisional dengan masyarakat sastra kontemporer. Kini, antara karya sastra dan karya sejarah, katakanlah, dapat dibedakan secara jelas. Karya sastra itu fiktif; karya sejarah itu faktual (berdasarkan cerminan masa lampau). Namun, tidak demikian dulu. Heryanto1 memaparkan bahwa, dulu, masyarakat memahami karya sastra tidak sebagai fiksi, dunia imajinasi, rekaan pujangga yang senantiasa bertolak belakang dengan realitas, melainkan sebagai sumber pengetahuan yang berisikan informasi seputar genealogi, ekologi, hunian perkotaan, dan kekuasaan raja. Babad, dongeng, legenda, hikayat, dan kidung dipercaya sebagai lukisan sesungguhnya tentang manusia, masyarakat, alam, serta peristiwa yang terjadi di masa silam. Karya-karya sastra itu adalah wadah ingatan kolektif masa lampau yang disampaikan melalui medium bahasa dan ekspresi estetis serta diwariskan dari generasi ke generasi. Keyakinan itu sejurus dengan makna Sastra dalam bahasa aslinya, Sansekerta.2

1

Dalam Selo Somardjan, dkk.. 1984. Budaya Sastra. Jakarta: CV Rajawali, hlm. 40.

2

Definisi Sastra ialah “sebarang alat mengajar, sebarang buku atau risalah, (khususnya) sebarang risalah tentang agama atau ilmiah, sebarang buku atau komposisi yang berasal kedewaan; kitab suci, sastra, ilmu pengetahuan.” (Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 1052)

(14)

Apa yang tampak pada pemahaman Masyarakat Tuban terhadap tokoh Rangga Lawe pun merupakan bukti adanya kaitan antara karya sastra sebagai mimesis sekaligus kreasi.3 Masyarakat menganggap karya sastra itu sama dengan dokumen sosial. Pun, ujaran yang terdapat di dalamnya diyakini sungguh-sungguh ada dan terjadi di kenyataan.4 Keyakinan itu bisa berbentuk pada pemujaan, seperti pemujaan Rangga Lawe sebagai pahlawan dan menjadikannya ikon daerah seperti yang terjadi di Tuban.

Pemahaman seperti itu juga tampak pada masyarakat daerah lain. Misalnya ketika penulis berjumpa, secara tidak sengaja, dengan orang-orang dari komunitas Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) pada pertengahan tahun 2011. Tempat berkumpul mereka berdekatan dengan Situs Biting di Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Lumajang. Seorang di antara mereka ialah Mansur Hidayat, penulis buku Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang

Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur. Komunitas itu sering mengikuti

perkembangan penelitian arkeologi untuk Situs Biting, selain juga mengadakan

3

Sebenarnya perdebatan yang mempertanyakan antara karya sastra sebagai tiruan (mimetik) dengan karya sastra sebagai usaha pemaknaan pujangga terhadap kehidupan sosialnya (kreasi) telah lama terjadi, tetapi masih menjadi topik hangat dalam obrolan atau diskusi di ranah sastra hingga kini, sebagaimana dijelaskan dalam A. Teeuw. 1984. Sastra dan ilmu sastra: pengantar teori sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Bab VIII. Teeuw menyatakan perdebatan itu bermula dari pemikiran dua filsuf Yunani: Plato dan Aristoteles. Plato mengemukakan Teori Mimetic, sedangkan Aristoteles membantah pendapat itu dengan Teori Creatio (Kreasi).

4

Sebagai contoh dapat dilihat dari hasil reportase JTV dalam Program Napak Tilas JTV Episode Babad Toeban (Wilotikto) pada tahun 2014,

https://www.youtube.com/watch?v=P7m3yUTD02M&t=249s diakses pada 20 Oktober 2018. Karya jurnalisme itu menunjukkan kepercayaan komunitas (Tuban) terhadap narasi dalam karya sastra.

(15)

observasi lapangan, membaca karya sastra terkait, dan perjalanan yang melibatkan perihal mistis. Mereka sangat memuja tokoh-tokoh sejarah pada zaman Majapahit, seperti Kertarajasa, Arya Wiraraja, Rangga Lawe, Sora, dan Nambi. Maka dapat dimaklumi jika dalam bukunya Mansur Hidayat meyakini, sekaligus berempati, Rangga Lawe dan Nambi memiliki hubungan persaudaraan dan diadu domba hingga berujung pada kematian kedua tokoh. Yang menarik ialah ketika mereka bercerita sering menerima tamu dari daerah Madura dan Bali yang memiliki keyakinan sama. Mereka berkata, mereka dan orang-orang dari Madura dan Bali bersaudara karena memuja tokoh dan meyakini peristiwa yang sama

Dari situ, sebenarnya dapat dilihat proses yang berkaitan dengan penyemaian pemikiran sosial atau nilai kolektif terhadap tokoh dan peristiwa sejarah. Berkaitan dengan karya sastra, yang terjadi bukanlah kenyataan mempengaruhi pemikiran kelompok atau individu, tetapi sebaliknya, persepsi (dalam karya sastra) mempengaruhi kenyataan.5 Karya sastra menjadi salah satu acuan atau tolok ukur, selain cerita lisan yang berkembang di komunitas sosial, bagi masyarakat untuk melihat realitas sosial mereka. Dalam penelitian ini, narasi sastra tradisional merupakan bahan dan/atau dasar bagi masyarakat untuk mendeskripsikan identitas dan peran tokoh Rangga Lawe.

5

Teeuw (1984: 228-229), mencontohkannya dengan Tokoh Wayang yang dijadikan sebagai model untuk menilai sikap atau karakter seseorang (Jawa). Alhasil, relasi antara mimesis dan creatio saling melengkapi. Tentang itu, Teeuw menulis: “… kalau orang berbicara mengenai seni sastra pertentangan antara mimesis dan creatio adalah pertentangan nisbi ataupun pertentangan semu. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah, sebelah ataupun sederhana. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh tiga macam atau saringan kelir: kelir konvensi bahasa, kelir konvensi sosio-budaya dan kelir konvensi sastra yang menyaring dan menentukan kesan kita dan mengarahkan pengamatan dan penafsiran kita terhadap kenyataan.”

(16)

Meskipun Ilmu Sejarah mengakui karya sastra sebagai historiografi tradisional, tetap saja narasinya terikat konvensi seni sastra dan interpretasi, bahkan imajinasi, pujangga. Adapun konvensi sastra yang dimaksud, antara lain: bentuk, tema, dan metrum. Kreativitas dan imajinasi pujangga bercampur baur dengan peristiwa atau fakta sejarah sehingga kadang berbeda jauh dengan informasi yang ada di sumber sejarah lain dan menyebabkan perdebatan di kalangan para ahli (sejarawan).6 Kedua faktor itu juga menjadi salah satu sebab perbedaan narasi di tiap karya sastra yang ditemukan, selain faktor kurangnya atau ketidaktahuan pujangga atas peristiwa dan fakta tersebut.7 Naskah-naskah itu, yang juga digunakan sebagai sumber primer dalam penelitian ini, antara lain

Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kidung Rangga Lawe, Serat Babad Tuban, dan

6

Konvensi yang ada dalam tiap karya sastra atau historiografi tradisional itu banyak menimbulkan kekecewaan dan kesangsian peneliti atau akademisi, salah satunya ialah Berg. Berg (dalam Muljana 2012: 14-15) menyangsikan keterangan sejarah terkait narasi pembelahan kerajaan Erlangga menjadi Janggala dan Panjalu yang dikisahkan oleh Prapanca dalam Nagarakrtagama. Menurut Berg, pengisahan itu penuh dengan mitos yang berunsur magis sehingga tidak dapat dipercaya sepenuhnya.

7

Informasi-informasi yang bersifat anakronistis, demikian para akademisi menyebutnya, jamak ditemukan pada karya Sastra Jawa yang lebih modern seperti babad, serat, atau cerita Panji. Beberapa peneliti terdahulu bahkan mengatakan ada anakronisme dalam karya sastra Jawa Kuna. Sebagian peneliti, seperti Berg, memaparkan bahwa itu disebabkan karena kurang tahunya pujangga terhadap peristiwa atau tokoh yang dimaksud. Lihat Berg. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara, hlm. 28-29. Soenarto Timoer. 1980. Damarwulan (Sebuah Lakon Wayang Krucil): Kupasan Segi Falsafah dan Simboliknya. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 34-35, menulis bahwa pujangganya (karya sastra Jawa Modern) dipengaruhi oleh kisah pemberontakan serupa yang terjadi pada masa akhir Majapahit, yaitu pemberontakan Bre Wirabumi (Blambangan) yang terjadi pada tahun 1404-1406; kejadian ini kemudian dikenal sebagai Perang Paregreg, sedangkan Damarwulan ialah Raden Gajah. Namun, di luar itu, yang harus diingat ialah soal kreativitas atau imajinasi pujangga dalam karyanya. Bahkan Lukacs. 1962. The Historical Novel. London: Merlin Press, hlm. 61, dengan menukil pandangan Goethe dan Hegel menyebutkan bahwa anakronisme itu diperlukan—Hegel menyebutnya sebagai necessary anachronism—sebagai bentuk interpretasi masa kini terhadap masa lalu dan upaya menggeneralisasikan konsep estetika.

(17)

Langendriya Pejahing Rangga Lawe yang merupakan bagian minor dari kisah Damarwulan, memiliki perbedaan pada narasi. Ikhwal itu disebabkan tema yang

diambil oleh pujangga. Dalam tema, pengaruh personal pujangga sangat kentara, mulai dari kreativitas, imajinasi, sampai interpretasi pujangga dalam menyikapi peristiwa bersangkutan. Kata-kata atau bahasa menjadi senjata ampuh di tangan pujangga, tidak hanya bagi raja yang ia puja, tapi juga untuk kemasyhuran diri.8 Perihal lain yang menyebabkan perbedaan narasi yang patut disinggung ialah periode penulisan dan kondisi sosial-budaya-politik pada masa pujangga hidup.

Pemilihan karya sastra tersebut sebagai sumber primer disebabkan karya-karya itu memiliki narasi Rangga Lawe yang menjadi objek penelitian ini. Selain itu, karya-karya itu harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menarasikan tokoh yang sama dengan perspektif berbeda. Penempatan seperti itu berguna untuk melihat transformasi narasi pada setiap naskah. Perihal terpenting yang mendasari penggunaan karya sastra sebagai sumber informasi penelitian karena karya sastra merupakan bentuk konkret dari pemikiran manusia. Sebenarnya pemakaian karya sastra sebagai sumber sejarah sudah disinggung Sartono9 ketika merumuskan genre sejarah intelektual. Singkatnya, genre sejarah intelektual berusaha merekonstruksi pencapaian yang dilakukan oleh akal budi manusia, dalam berbagai bentuk, pada masa silam.

8

Zoetmulder. 1984. Kalangwan: sastra jawa kuno selayang pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan, hlm. 196-199.

9

Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Di sini Sartono membagi fakta sejarah menjadi 3: artifact (benda), socifact (hubungan sosial), dan mentifact (kejiwaan).

(18)

Oleh sebab itu, usaha pertama yang teramat penting ialah mengakui sumber itu sebagai karya sastra bergenre fiksi. Kemudian, tentu, harus pula melacak perubahan-perubahan dari tiap naskah berdasarkan periode penulisannya. Proses itu dimaksudkan sebagai usaha untuk memperoleh informasi bersifat “sadar” dan “tidak sadar” yang tersebar dalam karya-karya itu. Informasi yang dimaksud terkait dengan identitas dan peran tokoh bersangkutan, sedangkan contoh perubahan yang terjadi ialah status Rangga Lawe sebagai pemberontak menjadi pahlawan. Dengan perbedaan-perbedaan penarasian yang ada, komparasi antara karya sastra satu dengan karya sastra lain menjadi niscaya. Analisis terhadap transformasi narasi teks juga untuk melihat kontinuitas dan diskontinuitas narasi.

Tentu, fiksi pun mengandung kebenaran, meskipun taraf kebenarannya berbeda dengan karya non-fiksi. Kebenaran fiksi tidak seperti kebenaran non-fiksi yang dapat dikenali dengan pembuktiannya di realitas, melainkan pada pengaruh atau dampak yang terjadi pada masyarakat pembacanya. Alhasil, penempatan sumber dalam kategori sastra diharapkan mampu menemukan maksud yang diinginkan dari perubahan-perubahan karya itu yang diyakini pujangga dan masyarakat sekaligus menjawab keraguan sejarawan terhadap pemakaian karya sastra sebagai sumber penelitian.

(19)

Objek penelitian ini berfokus pada naskah yang menarasikan Rangga Lawe. Untuk batasan waktu ialah abad XV-XX. Batasan itu dirujuk dari waktu penulisan dan/atau penerbitan naskah, historiografi tradisional, serta cerita rakyat yang dipakai sebagai sumber primer. Secara khusus, batasan waktu itu ditetapkan untuk melihat perubahan penulisan atau pengisahan tokoh Rangga Lawe sekaligus untuk merekonstruksi perihal sesungguhnya secara utuh.

Batasan tempat penilitian ini meliputi Pulau Jawa dan Pulau Bali. Batasan itu diambil karena mempertimbangkan lokasi penulisan dan pemeliharaan naskah atau historiografi tradisional. Naskah-naskah yang dimaksud berbentuk prosa dan puisi (kidung). Adapun naskah atau karya sastra tradisional yang dipakai ialah

Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kidung Rangga Lawe, Serat Babad Tuban, dan Legendriya Pejahing Rangga Lawe.

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah penelitian ini ialah sebagai berikut.

- Bagaimana perbedaan dan atau perubahan narasi Rangga Lawe dalam historiografi tradisional?

- Kisah Rangga Lawe seperti apa yang sebenarnya yang dapat ditangkap dari perubahan narasi pada tiap periode penulisan naskah?

(20)

Untuk tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan biografi Rangga Lawe dari penulisan historiografi tradisional. Kedua, untuk menjelaskan motif penulisan dan perubahan dalam penulisan historiografi tradisional, entah sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, dalam narasinya. Kedua tujuan itu untuk memenuhi tujuan besar penelitian ini, yakni untuk merekonstruksi tokoh, peristiwa, atau perihal yang terjadi pada masa silam yang tertulis dalam sumber tradisional.

Untuk manfaat penelitian, diharapkan penelitian ini mampu memberikan gambaran atas penelitian sejarah yang menggunakan sumber atau dokumen yang lebih variatif, yakni karya sastra. Oleh sebab itu penelitian ini juga melacak perubahan dalam karya sastra pada tiap periode penulisannya, tentu penilitian ini diharapkan mampu menyumbangkan informasi sekaligus mengurangi kesenjangan informasi terkait Rangga Lawe dan peristiwa bersangkutan untuk masyarakat.

E. Kajian Pustaka

Penelitian ini sangat berhutang pada karya-karya yang mengkaji naskah-naskah tradisional terkait Rangga Lawe maupun yang menarasikan sejarah Majapahit yang dilakukan oleh para peneliti kolonial. Yang pertama tentu buah tangan Brandes, disusun kembali oleh Krom (1920), berjudul Pararaton (Ken

Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit. Karya itu

merupakan studi kritis pertama untuk naskah Pararaton yang berisikan genealogi Raja-Raja Tumapel sampai dengan Kerajaan Majapahit.

(21)

Setelah Brandes, pengerjaan penyalinan sekaligus penelitian naskah-naskah tradisional, yang berkenaan dengan Rangga Lawe, pada masa Kerajaan Majapahit dilanjutkan dan dikerjakan oleh Berg. Dua di antaranya mengulas kidung yang berisikan narasi tentang pembentukan Majapahit dan pemberontakan Rangga Lawe. Karya pertama berjudul Rangga Lawe: Middlejavansche

Historische Roman Critish Uitgegeven yang diterbitkan pada tahun 1930. Karya

itu mengulas sebuah roman sejarah berbahasa Jawa Pertengahan, Kidung Rangga

Lawe. Yang kedua berjudul Kidung Harsa-Wijaya: Tekst, Inhoudsopgave en aanteekeningen, diterbitkan pada tahun 1931, selang setahun setelah penelitian Kidung Rangga Lawe yang telah disebutkan sebelumnya. Sama seperti penelitian

sebelumnya, penelitian yang kedua ini juga berada di wilayah filologi yang mengambil Kidung Harsa-Wijaya sebagai subjek penelitiannya. Meskipun tema

Kidung Harsa-Wijaya lebih menarasikan pada perjalanan Raden Wijaya dari putra

mahkota di Tumapel sampai pada masa pengangkatannya sebagai raja pertama Majapahit, dalam kidung itu juga mengulas sedikit narasi tentang Rangga Lawe— yang cukup berbeda dengan versi Kidung Rangga Lawe. Harus diakui bahwa studi-studi sejarah yang mengulas peristiwa sejarah pada masa Kerajaan Majapahit berbasis historiografi tradisional sangat berhutang kepada hasil kerja Berg.

Penelitian lain ialah skripsi karya Woro Aryandini Sumaryoto (1984) berjudul Kidung Rangga Lawe: Tinjauan atas Tokoh Cerita dan Unsur-Unsurnya. Penelitian itu menekankan pada kajian isi naskah tradisional dan aspek kesusastraan, terutama penekanan aspek moral pada narasi dalam penokohan

(22)

Rangga Lawe. Naskah tradisional atau kidung yang dipilih yakni Kidung Rangga

Lawe. Dalam pembahasannya, skripsi ini juga membandingkan kidung itu dengan

karya-karya sastra lain, seperti Pararaton dan kisah Panji.

Penelitian Irawan Djoko Nugroho (2010) berjudul Meluruskan Sejarah

Majapahit memuat pelurusan sejarah atau karya historiografi yang menulis

tentang Kerajaan Majapahit. Karya historiografi (tradisional) yang dimaksud ialah

Nagarakretagama.

Karya Slamet Muljana (2012) bertajuk Menuju Puncak Kemegahan:

Sejarah Kerajaan Majapahit patut disinggung karena di dalamnya menulis

beberapa pemberontakan yang pernah terjadi pada masa Majapahit, termasuk pemberontakan Rangga Lawe. Buku ini mampu menjelaskan alasan sampai jalannya pemberontakan Rangga Lawe berdasarkan historiografi tradisional. Karya Muljana berakhir sampai kematian Patih Gadjah Mada.

Terakhir, penelitian Mansur Hidayat (2013) berjudul Arya Wiraraja dan

Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur berisikan

tentang konflik internal pada awal pendirian Kerajaan Majapahit. Hidayat menuturkan bahwa konflik internal itu merupakan lanjutan dari konflik yang terjadi pada masa Kerajaan Tumapel atau Singasari pada masa pemerintahan Ken Arok. Kehadiran tokoh Mahapati sebagai pemicu konflik internal juga disebut oleh Hidayat. Yang menarik dari penelitian ini ialah penyebutan Rangga Lawe dan Nambi sebagai anak Arya Wiraraja yang mati dengan cap pemberontak karena adu domba Mahapati.

(23)

Dari penelitian-penelitian itu, penilitian ini yang berjudul Sihir Sastra:

Narasi Rangga Lawe Abad XV-XX berusaha merekonstruksi peristiwa dan

identitas serta peran tokoh Rangga Lawe berdasarkan narasi karya sastra tradisional yang ada. Karya-karya sastra tradisional yang memuat narasi Rangga Lawe di sini dirujuk sebagai sumber primer sekaligus subjek penelitian. Lebih detail, penelitian ini akan berusaha menjelaskan perihal sesungguhnya yang tersembunyi dalam karya-karya sastra itu dengan cara melacak perubahan penarasian pada tiap-tiap periode penulisannya. Sekali lagi, karena penelitian ini merupakan penelitian historiografi, karya sastra yang dirujuk hanya menjadi sumber dan subjek penelitian yang akan diinterpretasikan serta dinarasikan secara kronologis dan diakronis.

F. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan Teori Struktural Levi-Strauss sebagai pisau bedah untuk menganalisis kisah atau tokoh sejarah dalam naskah tradisional. Penggunaan Strukturalisme Levi-Strauss tepat karena fenomena sosiokultural yang terjadi di masa lampau itu ditulis dan/atau berupa sebagai cerita rakyat. Teori Struktural berusaha menjelaskan struktur, bagian, atau aspek dalam sosiokultural dari segi bahasa. Seperti bahasa, fenomena sosiokultural juga penuh dengan kode atau simbol yang bersifat baik “sadar” maupun “bawah sadar” (consciousness dan

unconsciousness). Singkatnya, Teori Struktural berusaha mendeskripsikan,

mengeksplanasi, dan menyimpulkan dari proposisi relasional yang mengaitkan masukan dengan keluaran dalam suatu fenomena sosiokultural. Untuk mampu menarik simpulan, ada tiga hal yang harus ditemukan dan dikemukakan: “struktur

(24)

permukaan”, “struktur elementer”, dan “struktur dalam”. Dalam penjelasannya, Levi-Strauss menuliskan hipotesisnya dengan menyebutkan adanya perubahan bentuk tradisi.10

Di awal pembahasan telah disebutkan bahwa historiografi tradisional atau sumber-sumber yang diteliti berupa fiksi. Mengakui sumber-sumber itu sebagai fiksi merupakan fondasi pertama dari penelitian ini untuk langkah selanjutnya: mengetahui maksud sebenarnya dalam karya-karya itu. Teori yang digunakan untuk itu ialah teori imajinasi atau counterfactual dari Byrne.11 Teori

counterfactual, atau meminjam istilah van Zoest12 sebagai “kenyataan nonfaktual”, bukan barang baru di penelitian literatur atau sastra, bahkan juga pada proses kognitif yang menjadi subjek dalam psikologi. Namun tidak begitu dalam penelitian sejarah, terutama yang terjadi di Indonesia. Alih-alih berusaha memahami maksud dalam karya, para sejarawan justru terjebak dalam simpulan keliru. Kalau bukan menolak mentah-mentah kebenaran karya pasti terjebak

10

Levi-Strauss, C. 1967. Structural anthropology. New York: Doubleday & Company, Inc., hlm. 7-8: “for such a hypothesis to be legitimate we should have to be able to prove that one type is more primitive than the other; that the more primitive type evolves necessarily toward the other form; and, finally, that this law operates more rigorously in the center of the region than at its periphery.” Terjemahan: “supaya hipotesis itu sah kita harus bisa membuktikan satu jenis lebih primitif daripada yang lain; bahwa bentuk yang lebih primitif pasti berevolusi ke bentuk yang lain; dan, akhirnya, hukum ini beroperasi secara ketat di pusat wilayah daripada di wilayah pinggiran.”

11

Byrne, R. M. J. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press.

12

Van Zoest, A. 1990. Fiksi dan nonfiksi dalam kajian semiotik, penerjemah: Manoekmi Sardjoe. Jakarta: Intermasa, hlm. 34. Van Zoest menulis bahwa selain kenyataan faktual ada juga jenis kenyataan lain, yakni kenyataan nonfaktual. Perbedaan kedua jenis kenyataan itu, menurut van Zoest, terletak pada cara pembuktiannya. Kenyataan faktual ialah kenyataan yang dapat dibuktikan secara empiris, sedangkan kenyataan nonfaktual ialah kenyataan yang kebenarannya tidak bisa dibuktikan secara empiris. Macam-macam kenyataan nonfaktual ialah lamunan, mimpi, dan khayalan.

(25)

dalam keberpihakan pada satu sumber dan tidak menghiraukan sumber lain. Tidak acuh terhadap genre karya tidak berbeda halnya dengan mengenyahkan kebenaran yang terkandung.

Dalam The rational imagination: how people create imaginatives to

reality13, Byrne mengklasifikasikan imajinasi menjadi dua jenis: counterfactual

thought dan creative thought. Imajinasi jenis counterfactual thought biasa terjadi

dalam keseharian, seperti saat orang membayangkan peristiwa di masa silam secara berbeda dari kejadian sesungguhnya, atau saat orang bermimpi atau berkhayal. Counterfactual thought juga terdapat pada kasus teman khayalan dalam kehidupan kanak-kanak. Untuk creative thought terjadi ketika orang menulis puisi, bermain drama dan/atau teater, musik, serta kegiatan berkesenian lain. Perbedaan lain ialah counterfactual thought bisa terjadi dalam keadaan tidak sengaja, meski juga bisa disengaja. Di sisi lain, creative thought lebih tampak disengaja (dalam kontrol kesadaran) dan memiliki target yang hendak dicapai. Meski berbeda dalam beberapa hal, tapi keduanya saling terhubung. Proses kognitif yang mendasari kedua jenis imajinasi itu berada pada wilayah bawah sadar, dan bergantung pada proses serupa. Counterfactual dalam kerja kreatif membantu manusia untuk penemuan dan pembaruan, atau secara sederhana diartikan sebagai penciptaan dunia alternatif atau kemungkinan-kemungkinan baru yang dinilai lebih baik dari kejadian atau perihal sesungguhnya. Perombakan yang terjadi pada counterfactual dalam kerja kreatif didasarkan pada “kekeliruan”

13

Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 2-3.

(26)

(fault lines) dengan cara mengubah, membatalkan, atau bahkan memelintir (memelesetkan) realitas.14 Rumus yang dipakai untuk membangun counterfactual ialah “jika” dan “jika hanya” (“if” dan “if only”).

Pemikiran counterfactual memiliki beberapa aspek yang mempengaruhi orang mengimajinasikan realitas yang mereka hadapi: aksi atau tindakan, kewajiban yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, berhubungan dengan penyebab, dan waktu (action, obligation, causes, time).15 Dari situ, dapat ditarik simpulan bahwa counterfactual erat kaitannya dengan pengalaman emosi (seperti penyesalan, rasa bersalah, rasa malu, kelegaan, harapan) dan penilaian sosial.16 Meski counterfactual merupakan versi keliru dari realitas, tetap saja orang tidak sembarangan melakukannya. Kebanyakan counterfactual cenderung tidak menciptakan dunia keajaiban. Artinya, counterfactual dibatasi oleh larangan, berupa perubahan-perubahan minimalis yang dapat diterima oleh norma sosial (nilai-nilai kolektivisme), bahwa realitas harus dapat dipulihkan dari imajinasi alternatif. Kejadian buruk, di masa lalu, menjadi kunci utama mengapa orang berjalan dalam counterfactual, yakni untuk menemukan alternatif atau kemungkinan lebih baik dan sebagai pembelajaran menghindari kesalahan yang sama di masa mendatang.

14

Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 3.

15

Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 5-8.

16

Byrne. 2005. The rational imagination: how people create alternatives to reality. London: The Massachussetts Institute of Technology Press, hlm. 9.

(27)

Teori ketiga yang digunakan ialah teori intertekstual (intertextuality) dari Julia Kristeva.17 Teori intertekstual ini lebih ditujukan sebagai pendekatan untuk literatur dan seni. Bagi Kristeva sebuah karya tidaklah dapat berdiri sendiri atau muncul dengan sendirinya, melainkan sebagai hasil dari keterpengaruhan penulis atau pujangga atas bacaan lain, teks, maupun penulis lain.18 Gagasan Kristeva dapat dibaca sebagai penulisan ulang, repetisi, antar teks atau bacaan-bacaan. Pendekatan itu hanya dapat dijangkau dengan menempatkan status kata sebagai unit struktural minimal—di sini Kristeva mengutip kerja Bakhtin yang menempatkan teks di dalam sejarah dan masyarakat—yang berkaitan dengan sistem tanda dalam bahasa. Untuk dapat menginvestigasi status kata, pertama-tama haruslah menetapkan tiga dimensi dalam ruang tekstual, yakni subjek tulisan/penulisan (writing subject), orang yang dituju (addressee), dan teks luaran (exterior text).

Hasil kerja Bakhtin lain yang diakui oleh Kristeva ialah adanya dialog dan ambivalensi dalam teks atau bacaan. Dialog akan selalu melekat dalam bahasa dan tentu saja hanya bisa diukur dalam kerangka linguistik, berkaitan dengan sistem

17

Pencetus Intertekstual memang Julia Kristeva yang merupakan hasil dari pendalamannya atas karya Mikhail Bakhtin. Gagasan Kristeva tentang Intertekstual dapat ditemukan dalam karyanya berjudul Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art.

18

Pernyataan Kristeva (1941: 66), menukil gagasan Bakhtin, lengkapnya ialah: “Any text is constructed as a mosaic of quotations; any text is the absorption and transformation of another. The notion of intertextuality replaces that of intersubjectivity, and poetic language is read as at least double.” Terjemahan: “Setiap teks dibangun sebagai mosaik kutipan-kutipan; setiap teks merupakan penyerapan dan perubahan dari [teks] yang lain. Gagasan intertekstualitas menggantikan intersubjektivitas, dan bahasa puitis dibaca setidaknya dua kali lipat.”

(28)

tanda dan kata. Sementara itu Kristeva menyatakan ambivalensi sebagai penempatan sejarah (atau masyarakat [society]) ke dalam sebuah teks dan dari teks itu ke dalam sejarah.19 Baik dialog dan ambivalensi itulah yang memungkinkan terlahirnya komunikasi antar-teks atau intertekstual itu sendiri. Dengan begitu pemakaian teori intertekstual dalam penelitian ini dinilai sangat berguna terutama untuk mengkaji teks-teks yang berusia lebih muda dan kaitannya dengan teks-teks sebelumnya.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian ini akan menggunakan metode penelitian sejarah. Secara praktik, metode sejarah terbagi menjadi lima bagian: pemilihan tema, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Pemilihan tema merupakan tahap awal dari metode ini yang mendasarkan pada tema yang hendak diteliti. Urutan selanjutnya, heuristik atau pengumpulan data merupakan tahapan yang mengharuskan peneliti untuk mencari dan mengumpulkan data, informasi, atau bukti yang dibutuhkan sebagai dasar atau dalil penelitian. Sumber yang dimaksud atau dibutuhkan dalam penelitian ini ialah sumber primer dan sumber-sumber terkait yang lain. Kritik sumber merupakan tahapan untuk mengkritisi dan

19

Julia Kristeva. 1941. Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art. New York: Columbia University Press, hlm. 68-69. Lengkapnya Kristeva menulis: “The term ‘ambivalence’ implies the insertion of history (society) into a text and of this text into history; for the writer, they are one and the same. When he speaks of ‘two paths merging within the narrative,’ Bakhtin considers writing as a reading of the anterior literary corpus and the text as an absorption of and a reply to another text.” Terjemahan: “Terma ‘ambivalensi’ menyiratkan penyisipan sejarah (masyarakat) ke dalam sebuah teks dan dari teks ke dalam sejarah; untuk penulis, mereka itu satu dan sama. Ketika dia berbicara ‘dua jalur menyatu dalam narasi,’ Bakhtin menganggap menulis sebagai pembacaan korpus sastra dan teks sebagai sebuah penyerapan dan jawaban atas teks lain.” Gagasan intertekstual Kristeva menjelaskan penyerapan dan komunikasi antar-teks.

(29)

menganalisis sumber atau informasi yang telah dikumpulkan. Tahapan ini menuntut kejelian peneliti untuk melihat relevansi, kredibilitas, sampai benar atau tidaknya sumber yang telah dikumpulkan. Tahapan interpretasi sangat erat kaitannya dengan kritik sumber, tapi juga merupakan jembatan pengantar pada tahapan selanjutnya. Interpretasi mendasarkan pada pemahaman dan analisis peneliti berdasarkan bukti. Interpretasi juga sangat penting sebagai pembubuhan makna dalam historiografi. Tahapan terakhir, historiografi atau penulisan merupakan tahapan pengerjaan atau menuliskan interpretasi berdasarkan fakta masa lampau.

H. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan, berisikan latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II Fondasi Narasi, berisikan ulasan mengenai narasi dalam Kidung

Panjiwijayakrama dan Pararaton sebagai fondasi narasi Rangga Lawe dalam

karya-karya yang lebih muda.

Bab III Transisi dalam Narasi yang Lain. Pada bab ini akan mengulas dua karya sastra berbentuk kidung, Kidung Rangga Lawe dan Kidung Harsa-Wijaya.

Bab IV Sastra Jawa Baru: Narasi Belakangan Bab ini akan menganalisis dua karya berbahasa Jawa Modern berjudul Serat Babad Tuban dan Langendriya

(30)

Bab V Penutup, berisikan simpulan penelitian, saran, dan kritik yang dianggap bisa menyumbangkan informasi penting bagi studi sejarah berbasis historiografi

(31)

19

BAB II

FONDASI NARASI A. Pendahuluan

Dalam bab ini ada dua naskah yang akan dianalisis, yakni Kidung

Panjiwijayakrama atau Kidung Rangga Lawe dan Pararaton. Kedua naskah

tersebut dianggap sebagai naskah primitif atau paling awal yang memuat narasi tentang tokoh Rangga Lawe. Pertimbangan itu tidak hanya didasarkan pada kolofon penulisan naskah, tetapi juga berkaitan dengan pengaruhnya terhadap narasi dalam naskah-naskah yang lebih muda.

Jika merujuk kepada kolofon awal penulisan, Kidung Panjiwijayakrama merupakan naskah tertua yang memuat narasi tentang Rangga Lawe. Meski begitu naskah kidung itu diselesaikan dan dirawat di Bali. Keberadaannya di Bali hendaknya dimasukkan ke dalam usaha penyalinan teks. Sangat masuk akal jika mempertimbangkan penyalinan teks terjadi berulang kali dengan mendasarkan bahan naskah yang terbuat dari daun lontar dan usaha merawat memori kolektif.

Ada pun narasi dalam Kidung Panjiwijayakrama juga mempengaruhi

Pararaton. Pengaruh antar-teks itu didasarkan pada kolofon tertua Kidung

Panjiwijayakrama dan pengulangan narasi di Pararaton. Meski begitu dalam beberapa bagian Pararaton memiliki perbedaan narasi dengan Kidung

Panjiwijayakrama. Perbedaan yang dimaksud berupa penceritaan latar belakang

(32)

akan mempengaruhi narasi dalam naskah-naskah yang lebih muda yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

B. Genre Kidung dan Bahasa Jawa Kuna

Perkembangan kidung sebagai sebuah genre, atau sub-genre puisi Jawa, dalam Sastra Jawa erat kaitannya dengan penggunaan Bahasa Jawa Kuna di masyarakat Jawa saat itu. Dokumen tertua yang ditemukan dan menggunakan bahasa tersebut hanya berupa salinan dari Prasasti Sukabumi yang ditulis pada abad ke-9. Namun, mengatakan Bahasa Jawa Kuna baru dikenal dan digunakan oleh masyarakat Jawa pada abad ke-9 agaknya kurang tepat, sebab bahasa tidak mungkin muncul dalam kurun waktu satu malam. Sumber-sumber asing, berasal dari para peziarah Cina, yang ditulis kira-kira pada abad ke-6 dapat memberikan jawaban, yang sayangnya bersifat hipotetis, soal penggunaan bahasa Jawa Kuna di kalangan masyarakat waktu itu.20 Dalam sumber asing, bahasa-bahasa yang digunakan oleh pribumi saat itu disebut k’un lun.

Seperti halnya permasalahan yang dihadapi oleh ilmu humaniora pada umumnya, kesulitan menentukan waktu penggunaan Bahasa Jawa Kuna memang terletak pada ketiadaan atau kurangnya temuan sumber terkait. Penentuan waktu penggunaan pun terkesan seperti spekulasi yang tidak dapat dibenarkan tanpa adanya bukti konkret. Kurangnya temuan sumber dapat dijelaskan karena

20

Zoetmulder. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan, hlm. 6-7.

(33)

ketidakawetan sumber itu sendiri.21 Namun, dari spekulasi itu dapat diterangkan hipotesis lain yang cukup masuk akal, yakni Bahasa Jawa Kuna telah berkembang dan digunakan di luar keraton atau di kalangan masyarakat umum, entah dalam bentuk tulis atau lisan, bahkan saat Sansekerta begitu mempengaruhi lingkungan sosial, budaya, serta politik di Jawa.22

Dalam praktiknya, Bahasa Jawa Kuna, begitu juga dengan bahasa-bahasa minor lain di Indonesia, tetap dipengaruhi oleh Sansekerta.23 Meski demikian bukan berarti masyarakat Jawa saat itu pasif atau hanya “mencontek” (Sansekerta) tanpa memiliki kemandirian dalam kreativitas bahasa. Kehadiran unsur bahasa serapan dari Sansekerta itu justru memperkaya jumlah kosakata bahasa pribumi.24 Penyerapan kosakata Sansekerta dalam Bahasa Jawa Kuna mengalami banyak

21

Zoetmulder (1983: 5). Di situ Zoetmulder menjelaskan alasan kenapa inskripsi itu sulit ditemukan. Secara lengkap Zoetmulder mengulas bahan tulis di Bab IV, sub-bab 1, dalam buku yang sama.

22

Zoetmulder (1983: 10). Dengan memberikan contoh di beberapa wilayah yang terkena pengaruh indianisasi dari Zoetmulder, dapat ditarik simpulan pula bahwa penggunaan Bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pribumi tetap lestari. Bahasa Sansekerta yang dipandang sebagai bahasa ilmu sastra digunakan di kalangan atas masyarakat, di istana, dipakai oleh kalangan agama, dan untuk urusan ritual keagamaan, sedangkan Bahasa Jawa Kuna digunakan oleh kalangan masyarakat biasa di luar kraton.

23

Gonda. 1952. Sanskrit In Indonesia. Nagpur (India): International Academy of Indian Culture, hlm. 33-36.

24

Gonda (1952: 115): “The linguistic result of the impact of India on the Hinduized provinces of Indonesia is therefore not a blend of Indian colloquial and some Indonesia idiom or other, but an Indonesian language enriched with a large admixture of Sanskrit and a much smaller number of younger Indo-Aryan vocables.”

(34)

perubahan dan atau perbedaan, terkait dengan dinamika dialektika dalam praktik.25

Dalam perkembangannya, sastra kidung lebih banyak menggunakan Bahasa Jawa Pertengahan dan lebih banyak berkembang, disalin, dan dipelihara dengan baik di Bali.26 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kidung berbentuk puisi dan pembacaannya dengan cara menyanyikan atau melagukan. Berbeda dengan kakawin yang menggunakan metrum dari India, metrum kidung asli Jawa yang dikenal dengan metrum tengahan dan itu secara prinsip sama dengan metrum macapat dalam puisi Jawa Modern.27

Dalam bab ini salah satu kidung yang akan digunakan, atau dikaji, ialah

Kidung Panjiwijayakrama atau Kidung Rangga Lawe. Kidung itu memiliki dua

judul karena terkandung dua kisah berbeda yang saling bertautan. Kidung itu dimasukkan ke dalam kidung historis. Meskipun merupakan kidung historis, tetap saja analisisnya mengharuskan adanya perbandingan dengan sumber-sumber

25

Zoetmulder (1983: 13-16) menyebutkan adanya perubahan kosakata Sansekerta yang diserap ke dalam Bahasa Jawa Kuna secara fonetik maupun semantik.

26

Zoetmulder (1983: 29; 33). Untuk melihat contoh kakawin dan kidung yang dikerjakan di Bali lihat Vickers (1982) “The writing of kakawin and kidung on Bali”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 138, no. 4, hlm. 492-493.

27

Zoetmulder (1983: 142) menulis tiga ciri umum dalam metrum tengahan yang ada di sastra kidung, yakni jumlah baris, jumlah suku kata, dan sifat vokal dalam suku kata.

(35)

sejarah lain, sebab secara bentuk dan isi dipenuhi dengan kreativitas pujangga yang membuat adanya perubahan-perubahan dalam fakta historis.28

C. Kidung Rangga Lawe

Naskah Kidung Rangga Lawe yang digunakan dalam penelitian ini merupakan naskah alih aksara dari koleksi Pustaka Artati, Perpustakan Universitas Sanata Dharma. Seperti yang tertulis di kolofonnya, naskah itu selesai disalin tahun 1783 Saka atau 1861 Masehi, tetapi di bagian awal tertulis candrasengkalanya “rasa ta ya wasitan”. Bahasa yang digunakan ialah Jawa Pertengahan. Namun, penanggalannya ada yang lebih tua, menunjuk angka Saka 1334.29 Narasi pemberontakan Rangga Lawe di Pararaton pun dianggap oleh ahli diambil dari kidung ini.

Ada beberapa perbedaan kisah dalam Kidung Rangga Lawe dibanding dengan naskah lain. Tidak seperti Pararaton yang hanya memberikan sedikit bagian untuk kisah Rangga Lawe, Kidung Rangga Lawe mempunyai porsi yang

28

Dalam karyanya, Zoetmulder (1983: 513) menulis dengan jelas:

“Telaah ini tidak akan meneliti sejauh manakah kisah-kisah ini berakar dalam kenyataan sejarah. Demikian juga kami tidak dapat mengatakan, sejauh manakah pengarang merasa terikat oleh apa yang mereka anggap kebenaran historis dan sejauh mana mereka merasa bebas untuk mengubah kenyataan itu menurut kebutuhan literer. Kami tidak akan menyinggung persoalan, sejauh mana sastra kidung mungkin dapat dipakai sebagai sumber bagi sejarah politik. Yang menjadi tujuan kami dalam bab ini ialah sastra kidung sebagai karya sastra.”

Dengan begitu Zoetmulder telah menarik garis tegas antara fakta historis dengan counterfactual yang ada dalam sastra kidung (historis). Penyebutan counterfactual untuk menunjukkan adanya kreativitas pujangga dalam karya itu, bagaimana dia mengubah kenyataan hitoris.

29

I. Kuntara Wiryamartana. 2014. Sraddha-Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa Kuna. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, hlm. 100.

(36)

lebih banyak dalam pendeskripsian tokoh Rangga Lawe, seperti asal, latar belakang, karakter, dan tindakan.

Kidung Rangga Lawe bersifat istanasentris, mengisahkan orang atau tokoh dan peristiwa di kerajaan, dan rajasentris. Disebut rajasentris sebab mengisahkan raja (Raden Wijaya atau Kertarajasa), meski juga menuliskan kisah Rangga Lawe di dalamnya. Perihal itu merupakan salah satu pokok historiografi tradisional yang berfungsi untuk menyanjung seorang raja, sifat dan kebijakan-kebijakan selama masa pemerintahannya, sebagai keutamaan yang mencirikannya sebagai penguasa.

1. Kemunculan dan Perangai Rangga Lawe

Ranga Lawe baru muncul dalam kidung setelah Raden Wijaya bermukim di Hutan Tarik, pemberian Raja Jayakatwang. Kedatangan Rangga Lawe di Hutan Tarik, atau yang telah bernama Majapahit, karena diutus oleh bapaknya, Arya Wiraraja, untuk mengabdi kepada Raden Wijaya.30 Ia juga membawa pesan bahwa bapaknya akan segera datang bersama pasukan Madura.31

Nama Rangga Lawe merupakan pemberian dari Raden Wijaya, setelah utusan Arya Wiraraja itu tidak menjawab pertanyaan terkait namanya.32 Nama

30

Kidung Rangga Lawe, VI, 4, hlm. 42. 31

Kidung Rangga Lawe, VI, 5, hlm. 42. 32

Kidung Rangga Lawe, VI, 6, hlm. 42. “Mangkin garjita sang inaturan egar sang mantri Majapahit, rahadyan lingiramuwus, syapari aranira, sang saka lor anembah abhasa tan wruh, mesem sang sinembah lah yayi, si Wenang sun arani.” Terjemahan: “Semakin senang raden, yang diutus sebagai menteri di Majapahit. Raden bertanya, ‘siapa namamu?” [Ia=Rangga lawe] yang datang dari utara menyembah dan berkata, ‘tidak tahu.’ Tersenyum Raden, ‘saya memberimu nama si Wenang.’”

(37)

Wenang yang merujuk kepada kekuasaannya untuk membawahi atau memimpin orang-orang Madura yang menetap di Majapahit merupakan sinonim dari kata “lawe”, yang kemudian disematkan sebagai namanya.33 Selain penjelasan tentang nama, pujangga Kidung Rangga Lawe juga menyebutkan bahwa Rangga Lawe berkerabat dengan Ken Sora.34

Pada kemunculan perdananya dalam naskah, pujangga Kidung Rangga

Lawe sedikit membuka tabir karakter Rangga Lawe, yang kemudian akan

mengarahkan pada konteks narasi selanjutnya. Sementara itu, perlu disebutkan bahwa Raden Wijaya terpikat dengan sikap atau sopan santun Rangga Lawe semenjak pertama kali35 hingga berujung pada pemberian nama sebagai bukti kepercayaan Raden Wijaya36 kepadanya. Kesan pertama yang ditimbulkan oleh pujangga kepada karakter Rangga Lawe ialah pribadi yang memiliki tata krama. Namun, ada kesan lain yang ditambahi oleh pujangga, yakni Rangga Lawe sebagai pribadi dengan sifat terbuka atau tidak segan mengutarakan maksud hati.37

Sikap keterbukaan Rangga Lawe lama-lama diarahkan pujangga Kidung

Rangga Lawe sebagai sifat yang identik dengan orang desa dari Madura. Tidak

33

Kidung Rangga Lawe, VI, 7, hlm. 42. 34

Kidung Rangga Lawe, VI, 9, hlm. 43. 35

Lihat Kidung Rangga Lawe, VI, 1-4, hlm. 42. 36

Lihat catatan nomor 32.. 37

Kidung Rangga Lawe, VI, 12, hlm. 43. Pada pesta penyambutan yang dipersembahkan untuk kedatangannya di Majapahit, Rangga Lawe dikisahkan tidak segan meminta izin untuk beristirahat [tidur] kepada para Menteri Majapahit yang secara usia lebih senior daripadanya.

(38)

tanggung-tanggung, bahwa sikap Rangga Lawe kemudian lebih mengarah kepada kekurangajaran, ceplas-ceplos, tapi sekaligus membuktikan keberaniannya. Deskripsi sifat itu dapat dijumpai sewaktu pertemuannya dengan Pejabat Daha, Segara Winotan, yang datang bertamu ke Majapahit atas perintah Raja Jayakatwang. Kedatangan Winotan bersamaan dengan tibanya kapal, yang berlabuh di Tuban, yang mengangkut kuda dan orang-orang dari Madura—semua itu kiriman dari Arya Wiraraja. Winotan yang melihat kedatangan kuda dan orang-orang Madura segera menanggapi.38 Rupa-rupanya, sikap dan tanggapan Winotan itu tidak disukai oleh Rangga Lawe, lalu ia berkata dengan nada sengak sekaligus menantang.39 Winotan yang mendengar ucapan Rangga Lawe terkejut, betapa beraninya pejabat baru itu, lalu bertanya tentang siapakah ia.40 Sora menjawab pertanyaan Winotan dan memohon untuk memakluminya.41

38

Kidung Rangga Lawe, VI, 17-20, hlm. 43-44. 39

Kidung Rangga Lawe, VI, 21-22, hlm. 44. “Anembah sira Winotan, de ning kuda kongang depuntingali, kapengin manira we uh, tangkepe pun Madhura, Rangga Lawe angling punapa pukulun, bhinnanipun tangkepe thani, lan ing Dahanagari. Pan pada ingateni bwat, aswasiksa widagdha sang tumitah, kongang aparang aparung, datang ing bhumi Daha punika ton-toni tandangipun besuk aseng-seng mutik, rengu-rengu ning liring.” Terjemahan: “Duduk si Winotan [dan] dilihatnya kuda itu dari bawah, ingin tahu bagaimana perbedaannya [sikap?] dengan Madura. Rangga Lawe berkata, “kenapa, tuan? [apa] bedanya orang dusun dengan orang dari Kota Daha? Sebab sama saja pengetahuannya, kecakapannya dalam berkuda, yang cocok untuk perang. [Lihat] dan tunggu saja [sewaktu] di Daha nanti.’ [Sungguh] muring dan sakit hati ia, jelas tampak pada pandangan matanya.”

40

Kidung Rangga Lawe, VI, 23, hlm. 44. 41

Kidung Rangga Lawe, VI, 25-26, hlm. 44. “Kang tinakonan iki nang, -ken pukulun pun Lawe araneki paulun prenahipun, de manira saking Ma, -dhura-Kulon pradesanipun ring tunjung, wimudhadhusun os eng thani, tan wruh wit eng nagari. Nahury alon saha smita, singgih paman sampun de ning baribin, pan kasolondohan wuwus, sotan ing durung tama, awawanon mbenjing liwat ing acarub, mesem rahadyan endah po si, semunyanjaring weni.” Terjemahan: “Orang yang ditanyakan itu [masih] keponakan saya, Lawe namanya, asalnya dari Madura Barat, desa Tunjung, pemuda

(39)

Madura sebagai asal Rangga Lawe tidak hanya merujuk pada dikotomi stigma tabiat antara orang desa dengan orang kota, melainkan juga sebagai eksplanasi untuk tokoh itu dalam pendirian Majapahit. Setidaknya, Madura, sebagai wilayah dan persona bagi suatu komunitas, memberikan motif pada keberadaan dan perangai Rangga Lawe dalam narasi naskah, yakni kesetiaan pada pengabdian, pemberani sekaligus pemberang, serta sifat keterbukaan. Pada konteks yang lebih khusus, Madura juga menunjukkan hubungan antara Rangga Lawe dengan Arya Wiraraja, peramu siasat yang kondang itu. Hubungan itu kiranya akan memperteguh kreativitas pujangga untuk melanjutkan kisahnya sekaligus memberikan motif bagi peran Rangga Lawe.

2. Peran Rangga Lawe dalam Kidung Rangga Lawe

Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan tentang motif penamaan Rangga Lawe yang berkaitan dengan kepercayaan Raden Wijaya kepadanya dan kekuasaannya atas orang-orang Madura di Majapahit. Maka, dengan menempatkan musabab penamaan Rangga Lawe, itu sekaligus mendeskripsikan satu perannya menurut pujangga Kidung Rangga Lawe. Orang-orang Madura yang bermukim di Majapahit bertugas membuka hutan, yang merupakan cikal bakal dari ibukota kerajaan itu, dan sebagai prajurit yang nantinya akan ikut membantu Raden Wijaya memerangi Daha serta Jayakatwang. Rangga Lawe merupakan perwakilan keberadaan Wiraraja sebagai pemimpin pasukan Madura di Majapahit.

dusun atau orang tani, tak tahu tatakrama di perkotaan. Menyahut pelan dibarengi dengan senyum, paman hendaknya jangan terganggu, maklumi saja, sebab [ia] belum berpengalaman melewati kekacauan. Raden tersenyum [dan senyumnya] tampak indah.”

(40)

Tibalah waktunya untuk narasi perang antara pasukan Raden Wijaya dengan pasukan Daha yang dipimpin Jayakatwang. Siasat perang yang disusun oleh Wiraraja juga melibatkan bantuan Tentara Tatar. Ia menipu Tentara Tatar dengan iming-iming imbalan dua putri Kertanegara untuk Kaisar Mongol supaya mampu mengajak mereka bergabung.42 Pasukan Raden Wijaya yang beraliansi dengan pasukan Madura semakin kokoh dengan bantuan Tentara Tatar. Penyerbuan ke kota Daha direncanakan dari segala penjuru.

Ketika serangan dilancarkan, para pejabat Daha terkejut.43 Mereka tidak pernah mengira akan menerima serangan dari orang yang dipercaya oleh raja. Namun, Raja Jayakatwang menanggapinya dengan tenang, seolah ia telah mengetahui kedatangan malaikat maut dan kejatuhan singgasananya.44 Di luar, terdengar suara keras, Tentara Tatar tiba bak gerombolan laron berterbangan tiada henti; mereka datang dari laut dan hinggap di daratan Daha.45

Daha telah berubah menjadi gelanggang pertempuran. Gemuruh suara di mana-mana, bermacam-macam jenisnya: teriakan orang, tembakan bedil, gesekan antar parang dan keris, derap kuda, serta tetabuhan. Banyak orang mati dari tiap-tiap pihak, tapi keunggulan ada di genggaman Raden Wijaya. Rangga Lawe

42

Kidung Rangga Lawe, VII, 3-4, hlm. 45. 43

Kidung Rangga Lawe, VII, 18-24, hlm. 46-47. 44

Kidung Rangga Lawe, VII, 25, hlm. 47. “Wusanaja di nawala apa kena, sakeng antakamami, nguny ana carita, sri Toh-Jaya sangsipta, lwir wuwudun munggw eng nabhi, iki puhara, wiruddhatemah pati.” Terjemahan: “’Akhirnya, pertanda [telah tiba] dari kematian[ku].’ Konon, ada cerita, sri Toh-Jaya berikhtisar, ‘rupa bisul berdiam di pusar, inilah penghabisan, perselisihan menjelma jadi pati.”

45

(41)

masuk di gelanggang dengan gagah berani. Ia dan kudanya, Anda-Wesi, telah berkali-kali merenggut nyawa musuh.46 Pasukan dari Madura yang dipimpinnya berhasil memporakporandakan lawan.47

Syahdan, tiba waktunya Rangga Lawe menghadapi Winotan, musuh yang dijanjikan akan ia tunggu di peperangan. Keganasan Rangga Lawe dalam berperang, konon, sangat ditakuti lawan, bahkan oleh Sagara Winotan sekalipun.48 Pertempuran antara Rangga Lawe dengan Winotan tidak terelakkan lagi. Pertarungan itu berjalan sengit, hingga pada satu lompatan Rangga Lawe berhasil menebas kepala Winotan.

“Malik sakata rangga Lawe amapag, mesem ken Winotan ling, atanding asrameng ena tengsun ladeni. Sang liningan tan sahur enggal kabangan, apet chidra apunding, -an kudamramaga, -ngadeg-adeg alumpat, kewran tangkis ning padati, jumog si rangga, Lawe nunggal ing giling. Aprang ing salw arok adadap churiga, -suwyatanding kawanin, tumul kawenang, Winotan wus tinigas, munggw eng salu ning padati, surak ghurnita, sirna mantring Kadiri.”49

46

Kidung Rangga Lawe, VII, 62, hlm. 51. 47

Kidung Rangga Lawe, VII, 63-66, hlm. 51. 48

Kidung Rangga Lawe, VII, 67-68, hlm. 51. “Swara ning aprang lan tampuh ing sarwastra, tanpa kuran tang bedil, anging bisanira, Jagawastratanding prang, lwir ing indrajala kweh ing, lawan pinegat, rangga Lawyamerepi. Saking untat akweh tang lawan kawenang, kalud pun Anda-Wesi, gambhira angrunggah, anokot yaya singha, amangsa wong Daha wrin-wrin, mantri Winotan, kemengan denyajurit.” Terjemahan: “Suara perang dan pertempuran semua jenis senjata, tak terhitung jumlahnya bedil, tapi kecakapan Jagawastra dalam bertempur tampak dalam muslihat [sehingga] banyak musuh kocar-kacir [dihabisi] diserang oleh Rangga Lawe. Dari belakang banyak lawan yang terbunuh oleh Anda-Wesi, yang dengan seramnya berjingkrak-jingkrak, menggigit bagai singa, memangsa orang-orang Daha, semuanya ketakutan, Menteri Winotan tampak putus asa melihatnya.”

49

(42)

“Berbalik kereta kuda yang ditunggangi Rangga Lawe menyongsong ken Winotan yang menunggunya. Rangga Lawe tak menyahut karena sudah terlalu marah. Ia berusaha mencari celah dengan cara mengitari lawan. Kudanya berjingkrak-jingkrak dan melompat [hingga] sukar untuk mengelakinya. Dalam satu lompatan, Rangga Lawe turun, sendirian di kereta/gerobak. Pertempuran semakin seru, perisai dan keris saling bergesekan, lalu kepala Winotan terpenggal, [jatuh] di kursi kereta. Sorakan bergema riuh. Mati sudah Menteri Kadiri itu.”

Keunggulan semakin berada di pihak pasukan Majapahit. Banyak pejabat tinggi Daha yang berhasil dikalahkan oleh pasukan maupun abdi setia Raden Wijaya, termasuk Patih Mundarang yang mati di tangan Sora.50 Raja Jayakatwang pun pada akhirnya berhasil disudutkan oleh Tentara Tatar dan ditawan51 di istana. Melihat kemenangan sudah di depan mata, apalagi putri Kertanegara juga sudah berhasil direbut, Arya Wiraraja menyarankan kepada Raden Wijaya untuk mengungsikan putri terlebih dahulu ke Majapahit supaya tidak diambil oleh Tentara Tatar.52 Kemudian, Sora dan Lawe menipu para prajurit Tatar untuk menahan dulu penyerahan putri. Jika kondisi sudah membaik, barulah putri akan diserahkan. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi sewaktu mengambil putri ialah dilarang membawa senjata, karena putri masih trauma dengan perang dan sering pingsan jika melihat senjata.53 Maka, saat utusan Bangsa Tatar tiba di Majapahit, tanpa perlengkapan senjata, Rangga Lawe dan Sora dapat

50

Kidung Rangga Lawe, VII, 109, hlm. 55. 51

Kidung Rangga Lawe, VII, 123, hlm. 57. 52

Kidung Rangga Lawe, VII, 114-117, hlm. 56. 53

Untuk detail kebohongan Sora dan Lawe, baca Kidung Rangga Lawe, VII. 126-132, hlm 57-58.

(43)

mengalahkan mereka dengan mudah hingga akhirnya memutuskan untuk berlayar pulang ke negara asal mereka.

“Tan wikan parakena yogya neng lampah, kweh apaksa kodali, -ra sang sri ning pura, katon wisti neng ulah, memeng mumungkur sang mantri, samangka sira, Lawe Sorametoni. Manggamuka wong Tatar tanpa lalaya, -tangkis karwa karo Kris, sira Lembu-Sora, -titingkah kaya sata, winulang pupune kalih, ri tur dekungnya, muregang punang keris. Saksana lumekas karo amrajaya, sira wong Tatar lagi, masenak anadah, kedekan kasulayah, pejah atusan akanin, sesa ning pejah, padamalakw inurip. Dadi katawan tumut tang stri karandan, tinut tekeng kikisik, bahitra inanang, kimita tang bharana, ingonjal eng Maja-Pahit, ikalahannya, siddha neng sandhi-sandhi.”54

“Karena tak melihat [jumlah Tentara Tatar?] dalam perjalanan itu, banyak yang terpaksa diusir, raja [Wijaya] yang berada di keraton terlihat gusar, segan mengambil tindakan begitu juga para Menteri, karena itu Lawe dan Sora keluar. [Mereka] mengamuk dan menghajar orang-orang Tatar tanpa ampun, berdua bersenjatakan keris, Lembu Sora bertingkah seperti ayam jago yang terikat kedua lututnya, dicabutnya kerisnya. Segera saja orang Tatar terdesak, siapapun yang berusaha melawan, diinjak hingga jatuh terjengkang, yang mati ratusan, [ada juga] terluka, sisanya yang tak mati, kabur cari selamat. [Hasilnya] tertawan para istri atau janda, diikuti hingga pesisir, bahtera yang rusak, dan juga perhiasan, [dirampas?] di Majapahit, sebagai bukti kekalahan, [yang diselesaikan] secara rahasia.”

Dengan terusirnya Tentara Tatar, kemenangan Majapahit lengkap sudah. Diwartakan bahwa Jayakatwang mati di penjara. Abunya dilarung di sungai.55 Setelah kemenangan melawan Daha dan berhasil mengusir Tentara Tatar, Wiraraja tidak lagi tinggal di Madura, melainkan meninggalkan jabatan demungnya dan pindah ke Tuban. Ia juga mendapatkan gelarnya kembali: Arya

54

Kidung Rangga Lawe, VII, 138-141, hlm. 58. 55

Kidung Rangga Lawe, VII, 142, hlm. 58-59. Di situ, tempat pelarungan abu jenazah Jayakatwang ialah Sungai Suranadi, sungai para dewa, sebagai suatu analogi atau bukti pertautan keyakinan/agama dengan India, yakni Sungai Gangga.

(44)

Adhikara.56 Lalu, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Majapahit, pewaris sah dari wangsa rajasa. Itulah akhir bagian pertama kidung ini.

3. Awal dan Sebab Pemberontakan

Awal bagian kedua Kidung Rangga Lawe berlatarkan beberapa tahun setelah perang. Raden Wijaya atau Raja Kertarajasa mengangkat sahabat-sahabatnya atau abdi yang membantunya memenangkan perang di berbagai jabatan di kerajaannya. Hanya ada dua posisi terisi yang disebutkan di awal bagian itu, yakni patih dan Menteri Mancanegara. Jabatan patih diberikan kepada Nambi, sedangkan Menteri Mancanegara diisi oleh Lawe yang berkedudukan di Tuban.57

Kala mendengar berita pengangkatan Nambi sebagai patih, Lawe marah.58 Menurutnya, dia dan Sora telah mempertaruhkan nyawa mereka berdua selama perang serta pembangunan negeri, tapi justru raja menghadiahi pengorbanan mereka dengan tidak setimpal. Dia merasa dikhianati oleh raja. Karena itu dia memutuskan untuk pergi ke Majapahit guna mencari kejelasan.

Sesampainya di Majapahit, Lawe menanti waktu menghadap raja. Di dalam keraton telah berkumpul para pejabat. Raja yang mendengar kedatangan Lawe terkejut dan bertanya ada perlu apa Adipati Tuban itu sampai datang ke

56

Kidung Rangga Lawe, VII, 151, hlm. 59. 57

Kidung Rangga Lawe, Bagian II, 156-160, hlm. 53. 58

Referensi

Dokumen terkait

A Evaluasi Pelatihan Marketing Untuk Warga Gmt Produksi Tas Gunung Kidul Dipasarkan Keseluruh

Yang dimaksud oleh peneliti keluarga bahagia dalam penelitian ini adalah berfungsinya seluruh keluarga merasa ketentraman, penuh dengan kasih sayang,

DAFTAR PERTJOBAAN MEMBUAT BRIKET ­ KOKAS Tjampuran Dibuat dalam Pembuatan briket dila­ kukan dengan Kalsinasi Dilakukan dalam Matjam.. Oven Lamanja kalsinasi Tempera­

Penelitian mengenai hubungan antara tata kelola perusahaan dengan praktik manajemen laba antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Inaam & Khamoussi (2016)

©Tri Ramdhany S.Kom, M.Kom, MOS Halaman 83 dari 95 Jika tedapat lebih dari satu kunci filed yang cocok dengan secondary file, ACL hanya akan menggunakan satu field

Bapak Ari Susilo Wibowo, S.T dan Ibu Meilia Safitri, S.,T M.Eng selaku dosen pembimbing tugas akhir saya, terima kasih banyak atas segala bantuanya selama ini, atas

dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 107 ayat (2) Undang-undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Peraturan Daerah

 Pertama, tahap realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya. berhubungan dengan