• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tidak jelas soal penanggalan naskah ini. Hanya saja naskah yang digunakan dalam penelitian ini sudah dalam bentuk alih aksara dari versi cetakan ketiga yang diterbitkan tahun 1936 oleh penerbit Tionghoa di Kediri, Boekh Tan Khoen Swie. Bahasa yang digunakan ialah Bahasa Jawa Modern. Berdasarkan tahun jabatan bupati terakhir yang disebut dalam naskah kemungkinan penulisan naskah ini terjadi pada awal abad XX.

Seperti yang telah dijelaskan, Serat Babad Tuban berisikan genealogi bupati-bupati Tuban. Bupati Tuban yang disebutkan sampai pada awal abad XX. Rangga Lawe ialah bupati Tuban ke sekian. Trah bupati Tuban itu berawal dari Prabu Banjaransari, penguasa di Kerajaan Pajajaran. Tentu saja bahwa pernyataan itu, yang menyebut garis trah Kerajaan Pajajaran dan bukannya Majapahit, patut dipertanyakan. Prabu Banjaransari memiliki putra bernama Raden Arya Methaun yang kemudian berputrakan Raden Arya Randhu Nuning.

Cucu Prabu Banjaransari itu kemudian berkelana ke arah timur hingga berhenti di Distrik Jenu, Tuban, dan mengangkat diri sebagai penguasa di wilayah itu. Raden Arya Randhu Nuning setelah menjabat sebagai bupati Tuban mengganti nama, bergelar Kyai Ageng Lebe Lonthang, sedangkan wilayah kekuasaannya diberi nama Lumajang Tengah. Sebelum Rangga Lawe masih ada empat generasi setelah Kyai Ageng Lebe Lonthang itu, disusun secara runut: Raden Arya Bangah, Raden Arya Dhandhang Miring, Raden Arya Dhandhang Wacana atau Kyai Ledhe Papringan. Dari Kyai Ledhe Papringan memiliki dua putra: Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngeso. Selama empat generasi itu wilayah Lumajang Tengah mengalami perluasan dan penetapan nama Tuban

sebagai kadipaten ditetapkan. Nama Tuban merupakan akronim dari “metu

banyune”.

Kedua putra Kyai Ledhe Papringan sama-sama memiliki putra. Nyai Ageng Lanang berputrakan Arya Ronggalawe, sementara Nyai Ageng Ngeso berputra Arya Kebo Nabrang.150 Setelah Kyai Ledhe Papringan meninggal Arya Ronggalawe diangkat sebagai bupati. Dalam kepemimpinan Arya Ronggalawe ibukota kembali dipindah. Ada penambahan tiga dusun di wilayah Tuban: Trowulan, Prunggahan Barat, dan Prunggahan Timur.

Dikisahkan bahwa terjadi perebutan kekuasaan pada masa pemerintahan Arya Ronggalawe. Pelakunya tidak lain ialah sepupunya sendiri, Arya Kebo Nabrang. Peperangan itu dimenangkan oleh Arya Ronggalawe. Lamanya Arya Ronggalawe menjabat sebagai bupati Tuban ialah 30 tahun. Dia meninggal dalam peperangan melawan Prabu Uru Bisma.

Penggantinya ialah putra semata wayangnya, Raden Siralawe. Namun, dalam Serat Damarwulan, yang dikutip oleh pujangga Serat Babad Tuban, menyebutkan Ronggalawe berputra dua orang: Raden Batangan dan Raden Watangan.151 Pujangga Serat Babad Tuban kemudian memberikan penjelasan,

150

Serat Babad Tuban, 1936: 5. 151

Serat Babad Tuban, 1936: 6, “. . .ananging ing Serat Damar Wulan tuwin Serat Melajeng ingkang nami “Hikayat Tanah Jawi” nerangaken putranipun Raden Arya Ronggalawe wau kakalih, 1. Raden Bantaran; 2. Raden Watangan, mongka ing babon sejarah: namung kasebut kagungan putra satunggal asma Raden Siralawe wau bokmanawi Raden Buntaran awit putra pambajeng tur saged gumantos jumeneng Bupati.”

terkait rujukan yang berbeda itu, bahwa Siralawe ialah anak pertama Ronggalawe yang ditunjuk sebagai penggantinya.

Penamaan anak Rangga Lawe itu cukup aneh karena merujuk pada gelar yang diberikan Raden Wijaya kepada tokoh tersebut dalam Kidung Rangga Lawe meski itu juga terjadi dalam naskah tradisional lain. Misal, nama Arya Adhikara sebagai Adipati Mancanegara yang tak lain nama lain Arya Wiraraja dalam Prasasti Kudadu.152 Namun penamaan itu menjadi lebih aneh ketika nama-nama lain yang seharusnya merujuk kepada Rangga Lawe justru digunakan kepada anak cucunya. Setelah Raden Siralawe meninggal, ia diganti oleh anaknya Raden Arya Sirawenang, setelah itu cucunya yang berkuasa bernama Raden Lena, dan akhirnya diganti oleh buyutnya Raden Arya Dikara.153 Baik nama Lawe dan Wenang ialah nama pengganti yang diberikan Raden Wijaya kepada orang yang sama,154 demikian juga halnya dengan Arya Dikara terdengar mirip dengan Arya Adhikara. Juga Raden Arya Wiltikta, bupati Tuban ke-8, sekilas terdengar mirip Wilatikta, nama lain dari Majapahit.

Garis trah bupati itu terus berlanjut hingga pada bupati yang ke-17 terjadilah peristiwa besar, yakni serangan Kerajaan Mataram ke Tuban. Bupati Tuban saat itu ialah Pangeran Dalem. Alasan penyerangan Mataram karena

152

Bandingkan dengan Kidung Rangga Lawe yang mengisahkan setelah kemenangan melawan Jayakatwang dan pindah ke Tuban Arya Wiraraja disebutkan memakai nama lainnya, yaitu Arya Adhikara.

153

Serat Babad Tuban, 1936: 7. 154

Lawe dan Wenang ialah sinonim. Nama itu merujuk pada pada keputusan Raden Wijaya yang menyerahkan kepemimpinan orang Madura kepada Rangga Lawe atau Arya Adhikara.

Pangeran Dalem diketahui mau memberontak. Dalam penyerangan itu dikisahkan Mataram menurunkan 1900 pasukan dan memporakporandakan Tuban, tetapi Pangeran Dalem berhasil melarikan diri. Setelah Tuban berada dalam kekosongan kepemimpinan, Mataram menunjuk Pangeran Pojok sebagai bupati Tuban. Demikianlah seterusnya, setelah Pangeran Pojok pun bupati Tuban diisi oleh orang-orang yang ditunjuk Mataram. Bahkan bupati terakhir yang dikatakan dalam Serat Babad Tuban, masa berkuasa 1911-1919, merangkap sebagai Patih Rembang.

D. Simpulan

Narasi tentang Rangga Lawe dalam karya sastra Jawa Modern kiranya ada kaitannya dengan kondisi sosial dan kepentingan politik pada masa hidup pujangganya. Periode penulisan dan komposisi narasi menguatkan dugaan itu. Sebelum menjelaskan itu semua, ada baiknya untuk membagi penjelasan ke dalam dua bagian karena naskah-naskah itu memiliki motif yang berbeda, meski kemudian akan mempengaruhi pada hasil akhir atau pembentukan dan perubahan tokoh Rangga Lawe. Bagian pertama akan fokus pada narasi Rangga Lawe dalam kisah Damarwulan, tentu juga dengan Langendriya Pejahipun Ranggalawe. Bagian kedua untuk menjelaskan narasi dalam Serat Babad Tuban.

Baiklah, kini bagian pertama harus diudar terlebih dahulu karena naskah inilah yang membuat pijakan bagi perubahan narasi terkait Rangga Lawe di masa-masa yang lebih muda. Jika ditilik dari periode penulisan dan komposisi narasi, motif justru mengarah kepada kepentingan politis Kerajaan Mataram Islam. Meski Soenarto Timoer menyebut pujangga kisah Damarwulan terinspirasi pada

peristiwa dan tokoh pada masa akhir Kerajaan Majapahit, tidakkah kisah tentang Menakjingga dan Blambangan itu justru mengingatkan kita terhadap ambisi Mataram Islam untuk menguasai kerajaan Hindhu terakhir di ujung timur Pulau Jawa, hingga menyebabkan peristiwa Puputan Bayu tahun 1771? Selain itu, Soenarto Timoer pun gagal memberikan bukti yang jelas untuk argumennya.

Ada beberapa hal dalam narasi kisah Damarwulan yang mengarah ke sana, kepada ambisi Mataram Islam menaklukkan Blambangan. Selain penyebutan Blambangan, tentu patut disebut sekutu Menakjingga dalam perang melawan Majapahit dan Rangga Lawe. Mereka ialah orang Bugis, Madura, dan Bali. Itu semua sama dengan temuan dalam penelitian sejarah terkait sekutu Blambangan ketika menghadapi gempuran VOC pada abad XVIII. Blambangan waktu itu mampu merebut hati orang Bugis, Madura, Bali, termasuk juga orang Tionghoa sebagai sekutu perang.

Perihal lain ialah periode penulisan naskah. Telah diketahui bahwa penanggalan tertua untuk naskah Damarwulan menunjuk abad XVIII dan penambahan narasi serta variasi lain kira-kira terjadi pada abad XIX dan XX. Tentu akan lebih mudah untuk mengangkat kisah yang selisih waktunya hanya puluhan hingga ratusan tahun daripada mengambilnya dari periode yang lebih jauh atau lebih tua. Jarak waktu yang terlampau jauh juga menerangkan kenapa anakronisme dalam kisah Damarwulan diterima. Orang tidak akan merasa curiga apabila Rangga Lawe dikisahkan hidup pada masa akhir Majapahit dan rajanya ialah seorang perempuan bernama Kencanawungu karena ingatan tentang tokoh dan peristiwa itu, yang diturunkan melalui tradisi lisan, pun telah memudar.

Terkait penyebutan nama Majapahit dalam kisah Damarwulan sebenarnya bisa dijawab dengan merujuk kedua kerajaan yang bersengketa: Blambangan dan Mataram Islam. Kerajaan Blambangan secara turunan sejarah ada kaitannya dengan Majapahit dan sampai abad XVIII pun masih mempertahankan citra itu. Sementara itu Mataram Islam, apabila melihat dari karya-karya sastra yang menerangkan kerajaan itu, pun merujuk Majapahit sebagai asal keturunan raja-rajanya. Majapahit yang dipandang sebagai kerajaan terbesar di tanah Jawa dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan bagi pihak Mataram Islam. Jadi, penyebutan Majapahit dalam epos Damarwulan tidak hanya tentang kebutuhan material bacaan kepahlawanan lokal, melainkan juga mengandung kepentingan politik kelompok aristokrat Jawa di zaman itu.

Namun, muncul pertanyaan esensial lain terkait narasi dalam kisah Damarwulan. Kenapa Rangga Lawe dalam kisah Damarwulan harus dikisahkan mati dalam usahanya mengabdi kepada negara (Majapahit) sementara teks-teks terdahulu mengisahkannya mati sebagai pemberontak? Kenapa pula harus Rangga Lawe satu-satunya tokoh historis, sementara tokoh lain seperti Damarwulan, Kencanawungu, Patih Logender, Menakjingga dan tokoh lain bisa dipastikan fiktif belaka?

Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus kembali kepada pembahasan sebelumnya, yakni soal kenyataan dalam karya sastra. Sekali lagi, fakta dalam karya sastra tidaklah, dan tidak harus, sama dengan fakta dalam realitas. Ini juga berlaku bagi karya-karya terdahulu yang memuat narasi Rangga Lawe, seperti

benar ada tokoh sejarah yang identik dengan Rangga Lawe di kenyataan, dalam karya sastra terdahulu pun dijelaskan bahwa Lawe merupakan gelar atau nama yang diberikan Raden Wijaya kepada seorang abdinya, tetapi tetap saja harus dibedakan dengan tokoh Rangga Lawe dalam karya sastra. Demikian juga sebaliknya, bisa jadi tokoh-tokoh fiktif seperti Damarwulan, Kencanawungu, Patih Logender dan tokoh lain benar ada di kenyataan, entah itu dari sifat atau status yang mirip, yang kemudian mewujud ke cerminan tokoh dalam karya sastra.

Soal pengabdian Rangga Lawe kepada Majapahit dan sifat ksatria Rangga Lawe yang memilih gugur di medan perang dalam kisah Damarwulan sebenarnya juga ada dalam karya sastra terdahulu. Lebih tepatnya, pujangga Damarwulan merujuk Kidung Rangga Lawe, yakni momen ketika Rangga Lawe berbicara dengan pamannya, Sora, setelah dia mengajukan keberatan kepada Kertarajasa tentang pengangkatan Nambi sebagai Patih Majapahit. Selain itu pula, terkait jasa-jasa Rangga Lawe yang pantas dijadikan sebagai motif perubahannya menjadi pahlawan. Tidakkah Rangga Lawe juga berjasa membawahi orang-orang Madura untuk membuka Hutan Tarik pada awal pembangunan Majapahit? Tidakkah Rangga Lawe juga berjasa dalam peperangan melawan Jayakatwang dan pengusiran prajurit Mongol yang diutus untuk menundukkan keturunan Kertanegara, Raden Wijaya dan Majapahit? Persoalan-persoalan itulah yang mendasari penggubahan pujangga kisah Damarwulan. Dalam hal ini, dialog antar-teks (interantar-tekstual) dari kisah-kisah Rangga Lawe dalam karya sastra tetap berlanjut.

Persoalan lain yang mendasari kepahlawanan Rangga Lawe dalam kisah Damarwulan ialah kematian Rangga Lawe itu sendiri, dalam karya sastra terdahulu. Kematian Rangga Lawe, sejak awal kemunculan kisah Rangga Lawe dalam sejarah, telah ditetapkan oleh para pujangga sebagai penyesalan di masa lampau. Hal itu secara jelas tampak dalam Kidung Rangga Lawe, yakni ketika Raden Wijaya atau Kertarajasa menyayangkan keputusan Rangga Lawe untuk memberontak hingga kesedihan raja ketika Rangga Lawe mati di tangan Kebo Anabrang. Penyesalan lain tentu bahwa dari pemberontakan Rangga Lawe banyak orang-orang kepercayaan Kertarajasa mati hanya untuk memadamkan api pemberontakannya. Dari penyesalan masa lampau itu pula pujangga kisah Damarwulan berangkat untuk mematenkan formulanya, tetapi kematian Rangga Lawe harus tetap terjadi, meski dalam versi berbeda, supaya rumus transformasi berhasil dan diterima sebagai alternatif yang lebih baik dari realitas.

Lalu, bagaimana dengan naskah Serat Babad Tuban yang muncul paling belakangan? Meski anakronisme dalam naskah ini, seperti penyebutan leluhur Rangga Lawe dari Kerajaan Pajajaran, juga termasuk banyak, tetapi ada beberapa hal yang dapat diketahui sebagai perujukan ke kisah dan perihal dari karya terdahulu. Salah satunya tampak pada penamaan daerah kekuasaan leluhur Rangga Lawe, yakni Lumajang Tengah, ditambah ketika pujangga juga mengisahkan wilayah itu bertambah tiga desa. Penamaan itu mengingatkan kita akan Lamajang tigang juru, daerah yang dihadiahkan oleh Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja. Sementara di kenyataan, ada dusun bernama Lumajang Tengah di Kecamatan Jenu saat ini dan itu tepat seperti ditunjuk di dalam naskah. Rujukan

kedua mengarah pada penamaan bupati-bupati Tuban yang menyebut nama lain Rangga Lawe, seperti Arya Adhikara dan Wenang. Penyebutan nama hewan sebagai nama atau gelar orang seperti dalam karya-karya terdahulu pun dirujuk oleh Serat Babad Tuban, yakni Kebo Nabrang.

Pertanyaan yang patut dimunculkan kemudian ialah untuk tujuan apakah

Serat Babad Tuban? Ada dua hal yang bisa diajukan terkait hal itu. Berdasarkan

isi, Serat Babad Tuban yang menginformasikan genealogi bupati-bupati Tuban tentu difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan. Pemilihan Rangga Lawe termasuk dalam keturunan bupati-bupati Tuban terdahulu tampaknya mengabarkan betapa pentingnya sosok itu, bagi kelompok elite lokal, bahkan sampai perlu diposisikan sebagai pendahulu bupati-bupati Tuban selanjutnya. Namun, masih belum terpecahkan terkait dengan narasi leluhur Rangga Lawe dalam Serat Babad Tuban yang dikisahkan berasal dari Kerajaan Pajajaran. Apakah itu disebabkan oleh ketidaktahuan pujangga atau karena kepentingan politis tertentu tetap tidak bisa dipastikan. Memang benar bahwa dalam Kidung Rangga Lawe maupun Pararaton, Arya Wiraraja, ayah Rangga Lawe, dikisahkan memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Kertanegara, tetapi sama sekali tidak ada penyebutan Kerajaan Pajajaran dalam silsilahnya.

Perihal kedua terkait dengan tujuan penulisan Serat Babad Tuban berhubungan dengan periode penulisan naskah, tahun terbit, dan kondisi sosial politik sewaktu penulisan dan penerbitan naskah. Dapat dipastikan bahwa naskah itu ditulis dan diterbitkan pada awal abad XX. Pada periode itu ada kebijakan

pemerintah kolonial terkait bacaan atau penerbitan buku di Hindia Belanda.155 Lantaran isi Serat Babad Tuban lebih berisikan atau mengunggulkan corak identitas lokal, maka naskah itu tidak termasuk dalam kategori bacaan yang diharuskan oleh pemerintah kolonial atau istilahnya “bacaan liar”. Naskah itu pun diterbitkan oleh penerbit swasta Tionghoa di Kediri. Dengan begitu Serat Babad

Tuban telah mencerminkan jiwa zamannya sebagai medium pemberontakan

terhadap pengekangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.

Agak konyol memang mendapati tokoh pemberontak pada awal Kerajaan Majapahit menjadi pahlawan guna kepentingan politik kelompok elite lokal abad XX. Karya-karya sastra Jawa modern itulah pintu transformasi tokoh dan status Rangga Lawe yang mampu mempengaruhi anggapan masyarakat.

155

Kebijakan itu sejalan dengan jalannya praktik Politik Etis di Hindia Belanda. Pada periode itu pemerintah kolonial merasa perlu untuk mengatur suatu sistem yang dibuat untuk mempersiapkan pribumi hidup berdampingan dengan orang Belanda. Penerbitan buku, yang termasuk dalam bidang pendidikan, pun tidak lepas dari kepentingan itu, termasuk penerbitan karya sastra Jawa. Untuk memuluskan kebijakan itu pemerintah kolonial mendirikan penerbit buku yang sekaligus berfungsi sebagai penyensor dan distributor buku-buku bacaan, yakni Balai Pustaka. Buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit swasta, termasuk penerbit swasta Tionghoa, yang kebanyakan mengangkat kisah, tokoh lokal, dan bahasa daerah dimasukkan dalam “bacaan liar”. Selengkapnya baca Pardi Suratno. 2013. Masyarakat Jawa dan Budaya Barat: Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta. Adiwacana.

95

BAB V

PENUTUP A. Simpulan

Transformasi tokoh Rangga Lawe dalam perspektif masyarakat, terutama masyarakat Tuban, berkaitan erat dengan penulisan historiografi tradisional dan atau karya sastra. Perubahan itu berlangsung berabad-abad lamanya dan melibatkan kerja antar-pujangga dalam teks yang mereka tulis dan tinggalkan. Perubahan yang terjadi pun sangat drastis. Rangga Lawe yang muncul kali pertama dalam Kidung Panjiwijayakrama atau Kidung Rangga Lawe dikisahkan sebagai pemberontak pada awal pendirian Kerajaan Majapahit berubah menjadi pahlawan dalam naskah lakon seni pertunjukan langendriya, kisah Damarwulan.

Dari perubahan itu indikasi rasa penyesalan benar adanya, paling tidak demikian yang disampaikan pujangga dalam kisah dan teksnya, yang diubah menjadi lebih baik. Transformasi tokoh Rangga Lawe dalam karya sastra merupakan jawaban final atas penyesalan itu. Kaitan yang lain ada pada proses kognitif dan perihal yang berhubungan dengan aspek sosial, budaya, serta politik.

Sekali lagi, meski disebut sebagai historiografi tradisional, sumber-sumber itu tetaplah karya sastra. Kreativitas pujangga ikut campur dalam pengisahan. Perihal itu pun tampak di dalam sumber-sumber terdahulu, Kidung

Kidung Panjiwijayakrama-lah, penanggalan tertuanya menunjuk abad XV,

yang pertama kali mengabarkan kisah pemberontakan Rangga Lawe, barulah kemudian Pararaton mengutip kisah itu untuk melengkapi narasi keseluruhannya pada abad XVII. Dari pengutipan Pararaton, narasi pemberontakan Rangga Lawe tetap ada, yang berubah hanya pada latar belakang tokoh.

Baik Kidung Panjiwijayakrama dan Pararaton sama-sama mengangkat peristiwa sejarah, tetapi tidak tepat rasanya untuk mengabaikan bentuknya (puisi dan prosa). Yang lain ialah motivasi pujangga. Misalnya, untuk mengabarkan kewibawaan seorang raja dalam menjalankan kewajibannya sebagai penguasa. Dalam Kidung Panjiwijayakrama, meski Rangga Lawe mendapat tempat dalam penarasian, tetap saja porsi utama ada pada kebesaran dan tindakan raja. Demikian halnya dengan Pararaton, baik pemberontakan Rangga Lawe dan pemberontakan-pemberontakan lain setelahnya dikisahkan untuk menguatkan citra raja, dalam hal ini raja-raja Majapahit, yang mampu memadamkan api pemberontakan.

Indikasi usaha mengubah perihal dan peristiwa yang disesali terletak pada pemberontakan dan kematian Rangga Lawe pada abad XIV. Bagaimana tidak bahwa pemberontakan itu justru berasal dari abdi yang dipercaya Raden Wijaya atau Kertarajasa. Besar jasa Rangga Lawe, sebenarnya, terutama pada awal pendirian Majapahit, seperti membawahi orang-orang Madura ketika membabat Hutan Tarikh, perang melawan pasukan Jayakatwang, dan mengusir tentara Mongol. Paling tidak itu yang disebutkan oleh pujangga Kidung Panjiwijayakrama. Dari pemberontakan Rangga Lawe pula Majapahit harus

kehilangan putra-putra terbaik mereka dan mencoreng kebesaran Majapahit sebagai kerajaan Hindhu-Buddha di Jawa. Kesemua perihal itu tampaknya telah menjadi penyesalan masa lampau dan di sinilah tugas seorang pujangga dibutuhkan.

Perubahan mencolok pertama muncul dalam Kidung Harsa-Wijaya. Pujangga Kidung Harsa-Wijaya mengutip narasi Pararaton pada bagian latar belakang Rangga Lawe. Sama dengan narasi dalam Pararaton, Kidung

Harsa-Wijaya menyebutkan bahwa Rangga Lawe ialah anak dari pejabat lokal di Tuban,

sementara anak Arya Wiraraja ialah Nambi dan Wirondaya. Yang lebih mencolok ialah penghilangan pemberontakan, karena dalam Kidung Harsa-Wijaya jabatan mahapati diserahkan kepada Rangga Lawe, padahal ambisi terhadap jabatan kerajaan merupakan faktor penyebab pemberontakan Rangga Lawe.

Dari karya sastra berbahasa Jawa Pertengahan narasi tokoh Rangga Lawe tetap diproduksi hingga ke bentuk sastra berbahasa Jawa Modern. Tersebutlah

Langendriya Pejahipun Ranggalawe, yang merupakan bagian dari kisah

Damarwulan, dan Serat Babad Tuban. Dari kedua karya itu dengan karya terdahulu jarak waktu penulisan membentang hingga ke angka ratusan tahun.

Langendriya Pejahipun Ranggalawe ditulis pada abad XIX, penanggalan tertua

kisah Damarwulan menunjuk abad XVIII, dan Serat Babad Tuban ditulis pada awal abad XX.

Pengangkatan tokoh Rangga Lawe dalam kisah Damarwulan, yang merupakan epos dengan muatan lokalitasnya, terindikasi ada kepentingan politis,

khususnya kepentingan Mataram Islam terhadap Blambangan. Itu terwujud dalam anakronisme penyebutan masa hidup Rangga Lawe dan penyebutan Blambangan dalam narasinya. Dalam Langendriya Pejahipun Ranggalawe kisah kematian Rangga Lawe ditampilkan secara heroik. Dalam hal itu pula diperlihatkan pengabdian Rangga Lawe kepada Majapahit untuk melawan musuh kerajaan. Transformasi itu menjawab narasi terdahulu, terutama dalam Kidung

Panjiwijayakrama dan Pararaton. Menurut nilai sosial, tugas seorang kesatria

ialah mengabdi dan untuk kejayaan raja serta kerajaannya, bukan untuk mempertanyakan, atau bahkan menolak keputusan raja. Titah raja, sebagai titisan dewata, itu mutlak dan itu tidak ada dalam kisah Rangga Lawe dalam Kidung

Panjiwijayakrama dan Pararaton, tetapi ditemukan dalam Langendriya Pejahipun Ranggalawe.

Meski tetap bermuatan kepentingan politis, Serat Babad Tuban lebih mengaplikasikan tujuan itu demi kepentingan elite lokal di Tuban dan Mataram Islam. Maksudnya, bahwa kehadiran Rangga Lawe dalam karya sastra itu untuk melegitimasi bupati-bupati Tuban dengan menunjukkan alur keturunan bupati Tuban. Aspek lain berkaitan dengan jiwa zaman dan kondisi sosial politik di masa hidup pujangga serta periode penulisan. Awal abad XX merupakan periode pelaksanaan Politik Etis di Hindia Belanda. Kebijakan itu juga menyorot penerbitan buku. Sementara itu, Serat Babad Tuban yang diterbitkan oleh penerbit swasta Tionghoa dapat dikatakan bacaan liar yang dilarang oleh pemerintahan kolonial karena menonjolkan unsur kelokalan.

Dalam dua karya sastra itu anakronisme sangat menonjol dan bisa dikatakan wajar jika mempertimbangkan selisih waktu antara kejadian sesungguhnya dengan waktu penulisan. Faktor lain ialah karena penurunan narasi itu melalui tradisi lisan. Bentuk karya merupakan bukti untuk menguatkan lisanan

Dokumen terkait