• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Kidung Rangga Lawe

2. Peran Rangga Lawe dalam Kidung Rangga Lawe

Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan tentang motif penamaan Rangga Lawe yang berkaitan dengan kepercayaan Raden Wijaya kepadanya dan kekuasaannya atas orang-orang Madura di Majapahit. Maka, dengan menempatkan musabab penamaan Rangga Lawe, itu sekaligus mendeskripsikan satu perannya menurut pujangga Kidung Rangga Lawe. Orang-orang Madura yang bermukim di Majapahit bertugas membuka hutan, yang merupakan cikal bakal dari ibukota kerajaan itu, dan sebagai prajurit yang nantinya akan ikut membantu Raden Wijaya memerangi Daha serta Jayakatwang. Rangga Lawe merupakan perwakilan keberadaan Wiraraja sebagai pemimpin pasukan Madura di Majapahit.

dusun atau orang tani, tak tahu tatakrama di perkotaan. Menyahut pelan dibarengi dengan senyum, paman hendaknya jangan terganggu, maklumi saja, sebab [ia] belum berpengalaman melewati kekacauan. Raden tersenyum [dan senyumnya] tampak indah.”

Tibalah waktunya untuk narasi perang antara pasukan Raden Wijaya dengan pasukan Daha yang dipimpin Jayakatwang. Siasat perang yang disusun oleh Wiraraja juga melibatkan bantuan Tentara Tatar. Ia menipu Tentara Tatar dengan iming-iming imbalan dua putri Kertanegara untuk Kaisar Mongol supaya mampu mengajak mereka bergabung.42 Pasukan Raden Wijaya yang beraliansi dengan pasukan Madura semakin kokoh dengan bantuan Tentara Tatar. Penyerbuan ke kota Daha direncanakan dari segala penjuru.

Ketika serangan dilancarkan, para pejabat Daha terkejut.43 Mereka tidak pernah mengira akan menerima serangan dari orang yang dipercaya oleh raja. Namun, Raja Jayakatwang menanggapinya dengan tenang, seolah ia telah mengetahui kedatangan malaikat maut dan kejatuhan singgasananya.44 Di luar, terdengar suara keras, Tentara Tatar tiba bak gerombolan laron berterbangan tiada henti; mereka datang dari laut dan hinggap di daratan Daha.45

Daha telah berubah menjadi gelanggang pertempuran. Gemuruh suara di mana-mana, bermacam-macam jenisnya: teriakan orang, tembakan bedil, gesekan antar parang dan keris, derap kuda, serta tetabuhan. Banyak orang mati dari tiap-tiap pihak, tapi keunggulan ada di genggaman Raden Wijaya. Rangga Lawe

42

Kidung Rangga Lawe, VII, 3-4, hlm. 45. 43

Kidung Rangga Lawe, VII, 18-24, hlm. 46-47. 44

Kidung Rangga Lawe, VII, 25, hlm. 47. “Wusanaja di nawala apa kena, sakeng antakamami, nguny ana carita, sri Toh-Jaya sangsipta, lwir wuwudun munggw eng nabhi, iki puhara, wiruddhatemah pati.” Terjemahan: “’Akhirnya, pertanda [telah tiba] dari kematian[ku].’ Konon, ada cerita, sri Toh-Jaya berikhtisar, ‘rupa bisul berdiam di pusar, inilah penghabisan, perselisihan menjelma jadi pati.”

45

masuk di gelanggang dengan gagah berani. Ia dan kudanya, Anda-Wesi, telah berkali-kali merenggut nyawa musuh.46 Pasukan dari Madura yang dipimpinnya berhasil memporakporandakan lawan.47

Syahdan, tiba waktunya Rangga Lawe menghadapi Winotan, musuh yang dijanjikan akan ia tunggu di peperangan. Keganasan Rangga Lawe dalam berperang, konon, sangat ditakuti lawan, bahkan oleh Sagara Winotan sekalipun.48 Pertempuran antara Rangga Lawe dengan Winotan tidak terelakkan lagi. Pertarungan itu berjalan sengit, hingga pada satu lompatan Rangga Lawe berhasil menebas kepala Winotan.

“Malik sakata rangga Lawe amapag, mesem ken Winotan ling, atanding asrameng ena tengsun ladeni. Sang liningan tan sahur enggal kabangan, apet chidra apunding, -an kudamramaga, -ngadeg-adeg alumpat, kewran tangkis ning padati, jumog si rangga, Lawe nunggal ing giling. Aprang ing salw arok adadap churiga, -suwyatanding kawanin, tumul kawenang, Winotan wus tinigas, munggw eng salu ning padati, surak ghurnita, sirna mantring Kadiri.”49

46

Kidung Rangga Lawe, VII, 62, hlm. 51. 47

Kidung Rangga Lawe, VII, 63-66, hlm. 51. 48

Kidung Rangga Lawe, VII, 67-68, hlm. 51. “Swara ning aprang lan tampuh ing sarwastra, tanpa kuran tang bedil, anging bisanira, Jagawastratanding prang, lwir ing indrajala kweh ing, lawan pinegat, rangga Lawyamerepi. Saking untat akweh tang lawan kawenang, kalud pun Anda-Wesi, gambhira angrunggah, anokot yaya singha, amangsa wong Daha wrin-wrin, mantri Winotan, kemengan denyajurit.” Terjemahan: “Suara perang dan pertempuran semua jenis senjata, tak terhitung jumlahnya bedil, tapi kecakapan Jagawastra dalam bertempur tampak dalam muslihat [sehingga] banyak musuh kocar-kacir [dihabisi] diserang oleh Rangga Lawe. Dari belakang banyak lawan yang terbunuh oleh Anda-Wesi, yang dengan seramnya berjingkrak-jingkrak, menggigit bagai singa, memangsa orang-orang Daha, semuanya ketakutan, Menteri Winotan tampak putus asa melihatnya.”

49

“Berbalik kereta kuda yang ditunggangi Rangga Lawe menyongsong ken Winotan yang menunggunya. Rangga Lawe tak menyahut karena sudah terlalu marah. Ia berusaha mencari celah dengan cara mengitari lawan. Kudanya berjingkrak-jingkrak dan melompat [hingga] sukar untuk mengelakinya. Dalam satu lompatan, Rangga Lawe turun, sendirian di kereta/gerobak. Pertempuran semakin seru, perisai dan keris saling bergesekan, lalu kepala Winotan terpenggal, [jatuh] di kursi kereta. Sorakan bergema riuh. Mati sudah Menteri Kadiri itu.”

Keunggulan semakin berada di pihak pasukan Majapahit. Banyak pejabat tinggi Daha yang berhasil dikalahkan oleh pasukan maupun abdi setia Raden Wijaya, termasuk Patih Mundarang yang mati di tangan Sora.50 Raja Jayakatwang pun pada akhirnya berhasil disudutkan oleh Tentara Tatar dan ditawan51 di istana. Melihat kemenangan sudah di depan mata, apalagi putri Kertanegara juga sudah berhasil direbut, Arya Wiraraja menyarankan kepada Raden Wijaya untuk mengungsikan putri terlebih dahulu ke Majapahit supaya tidak diambil oleh Tentara Tatar.52 Kemudian, Sora dan Lawe menipu para prajurit Tatar untuk menahan dulu penyerahan putri. Jika kondisi sudah membaik, barulah putri akan diserahkan. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi sewaktu mengambil putri ialah dilarang membawa senjata, karena putri masih trauma dengan perang dan sering pingsan jika melihat senjata.53 Maka, saat utusan Bangsa Tatar tiba di Majapahit, tanpa perlengkapan senjata, Rangga Lawe dan Sora dapat

50

Kidung Rangga Lawe, VII, 109, hlm. 55. 51

Kidung Rangga Lawe, VII, 123, hlm. 57. 52

Kidung Rangga Lawe, VII, 114-117, hlm. 56. 53

Untuk detail kebohongan Sora dan Lawe, baca Kidung Rangga Lawe, VII. 126-132, hlm 57-58.

mengalahkan mereka dengan mudah hingga akhirnya memutuskan untuk berlayar pulang ke negara asal mereka.

“Tan wikan parakena yogya neng lampah, kweh apaksa kodali, -ra sang sri ning pura, katon wisti neng ulah, memeng mumungkur sang mantri, samangka sira, Lawe Sorametoni. Manggamuka wong Tatar tanpa lalaya, -tangkis karwa karo Kris, sira Lembu-Sora, -titingkah kaya sata, winulang pupune kalih, ri tur dekungnya, muregang punang keris. Saksana lumekas karo amrajaya, sira wong Tatar lagi, masenak anadah, kedekan kasulayah, pejah atusan akanin, sesa ning pejah, padamalakw inurip. Dadi katawan tumut tang stri karandan, tinut tekeng kikisik, bahitra inanang, kimita tang bharana, ingonjal eng Maja-Pahit, ikalahannya, siddha neng sandhi-sandhi.”54

“Karena tak melihat [jumlah Tentara Tatar?] dalam perjalanan itu, banyak yang terpaksa diusir, raja [Wijaya] yang berada di keraton terlihat gusar, segan mengambil tindakan begitu juga para Menteri, karena itu Lawe dan Sora keluar. [Mereka] mengamuk dan menghajar orang-orang Tatar tanpa ampun, berdua bersenjatakan keris, Lembu Sora bertingkah seperti ayam jago yang terikat kedua lututnya, dicabutnya kerisnya. Segera saja orang Tatar terdesak, siapapun yang berusaha melawan, diinjak hingga jatuh terjengkang, yang mati ratusan, [ada juga] terluka, sisanya yang tak mati, kabur cari selamat. [Hasilnya] tertawan para istri atau janda, diikuti hingga pesisir, bahtera yang rusak, dan juga perhiasan, [dirampas?] di Majapahit, sebagai bukti kekalahan, [yang diselesaikan] secara rahasia.”

Dengan terusirnya Tentara Tatar, kemenangan Majapahit lengkap sudah. Diwartakan bahwa Jayakatwang mati di penjara. Abunya dilarung di sungai.55 Setelah kemenangan melawan Daha dan berhasil mengusir Tentara Tatar, Wiraraja tidak lagi tinggal di Madura, melainkan meninggalkan jabatan demungnya dan pindah ke Tuban. Ia juga mendapatkan gelarnya kembali: Arya

54

Kidung Rangga Lawe, VII, 138-141, hlm. 58. 55

Kidung Rangga Lawe, VII, 142, hlm. 58-59. Di situ, tempat pelarungan abu jenazah Jayakatwang ialah Sungai Suranadi, sungai para dewa, sebagai suatu analogi atau bukti pertautan keyakinan/agama dengan India, yakni Sungai Gangga.

Adhikara.56 Lalu, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Majapahit, pewaris sah dari wangsa rajasa. Itulah akhir bagian pertama kidung ini.