• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesona Pararaton sebagai salah satu historiografi tradisional yang berisikan informasi raja-raja wangsa Rajasa tetap akan terus dianggap berharga, baik untuk penelitian sejarah maupun khalayak umum yang berkepentingan. Wangsa Rajasa merupakan keluarga yang berkuasa di Kerajaan Singhasari dan Majapahit. Penamaannya diambil dari gelar Ken Angrok sewaktu naik tahta, yakni “Rajasa”. Benar, bahwa Pararaton termasuk dalam kategori historiografi tradisional, tapi juga sekaligus karya sastra. Tidak boleh pula melupakan tujuan para pujangga Jawa Kuno itu. Mereka memiliki tujuan yang lebih tinggi daripada memuaskan rasa ingin tahu, yakni memperkokoh raja menjadi saka guru kerajaan dan kesejahteraan rakyatnya.93

Sebagai naskah tradisional yang kontroversi, Pararaton berkali-kali diulas, diterjemahkan, dan disadur oleh beberapa cendekiawan. Peneliti pertama yang mengulas Pararaton, sekaligus penemu, ialah Brandes (1920). Karyanya, yang

92

Kidung Rangga Lawe, XII, 14, hlm. 107. 93

kemudian juga dibantu oleh Krom, berjudul Pararaton (Ken Arok) of het Boek der

Koningen van Tumapel en van Majapahit. Karya terkait Pararaton selanjutnya

ialah buah tangan Hardjowardojo (1965) berbentuk terjemahan bebas, tanpa teks asli maupun alih aksara. Terakhir, karya Padmapuspita (1966) bertajuk

Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia.

Narasi tentang Rangga Lawe kali pertama dikenal oleh akademisi berasal dari Pararaton, karya sastra yang penulisnya tidak diketahui (anonim), setidaknya ketika karya ini ditemukan oleh peneliti kolonial dan dijadikan pijakan bagi penelitian mereka. Pararaton ditulis pada masa akhir Majapahit94, diselesaikan di Bali. Penyebutan Pararaton sebagai naskah yang menceritakan Rangga Lawe dan pemberontakannya penting, dengan pertimbangan bahwa di naskah lain yang ditulis oleh pujangga keraton, contoh Negarakretagama, sama sekali tidak meninggali catatan apapun tentang Rangga Lawe. Adapun pemberontakan atau penumpasan yang dikisahkan dalam Nagarakretagama ialah penumpasan Nambi dan perebutan kembali Majapahit atas wilayah Lamajang (sekarang Lumajang).95 Atas dasar itulah, Pararaton tidak banyak diminati para peneliti96 dan ujung-ujungnya lebih memilih informasi yang tersedia dalam Nagarakretagama.

94

Dalam kolofon Pararaton, alih aksara oleh Brandes dan ditulis ulang oleh Krom (1920: 41), tertulis waktu selesainya penulisan: 1535 Saka atau 1613 Masehi. Namun, kolofon tertua Pararaton yang ditemukan tertulis tahun 1522 Saka atau 1600 Masehi (Muljana 1983: 31). Berbeda lagi dengan Purwadi (2007: 43) menyebutkan kolofon tertua Pararaton bertahun 1481.

95

Kakawin Nagarakertagama, terbitan Narasi (2016: P 48. 2, hlm. 158). 96

Nugroho. 2011. Meluruskan Sejarah Majapahit. Yogyakarta : Ragam Media, hlm. 17.

Meski begitu, keberadaan Pararaton bagi sebagian kaum aristokrat di Bali dianggap penting. Oleh bangsawan Bali, Pararaton difungsikan sebagai legitimasi kedudukan atau status sosial mereka.97 Penuturan pujangga Pararaton terkait dengan silsilah raja-raja dari masa Singasari sampai Majapahit banyak memberikan informasi penting bagi kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dalam sistem kekuasaan atau hirarki sosial di masyarakat Bali. Di sinilah, Pararaton bertindak sebagai dokumen sejarah dan mendapatkan tempat atau diakui oleh masyarakatnya.

Eksplanasi tentang perbedaan cara pandang, bahkan sampai status pujangga, kiranya sangat penting guna menggambarkan subjektivitas pujangga dalam pengisahan. Ambil contoh terkait penggambaran karakater Kertanegara, yang telah disinggung oleh Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa98, untuk

menunjukkan perbedaan ujaran. Menurut Berg, narasi yang tertulis (dalam

Pararaton dan naskah-naskah yang ditulis jauh setelah peristiwa itu)

membuktikan ketidaktahuan generasi pada masa itu terhadap nama dan hal positif dari tokoh yang dimaksud, sehingga yang terjadi ialah para pujangga merekonstruksi sejarah hanya dalam garis besarnya saja berdasarkan sebuah

97

Ras. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 229; 231.

98

Berg. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara, hlm. 28-29. Mencontohkan perbedaan tentang penggambaran Kertanegara oleh pujangga Pararaton dengan Prapanca dalam Negarakrtagama. Pujangga Pararaton secara terang-terangan mengisahkan perangai buruk Kertanegara yang berimbas pada kegagalan raja dalam memerintah, sedangkan Prapanca memberikan alasan tersendiri atas perihal itu. Bagi Prapanca, Kertanegara, sebagai raja sekaligus pertapa aliran demonis (sic!) di zaman Kali, memang harus berlaku seperti itu untuk menghadapi sekaligus mengatasi zaman dan keadaan yang gila serta kacau. Sebagai pertapa buddhis, Kertanegara mengembangkan sekti untuk menempatkan dirinya sebagai raksasa dan membinasakan musuhnya.

model. Namun dapat dipastikan, Kertanegara merupakan seorang raja besar karena semangatnya untuk memperluas wilayah kekuasaan dan ketakwaannya terhadap ajaran agama.99

Sebagai karya yang ditulis jauh setelah kejadian, Pararaton sangat bergantung pada kisah-kisah dalam karya yang lebih tua darinya. Sebagai contoh, Muljana100 menunjukkan bahwa Nagarakretagama memberikan sumbangsih bagi pujangga Pararaton dengan menunjukkan waktu penulisan dan narasi dari kedua naskah itu. Tidak hanya Nagarakretagama, tentunya, pujangga Pararaton juga mengambil kisah dari berbagai naskah tradisional lain, cerita lisan yang berkembang di masyarakat waktu itu, dan ujaran prasasti. Begitu juga informasi yang ada dalam Kidung Panjiwijayakrama. Namun, karena pujangga Pararaton tidak mengalami peristiwa maupun tidak mengolah langsung sumber informasi tersebut, ujaran Pararaton terdistorsi atau banyak mengandung kekeliruan informasi.101

Tidak dapat dipungkiri bahwa historiografi tradisional merupakan karya sastra yang sangat terikat dengan konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra, sebagaimana dituturkan oleh Teeuw dalam bab sebelumnya.

99

Coedes. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Penerbit KPG, hlm. 273. Mengenai perspektif lain dari ekspansi Kertanegara terhadap wilayah di luar Jawa, sebagai usaha untuk menanggulangi serangan Mongol, lihat juga Hall. 1998. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, hlm. 73-76.

100

Muljana. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press, hlm. 21-26.

101

Muljana. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press, hlm. 26-29.

Terkait tiga konvensi itu akan dijelaskan sebagai berikut. Untuk Konvensi Bahasa,

Pararaton menggunakan Bahasa Jawa Pertengahan. Mengenai Konvensi Sosio

Budaya, isi Pararaton sangat erat dengan sosio-budaya Jawa pada masa karya itu dituliskan dan sedikit unsur tambahan, seperti aksara dan bahasa Bali. Terakhir, Konvensi Sastra berkaitan dengan bentuk dan tema; Pararaton berbentuk prosa sejarah dengan tema yang mengisahkan silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit. Melalui ketiga konvensi itu tidak hanya dapat membantu memahami karya, melainkan juga sejauh mana kreasi pujangga, melalui persepsi dan imajinasinya, dituangkan.

Inti narasi Pararaton terletak pada silsilah raja-raja Singasari sampai Majapahit seperti tajuk yang tertulis, Pararaton atawa Katuturanira Ken

Angrok.102 Pendiri Wangsa Rajasa (Ken Angrok) diletakkan oleh pujangga

Pararaton sebagai kunci silsilah raja-raja dari garis wangsa itu dan memang

hampir seperempat bagian naskah menuturkan kisah Ken Angrok. Sifat Pararaton ialah rajasentris, sehingga tidak banyak menyinggung kehidupan atau deskripsi lingkungan sosial di dalam dan luar kraton, atau hanya berfokus pada genealogi raja-raja. Kalau pun ada kisah, peristiwa, atau tokoh di luar raja-raja Singasari dan Majapahit yang disebutkan, itu dimaksudkan sebagai pendukung narasi, selain alasan menunjukkan peristiwa, zaman, serta prestasi raja yang disebut. Kaitannya dengan Rangga Lawe pun sama, bahwa, sebagai peristiwa masa silam yang

102

Ken Angrok menjadi fokus utama narasi pujangga Pararaton. Sebagian besar isi naskah memang menceritakan Ken Angrok, sebagai pendiri Wangsa Rajasa di Singasari—yang kemudian akan dilanjutkan oleh raja-raja Majapahit.

sungguh terjadi, tokoh dan sepak terjang Rangga Lawe digunakan sebagai penguat narasi utama pujangga Pararaton.

Pengisahan tentang Arya Wiraraja, sebagai pengkhianat dan pemberi pertolongan kepada Raden Wijaya, muncul di Pararaton.103 Keberadaan dan peran Arya Wiraraja dalam narasi historiografi tradisional Jawa, yang berkaitan dengan pembabakan sejarah Majapahit, tampaknya dinilai penting oleh para pujangga, termasuk Pararaton. Namun, persoalan keterlibatan Arya Wiraraja itu tidak akan dibahas lebih jauh di bab ini dan tetap fokus pada narasi Rangga Lawe dalam Pararaton. Alasannya ialah selain karena ujaran terkait hal itu sangat singkat diterangkan di Pararaton, juga untuk memfokuskan pembahasan.

Dokumen terkait