• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Kidung Rangga Lawe

6. Rangga Lawe Gugur

Kekalahan Nambi semakin membuat seisi keraton gusar. Perang itu telah membuat banyak abdi berpangkat tinggi gugur.78 Itu kerugian besar bagi Majapahit. Raja semakin gelisah dan segera mengutus beberapa abdinya untuk mengumpulkan pasukan kembali. Keberadaan Nambi tidak diketahui.

Keesokannya, semua pejabat bertanda menteri yang telah dikumpulkan di Wilwatikta segera menghadap kepada raja untuk meminta ijin berangkat ke medan laga. Tidak diketahui apakah pasukan gelombang kedua ini lebih besar daripada gelombang sebelumnya. Namun ada banyak nama-nama dari pejabat bertanda menteri yang disebut pujangga bergabung dalam pasukan itu, bahkan sang Raja pun turut dalam gelombang kedua itu. Salah dua pejabat tinggi dalam pasukan ialah Sora dan Kebo Anabrang. Nambi tidak disebutkan. Pasukan Majapahit dideskripsikan dengan penuh megah. Tidak hanya kuda dan pasukan bersenjata, tetapi juga ada payung tanda jabatan dan tetabuhan.

ajaran tentara. Sudah menjabat di negara sebagai patih di Majapahit, Lawe [ini] bunuhlah, tapi jika tidak mati, kepalamu akan terhampar di tanah, jadi pijakan bagi orang Tuban ini.”

78

Sementara di pihak Tuban, Ki Tambak Bhaya menghadap kepada Rangga Lawe dengan penuh kekhawatiran dan memberitahu bahwa Pasukan Majapahit telah mengepung wilayah Tuban dari timur dan selatan.79 Yang memimpin pasukan itu membawa tanda payung berwarna putih dan merah. Alih-alih gentar mendengar laporan abdinya, sebab wilayah kekuasaannya telah terkepung dari dua penjuru, Rangga Lawe justru gembira. Hadirnya para elit dari Majapahit itu justru menjadi waktu yang tepat bagi Lawe, demikian dia berpikir, untuk menunjukkan keperkasaannya di medan perang.80 Abdinya menjadi semangat melihat ekspresi junjungannya itu. Rangga Lawe menyuruh abdinya untuk mengumpulkan bala tentara dan segera mengaturnya sesuai dengan strateginya.

Sejak permulaan, perang berjalan begitu sengit. Banyak pejabat tanda menteri dari Majapahit yang tewas dalam peperangan. Pasukan Tuban semakin menggila setelah Adipati Rangga Lawe menjanjikan hadiah jika memenangkan pertarungan itu.81 Sementara itu, Raja Majapahit semakin gundah gulana. Kerugian di pihaknya sangat besar, belum lagi jika Rangga Lawe harus mati juga.82 Sora yang melihat gelagat itu segera datang menghadap dan meminta ijin ke Raja untuk menyongsong kedatangan Lawe. Setelah memperoleh ijin Raja, Sora memanggil beberapa prajurit dan menyusun strategi untuk mengepung Pasukan Tuban. Dia dan Kebo Anabrang akan ke arah timur, Gagak Sarkareki ke

79

Kidung Rangga Lawe, XI, 127-129, hlm. 94. 80

Kidung Rangga Lawe, XI, 131, hlm. 95. 81

Kidung Rangga Lawe, XI, 167-170, hlm. 98. 82

barat, sementara utara diserahkan kepada Ken Mayang Mekar.83 Raja melepas kepergian mereka dengan beberapa wejangan dan doa.

Dengan turunnya prajurit-prajurit elit itu peperangan semakin sengit. Lebih banyak elit yang mati karenanya.84 Di tengah pertempuran, di antara desing bedil dan bunyi tetabuhan, terdengar teriakan yang menyuruh Lawe untuk pergi ke arah timur.85 Meski pihak Majapahit telah menurunkan kekuatan utamanya, dari para elit yang sudah disebutkan, Pasukan Tuban tidak berputus asa. Dikisahkan oleh pujangga bahwa seorang prajurit Tuban bisa membunuh empat sampai lima orang dari pasukan lawan dan menggambarkannya “kadya samudra rah aparwa pati”.86

Akhirnya, Rangga Lawe bertemu dengan Kebo Anabrang. Pertempuran mereka berdua sangat sengit. Mereka saling bertukar pukulan, tendangan, adu keris dan tangkis di atas kuda. Mereka berkejaran. Karena terlalu capek dengan pertarungan adegan kejar-kejaran itu, Kebo Anabrang memutuskan beristirahat di pinggir sungai.87 Lawe mendekatinya diam-diam dan menyerang secara

83

Kidung Rangga Lawe, XI, 177, hlm. 99. 84

Kidung Rangga Lawe, XI, 183-189, hlm. 100. 85

Kidung Rangga Lawe, XI, 193, hlm. 101: “Rengw angucap prakasa ko Lawe teka, pamalayua po ki, -ta tan turah eng wwang, tuhu wetan in kebwa, satto pasu kang dumadi, tan wring kalingan, paksarung sasanaji.” Tidak dijelaskan atau disebutkan siapa orang yang berteriak itu, tetapi pada teks sebelumnya disebutkan bahwa Sora tengah mengamati area sekeliling di medan perang. Dengan indikasi itu, pujangga seperti hendak mengarahkan pembaca bahwa yang mengarahkan Lawe ke timur ialah Sora.

86

Kidung Rangga Lawe, XI, 207, hlm. 102, terjemahannya kira-kira “seperti lautan darah gunung kematian.”

87

tiba.88 Kuda Anabrang berhasil dibunuh oleh Lawe, jadi mau tidak mau dia harus meladeni Adipati Tuban itu tanpa kendaraan. Pertarungan terjadi di darat dan air, tetapi sewaktu di air Anabrang menyepakkan air ke arah Lawe hingga membuat penglihatannya terganggu. Lawe semakin kewalahan bertarung di air dan secepat kilat Anabrang menyerangnya serta membenamkannya ke dalam air.89 Serangan itu membuat Lawe kekurangan udara dan akhirnya mati. Sora yang melihat kematian keponakannya terlihat marah. Dia mendekati Kebo Anabrang sembari membawa keris dan berkata ada lintah di tubuh bagian belakangnya.90 Kebo Anabrang yang takut akan lintah berteriak kaget, berbalik, dan tertusuklah dadanya oleh keris Sora.91

Di akhir perang ini raja bersedih. Peperangan telah banyak merenggut nyawa para abdinya, termasuk si pemberontak, Rangga Lawe. Bagaimana pun Rangga Lawe ialah orang kepercayaan Raja dan sedari awal pembangunan Majapahit dia telah banyak membantu, khususnya soal memimpin orang Madura di Hutan Tarik dan perang melawan Pasukan Tatar. Kematian Rangga Lawe telah terdengar di wilayah Tuban dan membuat masyarakat bersedih. Jenazah Adipati Tuban itu tetap berada di Tuban.

Bapak Rangga Lawe, Arya Adhikara atau Arya Wiraraja, datang menghadap kepada raja. Begitu pula dengan kedua istri Rangga Lawe. Suasana

88

Kidung Rangga Lawe, XI, 229, hlm. 104. 89

Kidung Rangga Lawe, XI, 231-232, hlm. 104. 90

Kidung Rangga Lawe, XI, 233, hlm. 104. 91

semakin sedih. Si Arya Adhikara meminta kepada Raja untuk memaafkan perbuatan anaknya dan sudi menerima pengabdian cucunya, anak Rangga Lawe, Kuda Anjampani dan Raja menerimanya.92 Wiraraja juga mengingatkan Raja soal janjinya dulu, sewaktu perang dengan Daha, yang akan memberi jatah tanah kepadanya. Demikianlah akhirnya, dengan kematian Rangga Lawe perang disudahi dan Raja kembali ke keraton.

Dokumen terkait