• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Ulasan Kisah Rangga Lawe

1. Kemunculan dan Peran Rangga Lawe dalam Pendirian Majapahit

Tidak banyak informasi mengenai latar belakang dan asal-usul Rangga Lawe dalam Pararaton, kecuali penjelasan bahwa ia merupakan salah satu abdi setia Raden Wijaya. Kemunculan Rangga Lawe dikisahkan pujangga Pararaton ketika Daha di bawah pemerintahan Jayakatwang menyerang Tumapel. Raden Wijaya, yang diutus untuk menghadang bala tentara Daha, membawa serta para abdi setianya, termasuk Rangga Lawe. Sedari awal, Rangga Lawe telah dikisahkan memiliki peran penting untuk menghadapi musuh.

“Samangka Raden Wijaya tinuduh amaguta sanjata kang saka loring Tumapel ingiring denira arya dikara sira Banyak Kapuk, sira Rangga Lawe, sira Pedang, sira Sora, sira Dangdi, sira Gajah Pagon, anakira Wiraraja aran sira Nambi, sira Peteng, sira Wirot, sanjata abecikbecik, kang anangkis sanjata Daha bubuhan lor, sama amuk, rampak, kapalayu wong Daha kang metu saka lor, tinut binuru denira Raden Wijaya.”106 “Raden Wijaya diutus memerangi pasukan yang datang dari utara Tumapel dengan diiringi oleh Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Pedang, Sora, Dangdi, Gajah Pagon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng, Wirot, mereka semua adalah prajurit terbaik, melawan pasukan Daha di bagian utara, bersama-sama mengamuk, [hingga] orang-orang Daha itu kabur dari wilayah utara [dan] diburu oleh Raden Wijaya.”107

106

Brandes & Krom. (1920: 25); Padmapuspita (1966: 27). 107

Penyebutan nama-nama abdi itu berfungsi untuk memberi penekanan peran penting mereka, selain keterangan bahwa mereka adalah abdi setia tokoh utama sekaligus menduduki jabatan atau kedudukan penting di Tumapel.

Rangga Lawe termasuk salah satu abdi yang dikasihi Raden Wijaya. Tampak, pujangga Pararaton berusaha menekankan perasaan Raden Wijaya itu dalam narasinya ketika dia memberikan kain gringsing kepada abdi yang dipercayainya.108 Namun, bala tentara Raden Wijaya kalah jumlah dengan pasukan Daha sehingga tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan untuk menyelamatkan kekasihnya, putri Kertanegara, pun diurungkan. Oleh abdi-abdinya, Raden Wijaya disarankan untuk mengungsi ke Madura dan meminta bantuan kepada Arya Wiraraja109.

Kesetiaan Rangga Lawe untuk mengikuti pendiri Kerajaan Majapahit itu terus berlanjut, tidak hanya sewaktu ke Madura110, tetapi sampai kembali ke Jawa, atas saran dari Arya Wiraraja, saat berpura-pura mengabdi kepada Jayakatwang. Sewaktu di Daha, lagi-lagi, pujangga Pararaton berusaha mendeskripsikan keunggulan penganut Raden Wijaya atas pasukan Daha. Para abdi setia Raden

108

Brandes & Krom 1920: 26; Padmapuspita 1966: 28, terjemahan pada halaman 72. “Samangka Raden Wijaya adum lancingan giringsing ring kawulanira sawiji sowang, ayun sira angamuka. Kang dinuman sira Sora, sira Rangga Lawe, sira Pedang, sira Dangdi, sira Gajah.” Terjemahan bebas: “Raden Wijaya membagikan kain gringsing kepada para abdinya, tiap orang memperoleh satu, ia bertekad untuk menyerang. Yang memperolehnya ialah Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi, Gajah.”

109

Brandes & Krom (1920: 27); Padmapuspita (1966: 29). 110

Wijaya dikisahkan menang tanding, dalam sebuah laga persahabatan, melawan pasukan Daha.

“Datengira ring Daha amenangi Galungan, wongira kinon asasaramaha saking dalem, henti gawoking sang mantri ring Daha tumon, rehing sama abecikbecik, kang pinakadi sira Sora, sira Rangga Lawe, sira Nambi, sira Pedang, sira Dangdi, sama malayu ring pasasaramaning Manguntur ing Daha. Gumanti mantri ring Daha malayu, kang pinakadi prajurit aran sira Panglet, lawan sira Mahisa rubuh, sira patih Kebo Mundarang, katelu pada kasoran palayunipun denira Rangga Lawe lawan sira Sora … wekasan sira Sora anuju ring sira patih Kebo Mundarang, sira Rangga Lawe anuju ring sira Panglet, sira Nambi anuju ring sira Mahisa Rubuh, wekasan kapalayu sang mantri Daha dening wongira Raden Wijaya, tan hananing apulih, anuli awusan.”111

“Setibanya di Daha, bertepatan dengan hari raya Galungan, pengikutnya [Raden Wijaya] diminta raja untuk ikut dalam pertandingan, para pejabat Daha semuanya heran, tahu bahwa mereka semua sangat cakap, [yang diutus] ialah Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang, Dangdi, [mereka] berlari serempak ke tempat pertandingan di alun-alun Daha. Gantian para Menteri Daha berlari, di antaranya ialah prajurit bernama Panglet, Mahisa Rubuh, Patih Kebo Mundarang, ketiganya kalah cepat larinya dibanding Rangga Lawe dan Sora. … segera Sora mengarah ke Patih Kebo Mundarang, Rangga Lawe menghadapi Panglet, Nambi menuju Mahisa Rubuh, kabur Menteri-Menteri Daha itu melawan pengikut Raden Wijaya, tak ada yang mengejar kembali, lalu akhirnya selesai.”112

Ketika berperang melawan pasukan Daha, Rangga Lawe memiliki andil besar. Pasukan Raden Wijaya waktu itu disokong oleh bantuan dari bala tentara Madura yang diutus oleh Arya Wiraraja dan Tentara Mongol. Dalam perang itu Rangga Lawe berhasil membunuh Kebo Mundarang, pejabat tinggi Kerajaan Daha.

“Sira Panglet mati denira Sora, sira Kebo Rubuh mati denira Nambi, sira Kebo Mundarang apagut lawan sira Rangga Lawe, kapalayu sira Kebo

111

Brandes & Krom, (1920: 29); Padmapuspita (1966: 31-32). 112

Mundarang, katututan ing lurah Trinipanti, mati denira Ranga Lawe. Angucap sira Kebo Mundarang ring sira Rangga Lawe: “Ki Rangga Lawe, hana anakingsun wadon, den-alapa dene ki Sora, ganjarane wani.”113

“Panglet mati oleh Sora, Kebo Rubuh mati oleh Nambi, Kebo Mundarang berhadapan dengan Rangga Lawe, kabur si Kebo Mundarang, [tetapi] berhasil terkejar di lembah Trinipanti, [akhirnya berhasil] dibunuh oleh Rangga Lawe. Berucap Kebo Mundarang kepada Rangga Lawe: “Rangga Lawe, ada saya punya anak perempuan, persembahkanlah [ia] untuk Sora, sebagai hadiah [bukti] atas keberaniannya.”114

Menarik untuk melihat penggambaran pujangga Pararaton terhadap karakter tokoh Kebo Mundarang, Patih Daha. Oleh pujangga Pararaton Kebo Mundarang digambarkan sebagai orang yang menjunjung integritas, berani menerima kekalahannya dan mengakui keunggulan lawan, dengan cara mempersembahkan anak perempuannya.

Kembali ke tokoh Rangga Lawe. Setelah mengalahkan Jayakatwang, persoalan yang dihadapi aliansi Raden Wijaya dengan Arya Wiraraja belum usai. Mereka masih harus menghadapi tentara Mongol yang menagih janji Raden Wijaya atas putri Kertanegara. Rangga Lawe berjasa besar memukul mundur tentara Mongol, yang telah ditipu untuk secara sukarela menanggalkan semua senjatanya saat hendak mengambil putri Kertanegara yang dijanjikan.

“Sira Rangga Lawe angamuki kang ing jabaning panangkilan, tinut tekeng dunungane malayu maring sohaning Canggu, tinut pinaten.”115

113

Brandes & Krom (1920: 30); Padmapuspita (1966: 33). 114

Bandingkan dengan terjemahan Padmapuspita (1966: 77). 115

“Rangga Lawe menyasar [orang-orang] yang berada di luar balai, dikejarnya mereka ke mana pun mereka kabur sampai ke Canggu, [lalu] dibunuh.”116

Dokumen terkait