• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan Sosial Keagamaan Sayyid Ibrahim Baabud Melalui Nahdlatul Ulama (NU)

SAYYID IBRAHIM BAABUD DALAM PERJUANGAN AGAMA DAN POLITIK DI WONOSOBO ABAD KE-20

A. Perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud Dalam Bidang Sosial Keagamaan Di Wonosobo

2. Perjuangan Sosial Keagamaan Sayyid Ibrahim Baabud Melalui Nahdlatul Ulama (NU)

Masyarakat Wonosobo pada awal abad ke-20 merupakan suatu masyarakat yang hidup di bawah naungan tarekat alawiyah dan shatoriyah.Namun seiring dengan berkembangnya zaman serta modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial membuat Sayyid Ibrahim Baabud merubah sistem dakwahnya dengan menyeimbangkan masyarakat Wonosobo dengan perkembangan zaman di era tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa sebagian masyarakat Wonosobo pada waktu itu sangat fanatik terhadap Islam tasawuf (tarekat) dan Islam Jawa (kejawen). Langkah-langkah yang diambil oleh Sayyid Ibrahim Baabud diantaranya adalah melalui jalur organisasi NU (Nahdllatul Ulama) yang lebih toleran terhadap ideologi lain serta faham modernisasi yang dikembangkan oleh bangsa kolonial. Faktor lainnya adalah karena sebagian masyarakat Wonosobo juga merupakan penganut faham Ahlussunnah wal Jamaah yang juga telah berhasil dikembangkan oleh para ulama Wonosobo seperti Kyai Abdullah Sajad (akhir abad 19), Kyai Hasbullah (1900), Kyai Fakih (1900) dan lain-lain.63

Kemudian Sayyid Ibrahim Baabud mendirikan cabang NU yang sebelumnya telah berkembang di Jawa. NU cabang Wonosobo berdiri pada masa perintisan NU di Surabaya yang berlangsung Antara tahun 1926 sampai 1933. Titik berat kegiatan atau program NU pada periode ini adalah usaha pemantapan dan memperkenalkan NU keluar daerah.

63

53

Program ini tercermin dengan terbentuknya Lajnatun Nasihin, sebuah komisi propaganda yang bertujuan menarik simpati masyarakat luas kepada NU.64 Setelah NU berdiri di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, melalui para Ulama yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama'ah, kemudian NU juga mendirikan berbagai cabang di daerah-daerah sebagai perpanjangan dari HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama), sekarang PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Melalui Lajnah Nasihin yang dibentuk oleh HBNO, para Ulama yang tergabung di dalamnya mensosialisasikan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) di wilayah Hindia Belanda, diantaranya ke seluruh Jawa dan luar Jawa. Wonosobo salah satu daerah yang sebagian masyarakatnya dihuni ulama Ahlussunnah wal

Jama‟ah di pedalaman Jawa Tengah tidak terlepas menyambut kehadiran

NU. Hal itu disebabkan karena masyarakat Wonosobo adalah pengikut dan

pengamal Ahlussunah Wal Jama‟ah dalam kehidupan beragama sehari -hari. Faktor pendukung lainya adalah ikatan persaudaraan yang telah dijalin oleh para ulama terdahulu. Ikatan persaudaraan tersebut berupa perkawinan antara putra putri para ulama yang menghasilkan hubungan kekerabatan antara satu keluarga ulama dengan keluarga ulama lainnya.

Kehadiran NU di Wonosobo yang diprakarsai oleh para Kyai dan Habaib diantaranya Sayyid Ibrahim Baabud, KH.Hasbullah Bumen, KH. Abdullah Mawardi Wonosobo, Kyai Abu Jamroh, KH.Asy'ari Kalibeber,

Sayyid Muhsin Kauman, Sayyid Hasan Assegaf, Ustadz Abu Ja‟far dan

54

beberapa tokoh lain seperti Atmodimejo, Supadmo, Abu Bakar Assegaf dan yang lainnya disambut dengan mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama Cabang Wonosobo. Hal itu ditandai dengan penbentukan kepengurusan NU Cabang Wonosobo dengan Rois Syuriah Sayyid Ibrahim Baabud dengan dibantu Sayyid Muhsin bin Ibrahim sebagai Katibnya. Dalam proses sosialisasi NU dan dakwah Islamiyah, beliau selalu ditemani salah seorang putranya yaitu Muhsin Bin Ibrahim Baabud yang kelak menjadi katib Syuriah.

Dari sejarah lisan yang dituturkan oleh para pendahulu NU serta beberapa catatan yang ada terdapat dua kesimpulan tentang berdirinya NU Wonosobo. Pertama, sumber yang mengatakan bahwa NU Wonosobo berdiri pada tahun 1931M. Kedua NU Wonosobo didirikan setelah Muktamar di Cirebon pada tanggal 29 Agustus 1933 M atau 12 Rabiul Tsani 1350 H. Ketiga, sumber yang mengatakan bahwa NU Wonosobo berdiri pada tahun 1931, namun pelantikannya dilaksanakan setelah Muktamar NU di Cirebon. Pendapat yang ketiga ini nampaknya yang dapat dijadikan acuan mengenai sejarah awal berdirinya NU Wonosobo.65

Dalam konteks dakwah islamiyahnya Kehadiran NU di Wonosobo melalui Sayyid Ibrahim Baabud memberikan dampak positif. Kohesifitas

65Saat remaja Sayyid Muhsin Baabud setelah mendapatkan ilmu agama dari ayahnya, kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk belajar Islam di Pondok Pesantren Tremas Pacitan. sepulangnya dari Tremas kemudian dia pergi ke Makkah untuk belajar agama ke beberapa ulama di Timur Tengah. Kemudian beliau menetap beberapa tahun di Makkah.

55

yang dibangun berhasil menyatukan ulama dan Kyai sunni dalam satu wadah. Pada dasarnya organisani NU sekadar memberikan identitas formal bagi sebuah jaringan dan gerakan yang sudah ada jauh sebelumnya. Ini bisa dilihat pada kasus cabang NU di Wonosobo yang diprakarsai Sayyid Ibrahim Baabud. Jauh sebelum pendirian NU beliau telah memiliki sebuah jaringan yang menghubungkan ulama di Wonosobo dengan ulama yang ada di Pacitan (Tremas). Bahkan sebenarnya jaringan tersebut sudah terbentuk pada masa kakek Sayyid Ibrahim Baabud yaitu Sayyid Hasyim Baabud. Jaringan itu sendiri diperkirakan berawal dari hubungan dalam pengajaran tarekat. Memang pada abad ke 19 M wilayah Mataram (sekarang Jawa Timur bagian barat) dikenal sebagai basis penyebaran tarekat.66

Sayyid Ibrahim Baabud beserta Ulama lainnya di Wonosobo setelah mendeklarasikan berdirinya NU Wonosobo pada tahun 1931 M pasca Muktamar NU ke 6 di Cirebon mengambil dua langkah setrategis sebagai bentuk konsolidasi ulama Ahlussunnah wal Jama‟ah. Pertama adalah mensosialisasikan Jam‟iyah NU di seluruh penjuru Wonosobo.

Dalam upaya ini, langkah yang diambil Sayid Ibrahim Baabud adalah melalui jalur Thariqoh.Upaya ini dipandang efektif, terbukti di tahun 1936 NU Wonosobo telah memiliki anggota berjumlah ribuan. Ini dibuktikan

66

Pusat distribusi tarekat di daerah Mataram adalah Pondok Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo (lihat Fokkens, F., (1877), De Priesterschool te Tegalsari, (Batavia-Den Haag: W. Bruining-M. Nijhoff)). Menurut Martin Van Bruinessen Pondok Pesantren Gebang Tinatar adalah pesantren pertama di Jawa dalam bentuk seperti yang kita kenal sekarang (Van Bruinessen, Martin (1994) 'Pesantren dan Kitab Kuning: Kesinambungan dan perubahan dalam tradisi belajar agama', di : Wolfgang Marschall (ed), Teks dari Pulau: Tradisi lisan dan tulisan Indonesia dan Melayu (= Etnologica Bernensia,, 4), Berne: Institut Etnologi Universitas Berne, hal. 121-146.

56

dengan adanya kartu tanda NU atas nama Muhammad Sa‟idun dari Desa Kreo Kecamatan Kejajar dengan Rosyidul Udhwiyah (nomor anggota) 1526.67 Wilayah ini menjadi awal mula basis penyebaran NU di Wonosobo, sebab daerah Kreo pada masa itu mayoritas masyarakatnya merupakan pengikut thariqoh Sathoriyah dengan mursidnya Sayyid Ibrahim Baabud.Langkah Kedua yaitu di tahun 1932 dengan berbagai upaya NU Wonosobo memiliki tanah secara swadaya yang pada gilirannya di jadikan kantor NU Cabang Wonosobo.

Disamping itu kemudian didirikan Madrasah Nahdlatul Ulama Wonosobo dengan guru-guru antara lain Sayid Ibrahim Baabud, Ustadz

Abu Ja‟far, Sayid Hasan Assegaf, Sayyid Muhsin Ba‟abud yang

kesemuanya adalah pengurus inti Syuriah NU Cabang Wonosobo. Madrasah ini mendapatkan respon yang positif dari masarakat, hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya murid yang belajar di Madrasah Nahdlatul Ulama. Nama ini memang berbeda dengan Nahdlatul Wathon, atau Hidayatul Wathon, namun kurikulum dan model pembelajarannya sama dengan madrasah yang didirikan Kyai Wahab dan Ulama lainnya. Madrasah ini membuka enam jenjang kelas, yaitu, para murid kelas awal (kelas satu) dididik untuk bisa menulis Arab, menyusun kalimat Arab, dan membaca Al-Qur‟an. Untuk tahun berikutnya mereka bisa menjadi murid kelas dua dengan mata pelajaran sama dengan kelas satu namun lebih luas. Sedangkan murid kelas tiga dipersiapkan untuk memasuki madrasah

67

57

empat tahun berikutnya, mulai dari kelas satu hingga kelas empat (tamat).Mata Pelajaran yang diajararkan di kelas satu adalah menulis halus (Arab), menyusun kalimat dan membaca Al-Qur‟an, Tajwid, menghafal tuntunan agama dalam bahasa Jawa. Mata pelajaran kelas dua sama dengan kelas satu hanya lebih mendalam dan ditambah mata pelajaran Nahwu-Sharaf (gramatika Arab), Tauhid (teologi), Hisab (ilmu hitung), dan membaca kitab. Kelas tiga sama seperti kelas dua, namun lebih mendalam lagi. Adapun kelas empat sama dengan kelas tiga ditambah mata pelajaran ilmu bumi (geografi). Madrasah ini, oleh para santri dan masarakat disebut sebagai Sekolah Arab (SA).68 Selain madrasah dengan enam jenjang kelas tersebut, madrasah Nahdlatul Ulama juga membuka kelas yang sama, tetapi aktivitasnya berjalan sore hari. Madrasah sore ini dikhususkan bagi anak-anak yatim dan anak-anak dari kalangan

du‟afa. Menyajikan kurikulum dan metode yang baru dimulai pada saat itu. Madrasah NU mendapatkan animo yang luar biasa dari masyarakat di Wonosobo. Walaupun jumlah tertulis sulit untuk dilacak, namun setidaknya dari pengakuan seorang alumni Madrasah NUdi tahun 1934-an sudah memiliki siswa ratusan. Dalam mengembangkan Madrasah NU, Sayyid Ibrahim Baabud berupaya menyebarkan 'pengaruh' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Madrasah NU kemudian ditutup pada saat

68

wawancara dengan Ahmad Muzan, Habib Aqil Baabud,dan KH Alim di Wonosobo tanggal 17 Juli 2017.

58

pendudukan Jepang sekitar tahun 1942. Akibat dari beberapa guru pengajar ditangkap oleh Jepang dan dimasukan ke penjara.Beberapa bulan kemudian atas upaya Kyai Wahab Hasbullah dan pengurus Konsul NU dengan diplomasinya, beberapa ulama yang dipenjara kemudian dibebaskan. Namun penjajahan fasis Jepang yang telah mengoyak sendi kehidupan masarakat telah menyebabkan adanya suatu kendala yang tidak bisa dilalui untuk menghidupkan Madrasah NU Wonosobo. Di penghujung tahun 1940 di Wonosobo telah berkembang Madrasah Diniyah di daerah Binangun Watumalang yang diprakarsai oleh Ahmadiyah Lahore, pimpinan Madrasah ini adalah M. Sabitun yang ahli dalam bahasa Inggris. Pada tahun ini pula di daerah Sudagaran Wonosobo berdiri Sekolah Muhammadiyah yang dipimpin oleh Toha. Ketiga organisasi di Wonosobo NU, Muhammadiyah dan Ahmadiyah ini, pada tahun 1942 masa pendudukan Jepang mengadakan pengajian Selapanan, sekalipun tidak berlangsung lama. Semangat, Gagasan dan perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dan ulama lainnya tentu harus digerakkan secara terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan, lebih utamanya di dalam lingkungan NU. Upaya tersebut adalah cinta Islam dengan

berpegang teguh pada ahlussunah wal Jama‟ah, cinta NU dan cinta Negara

Kesatuan Republik Indonesia.69

B. Sayyid Brahim Baabud Dalam Perjuangan Politik

Dokumen terkait